ADA PEMURTADAN di IAIN - H Hartono Ahmad Jaiz - jbookmaker by: http://jowo.jw.lt DAFTAR ISI : Pengantar Penerbit Pembaharuan Nurqolis Madjid Kearah Paganisme Mukadimah Sorotan Dua Syaikh Ahli Hadist Dari Yordan di IAIN & UIN Pengantar Penulis M u r t a d Pengantar Penuli Cetakan ke II Hermeneutika & Bahayanya Ketika Diusung ke Islam Usulan Pembubaran Departemen Agama Peran Dosen UIN / IAIN & Paramadina: Nikah Beda Agama Pendidikan Islam di Selewengkan Memuluskan Pemurtadan Rusaknya Pemahaman Memilih Sekolahan & Pendidikan Anak Penutup; Mereka Menghalanngi Syariat Islam Menengok Kembali "Harunisme" Lampiran I : Ada Pemurtadan di IAIN IAIN Dikotori Oknum Oknum Lampiran II : Hermeneutika & Infiltrasi Kristen Sosok sosok Nyeleneh Banyak Yang di UIN & IAIN Lampiran III : Sejarah Singkat IAIN Aneka Kenyelenehan & Buku Bukunya Yang Berbahaya Pengantar Penerbit Segala puji bagi Allah. Salam dan shalawat kita panjatkan ke hadirat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, Rasul pilihan dan manusia teragung yang dilahirkan di dunia ini. Ketika penerbit disodori naskah buku ini, terus terang tanpa pikir panjang kita setujui. Karena tulisan beliau (Hartono Ahmad Jaiz) sudah lebih dari sepuluh judul yang kita publikasikan, jadi kita sudah mengenal luar dan dalam penulisnya. Dan umumnya buku-buku penulis berupa tanggapan terhadap fenomena kerusakan-kerusakan akidah yang mendera umat Islam di Indonesia semenjak Orde Baru hingga terkini. Kalau kali ini yang kena ‘giliran’ IAIN tidaklah terlalu mengejutkan. Sebab memang mereka yang jadi pemicunya. Ibarat pepatah, siapa yang menabur angin akan menuai badai. Fenomena maraknya kelompok yang menamakan dirinya sebagai Islam Liberal, sangat banyak yang berasal dari IAIN maupun UIN. Bahkan ditengarai justru IAIN-IAIN dan UIN-lah yang menjadi lahan yang subur maraknya barisan pengusung paham liberal. Sehingga pengusung paham pluralisme agama, nikah beda agama, pikiran-pikiran yang keluar dari mainstream Qur’an-Sunnah banyak sekali dilahirkan dari rahim IAIN. Jadi kalau sekarang giliran IAIN-IAIN dan UIN ‘diserang’ itu tadi imbas dari serangan yang bertubi-tubi dilakukan oleh dosen-dosen IAIN dan UIN terhadap akidah Islam, terhadap Allah, Rasul-Nya dan kitab sucinya. Jadi jika buku ini menyinggung para pendidik di lingkungan IAIN ya itu wajar dan bisa dimengerti karena tidak semua dosen bersikap seperti yang ditulis dalam buku ini. Namun kalau urusannya hanya sekadar tersinggung, mestinya ketersinggungan umat Islam terhadap lembaga IAIN yang kini telah diliberalkan oleh oknum-oknum di IAIN pasti jauh lebih besar dan menyakitkan dibanding ketersinggungan dosen-dosen IAIN terhadap munculnya buku ini. Karena buku ini hanya ‘sentilan’ ringan dibanding hantaman besar yang dilakukan oleh tokoh-tokoh liberal di IAIN yang terang-terangan menghina Allah dan ajarannya yang terus-menerus dijajakan ke masyarakat. Masih mending jika keliberalan itu diyakini sendiri-sendiri tidak dijual dan ditularkan ke anak didik dan masyarakat. Namun jika keliberalan dijadikan kurikulum dan diwajibkan ke mahasiswanya bahkan kini ditambah pelajaran hermeneutika untuk mengganti metode tafsir Al-Qur’an, maka sudah wajar jika umat Islam marah karena ajaran Islamlah yang sedang diacak-acak mengikuti kemauan para orientalis Barat. Mudah-mudahan bukan suasana marah yang terjadi, namun justru ada upaya saling introspeksi dan membuka diri. Jika pendapatnya salah dan berakibat buruk buat umat Islam dan bangsa, mestinya tidak perlu sungkan-sungkan meralat dan mengakui kesalahannya. Toh jabatan, pujian, kekuasaan dan umur, pendek belaka. Lalu buat apa hanya demi mengejar jabatan dan pujian justru akidah digadaikan yang bisa berakibat mendapat murka Allah. Karena kita masih sayang terhadap IAIN yang kini sudah dikotori dan terkontaminasi wabah liberal binaan orientalis Barat, mudah-mudahan dapat kembali kepada jalan Islam yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Semoga upaya penyebaran buku ini bisa dipahami sebagai bagian amar ma’ruf nahyi mungkar. Pustaka Al-Kautsar MUKADDIMAH Kasus Masjid Dhirar Di Madinah, sebelum Rasulullah saw berhijrah ke sana, ada seorang lelaki bernama Abu Amir Ar-Rahib (pendeta), dari suku Khazraj. Dia pernah menganut agama Nasrani, dan mengajarkan ilmu-ilmu Ahlul Kitab, serta mempunyai kedudukan yang penting dalam kalangan mereka. Setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah dan memperoleh pengikut yang banyak dari penduduk Madinah itu, sehingga kaum Muslimin telah menjadi kuat, dan Allah telah memenangkannya terhadap kaum musyrikin, maka Abu Amir keluar dari kota Madinah, melarikan diri ke Makkah. Ia membujuk kaum musyrikin untuk menciderai Rasulullah dalam perang Uhud. Bahkan ia berpidato kepada kaumnya yang terdiri dari orang-orang Anshar supaya mereka berpihak kepadanya. Akan tetapi kaumnya itu menolak dengan tandas. Dan setelah peperangan itu (Uhud) selesai, maka Abu Amir melarikan diri serta meminta perlindungan kepada Heraclius, raja Romawi. Dia meminta bantuan kepada raja tersebut untuk memerangi Rasulullah dan kaum Muslimin. Raja tersebut mengabulkan permintaannya, serta menjanjikan kepadanya untuk memberikan bantuan. Abu Amir lalu berkirim surat kepada sekelompok kaumnya yang terdiri dari orang-orang munafiq, mengabarkan kepada mereka bahwa ia akan datang membawa pasukan untuk memerangi dan mengalahkan Nabi Muhammad saw. Dan ia memerintahkan agar mereka (orang-orang munafiq) membuat sebuah benteng sebagai tempat perlindungan bagi orang-orangnya yang nanti akan datang kepada mereka dengan membawa surat-suratnya; dan tempat itu kelak akan digunakannya sebagai kubu pertahanan, apabila nantinya ia datang kepada mereka. Hasutan dan anjuran Abu Amir ar-Rahib yang demikian itu dapat menarik hati dan mempengaruhi jiwa orang-orang Banu Ghunam, sehingga mereka lalu bersama-sama mendirikan masjid baru itu, dengan tujuan seperti yang dikehendaki oleh Abu Amir. Orang-orang yang mendirikan masjid baru itu menurut riwayat ada 12 orang, mereka itu ialah: 1. Kahizam bin Khalid dari Banu Ubaid bin Zaid, 2. Tsa’labah bin Hathib dari Banu Umayyah bin Zaid, 3. Mu’atthib bin Qusyair dari Banu Dhubai’ah bin Zaid, 4. Abu Habibab bin Al-Az’ar dari Banu Dhubai’ah bin Zaid, 5. Abbad bin Hunaif dari Banu Amer bin Auf, 6. Jariyah bin Amir dan dua orang anaknya: 7. Mujammi, 8. Zaid, 9. Nabthal bin Al-Harits dari Banu Dhubai’ah, 10. Bakhzaj dari Banu Dhubai’ah, 11. Bijab bin Utsman dari Banu Dhubai’ah, 12. Wadi’ah bin Tsabit dari Banu Umayyah bin Zaid. Maka mulailah para pengikutnya itu membangun sebuah masjid yang berdekatan letaknya dengan masjid Quba’. Mereka membuat bangunan itu sedemikian rupa kokohnya dan selesai mereka kerjakan sebelum berangkatnya Rasulullah ke Peperangan Tabuk. Mereka datang kepada Rasulullah saw dan meminta agar beliau bershalat di masjid tersebut, sebagai tanda bahwa beliau merestui pembangunan masjid itu. Mereka menyebutkan kepada Rasulullah saw bahwa bangunan tersebut mereka dirikan hanyalah semata-mata untuk menampung orang-orang lemah di antara mereka dan orang-orang yang menderita sakit pada malam-malam musim dingin. Untunglah pada saat itu Rasulullah mendapat perlindungan dari Allah SWT sehingga beliau terhindar dari tipu daya orang-orang munafiq itu dan tidak bershalat di tempat itu. Rasulullah menjawab tawaran mereka untuk shalat dalam masjid tersebut dengan katanya : “Innii ‘alaa junahi safarin wa haali syughlin, walau qod qodimnaa in sya-a lloohu la atainaakum fa shollainaa lakum fiihi.” “Sesungguhnya saya sekarang ini sedang berhalangan dan akan pergi untuk menyelesaikan satu pekerjaan yang menghajatkan penuh perhatian. Jika kami nanti telah datang, insya Allah tentu mendatangi kamu, lalu kami mengerjakan shalat di dalamnya bersama-sama kamu.” Demikianlah jawab Nabi saw atas permintaan mereka. Oleh sebab itu, maka ketika Nabi saw bersama tentara kaum Muslimin kembali dari Tabuk, perjalanan beliau sedang sampai di satu tempat yang bernama Zi Awan, sebuah tempat di luar kota Madinah, kira-kira sejauh perjalanan satu jam lagi, datanglah serombongan kaum munafiqin kepada beliau dengan mengemukakan permintaan, supaya beliau memerlukan datang ke masjid Quba’ --yang kedua--, yang baru didirikan oleh mereka itu, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh beliau ketika hendak berangkat ke Tabuk. Permintaan mereka yang demikian itu oleh Nabi saw ketika itu akan dikabulkan, dan beliau bercita-cita di dalam hati akan mendatanginya juga, sebagaimana yang diinginkan dan diharapkan oleh mereka; tetapi mendadak seketika itu juga beliau menerima wahyu dari Hadirat Allah , yang bunyinya: 107. “Dan (dia antara orang-orang munafiq itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafirannya, dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah berdusta (dalam sumpahnya). 108. Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya Masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. 109. Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhoan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. 110. Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah/ 9: 107-110). Setelah ayat-ayat yang tersebut itu diterima oleh Nabi saw maka sudah barang tentu beliau ketika itu tidak jadi berangkat ke Quba’ untuk memenuhi panggilan dan permintaan kaum munafiqin mendatangi masjid yang baru itu. Bahkan lantaran Allah telah menyatakan dengan sabdaNya bahwa masjid itu adalah Masjid Dhirar, yang berarti bahaya dan celaka, tegasnya membahayakan atau mencelakakan bagi kaum Muslimin, maka ketika itu Nabi saw memerintahkan kepada beberapa orang dari kaum Muslimin, di antaranya seorang yang beranama Wasyi. Dalam riwayat lain dikatakan , bahwa kaum Muslimin yang diperintahkan oleh Nabi supaya membakar dan menghancurkan masjid dhirar itu ialah Malik bin Dukhsyum dan Ma’an bin ‘Adi atau saudaranya, ‘Ashim bin ‘Adi. Beliau bersabda kepada mereka berdua: “Intholiqoo ilaa haadzal masjididh dhoolimi ahluhu fahdimaahu waharriqoohu.” “Berangkatlah kamu berdua ke masjid yang ahlinya dholim itu, lalu binasakanlah dan bakarlah oleh kamu berdua akan dia.” Para sahabat yang menerima perintah itu dengan segera lalu berangkat ke Quba’, dan sesampainya di sana, lalu masing-masing mengambil daun-daun atau pelepah-pelepah kurma yang sudah kering guna alat membakar masjid dhirar itu. Kemudian dengan diam-diam mereka lalu membakarnya dan merobohkannya sampai habis menjadi abu, pada waktu antara maghrib dan `isya’. Ingin Membunuh Nabi SAW dan Jadi Kaki Tangan Asing Sementara itu Hamka mengemukakan, setelah menilik penafsiran Ibnu Katsir dan Al-Baghawi, bertambah pentinglah penglihatan kita tentang kedudukan keempat ayat ini di dalam surat Al-Bara’ah (At-Taubah), khusus membicarakan orang-orang munafiq. Bahwa selain daripada munafiq yang hendak membunuh beliau (Nabi saw) di tempat curang di perjalanan pulang, ada pula yang menjadi kaki tangan asing (subversi) di Madinah sendiri, dengan membuat camouflase (pura-pura) mendirikan masjid, padahal masjid palsu itu hendak dijadikan markas apabila tentara Rum datang. Selanjutnya Hamka mengemukakan: Setelah kita ketahui tadi siapa Abu ‘Amir Ar-Rahib dan kita pertalikan dengan 12 orang munafik yang menjadi kaki tangannya di Madinah itu, mengertilah kita sekarang bagaimana duduk soal Masjid baru ini didirikan ialah dengan 4 maksud jahat. Pertama, hendak membuat dhiraar. Artinya bencana atau bahaya. Terutama ialah bahaya niat jahat dan pengkhianatan yang dipelopori oleh seorang kafir yang telah mengkhianati kaumnya. Abu ‘Amir bukan saja munafiq lagi, tetapi lebih dari itu, musuh besar kaki tangan Kerajaan lain. Yang munafiq ialah 12 orang penyambutnya di Madinah itu. Yang kedua, niscaya teranglah bahwa maksud mendirikan masjid ini bukan dari iman, tetapi dari kufur. Ketiga, dengan mendirikan masjid ini masyarakat yang tadinya satu menjadi pecah. Yang keempat, telah terang lagi puncak kejahatan tertinggi dari maksud itu, yaitu hendak dijadikan tempat pengintip (irshad) gerak-gerik Rasul dan orang-orang beriman, yang menjadi anjuran dari Abu ‘Amir tadi. Yaitu orang yang sejak sebelumnya memang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya, sejak perang Uhud sampai perang Hawazin dan berharap Madinah diserang Rum, supaya dengan paksa penduduk Madinah dapat dijadikan pemeluk Nasrani. Mungkin ada niat jika mereka menang, masjid itu langsung kelak dijadikan gereja dengan pengakuan kerajaan Rum, dan Abu ‘Amir diangkat menjadi Uskupnya. Kemudian datanglah sambungan ayat: “Namun mereka akan bersumpah, tidak ada maksud kami, kecuali kebaikan.” Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir, seketika mengundang Nabi saw supaya sudi shalat di sana, mereka menyatakan bahwa maksud mendirikan masjid itu adalah baik, yaitu untuk orang-orang lemah, atau orang sakit atau orang yang tidak tahan dingin keluar malam di musim dingin. Pendeknya ada-ada saja alasan yang mereka kemukakan. “Dan Allah menyaksikan, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang berdusta.” (ujung ayat 107). “Jangan engkau shalat padanya selama-lamanya” (pangkal ayat 108). Inilah larangan tegas dari Allah kepada Rasul saw, supaya sekali-kali jangan shalat ke sana, walaupun sebelum berangkat ke Tabuk sudah dijanjikan akan shalat ke sana, sebab Rasul saw waktu itu belum diberi tahu oleh Allah, dan beliau pun tengah repot. Malahan setelah mendapat wahyu ini, demi mengetahui keempat maksud jahat yang terkandung di dalam mendirikan masjid itu, terus Rasulullah saw memerintahkan beberapa orang sahabat pergi ke tempat itu dan segera meruntuhkan masjid berbahaya (dhiraar) itu, sampai rata dengan bumi. Mencuri Keimanan dan Pemurtadan Kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an itu merupakan contoh nyata betapa liciknya musuh Islam yang bersekongkol dengan kekuatan kekaisaran Rum Nasrani serta orang dalam negeri yang munafiq untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Berbagai dalih dan alasan dikemukakan, seolah pembangunan masjid dhiraar itu adalah satu bentuk upaya mensejahterakan Ummat, meringankan beban Ummat, membantu orang-orang lemah, orang-orang yang tak tahan dingin, dan sebagainya. Persekongkolan antara musuh Islam dari dalam negeri dengan kekuatan besar di luar negeri kemudian dijalin secara berkelindan dengan munafiqin-munafiqin dalam negeri adalah satu model yang pas dalam gambaran Al-Qur’an tersebut, yang kalau model sekarang adalah berbentuk proposal yang telah rapi, kemudian diujudkan dalam program suatu proyek yang diberi jangka waktu secara terinci. Data-data pun dikompliti, disertai foto-foto dan petanya, serta program-program yang telah dirinci jangka waktunya, beayanya, dan prediksi hasil pemurtadannya. Program canggih yang serba komputerise itu pun masih dicarikan dekengan dan dukungan sana sini, kalau bisa sampai ke titik puncak pimpinan, baik di dalam maupun di luar. Semangat tinggi untuk memurtadkan kaum Muslimin itu tidak bisa dipungkiri, baik secara kenyataan maupun secara khabar kepastian dari wahyu Allah, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa sebagian besar Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu ingin memurtadkan kaum Muslimin karena kedengkian dari diri mereka. Ayatnya sebagai berikut: “ Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 109). Tafsir Departemen Agama menjelaskan: Ayat ini mengandung peringatan kepada orang-orang Islam agar supaya mereka waspada terhadap tipu muslihat Ahli Kitab. Tipu muslihat yang mereka lakukan itu adakalanya dengan jalan mengeruhkan ajaran Islam, dan adakalanya dengan menimbul-nimbulkan keragu-raguan di kalangan Ummat Islam sendiri. Mereka melakukan tipu muslihat itu disebabkan karena kedengkian semata, tidak timbul dari pandangan yang bersih. Kedengkian mereka bukanlah karena keragu-raguan mereka terhadap kandungan isi Al-Qur’aan, atau bukan karena didorong oleh kebenaran yang terdapat dalam Kitab Taurat, akan tetatapi disebabkan karena dorongan hawa nafsu, kemerosotan mental dan kedongkolan hati mereka. Itulah sebabnya maka mereka terjerumus dalam lembah kesesatan dan kebatilan. Dalam ayat lain lebih ditegaskan lagi: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120). Dalam menafsirkan ayat itu, Kiai Misbahul Musthofa Bangilan Tuban Jawa Timur dalam kitab tafsirnya, Tajul Muslimin, berbahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon, menjelaskan dengan memberikan tanbih (peringatan/ perhatian) sebagai berikut: “Ayat ini walaupun yang diucapi itu Nabi Muhammad saw, tetapi yang dimaksud yaitu ummatnya Nabi, yakni Ummat Islam, karena tidak mungkin kalau Nabi Muhammad itu ikut terhadap kesenangan nafsu orang Yahudi dan Nasrani. Jadi dengan ayat ini, Ummat Islam harus mengerti kalau orang Yahudi dan orang Nasrani itu tidak puas, tidak henti-hentinya dalam upaya supaya Ummat Islam menjadi Yahudi atau Nasrani. Macam-macam tipu daya dari dua golongan ini, guna mempengaruhi Ummat Islam. Kalau Ummat Islam sampai terjerat ikut, maka tidak akan ada yang menolongnya atau menjaganya dari siksa Allah. Dan dengan adanya ayat ini, Ummat Islam harus hidup pakai garis Islam, yaitu garis-garis yang ditentukan oleh Al-Qur’an. Sebaliknya, kalau Ummat Islam bersedia mengikuti petunjuk Allah Ta’ala maka dirinya akan mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala. Peringatan yang lebih tandas lagi dikemukakan oleh Prof Dr Hamka sebagai berikut: “Dan dengan ayat ini kita telah diberi peringatan, bahwasanya Lan tardha, sekali-kali tidak akan ridha Yahudi dan Nasrani sebelum kita mengikuti agama mereka. Menurut loghat, huruf Lan itu berarti Nafyin- waistiqbalin, yaitu mereka tidak akan ridha, tidak, untuk selama-lamanya. Ayat ini telah memberikan pesan dan pedoman kepada kita, buat terus menerus sampai hari kiamat, bahwasanya di dalam dunia ini akan tetap terus ada perlombaan merebut pengaruh dan menanamkan kekuasaan agama. Ayat ini telah memberi ingat kepada kita, bahwasanya tidaklah begitu penting bagi Yahudi dan Nasrani meyahudikan dan menasranikan orang yang belum beragama, tetapi yang lebih penting ialah meyahudikan dan menasranikan pengikut Nabi Muhammad saw sendiri. Sebab kalau Islam merata di seluruh dunia ini, pengaruh kedua agama itu akan hilang. Sebab apabila akidah Islamiyah telah merata dan diinsafi, kedua agama itu akan ditelannya. Sebab pemeluk Islam berarti kembali kepada hakikat ajaran yang sejati daripada Nabi Musa dan Nabi Isa. Niscaya pemeluk kedua golongan itu tidak senang, sebab agama yang mereka peluk itu telah mereka pandang sebagai golongan yang wajib dipertahankan. Dengan tidak usah mengaji lagi benar atau tidak benar. Menurut Hamka, isyarat yang diberikan oleh ayat inilah yang telah kita temui dalam perjalanan sejak Islam bangkit dan tersebar di muka bumi ini sampai sekarang. Kalau sekiranya kita lihat kegiatan pengkristenan yang begitu hebat, sejak dari Perang Salib pertama pada 900 tahun yang lalu, sampai kepada ekspansi zending dan missi Protestan dan Katholik ke negeri-negeri Islam dengan membelanjakan uang berjuta-juta Dolar untuk mengkristenkan agama Islam, semuanya ini adalah isyarat yang telah diberikan oleh ayat ini, bahawasanya mereka belum ridha dan belum bersenang hati, sebelum umat Muhammad menurut agama mereka. Pekerjaan mereka itu berhasil pada negeri-negeri yang orang Islamnya hanya pada nama, tetapi tidak mengerti asli pelajarannya. Kadang-kadang mereka berkata, biarkanlah orang Islam itu memeluk agama Islam pada lahir, asal kebatinan mereka telah tertukar jadi Kristen. Orang Yahudi tidaklah mengadakan zending dan missi. Pemeluk agama Yahudi lebih senang jika agama itu hanya beredar di sekitar Bani Israel saja, sebab mereka memandang bahwa mereka mempunyai darah istimewa. Tetapi mereka memasukkan pengaruh ajaran mereka dari segi lain. Bukan saja di dunia Islam, bahkan pada dunia Kristen mereka pun mencoba memasukkan pengaruh, sehingga merekalah yang berkuasa. Kita masih ingat bahwa dalam kitab-kitab Perjanjian Lama yang menjadi pegangan mereka, tidak ada pengajaran tentang hari kiamat. Agama orang Yahudi itu terlebih banyak mementingkan kepada urusan dunia, kepada harta benda. Kehidupan riba (rente) adalah ajaran orang Yahudi. Negeri Amerika Serikat yang begitu besar dan berpengaruh, terpaksa menutup kantornya dua hari dalam seminggu. Bukan saja pada hari Ahad, sebagai hari besar Kristen, tetapi Hari Sabtu pun tutup. Sebab yang memegang keuangan di Wallstreet (New York) adalah bankir-bankir Yahudi. (Kini di Indonesia ditiru juga, sejak tahun 1996-an, bahkan kantor-kantor pemerintah pun sebagian ikut tutup pada hari Sabtu, dan tetap buka pada Hari Jum’at, bahkan biasanya Satpam/ penjaga keamanannya sangat sulit untuk berjum’atan, sekalipun mereka Muslim dan bekerja di Departemen Agama, pen). Sebab itu maka segala sesuatu kelancaran ekonomi di tangan Yahudi. Sedangkan di Amerika lagi demikian, apatah lagi di negeri-negeri lain. Gerakan Vrijmetselar, gerakan Masoniah (Freemasonry, pen), dan beberapa gerakan internasional yang lain, tempuknya dalam tangan Yahudi. Dunia Islam tidak perlu masuk agama mereka, asal turutkan pengaruh mereka. Negeri-negeri Islam yang besar-besar terpaksa mendirikan bank-bank, menjalankan niaga dan ekonomi berdasarkan kepada riba, baik riba besar atau riba kecil; terpaksa memperlicin hukum riba supaya bernafas untuk hidup, tidak dapat mencari jalan lain, sebab seluruh dunia telah dikongkong oleh ajaran Yahudi. Sedikit orang Yahudi yang berpencar-pencar di seluruh dunia dapat mendirikan sebuah negara Yahudi, mereka beri nama Israel, di tengah-tengah negeri orang Arab, dengan dibantu oleh Kerajaan Inggeris dan Amerika, bahkan mendapat pengakuan pertama dari Rusia Komunis. Semuanya inilah yang diisyaratkan oleh ayat yang tengah kita tafsirkan, bahwasanya orang Yahudi dan Nasrani belum merasa puas hati, sebelum kita penganut ajaran Muhammad mengikuti ajaran mereka. Ini bukanlah ancaman yang menimbulkan takut, tetapi sebagai perangsang supaya kaum Muslimin terus berjihad menegakkan agamanya, dan melancarkan dakwahnya. Karena selama kaum Muslimin masih berpegang teguh kepada ajaran agama yang dipeluknya, mengamalkannya dengan penuh kesadaran, tidaklah mereka akan runtuh lantaran usaha kedua pemeluk agama itu. Sebab ayat telah menegaskan, bahwasanya petunjuk yang sejati tidak ada lain, melainkan petunjuk Allah. Pengantar Penulis Alhamdulillahi Rabbil ‘alamien Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw, para keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman. Amma ba’du. Buku ini kami beri judul Ada Pemurtadan di IAIN, isinya mengenai bukti-bukti kenyelenehan (keanehan) pendapat yang muncul dari kampus-kampus Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, yakni di IAIN (Institut Agama Islam Negeri), UIN (Universitas Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) , dan STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta) di Indonesia, dan apa yang melatar belakanginya. Kenyelenehan itu sudah merajalela ke mana-mana dan telah membahayakan bagi Islam dan umatnya, apalagi justru ada gejala bahwa kenyelenehan itu menjadi system pendidikan tinggi Islam di Indonesia, yang arahnya menjauhkan umat Islam dari agamanya yang benar. Pembunuhan secara fisik yang terjadi di mana-mana di dunia ini, biasa disebut sebagai kesadisan. Namun pembunuhan secara non fisik yaitu membunuh iman tauhidi diganti dengan kemusyrikan dengan nama pluralisme agama adalah lebih sadis dibanding pembunuhan fisik. Apalagi pembunuhan iman ini justru dilaksanakan secara sistematis, terencana rapi, dan secara serempak, didanai oleh negeri ini dan Barat. Maka jauh lebih sadis dibanding pembunuhan massal. Karena, orang-orang yang dibunuh fisiknya, ketika mereka itu imannya di dada masih utuh, maka insya Allah masuk surga. Sedang kalau pembunuhan massal itu yang dibunuh adalah iman di dada, di ganti dengan kemusyrikan yang namanya dimenterengkan menjadi pluralisme agama, maka jurusannya adalah neraka selamanya. Baik pembunuhan iman maupun pembengkokan pemahaman Islam serta penjauhan umat dari sumber-sumber otentik/ murni Islam, semuanya itu adalah aksi sadis yang memusuhi Islam dan umatnya. Di samping adanya masalah sangat serius seperti itu, masih ada masalah sangat serius yang lainnya lagi, yaitu keilmiahan yang dipereteli secara sistematis pula, sehingga yang ada justru sosok-sosok memalukan yang bicaranya tidak lebih baik ketimbang seniman jalanan. Bukti-bukti berikut ini yang akan berbicara. Mengklaim Diri Tambah Hebat Ada perkataan-perkataan orang yang ketika kehabisan hujjah (argumentasi) lalu mengklaim dirinya sebagai orang yang tambah khusyuk, tambah luas ilmunya dan sebagainya ketika memakai metode atau pemahaman yang dianggapnya benar, padahal tidak sesuai dengan Islam. Kalau yang berbicara itu hanya orang awam agama yang tidak berkecimpung dalam dunia keilmuan atau perguruan tinggi Islam ataupun masyarakat luas, maka pembicaraan ngawur tentang agama tidak punya pengaruh apa-apa, kecuali pada dirinya atau teman dekatnya yang setia. Namun kata-kata ngawur hanya berhujjah dengan klaim tentang dirinya, dan itu dilakukan oleh doctor-doktor di perguruan tinggi Islam, sangat berbeda masalahnya. Untuk lebih jelasnya, perlu diberi contoh nyata. Khabar dari Adian Husaini, aktivis KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), dia berdiskusi di Kampus Paramadina Jakarta, Rabu 22/5 2002 dengan Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer (keduanya dosen Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, dan Martin Sinaga tokoh Kristen dari Teologia, di hadapan mahasiswa pascasarjana Paramadina Jakarta. Nurcholish berpanjang kalam tentang fahamnya yang pluralis (menyamakan semua agama) lalu pergi. Setelah itu Adian membaca surat Nurcholish Madjid tentang kasus akan menikahnya puteri Nurcholish dengan lelaki Yahudi. Surat electronik (email) dari Nurcholish Madjid itu ditujukan kepada puterinya, Nadia di Amerika, Agustus 2001, yang mau kawin dengan David, Yahudi (kemudian dinikahkan oleh Nurcholish Madjid dengan akad universal, bukan akad agama, September 2001). Adian punya copian surat itu karena kasus pernikahan puteri Nurcholish Madjid (Muslimah) dengan lelaki Yahudi itu diberitakan di Majalah Media Dakwah, lalu Nurcholish Madjid memberikan copian surat dari dirinya untuk puterinya itu kepada Redaksi Media Dakwah, sedang Adian Husaini adalah salah satu penulis di majalah itu. Isi surat Nurcholish Madjid itu kemudian dibacakan Adian Husaini di Paramadina dalam acara 22/5 2002, yang baru saja Nurcholish berbicara panjang lebar tentang fahamnya yakni pluralisme agama (menyamakan semua agama), tetapi lalu pergi. Nah, saat tidak ada Nurcholish itulah suratnya dibaca oleh Adian, yang isinya sangat bertentangan dengan uraian Nurcholish Madjid yang baru saja usai. Surat Nurcholish Madjid kepada puterinya itu berisi bahwa kalau sampai terjadi antara puterinya dengan lelaki Yahudi yang dimaksud, maka menurut Nurcholish Madjid –dalam suratnya– termasuk dosa terbesar setelah syirik… Hadirin diskusi di Paramadina itu kaget, kata Adian. Lalu Kautsar Azhari Noer (petinggi di Paramadina dan dosen UIN –Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN—Jakarta) berkilah, dengan jadi orang pluralis ternyata dirinya merasa lebih khusyuk, dan dia katakan, kalau yang masuk surga hanya orang Islam, maka betapa sedikitnya, karena penduduk dunia ini yang Islam hanya sedikit. Cerita Adian itu dalam bentuk-bentuk yang hampir sama, mudah ditemukan di sana sini. Misalnya, ungkapan yang hampir sama modelnya dikemukakan pula oleh seorang dosen UIN/ dahulu IAIN Jogjakarta, bahwa dengan hermeneutika (metode tafsir Bible) maka dirinya tambah luas pengetahuannya tentang tafsir Al-Qur’an. Dosen ini berbantah dengan Muchib Aman Aly keponakan KH Muhammad Subadar Pasuruan Jawa Timur di Muktamar NU di Donoudan Boyolali/ Solo Jawa Tengah, November 2004. Dosen IAIN Jogja itu mengatakan: “…Justru dengan hermeneutika pemahaman saya terhadap Al-Qur’an bertambah.” Syukurlah kalau begitu. Hanya saja, menurut penuturan Adian Husaini ketika mengadakan workshop tentang Bahaya Hermeneutika menurut Islam, di Jogjakarta, Ramadhan 1425 H, ada dosen IAIN yang mengaku mengajarkan ilmu tafsir dan juga hermeneutika (metode tafsir untuk Bible) marah-marah dan mempertahankan hermeneutika di depan Adian Husaini, Hamid Fahmy Zarkasyi, dan Adnin Armas; ketiganya aktivis Indonesia, kandidat doctor yang berkuliah di Malaysia yang mengemukakan bahwa hermeneutika adalah parasit/ benalu bagi Islam. Lalu sang dosen yang mengaku mengajar ilmu tafsir dan hermeneutika itu ditanya, ayat mana saja yang perlu memakai hermeneutika dan ayat mana saja serta kapan yang memerlukan ilmu tafsir. Ternyata dosen itu tak bisa menjawab. Pengakuan bahwa dirinya tambah khusyuk dengan jadi orang yang berkeyakinan pluralisme agama (menyamakan semua agama), lebih tambah pemahamannya tentang Al-Qur’an dengan memakai hermeneutika, itu bukan kata-kata yang ilmiah.1 Itu sama saja dengan celoteh Nurul Arifin (beragama Islam), artis yang dulunya suka berpakaian minim, mengaku bahagia nikah dengan lelaki Nasrani 2. Atau satu strip di atas pengakuan seniman perempuan derigent orkestra T&T, Tia Subiakto, yang tak berjilbab 3 lagi, lalu menyatakan, Daripada saya berjilbab tapi masih selingkuh…., biarpun saya tak berjilbab tapi masih tetap sholat dan berkarya (seni). Biarpun orang menghujat atau saya dilempari telur busuk sekalipun, saya siap. Saya melepas jilbab bukan keterpaksaan, tapi atas kesadaran sendiri. 4 Dari contoh-contoh itu bisa ditarik beberapa masalah: Berbicara masalah agama, masalah yang sangat memerlukan kecermatan, keakuratan, dan kehati-hatian, cukup dicelotehi dengan berdasarkan klaim tentang apa yang mereka rasakan dan tekadkan. Berbicara tentang pelanggaran agama atau yang membahayakan bagi agama, cukup dikilahi dengan keberanian dirinya yang melanggar atau menjalani bahaya itu, sambil mengklaim bahwa itu lebih menambah ini dan itu yang sifatnya positif. Sehingga justru berbalikan dari aturan agama itu sendiri, yang pada dasarnya hal-hal yang dilarang atau diberi tahu bahwa itu bahaya, mesti karena ada mudhorotnya. Tetapi oleh pelanggar-pelanggar ini justru dikilahi bahwa justru melanggar dan masuk kepada yang bahaya ini lebih positip. Berbicara agama tidak ada lagi bedanya antara yang bergelar ilmuwan –apalagi bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi Islam-- dengan artis-artis yang awam agama dan agamanya hanya sebagai polesan, yang dulu dikenal dengan istilah “Islam abangan” atau “Islam KTP” (kartu tanda penduduk. Ada muballigh yang berseloroh, kalau Islamnya hanya Islam KTP, maka kelak yang masuk surga bukan orangnya, tapi KTP-nya). Dua jenis profesi, yang satu dosen di perguruan tinggi Islam negeri, dan satunya lagi di dunia pernyanyian – perfilman, punya pengaruh besar di masyarakat. Yang satu memberikan tuntunan dan yang satunya lagi menjadi tontonan; tetapi kedua-duanya sama-sama sengak (tidak enak) omongannya, dan membahayakan bagi agama. Masyarakat sekarang banyak yang “dibina” oleh dua kelompok itu, pendidik dan artis –seniman. Karena kedua-duanya banyak pengaruhnya di masyarakat. Kalau kedua-duanya ternyata rusak bahkan membahayakan bagi agama, maka agama masyarakat sangat terancam. Kenapa bisa terjadi yang demikian, yaitu ilmuwan yang berkecimpung untuk menyebarkan ilmu-ilmu Islam kepada generasi penerus, justru pemikiran dan pemahaman mereka sendiri sudah rusak? Untuk menjawab pertanyaan itu perlu ditelusuri sebab-sebab yang melatar belakangi kerusakan pemikiran dan pemahaman mereka. Sampai omongan dan pendapat mereka tidak lebih dari omongan sampah artis-artis pelanggar agama, itu sebenarnya sudah amat sangat memalukan. Namun, tidak cukup hanya sekadar tahu bahwa itu memalukan plus membahayakan. Masih perlu tahu pula latar belakang dan penyebabnya, hingga agar tahu bahwa ada rancangan yang lebih dahsyat lagi untuk menghancurkan Islam ini. Rancangan Dahsyat Untuk Menjauhkan Umat Dari Sumber-sumber Islam Untuk menjelaskan itu, pembaca yang budiman, izinkanlah saya sedikit berkisah tentang pengalaman hidup. Saya waktu kuliah di IAIN Jogjakarta 1974-1980 banyak berada di seantero komplek IAIN, di perumahan dosen (karena bekerja di percetakan milik seorang dosen), sedang tempat main saya adalah Wisma Sejahtera tempat awal-awal diadakan pendidikan purna sarjana bagi dosen-dosen IAIN se-Indonesia, yang disebut SPS, Studi Purna Sarjana, atau PGS Post Graduate Study (sebelum adanya S2 dan S3 di IAIN). Pendidikan itu selama 6 bulan, diasramakan, secara berganti ganti, tiap angkatan ada sejumlah dosen yang dididik oleh Harun Nasution dari Jakarta dan lainnya. Hampir tiap sore saya main volley bersama para dosen utusan dari berbagai IAIN se-Indonesia itu. Tetapi tidak berarti saya bergaul dengan seluruh angkatan. Saya sempat bergaul akrab dengan angkatan 1977 seperti Pak Muhyiddin Suwondo dan Pak Umar Said dari IAIN Surabaya, Pak Lantif, Pak Musthofa Sonhadji Kudus dan lain-lain. Malahan saya diberi semua makalah yang dibuat oleh seluruh peserta SPS dari seluruh Indonesia tentang seluruh pembahasan selama 6 bulan yang telah didiskusikan di pendidikan khusus para dosen itu. Entah kenapa Pak M. Khozin Siraj (almarhum) alumni Mesir, dekan Fakultas Adab IAIN Jogjakarta, memberikan seluruh makalahnya (dari seluruh peserta) kepada saya. Memang beliau suka meminta saya untuk membuatkan makalah saat itu. Dari seluruh makalah itu, semua arahnya adalah apa yang sekarang dijadikan arahan kurikulum yang sifatnya apa yang mereka sebut sosio historis plus filsafat. Sehingga tidak mengherankan, kini pendidikan tinggi Islam di Indonesia, mata kuliah dasarnya, yaitu yang seluruh mahasiswa harus ikut, dan kalau swasta harus ujian negara, adalah mata kuliah SPI (Sejarah Pemikiran Islam) dan SKI (Sejarah Kebudayaan/ Peradaban Islam). SPI itu sendiri isinya tentang sekte-sekte dalam Islam, tasawuf (falsafi), dan filsafat Islam. Termasuk dalam materi kuliah filsafat Islam itu Ar-Razy yang tidak percaya wahyu dan kenabian. Aneh, orang semacam itu bisa dimasukkan dalam jajaran filosuf-filosuf Islam. Sedangkan ketika membahas sekte-sekte, tidak pernah ada tarjih, mana yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka akibatnya semua sekte dianggapnya sama saja, boleh-boleh saja, sampai yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad pun ketika dibahas tidak dipandang dari segi pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj Ahlus Sunnah, tetapi ya model pemahaman Ahmadiyah. Maka dianggapnya sah-sah saja. Kemudian SKI pun pembahasannya tidak seperti pelajaran Tarikh Islam yang memakai sanad (pertalian riwayat) ataupun keterangan yang shahih. Sehingga mahasiswa boleh-boleh saja mengecam Utsman bin Affan ra sahabat Nabi saw sebagai nepotisme. Makanya ketika ada orang yang kini menyuarakan bahwa Mushaf Utsmani mengalami copi editing oleh para sahabat, atau tangan kekuasaan, ternyata tidak terdengar dampratan dari pihak IAIN. Dalam makalah-makalah SPS para dosen IAIN se-Indonesia tersebut, tidak ada pendalaman ilmu tafsir, tafsir, ulumul Qur’an, hadits, mushtolah hadits, fiqh, ushul fiqih dan ilmu-ilmu syari’ah secara mendeteil. Tidak. Bahkan aqidah yang menjadi fondasi Islam ini pun tak dibahas sesuai dengan ilmu Tauhid yang memakai dalil-dalil secara mendeteil. Yang dibahas hanyalah ilmu kalam yang sudah bercampur filsafat. Hanya ilmu kalam dan sekte-sekte itulah yang diperpanjang-panjangkan pembahasannya. Pembahasan filsafat sangat diperdalam sampai ada filosuf-filosuf Barat, filosuf Islam dan sebagainya. Juga para penyeleweng bahkan dipuji sebagai pembaharu dalam Islam. Sebagai contoh, makalah Karya Ilmiyah Wajib, disusun dalam rangka kuliah Pemikiran dalam Islam dan Alam Pemikiran Modern dalam Islam, dengan guru Besar Dr Harun Nasution, berjudul Rifa’a Badawi Rofi’I Al-Thahtawi (1801-1873). Di antara isinya: “Lebih maju lagi pendapatnya tentang kedudukan wanita. Misalnya bahwa pergaulan laki-laki dengan wanita tidaklah akan membawa kerusakan, malah akan sama-sama menjaga kepribadian masing-masing, kalaupun ada maka dianggap seseorang penghianat atau amoral. Begitu pula halnya bepergian bersama antara laki-laki dengan wanita. Suatu contoh lagi dikemukakannya, bahwa apa yang dilihatnya di Paris tentang dansa lebih baik dari tari wanita yang ada di Mesir. Kalau dansa tidaklah akan menimbulkan hal-hal yang negatif, lain halnya dengan tari di Mesir.” Dalam karya yang disebut ilmiyah wajib itu kemudian diakhiri dengan kesimpulan, dan kesimpulan nomor satu adalah: “Al-Thahtawi dianggap sebagai generasi pertama dalam alam pembaharuan pemikiran di Mesir abad ke-19.” Malahan sebelum kesimpulan itu ada opini penulisnya: “Secara tidak langsung Al-Thahtawi telah membangun bangsa Mesir waktu itu yang statis dan patalis menjadi umat yang dinamis dalam mengejar kemajuan dan kejayaan.” Itulah contoh nyata karya ilmiyah wajib yang sekarang namanya jadi keren, SPI (Sejarah Pemikiran Islam), saat itu namanya Pemikiran dalam Islam dan Alam Pemikiran Modern dalam Islam, dengan guru besar Dr Harun Nasution. Di situ tidak ada dalil secuil pun untuk membantah pendapat penyeleweng yang justru disebut sebagai “sang pembaharu generasi pertama di Mesir itu”. Yang ada justru pujian. Seperti itulah arahnya. Dan itu bukan sekadar dosen yang dibimbing Harun Nasution, justru Harun sendiri pula yang mengobarkan Thahtawi --yang menghalalkan ikhtilath (campur aduk laki perempuan dan dansa-dansi) itu sebagai pembaharu (dalam Islam) lewat buku Harun yang menjadi bacaan/ pegangan di IAIN-IAIN. Hingga dalam buku saya Bahaya Islam Liberal masalah ini saya kemukakan sebagai berikut: Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam. Pemerkosaan seperti itu diujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya Harun Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –Sejarah dan Gerakan, terbit pertama 1975. Dalam buku itu, pokoknya hantam kromo, semuanya adalah pembaharu atau modernis. Sehingga yang revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang mengembalikan Islam sebagaimana ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis. Mendiang Prof Dr Harun Nasution alumni McGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49). Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda, tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen). Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda: Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama). Benarlah Rasulullah SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi. 5 Langkah penjauhan dari materi-materi dasar aqidah dan syari’ah dialihkan kepada materi-materi yang menjejali pikiran menjadi orang yang tak mengikuti Islam dengan baik ini sudah diprogramkan secara nyata. Ketika para dosen itu disibukkan dengan aneka filsafat, aneka sekte, aneka pemikiran aneh dan tak sesuai dengan Islam, maka penggiringan ke arah apa yang kini disebut sosio histories plus filsafat itu sudah dibuat jalur landasannya. Kemudian mereka tampaknya ada yang dikuliahkan ke S2 dan S3, lalu jadi doctor-doktor. Sebagian memang dikuliahkan ke negeri-negeri Barat untuk belajar Islam kepada orang kafir, dan sebagian berkuliah di pasca sarjana IAIN sendiri (sebagai bentuk baru setelah adanya SPS itu tadi) diasuh oleh guru besar anak asuh orientalis dan didatangkan pula orientalis dari Barat ke IAIN. Hingga ketika di antara mereka sudah jadi doctor bahkan guru besar di Jakarta, dan ternyata saya jadi muridnya lalu saya bantah beliau karena pemikirannya jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka beliau mengeluarkan kata-kata dengan wajah memerah: “Dari mana Anda belajar?!” “Ya, dari PGA (Pendidikan Guru Agama), lalu IAIN, Pak” jawabku tanpa menyebutkan bahwa makalah-makalah beliau dan teman-temannya se-Indonesia yang tak lain arahnya adalah penggiringan ke arah penjauhan dari pemahaman Islam yang benar itu sudah ada di tangan saya sejak lama. Dengan arah pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam se-Indonesia seperti itu, yaitu yang penekanannya justru ke arah sosio histories plus filsafat, yang secara sistematis menyingkirkan ilmu-ilmu Islam yang baku serta metode keilmuan Islam, maka ada dua hal prinsip yang telah dibelokkan. Epistemologi 6 yang dimiliki oleh para dosen yang sudah dirancang sedemikian rupa itu tadi sudah jauh dari epistemology Islam. Sehingga ketika berbicara tentang Islam, maka sudah tidak seperti yang dikemukakan oleh para ulama (salafus shalih). Materi ilmu yang dimiliki para dosen yang ditingkatkan pendidikannya itu bukan materi ilmu-ilmu yang berupa ilmu Islam yang materinya wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan perangkat-perangkat ilmu yang telah diwariskan oleh para ulama. Tidak dimiliki pula manhaj (metode pemahaman) yang sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’en sebagai generasi terbaik yang paling faham tentang Islam. Dengan dua problem mendasar yang amat sangat berbeda jauh dengan kebutuhan dan ilmu Islam itu, maka ketika mereka berbicara Islam, tidak berbeda dengan artis Nurul Arifin ataupun seniman Tia Subiakto yang dengan seenak perutnya sendiri berceloteh tentang agama, dengan dalih apa yang dirasakan di dalam dirinya. Sementara itu mereka ini duduk di perguruan tinggi Islam, mengajar tentang Islam. Di samping itu mereka sebenarnya hanyalah sebagai ujung-ujung tombak dari tangan-tangan yang membuat system sekularisasi. Dan itu biangnya adalah Barat. Di saat negeri ini banyak ketergantungannya kepada Barat, maka tenaga-tenaga pengajar Islam di Perguruan Tinggi Islam ini menjadi ujung-ujung tombak kepentingan negeri ini dan Barat. Semuanya (negeri ini dan Barat) tidak ada yang tulus ikhlas bila Islam bisa difahami oleh umat Islam seperti apa adanya, sesuai dengan materi dan manhaj yang benar. Untuk bekerja seberat itu, yaitu menghadapi Islam yang benar, sebenarnya mereka berat, karena bagaimanapun, Islam adalah agama yang haq/ benar, dan secara keilmuan telah amat sangat mantap dibanding ilmu agama-agama apapun di dunia. Lebih berat lagi, senjata yang diberikan oleh Barat di antaranya hermeneutika (metode tafsir Bible) yang sudah difilsafatkan dan mampu melumerkan Kristen hingga Kristen bisa tunduk kepada Barat; sementara masih ditolak oleh umat Islam. Dan kalau toh dipakai, yang akan jadi korban adalah para pelaksana-pelaksananya, yaitu para dosen-dosen IAIN itu sendiri. Karena, Islam ini tidak sekeropos agama Yahudi dan Nasrani yang bisa ditembus dengan hermeneutika untuk diBaratkan. Sementara itu tenaga-tenaga IAIN itu tak secanggih orientalis-orientalis itu sendiri. Karena kadar mereka dalam keilmuan Islam itu sendiri masih kalah dengan ulama, sedang kadar kefilsafatan juga kalah dengan orientalis, padahal Agama Islam yang mau mereka garap ini lebih tegar dibanding agama Yahudi dan Kristen. Sebenarnya bisa diucapi kasihan mereka itu (bahasa pelawaknya, kasihan deh lu) jadi agen-agen Barat yang kerjanya lebih berat. Itu dari segi pemandangan lahiriyah. Belum dari segi agama, apakah mereka tidak takut Allah swt, bahwa Islam itu agama Allah? Janganlah kalian jadi Abrahah-Abrahah yang demi menjilat atasannya di seberang lautan atau demi kedudukan lalu berani menyerang Ka’bah milik Allah swt. Dan janganlah IAIN-IAIN, UIN, STAIN dan STAIS se-Indonesia ini dijadikan sarang-sarang untuk menciptakan wadyabala Abrahah yang akibatnya dihujani batu dari neraka sijjil oleh Allah swt. Atas keprihatinan seperti itulah buku ini saya tulis. Karena saya adalah salah satu dari yang dulunya diasuh di IAIN. Dan apa yang saya katakan ini esensinya dirasakan pula oleh ulama yang ada di dalam IAIN, misalnya Pak Roem Rawi di IAIN Surabaya. Dengan demikian, mudah-mudahan buku ini menjadi semacam salah satu peringatan sebelum semuanya jadi rusak dan dimurkai Allah swt. Keridhoan manusia apalagi manusia kafir sebenarnya sama sekali bukan tujuan. Tetapi kalau di dunia ini pencarian keridhoan orang kafir itu jadi semacam trend, maka itu musibah besar, apalagi dilaksanakan secara sistematis dan dibiayai oleh negara dan duit umat Islam. Itu sangat ironis, berbahaya, dan mencelakakan. Untuk terwujudnya buku ini banyak harus saya ucapkan terimakasih kepada para ulama, ustadz, da’I, aktivis penuntut ilmu, sahabat-sahabat dan handai taulan yang memberikan aneka kemudahan dan dorongan untuk terwujudnya buku ini. Lebih dari itu tentu saja kami bersyukur alhamdulillah kepada Allah swt yang Maha Memberi anugerah kepada hamba-Nya. Kepada saudara-saudaraku dan teman-teman yang kemungkinan kejatuhan durian runtuh, maka saya berharap, ambil isinya, dan buang kulitnya. Mungkin kulitnya nampak kasar dan berduri, namun itu justru untuk melindungi isi yang perlu disampaikan bersama kulit yang khasnya begini. Bagaimanapun, kami yakin, buku ini banyak kekurangannya, maka kami berharap kepada para pembaca yang budiman untuk menyampaikan saran-saran yang membangun, yang kemungkinan bisa untuk perbaikan dalam penerbitan berikutnya, insya Allah. Akhirnya, hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada-Nya kami minta pertolongan. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kami, keluarga, dan umat Islam pada umumnya. Amien ya Rabbal ‘alamien. Jakarta, Selasa 13 Muharram 1425H/ 22 Februari 2005M Penulis: Hartono Ahmad Jaiz -------------------------------------------------------------------------------- FOOTNOTE 1. Kenapa sebagai dosen di UIN dan Paramadina serta perguruan tinggi Islam lainnya tetapi pernyataannya seperti itu? Padahal sudah jelas ancaman neraka kepada siapa saja yang tak beriman, dan itu adalah justru kebanyakan dari manusia ini. Allah telah menegaskan: Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur'an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur'an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud: 17). Di sini setelah adanya Al-Qur’an, yang beriman kepada Al-Qur’an itu hanyalah orang Islam. Sedang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an itu diancam pasti akan dimasukkan ke neraka. Jadi selain orang Islam akan masuk neraka semuanya, dan yang masuk surga hanya orang Islam. 2. Ayat tentang larangan lelaki non Muslim / kafir menikahi wanita Muslimah di antaranya ayat 10 Surat Al-Mumtahanah: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Mumtahanah/ 60: 10). 3. Kewajiban berjilbab (menutupi seluruh tubuh wanita dan berkerudung) di antaranya dikemukakan dalam ayat: Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (QS Al-Ahzaab: 59). Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. (QS An-Nur: 31). 4. (Dia bicara di televisi swasta Februari 2005, tetapi bukan berarti penulis menonton televisi, apalagi acara semacam itu. Penulis mengemukakan ini dari hasil bertanya kepada orang yang menontonnya, karena ada keperluan untuk membandingkan celoteh seniman yang terang-terangan mencopot jilbabnya dengan dosen-dosen UIN/ IAIN yang mengaku lebih khusyuk dan lebih tambah pemahamannya dengan cara yang tak sesuai dengan Islam). 5. Ali Juraisyah, Asaaliibul Ghazwil Fikri lil 'Aalamil Islami, hal 13. (Lihat, Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama, Januari 2002, halaman halaman 24-25). 6. Epistemologi (Inggris epistemology), bagian dari falsafat, yang membahas asal mula, bentuk/ struktur, dinamika, benar – salahnya, dan metodologi yang bersama membentuk pengetahuan manusia. (Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, jilid 2, halaman 945). Pengantar Penulis Cetakan II Alhamdulillahi Rabbil ‘alamien Sholawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Amma ba’du. Buku Pemurtadan di I A I N ini alhamdulillah mendapatkan sambutan yang sangat menggembirakan. Penyebarannya pun begitu cepat. Hingga rekan-rekan di berbagai kota pun dalam jangka seminggu setelah buku ini terbit, mereka mengabari bahwa telah membacanya. Tidak ketinggalan pula ada pemerhati yang karena tidak bisa menghadiri acara bedah buku ini di Islamic Book Fair, Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret 2005/ 17 Shafar 1426 H –karena di luar Jawa misalnya—mereka memesan VCD-nya. Rupanya mereka penasaran, karena buku yang judulnya tampak “menghantam” IAIN ini justru dibedah oleh seorang dosen IAIN pula, yakni Dr Roem Rowi, dosen Tafsir Al-Qur’an di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumni Al-Azhar Mesir. Lima ratus orang lebih tampak bersimpuh lesehan dengan khusyuk mendengarkan uraian selama dua setengah jam dalam acara bedah buku ini. Semua itu merupakan karunia Allah swt yang wajib disyukuri. Meskipun demikian, daya tariknya bukan lantaran bagusnya buku ini. Juga bukan lantaran cetaknya mewah. Bukan. Cetaknya sesuai standar, sedang bagusnya isi –ya, masa’ saya yang menilai-- perlu dicermati dulu. Tetapi yang jelas, ketika disebut IAIN, maka setiap orang memiliki gambaran, kesan, dan pengalaman sendiri-sendiri. Ambil contoh, seorang dosen senior di bidang filsafat di Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur yang telah kenal pengajian salaf, tertarik dengan buku ini dan beliau memesan VCD bedah buku. Itu secara lahiriyah bisa ditelusuri, ada kesan yang melekat di dalam pengalaman hidupnya. Di antaranya, musim haji tahun 1425H, guru ngaji beliau sedang berhaji ke Makkah. Maka sang guru yang alumni Al-Azhar Mesir dan Ummul Quro Makkah digantikan oleh seorang alumni IAIN. Tahu-tahu ajarannya tidak berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, tetapi banyak berlandaskan logika-logika, cerita-cerita, dan duga-duga. Serta merta ustadz yang sedang berhaji di Makkah dikontak, dan pengajian dengan guru dari IAIN dicukupkan sampai di situ saja. Itu satu contoh. Aneka contoh sebenarnya bisa kami kemukakan, berupa lontaran-lontaran yang tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dari para alumni IAIN bahkan dosen-dosennya yang kami alami langsung di berbagai kota, bahkan peristiwa yang kami sendiri sebagai alumni IAIN malu. Contohnya, dalam acara bedah buku di IAIN Alauddin Makassar, setelah adu argumentasi --mengenai sesatnya aliran-aliran sesat dan Islam Liberal-- mereka tak mampu mengemukakan dalil, maka saya dikroyok secara fisik. Itu terjadi di IAIN Alauddin Makassar satu setengah tahun lalu. Hingga saya dilarikan oleh para panitia, dan alhamdulillah selamat. Sebenarnya, masyarakat sangat membutuhkan para alumni IAIN untuk membimbing keislaman. Namun kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan baik, lantaran sajian yang diberikan oleh alumni IAIN, kebanyakan tidak sesuai standar ilmu Islam. Ilmu Islam itu materinya Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang manhaj (metode pemahamannya) yang selamat adalah manhaj salafus shalih. Yaitu metode pemahaman generasi terbaik dalam Islam, yakni Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in; yang semua itu sudah disusun ilmu-ilmunya oleh para ulama, dan sampai kepada kita sekarang ini. Semua itu bisa diverifikasi, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang shahih dan mana yang dho’if/ lemah bahkan palsu (maudhu’). Sehingga sampai sekarang tetap ketahuan, mana yang benar-benar sabda Nabi saw dan yang bukan. Bahkan sampai perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama yang terkemuka pun bisa dilacak. Jadi keutuhan sumber Islam itu masih terjaga, bahkan penjelasan-penjelasannya pun masih terjaga dan bisa dideteksi shohih tidaknya. Materi Islam yang memang masih utuh dan perlu didakwahkan kepada masyarakat itu tidak dimiliki oleh para alumni IAIN –kecuali sebagian kecil yang rajin menuntut ilmu sendiri--, karena memang di perguruan tinggi yang labelnya Islam itu tidak menyajikannya sedemikian itu. Justru di sana disajikan pemikiran-pemikiran dan sejarah budaya, sebagai mata kuliah dasar, yang itu semua bukan materi Islam, dan cara mengajarkannya tanpa sanad (pertalian riwayat), hingga bukan mengikuti manhaj islami. Pengajarannya secara liar, yaitu dibebaskan berkomentar semau pikiran masing-masing. Tidak mengherankan kalau ada mahasiswa yang dengan lantang mengecam Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan sebagainya. Karena system pengajarannya tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan Assunnah, dan tidak pakai manhaj yang ditempuh para ulama salafus shalih. Bahkan ketika membicarakan pemikiran sekte-sekte sesat, misalnya Ahmadiyah yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad pun tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, tetapi pakai pemahaman Ahmadiyah itu pula. Akibatnya, semua sekte sesat pun dianggapnya sah-sah saja. Dan itu kemudian ditingkatkan kepada pemikiran jenis tasawuf falsafi yang sampai menganggap alam ini perwujudan Tuhan, hingga menyembah patung pun dianggapnya menyembah Tuhan, karena patung itu perwujudan Tuhan. Faham wihdatul wujud ini jelas kufur. Dan itulah pemurtadan. Masih pula ditambah lagi dengan pemikiran filsafat, yang memasukkan Ar-Razi yang tak percaya kepada kenabian dan wahyu ke dalam mata kuliah filsafat Islam. Materi-materi yang memurtadkan itu diberi label Sejarah Pemikiran Islam, dan justru menjadi mata kuliah dasar, semua mahasiswa harus ikut. Dan kalau swasta harus ujian negeri. Akibatnya, ketika para alumni IAIN itu keluar, bergelar sarjana agama, master agama, dan doctor ilmu agama, mereka tidak berbekal materi Islam yang utuh –seperti uraian di atas--, tetapi hanya berbekal landasan pemikiran-pemikiran, sejarah budaya peradaban dan semacamnya. Hingga ketika dibutuhkan untuk menyajikan materi Islam yang utuh, mereka menggunakan logika-logika, bahkan ada yang pakai cerita-cerita rekaan dan duga-duga. Ini bukan semata-mata kesalahan para alumni IAIN, namun adalah kesalahan system pengajaran, kurikulum, dan para dosennya. Karena system itu tampaknya diadopsi oleh Harun Nasution dan Mukti Ali (para petinggi di IAIN dan Departemen Agama masa lalu) dari orientalis Barat, sedang para dosen pengajarnya pun sebagian banyak asuhan orientalis di universitas-universitas Barat. Tambahan lagi, ketika kesalahan system itu didomplengi kepentingan-kepentingan yang arahnya justru menyamakan semua agama alias pluralisme agama, tidak membedakan Islam yang beraqidah Tauhid dengan yang lain berkeyakinan kekufuran, di situlah letak pemurtadannya. Lebih-lebih kini dibuka jurusan lintas kultur, dan bahkan kampusnya itu sendiri di Jakarta, konon dideklarasikan sebagai pusat pendidikan multi faith (bermacam-macam kepercayaan) sejak 19 Maret 2005. Kalau itu benar, maka sempurnalah pemurtadan itu, tinggal di sana didirikan gereja, pure, vihara, sinagog dan semacamnya. Padahal, seperti di Universitas Sam Ratulangi Manado Sulawesi Utara, menurut seorang anggota MUI Samarinda, umat Islam sampai kini belum mendapatkan haknya untuk mendirikan masjid di kampus itu. Sedangkan hari Jum’at itu hari masuk kuliah, dan berjum’atan itu wajib bagi umat Islam. Nanti kalau UIN Jakarta justru didirikan gereja, misalnya, maka ini sangat terbalik. Hari Ahad jelas libur, lagi pula kampus itu kampus berlabel Islam, dan menurut sejarahnya pun hadiah untuk umat Islam. Dari kenyataan yang memprihatinkan itu, buku Ada Pemurtadan di IAIN ini sebenarnya adalah membuka mata berbagai pihak, bahwasanya ada arah yang membahayakan bagi Islam dan umatnya selama ini, lewat jalur paling strategis yakni pendidikan tinggi Islam se-Indonesia, baik negeri maupun swasta. Mengakui kesalahan dan bertaubat dari kesalahan, kemudian tidak mengulanginya lagi itulah yang disukai oleh Allah swt. Sebaliknya, tidak dinilai taubat apabila pengakuan salah itu sudah diambang kematian. Dalam masalah pendidikan tinggi Islam se-Indonesia ini kesalahan sistematis itu merupakan program yang dicanangkan dan dilaksanakan serta dibiayai. Pada gilirannya, masyarakat sudah mengetahui kesalahan fatal itu, lebih-lebih di dalam kalangan IAIN dan Departemen Agama itu sendiri, sebagian mereka sangat menyadari masalah ini. Kini ada secercah sinar yang semoga akan jadi penerang ke jalan yang benar, disertai dengan program dan pelaksanaan yang tersusun rapi secara sistematis. Di antaranya Departemen Agama telah berkenan menghadirkan seorang ahli yang tak diragukan kepakarannya dalam membantah pembelokan-pembelokan para orientalis terhadap sumber-sumber utama Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dr Muhammad Mustafa Al-A’zami asal Hindia di Universitas King Saud Riyad telah dihadirkan ke Jakarta. Beliau berbicara di pameran buku Islam di Senayan Jakarta, di UIN Jakarta, dan di Departemen Agama RI, tanggal 2, 4, dan 5 April 2005. Menteri Agama H Maftuh Basuni tampak hormat dalam sambutannya, bahkan beliau mengemukakan contoh-contoh masalah yang menginterupsi Islam misalnya teori hermeneutika (metode penafsiran bible) yang di antaranya diusung oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Sikap yang serupa dengan Menteri Agama tampaknya disandang pula oleh para doctor yang hadir dalam pertemuan di Departemen Agama 5 April 2005. Faham Islam Liberal benar-benar mereka soroti sebagai faham yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membahayakan. Sampai-sampai Dr Nabila Lubis dari UIN Jakarta bertanya, adakah ayat yang membolehkan wanita muslimah dinikahi lelaki Kristen? Jawab Dr A’zami, Anda lebih hafal ayatnya, tetapi tentu saja tidak ada yang membolehkan hal itu. Menteri Agama beserta jajarannya dan para pakar tampaknya menyadari betul masalah besar ini. Dan kini bukan masanya lagi seperti yang dikatakan Dr Roem Rowi dari IAIN Surabaya, bahwa Menteri Agama masa lalu hanya mengikuti apa kata Dr Harun Nasution. “Perkataan Harun Nasution seakan qoululloh (Firman Allah)”, ungkap Dr Roem Rowi waktu bedah buku ini di depan lebih dari 500 hadirin, menjawab pertanyaan tentang kurikulum IAIN, seberapa peran Menteri Agama. Departemen Agama yang perannya bidang pembangunan rohani ini sering bisa berkilah bahwa hasil pembinaan rohani itu tidak segera bisa tampak. Lain dengan pembangunan fisik. Kini justru kondisinya tampak semua. Pembangunan fisik terutama ekonomi, makin njomplang. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, plus makin tambah jumlah manusia yang di bawah garis kemiskinan. Sedang pembangunan rohani, makin tampak nyata adanya pemurtadan secara sistematis, lewat jalur pendidikan tinggi Islam, dengan bukti-bukti makin banyaknya faham bahkan praktek yang jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menghalalkan nikah antara Muslimah dengan lelaki Kristen dan Yahudi pun sudah terang-terangan dan dipraktekkan, baik untuk orang lain maupun puterinya sendiri di lingkungan dosen IAIN. Kilah bahwa pembangunan rohani tidak mudah tampak hasilnya, kini berbalik kata, yaitu perusakan rohani sudah tampak hasilnya. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah kembali kepada jalan yang benar. Manusia ini telah bisa diperbaiki hingga menjadi manusia teladan di dunia hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan pendidikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah secara manhaj yang benar, secara sistematis dan intensif. Wadahnya sudah ada, tenaga-tenaganya pun tinggal difungsikan serta direkrut; sedang sistemnya tinggal disusun lalu diprogramkan dan dilaksanakan. Paling kurang, ada dua masalah besar yang harus dipecahkan. 1. Sistem pendidikan di perguruan tinggi Islam. 2. Para pemberi materi dan dari mana mereka belajar. Dalam hal system pendidikan Islam, sudah jelas bahwa fondasi Islam adalah Aqidah Tauhid. Sedang materinya adalah dua wahyu, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka system pendidikan yang Islami adalah menekankan Tauhid dan mendalami isi Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan aneka perangkat ilmunya. Allah swt telah memberikan penegasan: Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf: 108). Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya saw, memerintahkannya agar mengabarkan kepada setiap manusia dan jin tentang jalan yang ditempuhnya: Inilah jalannya, caranya, metodenya dan apa-apa yang dia lakukan, dan jalan yang dimaksud adalah mengajak manusia untuk bersaksi dan mengamalkan áÇÅáå ÅáÇ Çááå tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah, Maha Esa, tidak ada sekutu baginya. Di sini ajakan itu kepada Tauhid, Mengesakan Allah swt. Metodenya sudah ada, tinggal mengikuti Rasulullah saw. Pendidikan Islam hakekatnya adalah mengajak kepada Tauhid ini. Namun kenyataannya, di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, materi Tauhid itu sendiri tidak diajarkan. Hanya ilmu kalam, yang itu termasuk dalam Sejarah Pemikiran Islam. Padahal Tauhid inilah landasan paling utama. Bila landasannya ini salah, keropos, atau bahkan bolong, maka rusaklah agamanya. Semua itu sudah dituntunkan oleh Rasulullah saw. Tidak memerlukan teori-teori dari lain-lain, apalagi dari orang kafir ataupun yang membenci dan mempermasalahkan Islam. Masalah kedua, pemberi materi yaitu para dosen dan dari mana mereka itu menimba ilmu. Masalah dosen pengajar dan dari mana mereka belajar ini sangat prinsipil untuk dicermati. Karena yang diajarkan itu adalah wahyu Allah swt. Sehingga tidak bisa pengajarnya itu sembarang orang, apalagi orang yang ragu-ragu bahkan tidak percaya wahyu. Masalah ini bukan hal sepele atau remeh. Hingga Imam Muslim memberikan bab tersendiri, dan mengutip pernyataan Imam Ibnu Sirin: Riwayat dari Ibnu Sirin, ia berkata: Sesungguhnya ilmu (wahyu) ini adalah agama, maka waspadalah dari siapa kamu sekalian mengambil agama kalian. (Shohih Muslim juz 1 halaman 14). Dr Muhammad Mustafa Al-A’zami, tamu Menteri Agama RI, dalam bedah bukunya tentang The History of The Quranic Text, di Pameran Buku Islam di Senayan Jakarta, 2 April 2005, saya tanya: Bolehkah belajar Islam kepada orientalis di Universitas Barat? Beliau menjawab, kalau belajar ilmu-ilmu teknis dunia, boleh. Tetapi kalau belajar aqidah Islam, maka tidak boleh. Diagnose sudah dilakukan. Kesalahan fatal di Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia sudah tampak nyata. Kini tinggal terapinya. Jalan untuk menempuhnya pun sudah ditunjuki oleh Allah dan Rasul-Nya. Tinggallah para pelaksana yang kini diamanati untuk mengemban amanah itu untuk menunaikannya dengan benar. Umat Islam pun menunggunya dengan setia. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam, dan diridhoi oleh Allah swt, Amien ya Robbal ‘alamien. Jakarta, Rabu 27 Shafar 1426H / 6 April 2005. Penulis: Hartono Ahmad Jaiz Usulan Pembubaran Departemen Agama Usulan pembubaran Departemen Agama dikemukakan tokoh NU (Nahdlatul Ulama), di antaranya Dr Said Agil Siradj yang pernah bersaing dengan KH Hasyim Muzadi dalam pencalonan Ketua Umum NU menggantikan Gus Dur. Juga diusulkan oleh Dr Nur Muhammad Iskandar Al Barsyani –Ketua DPW PKB Jateng– yang juga setuju Republik Indonesia dijadikan negara sekuler. Terhadap gejala di tubuh NU semacam ini, Salahuddin Wahid, adik Gus Dur, tampak memperingatkan mereka dengan tulisannya, di antaranya sebagai berikut: “Duta Masyarakat Baru (koran orang NU yang muncul kembali di masa pemerintahan Gus Dur, pen) edisi 20 Mei 2000 menulis pendapat Dr Nur Muhammad Iskandar Al Barsyani –Ketua DPW PKB Jateng—yang intinya setuju Republik Indonesia dijadikan negara sekuler. Dr Al Barsyani mengusulkan juga untuk membubarkan Departemen Agama, usul yang pernah dikemukakan oleh Dr Said Agil Siradj beberapa tahun lalu yang sempat menimbulkan reaksi yang cukup keras di kalangan umat Islam. Pendapat ini dikemukakan lagi di harian yang sama pada tanggal 7 Juni 2000, yang menunjukkan bahwa masalah tersebut dianggap begitu penting.” Salahuddin menilai, pendapat Al Barsyani itu sama dan dipengaruhi oleh pendapat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang telah banyak menulis dan melontarkan pendapat di berbagai kesempatan. Keberadaan Departemen Agama, menurut Salahuddin Wahid, juga merupakan salah satu bentuk dari titik temu antara negara sekuler dengan negara agama. Dan itu adalah kenyataan historis yang merupakan warisan dari para pendiri bangsa. Memang pada awalnya para tokoh Islam mengusulkan didirikannya Departemen Agama, tetapi ditolak oleh kalangan nasionalis sekuler dan non- Islam. Tetapi kemudian justru para tokoh yang menentang gagasan itu lalu mengusulkan dibentuknya Departemen Agama karena secara nyata di lapangan terdapat kebutuhan untuk mendirikannya. Bahwa sekarang ada langkah Departemen Agama yang tidak sesuai dengan tuntutan keadaan, menurut saya (Salahuddin Wahid, pen) bukan Departemen Agamanya yang harus dibubarkan, tetapi kita harus melakukan definisi ulang dari peran dan fungsi Departemen Agama, yang dikaitkan juga dengan pemberian otonomi yang luas kepada Pemerintah Daerah. Untuk mengakhiri tulisannya, Salahuddin menegaskan: Sebenarnya kalau Dr Al Barsyani dan Gus Dur mungkin juga banyak tokoh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) lainnya ingin memperjuangkan negara sekuler, tidak menjadi soal. Itu adalah hak sepenuhnya dari mereka.yang tidak bisa kita kurangi. Tetapi jangan mengkaitkan PKB dengan NU, karena NU tidak menginginkan negara sekuler. Anggaran Dasar NU dengan jelas menyatakan hal itu dalam pasal yang mengatur tujuan yaitu “berlakunya syari’at Islam di dalam masyarakat Indonesia”. Hal itu dipertegas dalam keputusan Muktamar NU di Krapyak yang mengamanatkan PBNU untuk memperjuangkan disetujuinya UU Peradilan Agama. Departemen Agama dan program pensekuleran Pembahasan tentang negara sekuler dan Departemen Agama agaknya merupakan topik yang bukan sekadar sebagai wacana, namun merupakan bentuk gerilya resmi pensekuleran lewat Departemen Agama, perangkat, dan relasinya. Berikut ini pengakuan (sedikit) dari seorang mantan pejabat tinggi Departemen Agama, H Kafrawi Ridwan: Pada setiap phase, periode atau orde selalu terjadi dan muncul grand designed strategies terhadap bangsa ini terutama rekayasa terhadap ummat Islam. Itu terjadi pada zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, pada zaman Orde Lama, lebih-lebih zaman Orde Baru dan kelihatannya juga pada era reformasi sekarang ini. Khusus pada periode Orde Baru dimana kita semua terlibat, bagi kami yang bertugas di Departemen Agama grand design strategy ini sangat terasa. Grand strategy atau pada waktu itu disebut “planned change” pada dasarnya berintikan: a. Apabila Indonesia ingin maju/modern, Indonesia harus dibangun menjadi negara sekuler; b. Untuk itu agama harus dipisahkan dari urusan negara. Agama adalah urusan pribadi-pribadi; c. Lembaga-lembaga resmi agama harus dihapuskan dari tugas pemerintahan sebab lembaga tersebut mempersubur dan menjadi akar keberadaan agama dan umat Islam yang dianggap faktor penghambat modernisasi; d. Lembaga-lembaga resmi agama yang harus dicerabut/dicabut itu adalah lembaga keluarga (KUA, Peradilan Agama) Pendidikan, termasuk Pendidikan Tinggi, Penerangan Agama kecuali haji yang harus dimonopoli pemerintah. Lembaga-lembaga resmi tersebut apabila terpaksa masih dipertahankan harus diintegrasikan dengan lembaga resmi yang lain. Dalam periode/rezim yang memiliki political will semacam itulah kita (Pak Moekti Ali, Pak Alamsyah, Pak Timur Jaelani, Bu Zakiyah, Pak Mulyanto, Pak Zarkawi dan lain-lain) diserahi dan ditugasi menjadi pejabat Departemen Agama dengan dibantu antara lain oleh Bung Amidan; Bung Marwan; Bung Ihtiyanto; Bung Bambang Pranowo; Bung Johan Effendi; dan lain-lain. Strategi semacam ini masih dapat kita baca dari buku-buku Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 tahun oleh Ali Murtopo dan konsep-konsep/ naskah GBHN-GBHN asli dari Golkar yang diolah oleh eksponen Golkar yang sekuler. Pengakuan mantan pejabat tinggi Departemen Agama yang kemudian jadi Ketua Dewan Masjid Indonesia dan Kepala Bidang Rohani di Golkar zaman Orde Baru pimpinan Soeharto ini cukup gamblang. Padahal, saya lihat, Pak Kafrawi Ridwan ini adalah orang Golkar yang suaranya ke masyarakat walau sudah tidak menjabat sebagai petinggi di Departemen Agama, masih kurang pas dengan kepentingan Islam. Apalagi kalau mengingat dosa-dosanya terhadap umat Islam, diantaranya memasukkan Islam Jama’ah ke dalam Golkar, padahal telah dilarang oleh Jaksa Agung tahun 1971, maka jelas Kafrawi ini tidak dekat dengan kepentingan umat Islam, lebih dekat kepada kepentingan Golkar dan political will tersebut. Suatu ketika Pak Kafrawi pun merasakan dampratan. Di antaranya, ada unsur KISDI, Aru Saef Asadullah, yang ketika berombongan dengan lembaga-lembaga Islam untuk menyampaikan aspirasi umat Islam di DPR 1997 mengenai perlunya pencabutan aliran kepercayaan dari GBHN, lalu di Fraksi Golkar berhadapan dengan Pak Kafrawi Ridwan. Langsung dalam acara resmi berhadapan dengan Pak Kafrawi selaku penerima aduan tokoh-tokoh Islam ini Aru berkata serius: “Ternyata sekarang ini (1997) kami berhadapan lagi dengan stock lama, yaitu Pak Kafrawi Ridwan. Dulu waktu kami menyuarakan agar aliran kepercayan jangan dimasukkan ke GBHN, tahun 1977/ 1978, kami berhadapan dengan Bapak. Tetapi sekarang ini pula, 20 tahun kemudian, ternyata berhadapan lagi dengan Bapak.” Sebagai bekas pejabat dan politikus kawakan, Pak Kafrawi Ridwan tampaknya sulit untuk menyembunyikan mukanya yang tampak agak memerah saat itu. Sedang semprotan yang lainnya pun tak kurang pedas. KH Ahmad Kholil Ridwan berkata, nama saya ada kesamaan dengan Bapak. Sama-sama pakai Ridwan. Namun saya tidak mau jadi pembela aliran kemusyrikan seperti yang Bapak bela. Misi yang mengharu biru ummat Islam itu, walau kini diakui oleh Kafrawi Ridwan di masa tuanya, namun justru misi itu pula yang ia (bersama sebagian konco-konconya) nikmati dan terapkan pada umat Islam. Hingga ketika Lukman Harun (almarhum) tokoh Muhammadiyah berpapasan dengan H Kafrawi Ridwan (sama-sama Golkarnya), di tangga Hotel Sahid Jakarta, Lukman ngomong: Bagaimana ini, perjuangkanlah, sekarang ini umat sedang menginginkan agar pelajaran agama di sekolah ditambah, jangan hanya dua jam pelajaran perminggunya. Jawab Kafrawi Ridwan: Ah… yang sudah ada itu saja kita pertahankanlah… Sudah tidak jadi pejabat Departemen Agama pun, ketika jadi Ketua Umum DMI (Dewan Masjid Indonesia) suara-suaranya masih model apa yang kini ia sebut Grand strategy itu, yang intinya pensekuleran. Hingga, setiap ada hal-hal yang sifatnya menekan umat Islam, maka Kafrawi bersuara, entah lewat siaran pers atau teks khutbah hari raya untuk dikirmkan ke pers, yang isinya agar umat Islam memahami (maksudnya agar umat tidak menganggap bahwa itu suatu penekanan yang merugikan umat Islam). Barangkali komentar ini terasa berlebihan, tetapi ini hanya untuk menggambarkan, Pak Kafrawi yang dari satu sisi pengakuannya, dia dan para pejabat lainnya berjuang untuk Islam di antaranya untuk lahirnya Undang-undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-undang Pendidikan Agama dan lain-lain, ternyata di mata umat (paling kurang adalah di mata saya) adalah menekan umat Islam juga, atau membujuk agar umat Islam memahami tekanan penguasa itu sebagai bukan suatu tekanan. Dan agar pensekuleran itu diterima saja. Bagaimana pula bisa difahami bahwa yang mau mensekulerkan itu hanyalah penguasa pusat, Soeharto dan para orang kepercayaannya, bukan para pejabat Departemen Agama. Saya dengar langsung, Mukti Ali yang sudah lama tidak jadi menteri agama, ketika dikunjungi Menteri Agama Tarmizi Taher pengganti Munawir Sjadzali sejak 1993, ternyata Mukti Ali berkali-kali menekankan agar pengiriman dosen-dosen IAIN (Institut Agama Islam Negeri) untuk belajar ke negeri-negeri Barat tetap dilanjutkan.Padahal umat Islam umum sudah tahu, Barat itu tempat orang kafir anti Islam. Kenapa belajar apa yang disebut studi Islam malah ke orang kafir yang jelas-jelas anti Islam? Sedang hasilnya, hanyalah menjadikan rancunya pemahaman Islam, bahkan menumbuhkan tokoh-tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) yang berfaham pluralisme agama (menyamakan semua agama), menyamakan agama Tauhid dengan agama syirik. Kiprah Dr Nurcholish Madjid, Harun Nasution dan lain-lain yang mensekulerkan dan meliberalkan pemikiran dalam Islam di Indonesia telah nyata. Doktor-doktor yang belajar “Islam”nya ke Barat itu kemudian kembali mengajar di IAIN-IAIN dan Perguruan Tinggi Islam, S1, S2, dan S3. Sehingga secara merata, IAIN-IAIN dan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini diajar oleh orang-orang yang belajar Islamnya bukan ke para Syaikh, ulama, atau orang Islam shalih yang alim, namun adalah murid dari para kafirin orientalis Barat yang dikenal anti Islam. Mau jadi Islam macam apa ini? Maka tak mengherankan kalau negeri ini ramai dengan pendapat-pendapat nyeleneh (aneh) yang menyimpang dari Islam. Itu semua agen utamanya adalah Departemen Agama RI. Sehingga tidak usah profesor-profesor kafir orientalis Barat itu bergentayangan ke Indonesia, sudah cukup mewakilkan kepada murid-muridnya yang dikirmkan oleh Departemen Agama ke Barat, kemudian menyebarkan ilmu orang-orang kafir itu kembali ke Indonesia secara beramai-ramai. Tidak diingkari bahwa pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke Timur Tengah masih ada, namun itu bukan prioritas apalagi diutamakan. Dari kenyataan itu, maka di antara para pejabat Departemen Agama terbukti, dalam melaksanakan strategi Soeharto –sebagai contoh kongkretnya– dalam mensekulerkan umat Islam Indonesia ini bukan hanya ketika mereka jadi pejabat saja. Sudah tidak jadi pejabat pun masih tetap gencar. Hingga bisa dipertanyakan, sebenarnya apakah Soeharto yang diajari untuk mensekulerkan umat Islam oleh Mukti Ali, Kafrawi, Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Johan Efendi, Gus Dur dan sebagainya atau orang-orang Departemen Agama dan relasinya yang menjajakan sekulerisme itu ada bossnya lagi di atas Soeharto? Kalau hanya atas perintah Soeharto, kenapa ketika orang yang dikenal menekan Islam selama 30-an tahun ini lengser dari kursi kepresidenan, mereka ini masih tetap lestari dalam menjajakan sekulerisme? Dan kenapa Pak Kafrawi Ridwan berani membuka mulut secara gamblang, yang seolah agar umat Islam ini mengalamatkan dosa-dosa pensekuleran itu kepada Soeharto dan Ali Murtopo (saja), di saat dua tokoh ini yang satu sudah mati, dan yang satunya lagi sudah sakitan? Bahkan kenapa ketika Kafrawi Ridwan buka mulut ini pas umat Islam Indonesia dan lainnya sedang marah kepada kafirin Amerika, Australia dan lainnya yang bersikap terlalu menekan umat Islam? Kalau diurut-urut, semuanya bisa faham. Kafrawi dan teman-temannya yang merupakan pejabat Departemen Agama, itu jelas pelaksana sekularisasi untuk umat Islam Indonesia. Tugas itu dari pusat kebijakan pemerintahan. Nah, yang jadi persoalan, kenapa para pelaksana itu, juga relasi-relasi pelaksana, yang juga jadi pelaksana sendiri-sendiri di tempat masing-masing itu mereka sampai kini tetap konsisten dalam kerja sekularisasi, padahal pemerintahan yang mereka abdi (rezim Soeharto) sudah ambruk. Lagi pula para pelaksana itu sudah tidak jadi pejabat. Ini jawabannya bisa diperkirakan secara kongkret, tentu saja ada yang dianggap lebih berkuasa dibanding penguasa Indonesia. Kemudian persoalan lain lagi, kenapa seperti Al Barsyani itu disamping menginginkan negara jadi sekuler, masih pula usul agar Departemen Agama dibubarkan. Padahal, Gus Dur saja ketika jadi presiden tidak membubarkan Departemen Agama, walau dia membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Persoalan Al Barsyani ini sudah dijawab oleh Pak Salahuddin Wahid, katanya hanya menirukan atau terpengaruh Gus Dur yang sekuler. Kalau demikian, suara Al Barsyani dicuatkan waktu Gus Dur berkuasa itu tidak ada kepentingan yang lebih dianggap penting dibanding kepentingan perjuangan pensekuleran. Artinya, Gus Dur mengerti bahwa Departemen Agama adalah sarana yang baik untuk mensekulerkan umat Islam, baik lewat Departemen Agama itu sendiri maupun Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia di bawah naungannya, serta relasi-relasinya berupa organisasi atau lembaga yang mendekat-dekat kepada Depag. Kalau Gus Dur menyadari itu, kenapa anak buahnya dari PKB (disuruh?) ngomong agar Departemen Agama dibubarkan? Kira-kira saja begini: Dengan disuarakan agar Departemen Agama dibubarkan, itu orang-orang Depag yang sudah diketahui banyak “jasanya” dalam pensekuleran umat Islam ini, dan sementara tampak agak lesu dalam mensekulerkan, maka harus dicambuk, di antaranya dengan kata-kata: Bubarkan Departemen Agama. Kalau disuarakan seperti itu, maka ada dua manfaat. Pertama, umat Islam yang kira-kira punya ghirah Islamiyah akan bangkit dan ikut mempertahankan Departemen Agama, sekaligus mengakui bahwa Departemen Agama itu sangat bermanfaat bagi umat Islam (perjuangan) Islam. Sebaliknya, bagi yang faham tentang fungsinya adalah sebagai salah satu sarana penting untuk mensekulerkan umat Islam Indonesia akan segera bangkit kembali untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Dari sinilah bisa difahami, sekalipun Gus Dur begitu beraninya membubarkan dua departemen, namun tokoh yang oleh adiknya (Salahuddin Wahid) disebut sekuler ini tidak terdengar ada niatan untuk membubarkan Departemen Agama. Dari sisi lain, kalau di antara dosa-dosa Kafrawi selaku pejabat Departemen Agama adalah memasukkan Islam Jama’ah (aliran sesat lagi menyesatkan, menurut Fatwa MUI –Majelis Ulama Indonesia– yang berganti-ganti nama, dari Darul Hadits, menjadi Islam Jama’ah, lalu Lemkari, lalu kini LDII) ke Golkar, maka bisa dilihat pula di antara orang-orang Departemen Agama dalam kaitannya dengan pemahaman agama (Islam). Kini Kepala Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Agama Departemen Agama adalah Dr Atho’ Mudhar alumni Barat. Dia ini punya faham bahwa Masjidil Aqsho yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ itu bukan di Baitul Maqdis Palestina, tetapi di Baitul Makmur di langit. Ini di samping nyleneh (aneh), masih pula berbau membela Yahudi Israel yang mencaplok Tanah Palestina dan Masjidil Aqsho. Sementara itu Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam Departemen Agama adalah Dr Komaruddin Hidayat. Dia ini berfaham bahwa wanita Muslimah (Ira Wibowo) dikawini lelaki Nasrani (Katon Bagaskara) tidak apa-apa asal tidak mengganggu keimanannya. Ini faham lintas agama yang menabrak hukum-hukum Islam. Sementara itu Johan Effendi yang diangkat oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali sebagai APU (Ahli Peneliti Utama) Departemen Agama adalah anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Lain lagi Dr Musdah Mulia di Litbang Departemen Agama, menurut seorang pejabat di sana, dia ini mendompleng kantor Departemen Agama dalam kegiatannya berupa lembaga yang menyuarakan feminisme, faham perangkat kaum sekuler untuk menjerumuskan umat Islam. Terakhir tahun 2004, Dr Musdah Mulia menggegerkan dengan memunculkan draft Kompilasi Hukum Islam yang isinya sangat bertentangan dengan hokum Islam. Di antaranya poligami diharamkan, tapi nikah mut’ah dibolehkan. Sedang duda (lelaki yang ditinggal mati isterinya atau cerai dengan isterinya) pun kena ‘iddah (masa tunggu) 130 hari. Dengan kondisi seperti itu, orang sekuler bahkan anti Islam pun sudah faham bahwa di dalam Departemen Agama sendiri sudah ada tokoh-tokoh Islam yang pada dasarnya fahamnya mengacak-acak Islam. Maka dalam tempo yang sudah agak lama, para anti Islam pun tidak menyuarakan agar Departemen Agama dibubarkan. Adapun tiba-tiba di masa pemerintahan Gus Dur muncul Al Barsyani dan juga Said Agil Siradj yang mengusulkan agar Departemen Agama dibubarkan itu di samping seperti faktor tersebut di atas (menggugah agar lebih giat lagi pensekulerannya lewat Depag), masih pula ada kemungkinan lain. Apa itu? Yaitu untuk menambah nilai bagi pelontar ini di depan orang Nasrani dan lainnya dalam rangka mengamalkan kebalikan perilaku sahabat Nabi saw. Kalau sahabat Nabi saw bersikap ruhamaa-u bainahum (saling kasih sayang antara mereka –sesama sahabat/ Muslim) sedang dua tokoh ini adalah saling kasih sayang terhadap Kristen dan orang sekuler. Buktinya? Ungkapan mereka itu sendiri seperti tersebut di atas. Dan menurut slebaran di Muktamar NU di Jawa Timur, tokoh itu adalah sering blusak-blusuk (main masuk) ke gereja. Di samping itu untuk menunjukkan kepada siapa saja yang sekuler ataupun anti-anti Islam bahwa keberanian bersuara agar Departemen Agama dibubarkan itu berarti penyuaranya lebih berani dan lebih nekat lagi dibanding tokoh-tokoh sekuler yang ada di dalam Depag sendiri. Sesama penjual, saling menunjukkan kelebihan dagangannya.. Begitulah kira-kira adanya. Pendidikan Islam Telah Diselewengkan, Memuluskan Pemurtadan Akar masalah lancarnya pemurtadan dan kristenisasi adalah system pendidikan Islam yang telah diselewengkan. Kurikulum perguruan tinggi Islam tidak islami lagi, karena diambil dari hasil eksperimen dan rancangan orientalis Barat yang misinya adalah penjajahan, kristenisasi dan westernisasi/ pembaratan. Bahkan kurikulum IAIN, UIN, STAIN, dan STAIS kini penekanannya pada apa yang disebut sosio histories. Masih pula alokasinya diperluas muatan lokalnya sampai 43 persen. Muatan local yang arah penekanannya sosio histories itu sendiri secara alokasi waktu tentunya sudah membabat mata kuliah keislaman yang mestinya lebih didalami. Sehingga tak mengherankan kalau dosen-dosen mata kuliah aqidah (bahkan aqidah saja sudah diganti dengan pemikiran Islam berupa subnya, yaitu ilmu kalam) dan pengajar mata kuliah syari’ah tentunya banyak yang nganggur atau harus mengajar mata kuliah lain, misalnya muatan local atau malahan hermeneutika (metode tafsir Bible) yang justru merusak pemahaman Islam. Yang tadinya mendidik mahasiswa agar memahami Islam berubah mengajari mahasiswa agar bingung terhadap Islam atau menjadi orang yang kerjanya mengkritisi Islam, bukan mengamalkannya dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Atau sementara masih mengajar tafsir namun mengajar pula hermeneutika, sehingga diri sang dosen itu sendiri bingung (namun bisa pula mengklaim dirinya justru lebih luas wawasannya), apalagi mahasiswanya. Dengan system pendidikan Islam seperti itu, maka para orangtua yang menguliahkan anak-anaknya dengan harapan agar menjadi ulama yang sholih sama sekali harapan itu terabaikan. Yang muncul justru sarjana-sarjana agama Islam yang pemahaman Islamnya tidak berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj (metode pemahaman) salafus shalih (generasi awal Islam: sahabat Nabi saw, tabi’in dan tabi’it tabi’in), namun pemahaman Islam yang hanya berlandaskan pemikiran-pemikiran, entah benar entah salah. Karena yang dijadikan mata kuliah dasar (semua mahasiswa harus ikut, dan yang swasta harus ujian negeri) adalah apa yang disebut Sejarah Pemikiran Islam, yaitu tentang sekte-sekte/ aliran-aliran, tasawuf, dan filsafat. Dan apa yang disebut mata kuliah Sejarah Kebudayaan/ Peradaban Islam yang lebih menitik beratkan kepada politik dan peperangan serta aneka budaya di kalangan umat Islam yang tentu saja belum tentu sesuai dengan ajaran Islam. Akibatnya, perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta itu menghasilkan sarjana-sarjana agama Islam yang tidak faham Islam secara benar (karena mata kulah dasarnya Sejarah Pemikiran Islam dan Sejarah Kebudayaan/ Peradaban Islam), dan tidak sedikit yang membentuk pemandangan aneh, yaitu bersinergi dengan pihak kafirin yang melancarkan kristenisasi, pemurtadan, dan perusakan Islam. Kedua belah pihak (sarjana agama Islam dan kafirin pembawa misi pemurtadan dan kristenisasi) yang seharusnya saling berhadapan itu justru bergandeng tangan dalam melancarkan pemurtadan dan kristenisasi, karena rahimnya sama, yaitu orientalis Barat. Kondisi itu didukung dan diprogramkan secara sistematis oleh penguasa yang memang sejak merdeka 1945 dipegang oleh kaum sekuler dan senantiasa menghadapi Islam. Akhir-akhir ini diperparah dengan kepentingan-kepentingan tertentu misalnya untuk menambah utang kepada kekuatan dunia kafirin, atau untuk melanggengkan kekuasaan, maka sering-sering ditunjukkan dengan pendhaliman terhadap umat Islam, sebagai sesaji terhadap thaghut pemilik modal dan kekuatan dunia. Dan aneka syarat yang di antaranya menekan umat Islam pun tentu dituruti. Namun semua itu sulit dibuktikan, karena tentu saja dokumen-dokumen tidak diedarkan, atau pembicaraan pun tidak diedarkan. Hanya saja secara logika dan kenyataan memang terasa, karena pidato-pidato para pejabat sering membuat stigma terhadap umat Islam. Dulu ada istilah yang membuat bulu kuduk merinding kalau pejabat menuding umat Islam sebagai ekstrim kanan. Kini istilah itu diganti dengan kecaman model Yahudi yaitu teroris, padahal justru Yahudilah teroris sejati yang membantai ribuan orang Palestina. Namun stigma itu justru dicapkan terhadap umat Islam. Sistem pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam yang sudah membahayakan bagi generasi Islam di Indonesia itu kini masih ditambah lagi bahayanya dengan dimasukkannya metode untuk menafsiri Bible yakni apa yang mereka sebut hermeneutika, ke perguruan-perguruan tinggi Islam untuk menyaingi metode ilmu tafsir yang sudah baku dalam Islam untuk memahami/ menafsiri Al-Qur’an. Adian Husaini aktivis KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) mengemukakan keprihatinannya mengenai masalah hermeneutika yang dipompakan di perguruan tinggi Islam, di antaranya dia kemukakan: Majalah GATRA edisi 3 April 2004 menurunkan laporan cukup panjang tentang fenomena kajian hermeneutika di kalangan perguruan Islam di Indonesia. Disebutkan, dua perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Islam Negeri Jakarta dan IAIN Yogyakarta sudah mengajarkan mata kuliah Hermenutika untuk mahasiswanya. Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman al-Quran yang dikenal sebagai ilmu tafsir. Jika metode atau cara pemahaman al-Quran sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum Muslim di Indonesia? Di antara implikasinya, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman. Hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar). Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebanaran. (Lebih jelasnya, silahkan membaca di bagian lampiran buku ini). Itulah bahaya pemompaan “ilmu tafsir” untuk Bible namun diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam untuk menafsiri Al-Qur’an, yang tentu saja sejalan dengan program pemurtadan dan kristenisasi. Pemurtadan dan kristenisasi digencarkan bukan semata-mata mengiming-imingi harta dan semacamnya kepada Muslimin agar masuk Kristen, namun telah menempuh berbagai cara dan lebih canggih ketimbang cara Snouck Hurgronje yang mengkristenkan Muslimin Nusantara dengan cara “membelandakan”, yakni mengarahkan pribumi dengan budaya Belanda agar kebelanda-belandaan, nantinya mereka akan jadi Kristen sendiri. Sekarang ini cara konvensional (mengiming-imingi supermie, indomie dan semacamnya) plus teori Souck Hurgronje masih dijalankan, dan telah ditingkatkan menjadi bentuk iming-iming dana kepada para tokoh Islam serta lembaga-lembaganya untuk menjalankan misi pemurtadan, kristenisasi, dan perusakan Islam. Sehingga cara-cara kristenisasi model lama itu dipadukan, lalu dimodivikasi, jadilah kristenisasi, pemurtadan, dan penjauhan umat dari Islam secara sistematis. Yaitu dana-dana yang tadinya untuk disebarkan kepada masyarakat umum Muslimin calon-calon korban, kini diubah sistemnya agar lebih efektif, yaitu dikumpulkan jadi satu, diberikan kepada tokoh-tokoh Islam plus lembaga-lembaganya, lalu disetir agar para tokoh beserta lembaga-lembaganya itu untuk melancarkan misi kristenisasi, pemurtadan, dan penjauhan umat dari Islam secara sistematis. Paket-paket dana itu untuk upah jasa pemasaran paket materi perusakan Islam, pemurtadan, dan kristenisasi yang terancang rapi. Mengaburkan Islam dengan Pendekatan ala Kristen Kalau Snouck Hurgronje hanya menyebut secara garis besar yaitu kristenisasi lewat budaya “pembelandaan”, maka rancangan Snouck itu telah dikembangkan dengan paket-paket yang telah disistematisasi dalam perusakan Islam dan pengaburan pemahaman Islam serta pendekatan model Kristen. Hingga pembahasan para antek pemurtadan dan kristenisasi yang masih menamakan diri sebagai Muslim itu cukup mengusung paket-paket yang telah disiapkan pihak kafir pendana. Di antaranya: 1. Pengubahan kurikulum di perguruan-perguruan tinggi Islam dari mata kuliah yang akan membentuk pemahaman Islam secara manhaj (metode pemahaman) yang selamat yaitu manhaj salafush shalih (generasi awal Islam: sahabat Nabi saw, tabi’in dan tabi’it tabi’in) diganti dengan kurikulum yang landasannya bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah lagi, namun hanya pemikiran-pemikiran dan peradaban-peradaban, entah benar entah salah. Dengan dialihkan seperti itu maka tujuannya untuk mengalihkan pemahaman Islam kepada pemahaman kekafiran, yaitu menganggap bahwa agama apa saja benar, bukan hanya Islam yang benar. Bahkan tidak boleh menganggap bahwa hanya Islam lah yang benar. Itulah pemahaman pluralisme agama, menyamakan semua agama, yang menurut Islam adalah faham kekafiran, dan orangnya jadi kafir alias murtad, kelak menjadi penghuni neraka selama-lamanya, abadi. 2. Pengajaran hermeneutika, metodologi pemahaman/penafsiran teks Bible, dipompakan di perguruan-perguruan tinggi Islam, agar Al-Qur’an tidak lagi diyakini sebagai kalamullah (firman Allah) namun sebagai teks biasa karangan Nabi Muhammad saw, dan boleh ditafsirkan oleh siapa saja, dan tidak ada makna baku. Akibatnya, Islam tidak difahami sebagai agama wahyu yang murni dari Allah SWT, hingga sama saja dengan agama-agama lain, sampai agama yang jelas-jelas menentang Allah SWT. 3. Mencerai beraikan aqidah Islam, syari’ah atau hukum-hukumnya dengan aneka cara, di antaranya Islam dibatasi dengan waktu dan tempat, sehingga Islam di zaman sekarang ditafsirkan dengan ditarik-tarik ke arah kondisi dan situasi sekarang. Akibatnya, banyak hal dalam Islam yang dianggap tidak berlaku lagi, misalnya jilbab pakaian kaum Muslimah dan sebagainya, bahkan haramnya menikahi orang musyrik pun dianggap tidak berlaku. Ini bentuk kekafiran yang nyata menentang. 4. Mengkotakkan Islam hingga tidak perlu dipakai dalam kehidupan, dengan memunculkan aturan-aturan baru model sekuler, hingga yang dipakai adalah yang sekluer. Misalnya, demokrasi, gender, feminisme, humanisme, masalah keadilan model sekuler dan hak asasi manusia serta politik model sekuler. Akibatnya, Islam tidak diberi ruang lagi, bahkan dicurigai sebagai merusak atau melanggar hak asasi manusia, merusak demokrasi. Sehingga larangan-larangan Islam misalnya larangan berzina dan homoseks yang telah jelas hukuman-hukumannya pun dicela dan dianggap melanggar hak asasi manusia. Dalam kasus semacam ini, hak asasi manusia dan demokrasi telah dipertuhankan atau jadi thaghut yang dianggap cukup ampuh untuk memberangus Islam. 5. Dengan berbagai jalan yang merusak Islam itu, maka para tokoh Islam (sewaan kafirin) yang melancarkan perusakan Islam dengan menjadi agen-agen missionaries dan imperialis/ penjajah model baru itu menangguk dana dari kafirin dan kemungkinan bisa mulus dalam menduduki jabatan di masyarakat atau bahkan kemungkinan di pemerintahan. Dari sana mereka menyebarkan pendapat-pendapat yang merusak Islam, memurtadkan, dan memuluskan jalan kristenisasi secara leluasa dikutip dan disebarkan oleh aneka media massa, lebih-lebih media massa yang juga disewa kafirin untuk merusak Islam dan misi pemurtadan serta kristenisasi. 6. Para tokoh bahkan ulama dan cendekiawan yang sudah bisa disewa untuk merusak Islam itu tentu mempersilakan pemurtadan dan kristenisasi, bahkan tidak sedikit yang nyambi ngobyek ke pendeta-pendeta (atau disewa pendeta) untuk memuluskan kristenisasi, contohnya memberi kata pengantar buku-buku pendeta, khutbah/ pidato di gereja-gereja, menghadiri upacara-upacara natalan di gereja dan sebagainya. 7. Merekayasa para tokoh Islam yang masih istiqomah/ kosnisten dengan Islam yang manhajnya sesuai manhaj salafus shalih untuk dipecundangi, bahkan dipenjarakan dan dikucilkan serta diberi cap-cap buruk misalnya sebagai teroris, ekstrimis, fundamentalis, kolot dan sebagainya. Hingga umat Islam agar menjauh dari tokoh Islam dan ulama yang istiqomah dalam Islamnya, supaya umat tidak tahu Islam yang benar, dan tidak ada ghirah Islamiyah lagi, sehingga pemurtadan agar lebih lancar dan kristenisasi tak terhalang. 8. Mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah-daerah yang diperkirakan akan kondusif dalam penyiaran Islam yang benar atau tidak terganggunya Islam. Misalnya ada larangan minuman keras begitu saja, maka antek-antek pemurtadan dan kristenisasi itu akan melancarkan kritik yang setajam-tajamnya, sambil menguraikan ratapan atas menganggurnya sekian juta orang akibat tidak beredarnya minuman keras. Ini sangat berbalikan dengan hal-hal yang berbau penerapan Islam (bukan larangan) misalnya aturan memakai pakaian muslimah yang menutup aurat di Aceh, maka para antek penjajah modern yang pro kristenisasi itu akan mengkritik sejadi-jadinya. Penjajahan model baru yang menggilas Islam ini lebih dahsyat bahayanya dibanding sekadar penjajahan fisik walaupun berlangsung 3,5 abad. Karena, di zaman penjajahan Belanda selama 3,5 abad belum ada orang yang mengaku Islam lantas mengatakan bahwa Al-Qur’an itu diragukan kemurniannya. Namun, penjajahan model kini dalam rangka pemurtadan dan kristenisasi serta penjauhan Islam dari umatnya ini telah lebih jauh dan sangat- sangat jauh perusakannya terhadap Islam. Islam diacak-acak, kristenisasi dan pemurtadan diberi jalan secara bergotong royong antar para antek yang mengais-ngais dana dari kafirin. Mereka pakai baju Islam dan lembaga Islam, namun sebenarnya lebih berbahaya dibanding para pendeta dan misionaris yang paling jago yakni Snouck Hurgronje dan Van der Plash. Kini telah bermunculan Snouck-Snouck dan Van der Plas-Van der Plash baru berkulit sawo matang, tidak berkulit putih model Belanda, yang lebih sangat berbahaya. Dalam sejarahnya, kalau disebut Van der Plash, orientalis Belanda di Jawa, orang langsung punya anggapan bahwa dia itu adalah syetan. Namun anehnya, kini Van der Plash-Van der Plash baru belum dicap sebagai syetan. Memang tempo-tempo sudah ada yang dijuluki Iblis, namun penyebutan itu baru terbatas di forum-forum tertentu. Perusakan Islam secara sistematis itu telah jelas, di antara jalan utamanya adalah jalur pendidikan, dengan mengubah kurikulum pendidikan Islam ke arah sekuler dan pluralisme agama seperti uraian di atas. Walaupun hasilnya sudah sangat merusak Islam, namun Amerika masih belum puas. Mereka masih mengintervensi pendidikan Islam di Indonesia, hingga pesantren-pesantren pun dikucuri dana 157 juta dolar untuk mengubah kurikulumnya, lewat Departemen Agama RI. Maka KH Ahmad Khalil Ridwan dari BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia), mengatakan, “Saya serukan kepada para kiai pesantren agara tidak mau menerima duit Amerika lewat Departemen Agama Rp50 juta kalau disuruh mengubah kurikulum pesantren model mereka.” Adanya semacam reaksi dari umat Islam itu, kemudian tampaknya tidak menyurutkan Amerika dan kafirin lainnya, bahkan akan benar-benar dipompakan pengubahan kurikulum pesantren-pesantren di Indonesia itu. Hingga tegas-tegas dikomandokan lagi oleh Amerika Juni 2004, dalam mengobok-obok Islam lewat pendidikan Islam, yakni mengubah kurikulum menurut selera kafir mereka, dengan dalih memberantas apa yang mereka sebut terorisme. Radio BBC memberitakan, Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld mendesak negara-negara Asia untuk terus melanjutkan upaya mencabut apa yang mereka sebut akar terorisme. Dalam konperensi keamanan di Singapura, Rumsfeld mengatakan satu hal yang penting adalah mempengaruhi anak anak muda. Ia menyebutkan tentang pesantren, yang menurutnya harus diberikan dana untuk mengajarkan pelajaran lain dan bukannya terorisme. (BBC London, 5/6 2004). Setelah Amerika dan Barat telah merasa sukses menggarap perguruan tinggi Islam di Indonesia sesuai dengan misi sekuler dan anti Islamnya, dan bahkan hasilnya sudah tampak nyata sebagaimana uraian di atas mengenai perusakan Islam, pemurtadan dan kristenisasi yang dilancarkan oleh antek-antek kafirin di antaranya para sarjana keluaran perguruan tinggi Islam, ternyata Amerika masih kurang puas. Lantas pesantren menjadi bidikan utama untuk dijadikan jalan utama dalam mengubah pemahaman Islam ke arah sekuler, pluralisme agama, pemurtadan, dan kristenisasi. Benteng pertahanan Islam adalah pesantren-pesantren. Kalau pesantren sudah diobok-obok untuk dijadikan agen pemurtadan, pensekuleran, kristenisasi, dan perusakan Islam, maka sungguh akan seperti fungsi masjid dhiror buatan kaum munafiqin di Madinah zaman Nabi Muhammad saw yang langsung Allah perintahkan untuk dihancurkan. Maka Nabi saw mengutus sahabatnya untuk membakarnya sampai ludes. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah banyak yang dialih fungsikan sebagai masjid-masjid dhiror untuk mencelakakan Islam. Lantas pesantren-pesantren pun akan dimasjid dhirorkan pula. Betapa ngerinya kalau umat Islam ini nanti di bawah asuhan dan bahkan kungkungan para pengelola masjid-masjid dhiror di bawah komando kafirin tingkat dunia. Sebelum masalah sangat berat itu terjadi, maka jalan yang mesti ditempuh umat Islam yang masih istiqomah adalah menyelamatkan lembaga-lembaga pendidikan Islam dari system dhiror buatan kafirin. Caranya, mesti dikembalikanlah system pendidikan Islam, (lebih-lebih perguruan tinggi Islam wabil khusus program S2 dan S3) ke kurikulum pendidikan Islam yang benar, system pendidikan Islam yang benar. Para Ulama dan pendidik Muslim perlu merumuskan dan merancang kembali kurikulum pendidikan Islam yang benar, yang jauh dari obok-obokan kaum kafirin. Yaitu kurikulum pendidikan Islam yang melandaskan Islam pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj (metode pemahaman) salafus shalih, yaitu generasi terbaik Islam, tak lain adalah generasi bimbingan Rasul saw dan bimbingan wahyu, yakni generasi sahabat Nabi saw yang diikuti para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Semua ajaran Islam yang difahami dan diamalkan oleh tiga generasi awal itu sudah diwarisi oleh para ulama yang terpercaya dan telah dibukukan secara sistematis, hingga masih utuh sampai kini, dan bisa dirujuk, mana yang shahih (benar) dan mana yang tidak. Pendidikan Islam dengan pemahaman yang selamat yaitu pemahaman salafus shalih itulah benteng sebenarnya bagi Islam. Maka pengajaran Islam yang benar itu harus dilaksanakan di seluruh kalangan umat Islam, yaitu di seluruh lembaga pendidikan Islam, baik perguruan tinggi Islam, perguruan menengah, maupun madrasah ibtidaiyah, pesantren-pesantren dan bahkan pengajian-pengajian di masjid-masjid dan majelis-majelis ta’lim. Kalau kelak umat Islam telah faham Islam dengan pemahaman yang benar, maka insya Allah cap-cap buruk atas orang-orang yang jadi agen pengkafiran, pemurtadan, kristenisasi, sekulerisasi, dan perusakan agama itupun akan melekat pada mereka dengan sendirinya. Sehingga dana bermiliar-miliar dari kafirin yang telah dikorbankan untuk pemurtadan dan kristenisasi serta penjauhan Islam dari umatnya itu akan muspra sia-sia, sedang para penangguk dana itupun akan mati dengan mendapatkan laknat serta kutukan dari Allah SWT, para malaikat, ulama yang shalih, dan umat Islam pada umumnya. Allah akan membalikkan tipu daya mereka kepada mereka sendiri, dan karena yang dirusak itu adalah agama Allah, maka Dia lah yang akan membalas langsung kejahatan mereka. Itu sesuai dengan firman Allah SWT: Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali Imran: 54). Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS As-Shaff: 8). Kerja keras mereka siang malam demi menangguk dolar dari kafirin dan menipu umat Islam itu tidak jauh dari kecaman Allah SWT terhadap kaum munafiqin: Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS Al-Baqarah; 9). Nabi Muhammad saw telah memperingatkan dalam hadits: Diriwayatkan dari Ali r.a, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat . (HR Muttafaq ‘alaih). Celakalah para perusak Islam, antek pemurtadan dan kristeniasi. Dan berbahagialah orang yang melawan upaya-upaya jahat itu dengan ikhlas demi meninggikan kalimah Allah sebagai kalimah yang tinggi. Semua itu membutuhkan ilmu, kesabaran, dan kecermatan yang tinggi. Kalau perjuangan ini sungguh-sungguh, maka sesuai dengan yang Allah janjikan: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Ankabut: 69). Mudah-mudahan umat Islam ini menjadi pejuang-pejuang yang telah dijanjikan Allah untuk ditunjukkan jalan-jalan-Nya, yaitu jalan kebenaran yang sejati, yang kini sedang dirusak secara sistematis dan beramai-ramai oleh antek-antek kafirin seperti yang diuraikan dalam buku ini. Hanya kepadaMu ya Allah, kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan. Tolonglah hambaMu dari bahaya para pengkhianat agamaMu yang sekarang sedang marak merusak Islam ini.Amien. H Hartono Ahmad Jaiz - Memilih Sekolahan & Pendidikan Anak Menjelang tahun ajaran baru, banyak orang tua yang sejak awal mencari-cari tahu, mana sekolah dan perguruan tinggi yang baik untuk anak-anaknya. Ada yang bertanya-tanya kepada sanak saudara, handai taulan, dan kenalan. Ada yang membuka-buka halaman iklan di majalah, koran, dan sebagainya. Ada juga yang bertanya kepada dukun, walau sudah diberitahu oleh para da’I bahwa bertanya ke dukun itu haram, bahkan shalatnya tak diterima selama 40 hari.. Iklan-iklan pun bermunculan di mana-mana. Ada yang lewat media cetak formal, media elektronik, dan ada yang lewat slebaran. Bahkan spanduk, pamflet dan brosur-brosur disodorkan kepada masyarakat secara beramai-ramai di sana-sini. Semuanya menjanjikan ini dan itu, serba bagus, serba baik, serba tidak sesat, walau mungkin sekali justru punya misi penyesatan, dan menjerumuskan ke neraka. Para orang tua masa kini tampaknya ditarik dari arah sana-sini untuk menyerahkan anak-anaknya ke sekolah yang diiklankan di mana-mana. Dari yang paling kecil untuk masuk TK Nol Kecil, Nol Besar, SD/ Madrasah, SMP/ Tsanawiyah, SMA/ Aliyah, D2,D3, S1, S2, sampai yang paling tua ke S3; semuanya diiming-imingi kemudahan, fasilitas, dan jaminan mutu plus tidak sesat. Kata-kata “tidak sesat” memang tidak ditulis, tidak diucapkan, tetapi yang jelas semuanya tidak ada yang mengakui kesesatannya. Padahal, betapa banyak orang tua yang sudah capai-capai menyekolahkan anaknya, misalnya ke Ma’had Al-Zaitun di Indramayu Jawa Barat, ternyata harus menyesal dan mencabut kembali anaknya, karena adanya perubahan sikap anaknya yang ogah shalat berjama’ah, melawan ajaran Islam yang dulunya diajarkan orang tua sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan semacamnya. Karena memang Ma’had Al-Zaitun itu jelas didirikan oleh kelompok yang fahamnya menyimpang lagi sesat. (Lihat buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002). Penyesatan dan Pemurtadan Ada orang tua yang menjadi bangga tapi kebanggaan yang tidak pada tempatnya, setelah menyekolahkan anaknya kemudian anaknya menawar kepada bapaknya untuk pilih masuk Kristen saja. Ketika ayahnya menanyakannya, anak itu menjawab, di sekolahnya SD Paramadina di Pinggiran Jakarta menampilkan sinterklas (salah satu simbol di Kristen) yang lucu. Sedang di Islam, mboseni (membosankan), alasannya, karena bedugnya brisik, dalam penampilan di sekolah itu. Salah satu orang tua yang bangga dengan anaknya yang ingin murtad itu adalah Ade Armando yang suka menulis di koran Republika, bahkan mengharapkan agar sekolah model (pemurtadan) itu dijadikan percontohan. Di samping iklan-iklan serta tulisan dan ocehan yang model-model membanggakan pemurtadan semacam itu, orang tua masih secara gencar dijerumuskan oleh penulis-penulis yang tidak bertanggung jawab dari segi keimanan umat Islam. Mereka gencar menyuarakan pemurtadan dengan cara-cara licik, di antaranya ditulis di kolom-kolom surat kabar kristenisasi, misalnya Kompas. Sering sekali penulis yang mengaku Islam, bahkan mengajar di perguruan tinggi Islam menjajakan tulisan yang berisi pemurtadan. Misalnya menggencarkan pemahaman pluralisme agama, menganggap semua agama sama, sejajar, paralel, masuk surga semua, hanya beda teknis. Lalu mereka membujuk para penyelenggara pendidikan, agar pendidikan agama di sekolah diubah menjadi teologi pluralitas, yang dalam bahasa gampangnya adalah pemurtadan. Dengan nyinyirnya mereka menjerumuskan para penyelenggara pendidikan dan para orang tua untuk mengikhlaskan anak-anaknya supaya ke neraka. Lain lagi golongan-golongan yang sesat lagi menyesatkan. Mereka pandai membuat istilah-istilah, slogan-slogan, bahkan nama-nama yang menarik dan bisa membungkus kesesatannya. Ahmadiyah misalnya, menamakan markasnya dengan “Al-Mubarok” yang artinya “yang diberkahi” di Parung, pinggir Jakarta-Bogor. Kemudian Ahmadiyah lainnya membuat nama sekolahnya dengan nama PIRI (Perguruan Islam Republik Indonesia). Nama-nama yang nampak “Islami” memang tampaknya merupakan salah satu jalan untuk mengelabui masyarakat. Jaringan Islam Liberal (JIL) pun membuat slogan, “Islam yang membebaskan”, seakan Islam yang benar, yang anti pemurtadan adalah membelenggu. Syukurlah istilah itu ditimpa istilah baru lagi dengan website tandingan yang slogannya, “Islam yang membebaskan dari sistem kekufuran”. Permainan nama untuk memasarkan diri sambil menutupi kesesatannya, rupanya ada biangnya, yaitu LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Tadinya bernama Lemkari yang dilarang karena kesesatannya, setelah ganti nama dari Darul Hadits dan Islam Jama’ah yang semuanya itu adalah dilarang pemerintah. Akhirnya mereka memilih ganti nama dengan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Padahal justru sebenarnya adalah lembaga propaganda pengkafiran terhadap umat Islam. Karena setiap orang Islam yang bukan golongan LDII mereka anggap sebagai kafir dan najis. Mereka ini juga mendirikan pesantren, tentu saja meraih anak didik dari para orang tua. Kalau sampai orang tua memasukkan anaknya ke pesantren LDII atau membolehkan anaknya ikut pengajian LDII, maka resikonya, apabila orang tua tidak mau ikut masuk ke LDII maka dianggap najis pula oleh anaknya itu. Dan ketika orang tua itu meninggal dunia, maka si anak tidak akan mau mensholatinya. Kalau toh mau mensholatinya, maka tanpa wudhu sebelumnya, disengaja memang hanya untuk pura-pura mensholati. Ahmadiyah ataupun LDII sama-sama mengkafirkan orang Muslim, hingga wanita Ahmadiyah atau LDII tidak boleh dinikahi oleh orang Islam (yang bukan golongan mereka). Ini pada hakekatnya adalah membuat syari’at baru, kedudukannya sama dengan nabi palsu, Musailamah Al-Kaddzab yang diserang oleh Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dengan 10.000 tentara, hingga nabi palsu itu tewas. . Sekolah-sekolah lain yang tampaknya tidak sesat pun masing-masing punya misi. Ada misi yang masih dalam kebenaran, dan ada pula yang sudah tidak mempedulikan kebenaran. Kalau sekolah itu berlabel Islam, atau dari oraganisasi Islam, atau di bawah lembaga Islam pun, setelah diketahui bahwa itu tidak termasuk dalam aliran sesat, masih perlu dilihat pula.. Apakah mereka itu teguh dalam mendidik murid-murid/ mahasiswanya dengan Islam yang benar. Apakah memang diterapkan shalat berjama’ah, berpakaian muslim/ muslimah, dijaga pergaulan antara lelaki dan perempuan, atau tidak. Kalau satu sekolah/ pesantren/ perguruan tinggi sudah ragu-ragu dalam menerapkan peraturan tentang pakaian muslim/ muslimah, itu pertanda misi Islamnya setengah-setengah. Dalih apapun yang mereka kemukakan, sudah bisa dibaca bahwa Islam dianggap lebih rendah dibanding duit dan semacamnya. Walaupun itu sekolah unggulan, terkemuka, dan sangat banyak muridnya, namun itu jelas mendidik untuk ragu-ragu, bahkan agar munafik dalam berislam. Biar dari luar masih digolongkan Islam, namun tidak disebut fanatik oleh orang yang anti Islam. Begitulah kira-kira arah kemunafikannya. Sekolah-sekolah negeri/umum yang memang justru sebagian pengelolanya ada yang menggunakan kesempatan untuk memusuhi Islam, selayaknya tidak laku di negeri Muslim ini. Sekolah-sekolah negeri/ umum sekarang sudah banyak yang kalah bersaing dengan sekolah-sekolah swasta. Apabila sekolah negeri/ umum tidak memenuhi tuntutan masyarakat yang menginginkan pendidikan yang Islami, maka kemungkinan besar akan makin ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka akan lebih pilih sekolah swasta walaupun mungkin biaya lebih tinggi, asal lebih Islami, pergaulan lelaki perempuan tidak bebas, tidak tawuran, tidak terkena narkoba, dan tidak jadi preman-preman berbaju sekolah. Dilema menyekolahkan anak masa kini, misalnya orang tua menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi Islam yaitu UIN, IAIN, STAIN atau STAIS; mereka menginginkan anaknya agar jadi ulama yang sholih atau sholihah, tahu-tahu kadang (dan tidak sedikit dijumpai) justru jadi pentolan aliran sesat, atau justru jadi liberal, mementingkan filsafat, dan oke-oke saja untuk maju bersama dengan barisan pemurtadan. Sedang yang ingin anaknya agar jadi ilmuwan yang tangguh dengan disekolahkan kemudian dikuliahkan ke perguruan tinggi umum, kalau salah dalam memilih sekolahan dan perguruan tinggi, tahu-tahu terpengaruh oleh kebiasaan tawuran, terkena narkoba, pergaulan bebas lelaki perempuan, dan jauh dari agama, bahkan anti Islam. Berupaya memilih tempat pendidikan anak yang terbebas dari kesesatan, kemunafikan, kemunkaran, dan pergaulan bebas, adalah wajib bagi para orang tua yang akan menyekolahkan anak-anaknya. Di samping itu perlu disertai do’a, bermunajat kepada Allah SWT, agar ditunjuki jalan yang benar dan diridhoi-Nya. Kalau tidak, maka berarti orang tua pada hakekatnya adalah membiarkan anaknya untuk diyahudikan atau dinasranikan atas biaya dari orang tua itu sendiri. Betapa ruginya. Menengok Kembali “Harunisme” IAIN Dibuat Nyeleneh dari Sini? Pendapat nyeleneh (aneh) tampaknya marak di mana-mana, dan masyarakat menuding IAIN-IAIN se-Indonesia (beserta STAIN-STAIN) sebagai penyemai bibit-bibit kenyelenehan. Kenyelenehan itu bukan sekadar sampai pada tingkat pemikiran, namun sudah sampai pada pelaksanaan, pengamalan dan praktek. Sekadar contoh, bisa dikemukakan sebagai berikut: 1. Dr Nurcholish Madjid guru besar IAIN Jakarta, pendiri Yayasan Paramadina Jakarta, alumni Barat (Chicago Amerika), telah menikahkan anak puterinya, Nadia, dengan lelaki Yahudi di Amerika, 30 September 2001, tidak dengan akad Islam, tapi akad universal, yaitu antara anak manusia dengan anak manusia. 2. Dr Kautsar Azhari Noer dosen IAIN (kini UIN) Jakarta menikahkan Ahmad Nurcholish (Muslim) anggota pengurus YISC (Youth Islamic Study Club) Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta dengan wanita Konghuchu, Ang Mei Yong. Pernikahan Muslim dengan wanita kafir ini dilangsungkan di Islamic Center Paramadina Pondok Indah Plaza III Blok F 5-7 Jl TB Simatupang Jakarta, Ahad 8 Juni 2003. Yayasan Paramadina ini didirikan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya, kini dipimpin Azyumardi Azra yang juga rector UIN Jakarta. 3. Zainun Kamal dosen UIN Jakarta telah menikahkan wanita Muslimah dengan lelaki Kristen di sebuah hotel di Pondok Indah, Jakarta, Ahad 27 November 2004M, Syawal 1425H, dengan diberkati pendeta. 4. Drs Nuryamin Aini, MA, pengajar Fakultas Syari’ah UIN Jakarta menyudutkan para ulama (sebenarnya menyudutkan Islam) yang mengharamkan pernikahan beda agama (Islam dengan non Islam). Penyudutan itu hanya dengan dalih hasil penelitiannya mengenai anak-anak hasil pernikahan beda agama, katanya lebih banyak yang ikut ke Islam. Ungkapan yang ditujukan kepada para ulama namun hakekatnya kepada Islam itu adalah hasil wawancara Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL dengan Nuryamin Aini yang disiarkan lewat islamlib.com. Perlu dipertanyakan kepadanya, kalau anak-anak hasil dari pasangan zina justru banyak yang beragama Islam, apakah berarti larangan zina dalam Islam itu satu hal yang tidak benar? Betapa anehnya cara beristinbath (menyimpulkan hukum) model ngawur-ngawuran dan merusak agama seperti itu. 5. Dosen-dosen IAIN/UIN yang tergabung dalam tim penulis Paramadina Jakarta, menulis buku Fiqih Lintas Agama, 2003, yang sangat merusak aqidah Islam, dari Tauhid diarahkan ke kemusyrikan dengan istilah pluralisme agama, dan memutarbalikkan hukum Islam, yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan. Tim Penulis Paramadina itu sebagian adalah dosen-dosen UIN Jakarta. Semuanya terdiri 9 orang: Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun’im A. Sirry. Buku yang menjungkir balikkan pemahaman Islam itu telah saya bantah dengan buku yang berjudul Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004. 6. Ada dosen IAIN Jogjakarta yang diam-diam icli (bergegas) ke seorang tokoh di Salatiga Jawa Tengah yang mendirikan rumah ibadah untuk semua agama. Pendiri bangunan yang disebut “rumah ibadah bersama” itu pun bekas dosen STAIN Salatiga. Dia khabarnya dikenal sebagai teman Gus Dur, sama-sama dari Irak, bernama Mahfudz Ridwan. Ada yang bilang, setelah kandas di perpolitikan kemudian dia mendirikan rumah ibadah bersama (untuk aneka agama) itu. Dosen IAIN Jogjakarta yang icli ke Mahfudz itu konon menolak pendapat orang yang menilai bahwa model seperti itu sesat. Padahal, di Al-Qur’an maupun hadits sudah jelas. Di antaranya Allah mengancam jangan sampai cenderung kepada faham yang tidak sesuai dengan wahyu Allah swt. Dan ada hadits Nabi saw yang melarang adanya dua kiblat di satu tempat. Dua kiblat saja tidak boleh, apalagi kalau aneka agama maka berarti kiblatnya juga bukan hanya dua. Islam berkiblat ke Ka’bah Baitullah, dari Salatiga itu berarti kiblatnya di arah barat agak miring kanan. Lalu kiblat orang Nasrani di arah timur. Kiblat orang Yahudi di Qubbatus Shokhro Baitul Makdis, barat laut. Yang beragama Sinto mungkin menghadap ke matahari terbit. Kenapa sudah jelas-jelas seperti itu tidak boleh dibilang sesat? Allah swt mengancam: Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (QS Al-Israa’: 73, 74, 75). Nabi saw tidak membolehkan adanya dua kiblat dalam satu tempat: Tidak layak ada dua kiblat di satu bumi. (HR At-Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Daud, sanadnya tsiqot). Lagi pula, membuat satu tempat ibadah untuk aneka agama itu benar-benar bertentangan dengan ayat: Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS Al-Kafirun: 1-6). “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (al-Mumtahanah: 4). 7. Beberapa dosen IAIN Jogjakarta berpartisipasi bahkan ada yang ikut menulis buku apa yang mereka beri judul Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, SR-Ins Publising, Jogjakarta, 2004. Buku itu dalam pengantarnya beberapa kali ditegaskan bahwa isinya ilmiah. Bahkan dengan bangganya dicantumkan syair sebagai penutup iftitahnya: “Sesungguhnya meski saya bukanlah yang pertama memulainya, tapi saya yakin dapat menghadirkan sesuatu yang tidak pernah dihadirkan oleh mereka para pendahulu.” (halaman xiv). Ada pula klaim yang ditulis dalam iftitahnya: “Betapapun, ini semua merupakan ijtihad ilmiah SR-Ins yang jika benar (As-Sawab) akan mendapatkan profit dua poin (Ajrani) dan seandainya salah maka satu poin mujahadah ilmiah (lahu Ajrun) telah terkantongi.” (halaman xiv). Yang perlu dipertanyakan kepada mereka, apakah benar ini ilmiah, ijtihad, dan akan mengantongi pahala (ajrun)? Sebab ada ungkapan yang kemungkinan sekali merusak itu semua, di antaranya apa yang ditulis dalam Iftitah: “Meski kami yakin bahwa Tuhan kami sangat dan pasti mempunyai kemampuan untuk memaksa hamba-Nya, namun jika kemudian ada pemaksaan nilai-nilai kultur suatu bangsa misalnya pengharusan pakaian khas Arab yang bernama “Jubah dan Surban” untuk menggantikan “Sorjan dan Blangkon” Jogja atas nama “Tuhan”, maka kami akan mengadakan “kudeta teologis” dan menggantinya dengan Tuhan yang baru.” (halaman x-xi). Saya tidak mampu mengomentari perkataan semacam itu kecuali hanya ingat ayat tentang celoteh orang kafir di akherat ketika menghadapi siksa Allah swt: Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah". (QS An-Naba’: 40). Setahu saya, dosen IAIN Jogjakarta yang ikut menulis dalam buku itu belum pernah memakai sorjan atau blangkon Jogjakarta, padahal saya selama lima tahun bergaul dengannya. Di samping itu, ketika budaya barat yang mengumbar aurat telah membabat kain panjang pakaian wanita Jogja dengan pengaruh budaya orang bule dan ditirukan masyarakat, belum pernah ada protes dari para penulis buku Negara Tuhan itu untuk mengganti orang-orang bule dengan orang bule baru. Kata-kata “Tuhan yang baru” itu sendiri adalah sangat rawan dalam aqidah. Tapi ya sudah, itulah mutu orang-orang yang mengaku ilmiah, ijtihad, dan mengantongi pahala satu yang mereka sebut profit. 8. Dalam hal kristenisasi, buku Jihad Kristen karangan Pendeta Dr Josias L Lengkong M.TH, di antaranya ada salah satu kesimpulan dalam bentuk usulan yang bunyinya sebagai berikut: “Umat Islam dan Kristen perlu memikirkan kemungkinan membentuk sebuah wadah untuk pengembangan etos kerja jihad yang bisa saja disebut Jihad Pancasila, atau Jihad Nusantara…” (Jihad Kristen, halaman 346). Ajakan pendeta Kristen itu ternyata diamini oleh tokoh Islam dan disalurkan lewat makalah seminar 3 April 2004 yang diadakan oleh Pusaka di Padang (yang dibiayai lembaga orang kafir dari Amerika, The Asia Foundation) yaitu Dr H Saifullah SA, MA, Dosen Pasca Sarjana IAIN Padang, alumni IAIN Jakarta, dalam makalahnya berjudul Jihad Islam, ia menulis: “Saya mendukung deklarasi pembentukan “Mujahidin Nusantara” yang menggabungkan antar komunitas dan etnis serta agama yang hidup di Indonesia.” Komentar kami, kalau pendeta telah mengaburkan makna Jihad dalam Islam, lalu mengajak umat Islam untuk membentuk wadah jihad model pemahaman yang sudah diubah-ubah itu, kemudian tokoh Islam mengamininya, maka Islam ini dianggap sebagai apa? Apakah Islam ini sekadar barang mainan? Dalam hal mengacak-acak Islam, ada yang lebih gila lagi. Journal Relief terbitan UGM (yang advisornya Achmad Mursyidi, dibiayai pula oleh The Asia Foundation) menyebarkan faham yang sangat memurtadkan, ditulis di cover belakang majalah/journal Relief kutipan pernyataan seorang dosen IAIN Jogjakarta: “…kenapa kita ribut menyalahkan orang ateis bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan. Padahal Tuhan sendiri ateis. Ia tidak ber-Tuhan.” (cover belakang Majalah Relief, vol 1, No 2, Yogyakarta, Mei 2003). Ungkapan itu bertentangan dengan firman Allah: Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (QS Al-Anbiya’: 23). Ungkapan di majalah/ Journal Relief itu kalau dikaitkan dengan ucapan Iblis maka akan berbunyi : Kenapa saya (Iblis) disuruh bersujud kepada Adam, toh Tuhan sendiri tidak bersujud kepada Adam. Kalau dikaitkan dengan perintah-perintah ibadah, menyembah hanya kepada Allah, maka akan diucapkan: Kenapa saya harus menyembah Allah, toh Allah sendiri tidak menyembah siapa-siapa. Itulah logika yang lebih kurang ajar daripada Iblis itu sendiri. Na’udzubillaahi min dzaalik! Dosen IAIN Pemicu Maraknya Nikah Beda Agama Masalah pernikahan beda agama, maraknya pun di antaranya dipicu oleh orang IAIN. Yaitu dosen IAIN Jakarta (kini UIN, Universitas Islam Negeri Jakarta) Fakultas Ushuluddin, aktivis Paramadina, Dr Zainun Kamal asal Sumatera Barat. Dia berani menyiarkan pendapatnya bahwa wanita Muslimah boleh dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani). Pendapatnya yang bukan sekadar nyeleneh tapi sudah menabrak syari’at Islam itu ditangkap secara baik oleh orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal), hingga disiarkan lewat media massa mereka di antaranya Kantor Berita Radio 68H Utan Kayu Jakarta yang direlay 200-an pemancar radio di Indonesia, koran-koran yang menginduk kepada Jawa Pos/ Tempo sekitar 56 koran se-Indonesia, dan website Islam Liberal, islamlib.com, Juli 2002. Menanggapi penghalalan yang haram oleh Dr Zainun Kamal itu, Dahlan Basri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mengatakan, Nabi Muhammad mengajarkan rukun iman ada 6, Harun Nasution (guru besar IAIN Jakarta) bilang 5, Zainun Kamal (murid Harun Nasution) bilang 2. “Inilah orangnya,” kata Dahlan Basri dalam diskusi di Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, 26 Agustus 2002 dengan pembicara Dr Zainun Kamal, tentang pernikahan beda agama. Kenapa sampai para pelontar kenyelenehan itu kini seberani itu, mari kita tengok kembali upaya-upaya memu’tazilahkan IAIN yang dilakukan oleh Harun Nasution dan kader-kadernya. Kini kadernya seperti Dr Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Kamaruddin Hidayat, Zainun Kamal dan lainnya adalah orang-orang yang bisa dilihat sebagai orang-orang yang dekat dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang pada hakekatnya adalah melancarkan pemurtadan berlabel Islam. Karena “aqidah” JIL adalah pluralisme agama, yakni menyejajarkan dan memparalelkan semua agama, semua menuju keselamatan, hanya beda teknis. Bahkan kita tidak boleh melihat agama lain dengan memakai agama yang kita peluk. Upaya menyelenehkan IAIN itu masih ditambah dengan petinggi-petinggi atau dosen-dosen IAIN lainnya yang gigih memasarkan kenyelenehan, di antaranya seperti Abdul Munir Mulkhan dan Amin Abdullah di IAIN Yogya dan Muhammadiyah Yogya, Mathar dan Taufik Adnan Amal di IAIN Alauddin Makassar dan nama-nama lain yang tak sulit dijumpai di berbagai IAIN, STAIN, dan Perguruan Tinggi Islam lainnya. Hanya saja tentu tidak semuanya nyeleneh, seperti Kepala STAIN Serang Banten yang saya sempat jadi pembicara dalam suatu seminar bersamanya, tampaknya beliau tidak termasuk yang nyeleneh ataupun JIL. Juga Dr Fatkhur Rahman Jamil dosen UIN Jakarta yang saya pernah jadi mahasiswanya di UMJ, atau Dr Roem Rawi di IAIN Surabaya, Syekhul Hadi Permono direktur Pascasarjana IAIN Surabaya dan tentu masih banyak lagi yang lainnya, hanya saja mereka tidak dimunculkan oleh media massa, di satu sisi, dan tidak diuntungkan oleh system pendidikan/ pengajaran serta lingkungannya yang mengarah ke pengganyangan terhadap Ahlus Sunnah dan menuju kepada pluralisme agama. Sehingga yang terjadi adalah pemandangan aneh lagi memprihatinkan sebagaimana dikemukakan oleh Adian Husainsi di Kajian Islam Cibubur di Pesantren Husnayain Pasar Rebo Jakarta Timur, 2 Februari 2005/ 22 Dzulhijjah 1425H. Kata Adian, Pak Syekhul Hadi Permono (murid Prof Hasbi as-Shiddiqi waktu di IAIN Jogjakarta) direktur Pascasarjana IAIN Surabaya mengadakan forum untuk menghadapi faham liberal dan pluralisme agama. Tetapi ternyata walaupun dia itu direktur, tidak bisa berbuat banyak, karena bawahannya, dosen-dosennya kebanyakan justru berfaham liberal, pluralisme agama, dan mengikuti metode hermeneutika. Maka akhirnya forum yang dibentuk untuk menghadapi faham liberal itupun bubar. Gambaran yang bisa dikemukakan pula, di IAIN Jakarta ketika ada pemilihan rector tahun 2002, ada pemandangan yang sangat mencolok. Khabarnya Azyumardi Azra yang telah dikenal sebagai kontributor JIL, terpilih kembali dengan suara mayoritas, sedang calon lain yang dikenal memegangi syari’ah (Islam) dengan teguh, hanya mendapatkan suara kurang dari sepuluh pemilih. Sehingga perbedaannya sangat-sangat jauh. Yang tokoh dari liberal mendapatkan suara beberapa ratus, sedang tokoh yang bukan liberal, dan hanya sekadar punya isteri lebih dari satu, tidak sampai berjulukan fondamentalis pun hanya mendapat suara beberapa gelintir. Kalau dibanding-banding, tampaknya orang-orang politik yang secara sekilas merupakan cerminan ketidak pedulian terhadap agamanya, di sini justru masih mending dibanding mental dosen-dosen IAIN Jakarta itu dalam hal memilih pemimpin. Buktinya, Hamzah Haz yang berbini lebih dari satu, masih mereka pilih hingga jadi Wakil Presiden masa Megawati. Tetapi di IAIN Jakarta, ternyata yang berbini dua benar-benar tersingkirkan dari kancah peraihan kursi rector akibat dijauhi oleh dosen-dosen yang berhak memilih. Tokoh Sesat Dijadikan Ketua Alumni IAIN/ UIN Jakarta Penyebaran kenyelenehan secara struktural dan tersusun rapi dengan jaringan yang luas itu kini tampak terang-terangan dan terus-terusan. Hingga yang diangkat sebagai ketua alumni IAIN Jakarta pun adalah orang nyeleneh, yaitu AS Panji Gumilang pemimpin Pesantren/ Ma’had Al-Zaitun Indramayu Jawa Barat. Padahal tokoh NII-Ma’had Al-Zaitun itu jelas-jelas dikenal sebagai tokoh lembaga yang kontroversial, dan telah dinyatakan oleh Menteri Agama Malaysia bahwa itu sesat menyesatkan, hingga para santri dari Malaysia 110-an santri diinstruksikan untuk ditarik dari Ma’had Al-Zaitun. Anehnya, justru AS Panji Gumilang pemimpin Ma’had yang dinyatakan sesat menyesatkan oleh Menteri Agama Malaysia dan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Jakarta, serta Forum Ulama Umat Islam di Bandung, itu malah diangkat sebagai ketua alumni IAIN Jakarta. Malahan Azyumardi Azra selaku rektor pun khabarnya memuji AS Panji Gumilang, bahwa para alumni IAIN jangan hanya jadi para pemikir, hendaknya ada yang terjun ke umat seperti Pak AS Panji Gumilang. Kondisi dan situasi kenyelenehan, tidak pro syari’at, tampaknya sudah kental terutama di IAIN (UIN) Jakarta. Salah satu contoh nyata, sebagaimana kami sebutkan di atas, bisa kita lihat hasil pungutan suara pemilihan rektor beberapa waktu lalu (2002). Azyumardi Azra rektor lama yang dekat dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) bahkan dicantumkan dalam website JIL sebagai salah satu kontributor JIL ternyata meraih suara beberapa ratus. Sedang calon rektor lainnya, di antaranya seorang guru besar yang dikenal ahli syari’ah justru hanya meraih suara 10-an biji. Meskipun dalam hal pemilihan calon rektor itu banyak kaitannya, bukan sekadar fahamnya pro syari’ah atau anti syari’ah, namun kenyataan minimnya pemilih yang menjatuhkan pilihannya terhadap yang ahli syari’ah itu merupakan salah satu indikasi kekurang sukaan mereka terhadap syari’ah. Sebaliknya, kemayoritasan penjatuhan pilihan kepada sosok yang model JIL itu menandakan bahwa mereka memang pro JIL yang anti penerapan syari’at Islam itu. Untuk lebih mengantisipasi bahaya yang akan datang dan agar tidak kebablasan dalam mendiamkan pemurtadan berlabel Islam ala JIL yang disokong suasananya oleh pendidikan dan pengajaran yang ada di IAIN, STAIN dan perguruan-perguruan tinggi Islam se-Indonesia, maka mari kita tengok rancangan mendiang (saya berat mengucapkan almarhum –yang disayangi/ dirahmati) Harun Nasution, guru besar yang berpengaruh di IAIN Jakarta, dan bagaimana sebenarnya pendapat dia. Berikut ini saya kutipkan pendapat Harun Nasution, hasil wawancara saya, dan beberapa tanggapan tokoh lainnya yang rata-rata kini sudah meninggal dunia. Prof.Dr. Harun Nasution Tentang Rukun Iman, Lima atau Enam Faham Mu’tazilah—yang pengikutnya kini lebih suka disebut rasionalis—disebarkan lewat sebuah perguruan tinggi di Jakarta sejak tahun 1977. Alasannya demi kemajuan, dengan klaim bahwa faham Mu’tazilah yang cocok dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sedang faham Ahli Sunnah dianggap tidak cocok dengan kemajuan ilmu pengetahuan karena dinilai bersikap Jabbari, serba kehendak Tuhan. Demikian inti percakapan wartawan Pelita dengan Prof. Dr. Harun Nasution, ahli filsafat di IAIN Jakarta yang pernah belajar di Mesir dan McGill University of Canada. Wawancara berlangsung Selasa siang (14/7/1992) di kantor Prof. Dr. Harun, Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta. Berikut ini hasil wawancara tersebut. Tentang Rukun Iman, sebenarnya ada lima atau enam? Bagaimana penjelasannya? Islam tidak tegas-tegas menentukan Rukun Iman itu lima atau enam. Tetapi kata yu’minu (beriman) di dalam Al-Qur’an itu disebutkan (beriman) kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Akhirat. Di Al-Qur’an nggak ada itu iman kepada qadha dan qadar. Itu ada di hadits. Ulama menambahkannya menjadi Rukun Iman yang ke-6. Haditsnya bukan mutawatir. Ada ulama yang menerima dan ada yang tidak. Mu’tzilah tidak menerima, Ahli Sunnah menerima. Yang modern, Muhammad Abduh dari Mesir tidak menerima. Bagi dia haditsnya tidak kuat. Jamaluddin Al-Afghani sebenarnya tidak percaya tetapi dia katakan qadha dan qadar itu hukum alam. Dalam Qur’an tak dijumpai qadha dan qadar itu bersambung, tapi berpisah-pisah karena berarti Sunnatullah. Maka Jamaluddin mengartikan hukum alam ciptaan Tuhan. Akhir-akhir ini ada kecenderungan qadha dan qadar diartikan hukum alam. Qadha dan qadar diartikan taqdir itu bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Karena dalam faham taqdir yang bahasa Arabnya Jabbariyah dan bahasa Baratnya Fatalisme, semuanya dikehendaki, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalkan api membakar itu menurut Jabbariyah kehendak Tuhan. Sedang dalam IPTEK, yang membakar itu api sendiri. Maka kalau kehendak mutlak Tuhan dipegang berarti tidak ada peraturan. Faham yang membakar itu api, itu qadariyah, free will and free act, bebas berkehendak dan berbuat. Kalau Jabariyah, yang membakar itu Tuhan. Ahli Sunnah mencoba menengahi tetapi tidak bisa, dia pergi ke Jabariyah. Bukankah Ahli Sunnah Itu Ada lkhtiar, Bukan Sekedar Menggantungkan Kehendak Tuhan? Ahli Sunnah ada ikhtiar/usaha tapi bukan menentukan. Kehendak Tuhan yang menentukan. Ahli Sunnah masih mencantumkan ikhtiar tapi dari segi filosofis tidak cocok. Karena ikhtiar tak sejalan dengan kehendak mutlak Tuhan. Kalau yang menentukan itu kehendak mutlak Tuhan, masihkah ada ikhtiar di situ? Apakah Semua Ikhtiar Harus Sukses? Hukum alam yang dipegang. Siapa ikhtiar berhasil. Tetapi ada ayat: “Tidak akan menimpa kita melainkan sesuatu yang telah ditetapkan (kataba) Allah buat kita.” (QS. At-Taubat: 51). Kataba itu bukan Tuhan yang menentukan, manusia yang menentukan, Tuhan mengikuti, itu faham Qadariyah. Nabi Ibrahim Berkata: Jika Aku Sakit Maka Dia (Allah) Yang Menyembuhkan. Itu bukan Tuhan langsung tetapi Tuhan melalui hukum alam-Nya. Sini saya jelaskan. Ada dua konsep. Satu: Jabbariyah, Tuhan mengatur alam ini melalui kehendak mutlak-Nya (masyiatullah). Kedua: Qadariyah, Tuhan mengatur alam ini melalui Sunnatullah. Memang ini kehendak Tuhan pula tetapi melalui Sunnatulullah. Lantas Ahli Sunnah mencoba menengahi keduanya tapi kembali ke Jabbariyah. Ada Qudrat Mubram Artinya Tak Dapat Dielakkan Seperti Mati. Dan Ada Qudrat Mu ‘allaq Yaitu Tergantung pada Ikhtlar, Bagaimana...? Mati itu Sunnatullah. Tidak bisa dielakkan. Tapi waktu mati bisa ditunda. Sebelum dijumpai obat malaria banyak orang mati. Setelah itu tidak. Tergantung kepada kita dalam menunda maut. Kini umur rata-rata orang Indonesia 65 tahun atau berapa, dulu 50 tahun. Seperti dengan cangkok jantung tambah 5 tahun. Arti “laayasta’khiruun,“ tidak bisa diakhirkan, itu adalah setelah habis Sunnatullahnya seperti dalam cangkok jantung kemampuannya tambah umur hanya 5 tahun itu. Apakah Ini Tidak Mengakibatkan Mentuhankan Sunnatullah? Kenapa mentuhankan Sunnatullah? Namanya juga sudah Sunnatullah. Karena Tidak Langsung Menisbatkan Kepada Tuhan. Ya, itu artinya saudara berada di Jabbariyah, bukan di Sunnatullah. Apakah Yang Tidak di Sunnatullah ini Menghalangi Kemajuan IPTEK? Jelas sekali menghalangi. Sebab tidak di Sunnatullah. Bukankah Masih Diwajibkan Ikhtiar bagi Ahli Sunnah? Boleh, ikhtiar itu wajib, tapi apa bisa berhasil. Pastikah hasilnya? Tidak pasti, masih menggantungkan kehendak Tuhan itu tadi. Itu untuk Tawakkal Ya, Tawakkal sajalah kalau saudara yakin pada Sunnatullah maka akan sampai pada yang ditentukan Sunnatullah. Sunnatullah ini sudah ada di zaman Umar bin Khatthab, juga di zaman Nabi Muhammad saw. Dia berperang, kerja, makan, tidur. Umpama semua kehendak Tuhan, apakah perlu perang? Tetapi Nabi Muhammad Selalu Mengembalikan Apa-apa kepada Tuhan. Memang. Tapi langsung atau lewat Sunnatulullah. Di Qur’an, Sunnatullah itu disebutkan tidak akan berubah. Itulah hukum alam yang dijumpai sejak IPTEK zaman Yunani, situasi Islam, dan kemudian zaman modern, itulah yang memajukan IPTEK. Yang tidak percaya Sunnatullah, tidak akan dicari Sunnatullah itu, ya tak ada kemajuan IPTEK. Coba, apakah Ahli Sunnah ada kemajuan? Al-Ghazali Dikenal Maju? Maju tetapi dalam filsafat. Bukan sainss/ ilmu pengetahuan. Dalam sains ia tidak maju. Al-Ghazali tidak percaya Sunnatullah. Apakah Al-Ghazali Yang Mematikan Faham Sunnatullah? Bukan. Bukan Al-Ghazali yang mematikan. Tapi pengaruh tulisan-tulisan dia yang menjadikan orang takut falsafah dan tak percaya Sunnatullah lagi. Faham Sunnatullah itu berkembang abad 8-12. Abad ke-13 mulai berkembang faham tak percaya pada Sunnatullah. Faham Sunnatullah itu dipelopori filosof-filosof Mu’tazilah seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Rusyd. Penghalang kemajuan tertumpu pada ummat Islam yang tak percaya pada Sunnatullah. Maka usaha datang dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan (India) abad 19. Di IAIN sudah kita kembangkan Sunnatullah ini selama 15 tahun (sejak 1977). IAIN sudah berubah. Faham Sunnatullah ini masuk di falsafat dan teologi, bukan hanya di Fak. Ushuluddin tetapi di seluruh fakultas di 14 IAIN . Hanya yang berkembang betul di Jakarta, kemudian di Yogya. Pengembangan itu sudah banyak tenaganya. Mahasiswa yang dikirim ke luar negeri banyak, dan yang sudah berkecimpung di sini banyak. Seperti Nurcholish Majid, Din Syamsuddin , Komaruddin (Hidayat), dan akan datang Azyumardi (Azra) . Ini Bisa Dikatakan Era Mu’tazilah? Ya, sudah masuklah, tapi saya tidak suka disebut Mu’tazilah, tapi rasional. Mu’tazilah itu orang Barat menyebutnya Rasionalis, sedang Ahli Sunnah dan Jabbariyah itu tradisionalis. Bagaimana Anda Mengartikan: Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah? Ya, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Sunnatullah. Itu Berarti Penafsiran. Ya penafsiran. Kalau Ahli Sunnah kan Letter Lijk, Bukan Penafsiran. Ya, letter lijk. Tapi jangan terus menyalahkan salah satu bahwa Mu’tazilah memakai penafsiran. Karena Ahli Sunnah juga pakai penafsiran. Contohnya, dalam hukum, orang yang berbuat baik masuk surga, orang yang berbuat jahat masuk neraka. Tetapi Ahli Sunnah mengatakan, bisa saja Allah memasukkan yang berbuat baik ke neraka, dan yang berbuat jahat masuk surga, dengan penafsiran, kalau Allah menghendaki. Itukan penafsiran. Jadi sama-sama menafsirkan. Kalau Mukjizat Menurut Anda Apa? Mukjizat itu Sunnahtullah yang belum diketahui. Kalau sudah diketahui, orang takkan heran lagi. Seperti Haji Lele (dukun/ tabib di Jakarta, red) bisa mengobati AIDS, misalnya. Apakah faham ini tidak menuju sekularisasi? Kalau Sunnatullah itu jelas bukan sekularisasi, beda dengan hukum alam yang tidak disandarkan pada Tuhan. Kata Baiquni (ahli atom), kalau ilmu itu sudah dikembalikan ke Sunnatullah, berarti sudah Islamisasi ilmu. Sunnatullah itu bukan sekedar hukum alam tapi hukum alam ciptaan Tuhan. Anda menempuh “kemajuan “ dengan membahas taqdir. Padahal Abu Zahrah ulama terkemuka di Timur Tengah mengatakan, para filosof mengungkit-ungkit qadha dan qadar (takdir) itu tidak banyak gunanya bahkan membingungkan masyarakat. Untuk masyarakat awam memang, bingung. Tapi Abu Zahrah yang dosen saya di Mesir itu dia juga berfilsafat. Bagaimana ulama tidak berfilsafat. Ada Hadits Bahwa Nanti Akan Ada Golongan Yang Tidak Percaya Pada Taqdir. Itu saya belum menemukan, semua itu tadi memang “Masyiatullah” (kehendak Allah). Hanya yang Jabbariah mengartikan kehendak mutlak Tuhan, sedang qadariyah kehendak Tuhan melalui Sunnatullah. Demikianlah hasil wawancara penulis dengan Prof Dr Harun Nasution. Berikut ini tanggapan-tanggapan yang penulis kumpulkan cuplikannya. Tanggapan Ketua Umum “PERSIS” Tentang Rukun Iman Tidak beriman kepada qadha dan qadar (taqdir) Allah dalam Islam mengakibatkan cacatnya keimanan. Karena qadha dan qadar itu jelas ada dalam hadits. Sedangkan hadits Nabi Muhammad saw itu sendiri adalah wahyu Allah yang sifatnya ghairu matluw (tidak dibacakan oleh malaikat Jibril). Wahyu yang dibacakan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw adalah Al-Qur’an. Kedua-duanya menjadi sumber pokok dalam Islam. KH A. Latief Mukhtar MA, ketua Umum PERSIS (Persatuan Islam), alumni Institut Studi lslam/Ma’had Dirosah Islamiyah Mesir—dulu tempat belajar Prof. Dr. Harun Nasution pula—mengemukakan hal tersebut menanggapi pendapat Harun Nasution tentang Rukun Iman ada lima atau enam (Pelita, 16/7 1992). Pendapat Harun Nasution itu ditanggapi secara berturut-turut oleh KH. Ali Yafie (17/7 1992), Prof. Dr. Peunoh Dali (18/7 1992), KH Masyhuri Syahid MA (21/7 1992), Prof. Dr. HM. Rasyidi (22/71992). Cacatnya keimanan lantaran tidak mengimani qadha dan qadar Allah, ungkap A Latief Mukhtar yang bermukim di Bandung ini, karena ditegaskan dalam Al-Qur’an: “... yu’minuuna biba’dhil kitaab wayakfuruuna biba’dhihi ...” [Mengimani sebagian (isi) kitab dan mengingkari sebagiannya...] “Ketidak percayaan pada qadha dan qadar itu karena Mu’tazilah titik tolaknya pada rasio/ akal. Sedangkan qadha dan qadar itu ada di hadits yang sebenarnya juga wahyu. Maka secara Qur’ani pengingkaran ini berarti cacat keimananya,” ucap KH. A. Latief Mukhtar MA. Over acting Contoh rasional yang over acting, menurut almarhum Said Hilabi mantan ketua umum Al-Irsyad, alumni Mu’allimin Al-Irsyad Pekalongan 1939, adalah ungkapan Harun Nasution tentang menunda kematian bahwa mati tidak bisa dielakkan tetapi bisa ditunda, misalnya dengan cangkok jantung tambah umur 5 tahun. Asal mampu mengerti kadar/ ketentuan-ketentuan untuk hidup 120 tahun misalnya, kata Hilabi, dan mampu mensuplay dengan kebutuhan seluruhnya maka bisa bertahan hidup. “Tetapi masih ada satu lagi, ada masalah yang tidak bisa dikontrol. Misalnya kita naik pesawat lalu jatuh, mati. Memang ada hukum kausalita, sebab akibat. Tetapi ada juga yang tidak bisa dikontrol,” ucap Hilabi. Qadha dan Qadar Dalam hadits Nabi Muhammad saw yang dikenal dengan hadits Jibril, dari Umar bin Khatthab diriwayatkan oleh Imam Muslim: “.....Beritahulah aku tentang iman. Rasul menjawab: “Anda beriman dengan Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan anda beriman dengan qadar (ketentuan) baik dan buruk.... “ (HR. Muslim). Hadits itu, menurut Masyhuri Syahid alumni Al-Azhar Mesir, dipergunakan oleh jumhur (mayoritas) ahli hadits termasuk Imam Syafi’i. Landasan yang disepakati jumhur ahli hadits, kalau hadits itu sesuai dengan jiwa Al-Qur’an, tidak mustaqil (terlepas sama sekali) dengan jiwa Al-Qur’an, maka diterima atau dipakai. “Dalam hal qadha dan qadar ini jelas ada dalam Al-Qur’an, kemudian ada haditsnya, jadi dipakai,” ujar Masyhuri Syahid menegaskan rukun iman itu jelas ada enam bukan lima, sambil menambahkan, yang tidak terpakai itu hadits Mudhu’ (palsu) yang tidak sesuai Al-Qur’an dan tak kuat periwayatnya. Dimunculkannya kembali ketidakpercayaan kepada hadits yang sangat terkenal itu, menurut Masyhuri Syahid, bisa dikhawatirkan ada usaha-usaha menjauhkan agama dengan mempreteli aqidah ummat Islam. Kalau langsung menjauhkan agama dan ummatnya pasti sulit, maka ditempuh jalan lewat mempreteli aqidahnya. “Memang syi’ah tidak senang bahkan apriori terhadap Umar bin Khatthab, sedang Mu’tazilah tidak begitu mengindahkan hadits. Jadi latar belakang ini juga perlu dikenal, sebab qadha dan qadar tersebut ada di hadits, dan itu dari Umar,” ulasnya. Mengingkari Sifat Tuhan Menurut KH Ali Yafie, ulama yang pernah duduk di MUI, faham Mu’tazilah yang paling menonjol adalah mengingkari sifat-sifat Tuhan. Seperti, Tuhan Maha Kuasa, itu menurut Mu’tazilah tidak bisa disifatkan begitu. “Mu’tazilah menamakan prinsip Tauhid adalah mengingkari sifat Tuhan,” ujarnya. Demikian pula, lanjut Ali Yafie, dalam prinsip ‘adl (keadilan), Mu’tazilah mengingkari qadha dan qadar. Karena dalam qadha dan qadar bagi mereka seakan-akan seperti ada kekurangan keadilan Tuhan. Jadi segala perbuatan tidak dinisbatkan kepada Tuhan. Akibatnya menjadi faham qadariyah, tidak mempercayai taqdir Allah swt. “Ini campur baur dengan filsafat, dan faham inilah yang menentang mayoritas ummat Islam,” tegasnya. Menumbuhkan Taqlid Mu’tazilah Memilah-milah ummat Islam dengan mengatakan Mu’tazilah pro-sains (ilmu pengetahuan) dan Ahli Sunnah tidak, berakibat menumbuhkan sikap saling membanggakan golongan. Pemikiran semacam itu latah, ketinggalan zaman, menimbulkan cekcok, dan tidak perlu. “Kenapa tidak mengembangkan pemikiran Islam dan sains dari sumbernya, dengan kembali kepada sumber Islam lalu mengikuti manhaj fikril Islami (pola pemikiran Islami)?” sanggah Prof Dr Peunoh Dali (almarhum) alumni Al-Azhar Mesir jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh.. Menurut Peunoh Dali, fanatik kepada Mu’tazilah seperti apa yang dimaui Pak Harun itu justru mempersempit dan memperkecil potensi akal. “Jangan taqlid butalah!” tandasnya. Peunoh mentamsilkan, kalau dulu orang memaki-maki taqlid mazhab, kini malah timbul taqlid Mu’tazilah. Ini alasan baru, bila memakai faham Mu’tazilah akan cocok dengan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) itu. Faham Mu’tazilah, jelas Peunoh, menurut buku Al-Mu’tazilah karangan Ustadz Az-Zuhdi dari Suriah, tidak dapat maju dimana-mana. Cara berfikir Mu’tazilah seperti Islam, tetapi tidak lurus Islam benar. Washil bin Atha’, pendiri aliran Mu’tazilah itu, antek Yahudi. “Masa, umur 19 tahun sudah bisa ngomong segala macam dan mendirikan aliran, itu karena yang ngomong segala macam dan mendirikan aliran, itu karena yang ngomong adalah orang lain yaitu Yahudi,” tutur Peunoh mengutip buku itu. Harun Nasution Kadang Ucapannya Melewati Batas Prof. Dr. HM Rasyidi (almarhum) kawan senior Prof. Dr. Harun Nasution—waktu di Mesir dan Canada 1958-1963-- menanggapi pendapat Harun Nasution. Prof. HM Rasyidi mengatakan bahwa ucapan Harun Nasution kadang-kadang melewati batas. Tanggapan itu disampaikan kepada Pelita, Selasa (21/7 1992) setelah surat kabar ini memberitakan pendapat Harun Nasution tentang Rukun Iman hanya lima (Kamis 16/7). Pendapat itu ditanggapi KH. Ali Yafie (Jum’at 17), Prof.Dr.H. Peunoh Dali (Sabtu 18/7), dan KH. Masyhuri Syahid MA (Selasa 21/7 1992). Tanggapan Prof. Dr. HM. Rasyidi seutuhnya seperti berikut ini. Prof. Harun Nasution menimbulkan persoalan tentang Rukun Iman, dan mengatakan bahwa Rukun Iman dalam Islam lima yaitu Iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab suci, rasul-rasul-Nya, dan akhirat; sedang yang keenam yaitu percaya kepada qadha dan qadar ia mengkritiknya. Prof. Harun Nasution adalah teman saya pribadi ketika saya mencari pengalaman di Canada, di Universitas Mc. Gill di kota Montreal kira-kira pada tahun 1958-1963, dengan menjadi asosiasi Profesor di sana. Ia sebagai seorang teman saya yang berada di Paris, saya berusaha dengan mencarikan bantuan baginya untuk meneruskan belajar di McGill. Beliau menerima tawaran itu dan menyelesaikan program MA dan Ph.D setelah saya berada di Washington Islamic Center, sampai kembali ke Jakarta pada tahun 1963. Nampak pembawaan pribadi kita berdua berlainan, sehingga penilaian tentang apa yang kami dengarkan dan saksikan juga berlainan. Pada berita 16 Juli 1992/ 15 Muharam 1413 H Dr. Harun Nasution menunjukkan dirinya sebagai orang yang sangat terpengaruh oleh cara orang mempelajari Islam di Barat sehingga memberi kesan bahwa semua cara mempelajari Islam di sana baik, dan semua yang di negeri-negeri Timur Tengah mengecewakan, tanpa melihat perbedaan waktu yang berabad-abad. Dr. Harun Nasution dalam berita berjudul: “Rukun Iman Lima atau Enam” mengatakan, “bahwa yang biasa dianut sebagai rukun keenam (Iman kepada qadha dan qadar) itu tidak benar, karena bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Dalam faham taqdir yang bahasa Arabnya Jabbariyah dan bahasa Baratnya Fatalisme, segala sesuatu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Api membakar menurut kehendak Tuhan, adalah faham taqdir, yang berarti bahwa Tuhanlah yang membakar. Padahal api adalah penyebab daya membakar.” Dengan mengikuti uraian Prof. Harun Nasution yang sangat bersemangat untuk menunjukkan bahwa “api” lah penyebab kebakaran dan bukan Tuhan, soalnya menjadi buntu. Tetapi marilah kita berfikir secara tenang sebagai orang yang beragama Islam. Dalam firman Allah: “Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadiid: 22-23). Prof. Harun Nasution kadang-kadang sampai melewati batas seperti ucapannya: Hukum alam yang dipegang, semua ikhtiar berhasil. Kesan saya tentang sahabat saya Dr. Harun Nasution seperti kesan saya waktu membaca surat Al-Baqarah: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dia dari Barat,“ lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 258) Dosen IAIN Dikirim ke Barat Bersamaan dengan pemberian tanggapan itu Pelita menanyakan kepada Pak Rasyidi tentang pengiriman dosen-dosen IAIN untuk belajar ke Barat (Eropa dan Amerika) dengan alasan untuk belajar metodologi berfikir. Prof. Rasyidi menjawab: Pengiriman dosen IAIN ke Barat itu boleh, tetapi hendaknya yang benar-benar bisa berfikir. Maksudnya, dosen yang dikirim ke Barat itu, ukurannya berdasarkan ibadahnya itu ia tidak hilang ketika mendapatkan pelajaran atau pengaruh dari Barat. Prof. Rasyidi mencontohkan, dirinya pernah ditarik-tarik ke arah yang tidak karuan oleh seorang yang mendapatkan doktor dari Amerika, ketika diskusi tentang Syi’ah dengan Jalaluddin Rachmat dari Bandung di Pesantren Darun Najah Jakarta beberapa waktu lalu dan doktor itu menjadi moderator. Itu menunjukkan bahwa pemahaman dia sendiri masih kabur tentang Islam ini. Model penyandang gelar tetapi sebenarnya masih kabur pemahaman atau keilmuannya seperti itu, menurut HM. Rasyidi, akan mudah dipermainkan orang. Meskipun demikian, Prof. Rasyidi mengakui, kalau Nurcholish Madjid memang betul-betul belajar. Dan sekalipun ia sesekali berfikiran nyeleneh tetapi masih ada rasa malunya. Itu masih agak mending kalau dibanding dengan figur lain (Prof. Rasyidi menyebut nama seseorang yang dikenal nyeleneh pula) sudah bodoh, ngomongnya tak karuan lagi, ulasnya. Mu’tazilah dan Sains Tentang Mu’tazilah dikaitkan dengan sains (ilmu pengetahuan), HM. Rasyidi berkomentar, orang yang mengaitkan itu hanyalah Harun Nasution. “Bagi saya Mu’tazilah itu bikin bingung orang,” tegasnya. Sains, lanjutnya, waktu itu belum ada seperti halnya sekarang. Hanya, Mu’tazilah mengandalkan akal. Tetapi akal kadang-kadang juga tak sampai. Misalnya, pembicaraan berkisar Al-Qur’an itu qodim (dulu) atau hadits (baru). Mu’tazilah mengatakan hadits (baru). Sedang Ahlis Sunnah karena Al-Qur’an itu jelas-jelas kalam Allah maka mengatakan qodim. “Jadi hanya soal-soal yang begitu-begitu itu. Lantas Mu’tazilah diterjemahkan dengan rasional, itu sebenarnya juga nggak. Mu’tazilah ya Mu’tazilah,” ucap Rasyidi. Prof. Dr. Harun Nasution yang dihubungi oleh Pelita Sabtu lalu (18/7 1992) menyatakan tidak bersedia memberikan komentar atas tanggapan dari sejumlah tokoh Islam yang menanggapi pernyataannya tentang jumlah rukun iman itu. “Sudah, sudah selesai. Saya sudah mengemukakan pendapat saya, ya sudah selesai...” Jawabnya dari balik gagang telepon. Dalam pembicaraan via telepon itu penulis mendengar lolongan beberapa anjing yang kemungkinan berada di dekat Pak Prof. Harun Nasution yang menjawab pertanyaan itu lewat telepon di dalam rumahnya. Demikianlah pola pemikiran yang dicanangkan untuk IAIN, STAIN, dan perguruan tinggi Islam di Indonesia yang digagas oleh Harun Nasution dan diteruskan oleh para kadernya. Hasilnya kini bisa disimak, di antaranya di sini, betapa banyaknya dosen IAIN yang bersuara nyeleneh.# IAIN Dikotori Oknum-oknum dan Dijadikan Alat Mengotori Aqidah Islam? IAIN Dibuat Nyeleneh dari Sini? Ajakan Dzikir Anjing hu akbar di IAIN Bandung Satu Contoh Kasus Kasus ucapan mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Gunung Djati Bandung dalam ta'aruf dengan mahasiswa baru September 2004 cukup menyentak. Di antaranya perkataan: “Selamat bergabung di area bebas tuhan”. Malah ada seorang mahasiswa dari jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin mengepalkan tangan dan meneriakkan, “Kita berzikir bersama anjing hu akbar.” Berikut ini cuplikan laporan utama Tabloid Republika Dialog Jum’at, 22 Oktober 2004 berjudul Terpeleset Filsafat di Bandung: Jum’at, 27 September 2004, sore hari. Ratusan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung, melakukan prosesi penerimaan mahasiswa baru atau yang biasa disebut taaruf. Sebagai institusi Islam, taaruf juga akan mempelajari masalah keislaman secara sepintas. Mereka akan mempelajari bagaimana Islam dulu, kini, dan masa depan, serta bagaimana peluang IAIN dalam kehidupan bermasyarakat pada masa depan. Pada hari itu pula, panitia yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa, akan memperkenalkan seluruh organisasi mahasiswa yang berada di lingkungan IAIN. Di saat pembawa acara memanggil setiap jurusan untuk maju ke atas panggung dan memperkenalkannya, suara riuh dan sorak sorai mahasiswa baru menggema. Bahkan tidak segan mereka melakukan tepuk tangan dan mengikuti ucapan Allahu Akbar, ketika diinstruksikan oleh senior jurusannya. Hal berbeda terjadi pada Fakultas Ushuluddin. Fakultas yang terdiri dari lima jurusan yakni, Sosiologi Agama, Perbandingan Agama, Tafsir Hadits, dan Aqidah Filsafat ini, disambut dengan tangisan sebagian mahasiswa. Bagaimana tidak, sejak mereka memasuki ruangan dan menaiki panggung, seorang dari mahasiswa yang menjadi juru bicara untuk fakultas itu, memulai dengan perkataan, “Selamat bergabung di area bebas tuhan”. Jurusan Sosiologi Agama punya gaya sendiri menyambut juniornya. “Mahasiswa sosiologi agama adalah insan kreatif inovatif yang sosialis demokratis. Beri kesempatan kepada teman-teman kami yang senantiasa mencari tuhan,” ungkap ketua himpunan jurusan sosiologi agama. Pernyataan yang lebih menakutkan keluar dari mulut salah satu di antara mereka. “Kami tidak ingin punya tuhan yang takut pada akal manusia,” katanya. Namun perkataan itu tidaklah berarti ketika seorang mahasiswa dari jurusan Aqidah Filsafat, mengepalkan tangan dan meneriakkan: “Kita berzikir bersama anjing hu akbar,” teriaknya lantang. Dalam laporan Republika itu dikutip komentar ulama FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) Bandung, KH Athi’an Ali Da’I, “Ada dosen yang di depan kelas dengan bangganya mengaku sudah tiga bulan tak shalat.” Dijelaskan, berkaitan dengan kasus ini, FUUI mengeluarkan empat fatwa. Namun khabarnya pihak Rektorat IAIN Bandung justru mengancam FUUI dan membela mahasiswanya yang telah mengucapkan hinaan terhadap Allah SWT di depan umum (para mahasiswa baru IAIN SGD Bandung) itu. Beritanya sebagai berikut: Empat Fatwa FUUI untuk Kasus IAIN BANDUNG—Kasus penghinaan melalui perkataan yang dikeluarkan oknum mahasiswa Aqidah Filsafat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati (SGD), semakin meruncing. Setelah pihak Rektorat IAIN SGD Bandung mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan, dengan tuduhan pencemaran nama baik, kini giliran Forum Ulama Ummat Islam (FUUI), mengeluarkan empat fatwa. Empat butir fatwa yang dikeluarkan FUUI itu, berisi tuntutan agar oknum mahasiswa yang telah menghina Islam wajib dihukum mati. Hal ini sesuai dengan fatwa FUUI No 02/Dzulqo’idah/1421, mengenai Penghinaan Terhadap Islam. Hal ini dikatakan Ketua FUUI, KH Athian Ali Muhammad Dai MA, saat konferensi pers pemutaran VCD, Sabtu (9/10 2004). “Berdasarkan syariat Islam, mereka yang menghina Islam seperti pendeta Suradi dan Pendeta Poernama Winangun, wajib dihukum mati,” katanya menjelaskan. Imbauan kedua, kata dia, pemerintah dituntut segera melaksanakan tindakan hukum, untuk menghindari umat Islam mengambil tindakan sendiri. Maklumat ketiga, sambung Athian, mengimbau kepada pihak berwenang di IAIN SGD Bandung, untuk mensterilkan IAIN dari individu, faham, silabus, maupun metodologi. Baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan berproyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, yang sengaja ataupun tidak sengaja mengarahkan mahasiswa pada pola pikir yang bertentangan dengan aqidah, akhlak dan syariat Islam. Terakhir, sambung Athian, pihaknya mengimbau kepada orangtua untuk tidak melanjutkan pendidikan putra putrinya ke IAIN, sebelum institusi itu steril. “Apabila memang telah telanjur, orang tua harus lebih memperhatikan aqidah, akhlak, dan pelaksanaan syariat Islam,” katanya menandaskan. Athian mengaku tak menyangka hal ini akan terjadi di kalangan yang notabene lembaga pendidikan tinggi Islam. Bahkan, dirinya tidak habis pikir mengapa IAIN menuduhnya mencemarkan nama baik. Padahal, kata dia, dirinya melakukan hal tersebut karena sayang terhadap IAIN dan ingin membantu perguruan tinggi tersebut. Dikatakan Athian, dirinya telah mengundang pihak IAIN untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini. Namun hingga acara berlangsung, tidak ada pihak IAIN yang menghadirinya. “Saya sudah mengundangnya, tetapi tidak ada yang datang. Kalau seperti ini, tidak akan ada pembicaraan lagi karena untuk apa,” paparnya. Dituturkan Athian, kasus ini muncul dari laporan sejumlah mahasiswa IAIN yang mengatakan di kampusnya ada upaya pendangkalan aqidah Islam dengan menyatakan ‘Islam bukan satu-satunya agama yang benar’, serta pernyataan-pernyataan buruk lainnya. Ungkapan itu, sambung dia, merupakan penghinaan terhadap Allah SWT dan Islam. “Mereka meminta bantuan kepada kami. Apabila kasus ini masuk ke pengadilan, mahasiswa itu siap menjadi saksi,” katanya. Koordinator tim advokasi FUUI, Rizal Fadhillah, mengatakan, maklumat ini sebagai langkah awal untuk melaporkan okum mahasiswa itu ke Polda Jabar. Ditambahkannya, mereka terancam dijerat dua pasal sekaligus, yaitu pasal 156 A KUHP tentang penodaan agama dan 156 B tentang ajakan tak ber-Tuhan. Sementara itu, Pembantu Rektor V IAIN SGD Bandung, Mohammad Najib, mengatakan, pihaknya siap menerima tuntutan FUUI. Namun, diakuinya, pihaknya tidak akan menyerahkan Faridl sebagai pelaku yang dimaksud FUUI, sebelum pihak rektorat melakukan uji otentik dan uji konteks akademis kepada mahasiswa tersebut. Najib menambahkan, pihaknya pernah memanggil Faridl untuk dimintai keterangan mengenai perbuatannya. Namun setelah diperiksa, tim klarifikasi yang sengaja dibentuk rektorat ini, tidak menemukan hal yang menyalahi aturan. “Pasalnya itu murni persoalan akademik. Tapi saya akan melakukan pemanggilan lagi,” katanya saat dihubungi Republika, Ahad (10/10). Allah Swt Membongkar Mereka Umat Islam tidak usah payah-payah melacak pemikiran orang-orang IAIN, dengan adanya kasus yang menyentak dilontarkan oleh mahasiswa IAIN Bandung, lalu dibela-bela oleh para dosen dan pimpinan di kampus, itu sudah merupakan bukti nyata. Bahwa mereka memang modelnya seperti itu, cara membela masalah yang menghina agama pun dengan memutar-mutar lidah seperti itu. Cara mereka berkelit pun sudah tampak nyata. Jadi tidak usah umat Islam mencari dan melacak ke dalam-dalamnya, mereka sendirilah yang menampakkan jati diri mereka, isi kepala mereka. Lebih jelas lagi penampakan jati diri mereka itu ketika dekan Ushuluddin IAIN Bandung berbicara di acara kontroversi di TV 7 di suatu malam menjelang Iedul Fitri 1425H. Nama acaranya itu sendiri kontroversi, yang dalam hal ini kasus “anjing hu akbar” dan “areal bebas tuhan” di IAIN Bandung itu. Ternyata kasus yang sudah nyata-nyata menghina Alloh swt itu dibela benar-benar oleh sang dekan Ushuluddin IAIN Bandung. Bahkan dengan ungkapan yang merendahkan FUUI, yang memprotes kasus itu, oleh dekan Ushuluddin diremehkan dengan menyebut bahwa orang-orang FUUI itu S2 saja belum lulus. Pembelaan kepada mahasiswa yang telah kurangajar, dengan cara meremehkan orang lain seperti itu, justru menampakkan diri sebagai orang-orang yang memang tidak pantas untuk memegang amanat ilmiah, apalagi agama Islam. Karena Islam jelas mengecam kesombongan, di antaranya kesombongan model merendahkan orang lain atau lembaga lain. Dari satu sisi, dia membanggakan lembaga IAIN-nya yang katanya banyak doctor dan professor, ternyata tidak mempersoalkan masalah mahasiswanya itu. Sementara lembaga FUUI yang orang-orangnya belum lulus S2 malah mempersoalkan. Pernyataan seorang dekan Ushuluddin IAIN Bandung seperti itu sebenarnya justru meremuk redamkan IAIN Bandung itu sendiri. Karena ternyata lembaga yang dipimpin oleh orang yang benar-benar sombong dalam arti sebenarnya yaitu: alkibru bathorul haq wa ghomtun naas. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Ini jelas dalam hadits: Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw, beliau bersabda: “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat dzarrah/ biji (pun).” Seorang lelaki berkata, sesungguhnya lelaki (maksudnya Malik bin Muroroh Ar-Rohawi) suka kalau pakaiannya bagus dan sandalnya bagus. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Maha Bagus menyukai yang bagus. Sombong itu adalah menolak lagi mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia. (HR Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi). Qodarulloh, umat Islam ditunjuki bahwa isi di dalam IAIN di Indonesia adalah seperti itu. Mahasiswanya seperti itu tingkah polah dan ucapannya, demikian pula dosen-dosen dan pimpinan fakultas maupun institutnya. Sehingga umat Islam tidak usah berpayah-payah untuk menggali, sebenarnya isi orang IAIN di Indonesia itu seperti apa, ternyata qodarulloh, mereka sendiri yang membongkarnya; ya mahasiswanya, ya dosen-dosennya, dan juga pimpinan fakultas dan institutnya. Ditambah lagi pembongkaran yang dilakukan oleh tokoh Islam yang punya ghiroh Islamiyah tinggi, sehingga umat ini mengetahuinya. Al-Qur’an telah menggambarkan adanya pembongkaran rumah orang-orang kafir Ahli Kitab dengan tangan-tangan orang kafir itu sendiri dan tangan-tangan orang mukminin. Maka tidak mengherankan, kalau penghinaan terhadap Islam, terhadap Alloh swt pun dibongkar sendiri oleh pelaku-pelakunya beserta pembela-pembelanya, ditambah dengan pembongkaran oleh Mukminin. Dalam persitiwa pembongkaran rumah-rumah orang kafir Ahli Kitab, Allah swt mengabadikan kisahnya di dalam Al-Qur’an: Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (QS Al-Hasyr/ 59: 2). Apabila pembongkaran yang telah ditampakkan oleh Allah swt dalam kasus di IAIN Bandung itu tidak menjadi pelajaran bagi pihak IAIN se-Indonesia (yang kenyataannya masyarakat umum tahu, rata-rata pemikirannya sama saja model itu) maka Allah swt tidak sulit untuk membongkar mereka lebih dahsyat lagi, baik lewat orang-orang dari dalam IAIN se-Indonesia itu sendiri maupun umat Islam atau bersama-sama. Bahkan pihak-pihak yang membela kesesatan selama ini pun tidak sulit bagi Allah swt untuk membongkarnya. Dan adapun sampai mereka mati tidak terbongkar pula, maka pengadilan di akherat kelak tetap akan mereka derita. Itulah jaminan yang tidak akan meleset, maka FUUI ataupun umat Islam pada umumnya sebenarnya hanya bertugas saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran. Adapun nasihat bahkan tuntutan justru dibalas hinaan, itu satu anugerah bahwa pengusung kesesatan yang sampai melecehkan Islam ini sudah ditampakkan oleh Allah swt figur-figur dan sarang-sarangnya. Tinggal umat Islam ini mampu memahami itu atau tidak. Ini salah satu ujian dalam menjalankan Islam, mau pilih yang membela Islam atau justru pilih yang melecehkannya sambil memutar-mutar lidah dan berlindung di bawah jubah title, lembaga dan sarangnya. Munafiqin Mengejek Allah, Rasul-Nya, dan Ayat-ayat-Nya Ada peristiwa di zaman Nabi Muhammad saw berupa kasus penghinaan yang dilancarkan orang-orang munafiq terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan RasulNya, hingga Allah swt menurunkan ayat. Peristiwa itu coba kita tarik garis perbandingan dengan kasus di zaman sekarang. Kasusnya diabadikan oleh Allah swt dalam ayat Al-Qur’an: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (At-Taubah: 65). Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-Taubah: 66). Dalam Tafsir Al-Baghowi dijelaskan: Sebab turunnya ayat ini menurut perkataan Al-Kalbi, Muqotil, dan Qotadah: Bahwa Nabi saw dulu berjalan pada perang Tabuk, di hadapannya ada 3 orang munafik, yang 2 orang mengolok-olok Al-Qur’an dan Rasul, dan yang ketiga tertawa. Dikatakan: Mereka berkata: “Sesungguhnya Muhammad menyangka dia akan mengalahkan Rum dan membuka kota-kota mereka, betapa jauhnya dari yang demikian!” Dan dikatakan, mereka berkata: “Sesungguhnya Muhammad menyangka bahwa dia dituruni Quran untuk teman-teman kita yang bermukim di Madinah, padahal itu hanyalah perkataan dan ucapan dia.” Maka Allah memperlihatkan kepada Nabi-Nya saw mengenai hal (olok-olok munafiqin) itu, lalu beliau berkata: “Tahanlah para pengendara padaku,” lalu beliau memanggil mereka dan berkata kepada mereka: “Kalian telah berkata begini dan begini?” Lalu mereka menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja" artinya kami berbincang-bincang dan masuk dalam pembicaraan sebagaimana dikerjakan para pengendara untuk menempuh jalan dengan pembicaraan dan main-main. Putar-putar lidah yang dilakukan munafiqin dalam kisah yang menjadi sebab turunnya ayat 65-66 Surat At-Taubah ini tampak lebih sederhana dan masuk akal, namun Allah SWT tetap memvonis mereka sebagai kafir dan mengecam mereka karena telah mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, dan ayat-ayat-Nya. Kasus itu dapat kita bandingkan dengan silat lidah orang-orang sekarang dengan dalih-dalih yang dibuat-buat, misalnya: “ini sekadar wacana”, “ini pembahasan akademis”, “jangan dimaknakan secara tekstual, literal atau secara dangkal”. Kilah-kilah model itu sifatnya masih meminta agar orang lain memahami kekacauan mereka. Di samping itu mereka masih punya banyak senjata berupa ocehan sodokan yang dijadikan alat untuk menyodok Muslimin yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara istiqomah dan bermanhaj yang benar, misalnya: “yang kita perlukan adalah Islam progresip, bukan yang melihat masa lalu melulu”, “kita perlu Islam yang emansipatoris”, “tidak boleh kita itu sok mengaku berada di pulau kebenaran sendiri”, “tidak boleh sok mengaku bahwa pendapat saya lah yang paling benar”, dan sebagainya. Itu semua adalah senjata mereka untuk menutupi kekacauan pemahaman mereka, sekaligus menipu calon-calon korbannya agar mudah dijebak ke kekacauan pemahaman Islam model mereka. Seberani-beraninya orang munafiqin zaman Nabi saw, mereka ketika melontarkan ejekan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sifatnya masih sembunyi-sembunyi dan non formal. Tetapi sekarang, secara formal orang-orang IAIN atau UIN dan orang-orang JIL serta liberal, pada bulan September 2004, mereka ramai-ramai mendatangkan pengejek ulung terhadap Al-Qur’an, yaitu Nasr Hamid Abu Zaid yang sudah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996, di antaranya karena tulisan-tulisannya dan pendapatnya yang disebarkan bahwa Al-Qur’an itu muntaj tsaqofi (produk budaya). Ejekan yang diusungnya itu sama saja dengan ungkapan kaum munafiqin dalam kisah yang mengakibatkan turunnya Al-Qur’an yang mengecam munafiqin itu. Betapa dahsyatnya sekarang ini. Dulu kaum munafiqin beraninya mengejek Al-Qur’an secara sembunyi-sembunyi, sekarang malah secara terang-terangan dan formal, serta disebarkan lewat media massa secara besar-besaran. Semua itu dengan mencari dana dari lembaga-lembaga kafir. Astaghfirullohal ‘Adhiem. Lebih aneh lagi, orang yang jelas-jelas kafir dan mengejek Nabi Muhammad saw zaman sekarang justru didukung-dukung oleh orang-orang yang mengaku Muslim dan memimpin perguruan tinggi Islam terkemuka. Contohnya, Azyumardi Azra rector UIN Jakarta memberi kata pengantar terjemahan buku Robert Morey, Islamic Invasion, yang isinya sangat menghina Nabi Muhammad saw. Sampai-sampai, Robert Morey dalam bukunya itu menulis: “…kalau kita perhatikan kehidupan Muhammad, kita akan menemukan bahwa dia merupakan manusia biasa yang juga bergelimang dosa seperti halnya dengan kita semua. Dia berbohong, dia menipu, dia dipenuhi nafsu birahi; dia mengingkari janji, dia membunuh, dan lain-lain. Dia tidak sempurna dan dia juga berdosa." Buku sekeji itu penghinaannya terhadap Nabi Muhammad saw justru diberi kata pengantar oleh Azyumardi Azra. Bahkan dalam pengantar buku terjemahan itu oleh penyelenggaranya ditekankan bahwa umat Islam wajib membaca buku itu. Astaghfirullohal ‘Adhiem. Bisa kita bandingkan, betapa terang-terangannya sekarang ini dalam menampakkan penghinaan terhadap Rasulullah saw, jauh lebih ngedeng (terang-terangan) dibanding kasus munafiqin yang mengejek Rasulullah saw hingga turun ayat 65 Surat At-Taubah yang mengecam keras kaum munafiqin tersebut. Menghalalkan yang Haram dan Duduk Manis di Depan Orientalis Tidak sulit untuk menyebutkan nama-nama besar dari orang-orang IAIN ataupun UIN di Indonesia yang perkataannya menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, memurtadkan, menyamakan agama kemusyrikan dengan agama tauhid, dan aneka kenyelenehan yang merusak Islam bahkan memurtadkan. Gejala yang membahayakan bagi Islam tetapi lewat pendidikan tinggi Islam resmi seperti itu memancing kejengkelan umat Islam yang teguh yang selama ini menghadapi aneka PR (pekerjaan rumah) dari para musuh Islam. Masih ditambah lagi bukti-bukti bahwa tonjokan-tonjokan musuh-musuh Islam kepada kaum Muslimin seringkali justru ditimpali oleh para pembelok Islam yang sebagian (banyak?) adalah dari perguruan tinggi Islam: UIN (Universitas Islam Negeri), IAIN (Institut Agama Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), ataupun STAIS (swasta). Mendiang Mukti Ali tokoh IAIN yang paling mulus dari kalangan pembela kesesatan pun tidak kecil andilnya dalam membela bahkan menumbuh kembangkan pemahaman kemusyrikan dan pemurtadan. Di antaranya justru Mukti Ali dari IAIN Jogjakarta itulah pembela utama dan penulis kata pengantar buku perusakan Islam berjudul Catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam terbitan LP3ES Jakarta dukungan Dawam Rahardjo. Buku itu sangat dikecam olerh MUI (Majlis Ulama Indonesia) dan umat Islam, karena penulisnya orang yang dicap murtad oleh MUI lantaran menghantam Islam, namun tetap dibela oleh Mukti Ali dan juga Badan Litbang Departemen Agama. Alasannya, karena buku itu buku ilmiyah. Itu adalah alasan gombal yang dibuat-buat. Mana ada buku ilmiyah sampai berani membeberkan tanpa dalil bahwa Karl Marx yang atheis alias dedengkot kafir itu surganya surga tertinggi bersama Nabi Muhammad saw. Mendiang Mukti Ali pula yang ngotot untuk tetap dilangsungkan pengiriman dosen-dosen IAIN untuk belajar Islam kepada kafirin di universitas-universitas Barat. Dan saya dengar langsung dari mulut dialah nasehat yang bertubi-tubi kepada Menteri Agama Tarmidzi Taher di rumah Mukti Ali di Jogja sebelum Tarmidzi bezuk ke Kuntowijoyo tahun 1994-an. Yaitu agar tetap dilangsungkan pengiriman dosen-dosen IAIN untuk belajar Islam ke universitas-universitas Barat. Alhamdulillah saya belakangan dapat informasi dari Akh Adnin Armas kandidat doctor yang belajar di Malaysia. Kata gurunya, Naquib Al-Atas, bahwa Mukti Ali dan Harun Nasution (dulu rector IAIN Jakarta) itu adalah murid yang duduk-manis di Mc Gill University Canada di hadapan para dosen yaitu orang-orang orientalis. Kemudian mereka itulah yang membawa faham orientalis ke Indonesia lewat jalur IAIN-IAIN. Berbeda dengan Naquib Al-Atas yang justru sering berdebat dengan gurunya yakni para orientalis di Mc Gill itu , maka sampai Naquib keluar dari Mc Gill. Penuturan Adnin ini layak dipercaya, karena diucapkannya di bulan Ramadhan 1425H di depan para aktivis Islam di Jakarta, dan kehadirannya itu adalah untuk menatar para aktivis di Jakarta, Jogja, Solo, Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur dan lainnya bersama Adian Husaini, sama-sama pelajar di Malaysia. Kalau Harun Nasution dulunya duduk manis di depan gurunya yakni orang kafir dan orientalis di Mc Gill, maka ketika jadi direktur Pasca Sarjana IAIN Jakarta berbalik jadi orang yang bisa membuat duduk manis para mahasiswanya. Sehingga setiap ada mahasiswa yang menjalani ujian untuk meraih gelar doctor, Harun Nasution sangat intensip menggunakan kesempatannya untuk senantiasa hadir dan menjadi tim penguji atau mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa yang sesaat lagi akan bergelar doctor di bidang ilmu agama (Islam). Harun Nasution seringkali mendoktrinkan faham Mu’tazilah dengan cara bertanya: Bagaimana anda mengartikan ayat: íõÖöáøõ Çááøóåõ ãóäú íóÔóÇÁõ æóíóåúÏöí ãóäú íóÔóÇÁõ (QS Al-Muddatstsir/74: 31). Mahasiswa: Allah menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan menunjuki orang yang Dia kehendaki. Harun Nasution: Itu terjemahan Ahlus Sunnah. Kalau Mu’tazilah? Mahasiswa diam. Lalu Harun Nasution menuntun mahasiswa yang sebentar lagi bergelar doctor ini: Allah menyesatkan orang yang orang itu sendiri menghendaki, dan Allah menunjuki orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi dhomir (kata gantinya) bukan kepada Allah tapi orang itu sendiri, tandas Harun Nasution. Mahasiswa calon doctor ini hanya manggut-manggut. Terjemahan ayat itu menurut Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Depag RI sebagai berikut: “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu'min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS Al-Muddatstsir/ 74: 31). Seandainya mahasiswa yang sesaat lagi jadi doctor dalam ilmu Islam ini tidak mewarisi sikap duduk manis sebagaimana gurunya terhadap orientalis, maka dia bisa mengajukan pertanyaan kepada Harun Nasution: Bagaimana Bapak menerjemahkan Surat As-Syura/ 42: 49-50 yang bunyinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, (QS As-Syura/ 42: 49) atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS As-Syura/ 42: 50). Kalau model terjemahan Harun Nasution, maka akan berbunyi: Dia (Allah) memberikan anak-anak perempuan kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki dan Dia memberikan anak-anak laki-laki kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki … dan Dia menjadikan mandul orang yang orang itu sendiri menghendaki. Selama saya beberapa kali melihat ujian doctor di IAIN Jakarta dalam kasus yang sama, tidak ada yang membantah Harun Nasution. Hanya ada bantahan ketika apa yang diajarkan Harun Nasution itu dikutip oleh muridnya, Dr Suwito, pejabat di UIN Jakarta sekarang, seorang doctor yang tentu saja duduk manis pula ketika jadi murid Harun atau cucu orientalis; dia mempraktekkannya kepada mahasiswa pasca sarjana Studi Islam di UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta). Maka disanggah oleh mahasiswa angkatan tahun 2000 di antaranya lulusan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), Jajat Sudrajat: Tidak bisa diartikan begitu, Pak, menurut tata bahasa Arab atau nahwu shorof. Arti yang benar adalah Allah menunjuki orang yang Dia kehendaki. Sahut Dr Suwito bekas murid Harun Nasution yang tentunya duduk manis: Tata bahasa Arab kan hanya bikinan orang. Kalau tak bisa menurut tata bahasa yang mereka bikin, ya kita bikin sendiri tata bahasa Arab. Itulah mutu yang dikeluarkan sendiri keasliannya. Dan itulah mutu cucu orientalis, yang bapaknya dulu duduk manis di hadapan orientalis, lalu si anak ini duduk manis di hadapan bapaknya yang murid orientalis, maka seperti itulah “ilmiyahnya.”. Kalau dihadapkan kepada Surat As-Syura/ 42 ayat 50, maka berarti orang mandul itu memang diri mereka sendiri yang menginginkan mandul. Kenapa banyak yang berobat ke dokter agar tidak mandul? Bahkan tak sedikit yang terjerumus ke dukun untuk mengatasi kemandulannya, dan akhirnya hanya tertipu oleh dukun-dukun. Kalau menerjemahkan Al-Qur’an saja seperti itu, apalagi menafsirinya, betapa jauhnya ketidak sesuaian mereka dengan Al-Qur’an. Makanya banyak bukti, mereka berani menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Berkasih-kasihan dengan kafirin, sebaliknya berngotot-ngototan dengan muslimin yang tsiqqoh/ teguh. Ya memang gurunya saja kan murid yang duduk manis di hadapan guru kafir, maka wajarlah kalau berkasih-kasihan dengan kafirin, bahkan nyadong dana dari kafirin. Karena secara gen-nya memang gen mereka, bukan gen dari ulama secara keilmuan. Padahal yang menjadi pewaris para nabi itu adalah ulama, menurut hadits Nabi saw. Bukan kafirin, karena kafirin itu menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah justru memusuhi Islam, paling kurang adalah ingkar. Kafirin yang mereka jadikan guru-guru adalah para Ahli Kitab yang sebutannya orientalis. Al-Qur'an telah mengingatkan: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al-Baqarah/2: 120). Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma`afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Baqarah/ 2: 109). Sosok-Sosok Nyeleneh Banyak yang di UIN dan IAIN Salah seorang terkemuka dari kalangan yang nyeleneh (aneh pendapatnya) dan bahkan orang-orang yang nyeleneh pun mengakuinya sebagai orang yang berperan penting dalam apa yang Dawam Rahardjo sebut liberalisme Islam (dalam menumbuhkan kenyelenehan?) adalah Mukti Ali guru besar IAIN Jogjakarta. Ini paling kurang adalah seperti yang diakui oleh Dawam Rahardjo di antaranya ditulis di Koran Republika. Cap buruk dari masyarakat belum sempat melekat di dalam nama Mukti Ali semasa hidupnya. Tetapi tokoh yang belum menerima gelar-gelar buruk itupun telah melakukan sebongkah pembelaan dan bahkan penumbuh kembangan perusakan Islam secara sistematis di Indonesia lewat pendidikan tinggi Islam dan karya tulis yang merusak Islam secara terang-terangan yaitu membela dan bahkan sebagai pemberi kata pengantar buku yang merusak aqidah Islam, berjudul Catatan Harian Ahmad Wahib, 1982. Apalagi mereka-mereka yang oleh masyarakat sudah diberi cap buruk atau paling kurang sebagai sosok nyeleneh (aneh pendapat-pendapatnya), bisa dijumpai di berbagai tempat di antaranya: 1. Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid, dosen di IAIN Jakarta, pendiri Yayasan Wakaf Paramadina dan rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Pada saat naskah ini ditulis, dia baru saja pulang dari perawatan di rumah sakit di Singapur ke rumah sakit pula di Pondok Indah Jakarta. Setelah hatinya dicangkok dengan hati orang Cina Komunis asli negeri Cina Tiongkok di Cina, dia harus dirawat di Singapur. Pencangkokan hati itu mengharuskan Nurcholish disuntik untuk mengurangi daya tolak tubuh atas hati cangkokan baru itu. Namun akibatnya kekebalan tubuhnya harus dikurangi, maka ususnya terkena infeksi, dan harus dirawat di RS Singapur, selama 6 bulan. Kemudian pulang ke Indonesia bukan pulang ke rumah tetapi ke rumah sakit pula yaitu di Pondok Indah Jakarta, 17 Februari 2005, dengan harus selalu pakai masker, dan ditangani 6 dokter spesialis. Nurcholish Madjid dulu (1970) mencoba mengemukakan gagasan “pembaharuan” dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut: “Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi.” Pada tahun 1970 Nurcholish Madjid melontarkan gagasan “Pembaharuan Pemikiran Islam”. Gagasannya itu memperoleh tanggapan dari Abdul Kadir Djaelani, Ismail Hasan Meutarreum dan Endang Saifuddin Anshari. Sebagai jawaban terhadap tanggapan itu Madjid mengulangi gagasannya itu dengan judul “Sekali lagi tentang Sekularisasi”. Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1972, Madjid memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”. Salah satu kekeliruan yang sangat mendasar dari Nurcholish Madjid ialah pemahamannya tentang istilah “sekularisasi”. Ia menghubungkan sekularisasi dengan tauhid, sehingga timbul kesan “seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid”. Di samping itu Nurcholish mengemukakan bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Ungkapannya yang sangat bertentangan dengan Islam itu ia katakan 23 Januari 1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin di Jakarta. Saat itu ada pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim, berbunyi: “Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?” Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin pengajian itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa: “Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni.” Nurcholis juga mengatakan, “Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih banyak membaca mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi antara lain yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi surganya, itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu permulaan dari satu tingkat iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak.” Itulah ungkapan pembela Iblis. Padahal Iblis jelas kafir, dan yang kafir itu menurut QS Al-Bayyinah ayat 6 tempatnya di dalam neraka jahannam selama-lamanya. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS Al-baqarah: 34). Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah/ 98: 6). Masalah hati Nurcholish Madjid dicangkok dengan hati Cina di Negeri Cina, ada orang yang jadi mudah teringat lontaran-lontaran Nurcholish Madjid dalam beberapa hal, yang kaitannya dengan Cina ataupun komunis, atau tentang pencangkokan. Pertama: Nurcholish Madjid mempidatokan di universitas-universitas terkemuka di Eropa, Ramadhan 2002, bahwa Islam adalah agama hibrida alias cangkokan. Pidatonya itupun dimuat di situs JIL, islamlib.com. Nurcholish Madjid hanya mengemukakan secuil bukti yang dia ada-adakan, yaitu katanya, di Al-Qur'an ada lafal qisthas dari bahasa Yunani Justis yang artinya adil. Dan di Al-Qur'an ada lafal kafuro, menurut Nurcholish, dari bahasa Melayu, kapur barus. Dengan dua potong kata yang tanpa bukti ilmiah itu kemudian Nurcholish simpulkan bahwa Islam adalah agama hibrida, maka bukan Islamnya yang hibrida, tapi hati dia yang dihibrida dengan hati Cina Komunis. Kedua, di tahun 1980-an, Bambang Irawan Hafiluddin gembong Islam Jama'ah dan Hasyim Rifa'i da’i Islam Jama'a'ah (keduanya kemudian keluar dari Islam Jama'ah karena menyadari aliran yang kini bernama LDII itu benar-benar sesat jauh) berkunjung ke rumah Nurcholish Madjid di Tanah Kusir Jakarta Selatan. Kedua tamu ini kaget ketika Nurcholish Madjid mereka tanya, Negara mana yang di dunia ini pantas untuk ditiru sebagai teladan. Ternyata jawaban Nurcholish: Negara Cina Tiongkok, karena di sana tidak ada perzinaan, pencurian dan sebagainya. Kedua tamu ini terheran-heran. Sampai dua puluh tahun keheranannya itu tambah teringat lagi ketika mereka mendengar berita bahwa Nurcholish Madjid hatinya dicangkok dengan hati Cina Komunis di negeri Cina, pertengahan tahun 2004. Ini menurut pengakuan Ustadz Hasyim Rifa’i kepada penulis ketika bertemu di Cisarua Bogor, menjelang Iedul Adha 1425H, Selasa 19 Januari 2004. Jadi Nurcholish Madjid benar-benar mendapatkan hati teladan (impiannya?). Ketiga, Nurcholish Madjid menuduh PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap anak-anak Ma'had Al-Qolam Pasar Rumput Jakarta yang memberikan brosur kepada Nurcholish Madjid berupa jawaban/ bantahan atas ungkapan Nurcholish Madjid bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Peristiwa tuduhan PKI yang terlontar dari mulut Nurcholish Madjid terhadap santri-santri yang berlangsung di tahun 1987 itu ternyata berbalik ke diri Nurcholish Madjid bahwa hati dia dicangkok dengan hati orang Cina Tiongkok yang komunisnya asli, bukan assembling seperti PKI. Debat dan tuduhan Nurcholish Madjid terhadap santri-santri itu dimuat di buku saya, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004. 2. Abdul Munir Mulkhan Abdul Munir Mulkhan, wakil rektor UIN Jogjakarta dan petinggi di Muhammadiyah berpendapat, kalau yang masuk surga orang tertentu (Islam) saja maka akan kesendirian dan tak kerasan di surga. Dalam hal bicara surga, yang sebenarnya menurut Islam termasuk hal ghaib yang hanya boleh bicara berdasarkan wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) karena yang tahu kunci-kunci hal ghaib itu hanya Allah dan para utusan yang Dia beritahu, namun Mulkhan sangat berani mereka-reka dengan mengatakan, Surga Tuhan itu nanti dimungkinkan terdiri dari banyak "kamar" yang bisa dimasuki dengan beragam jalan atau agama. Karena itu, semua manusia berpeluang masuk surga sesuai keagamaan dan kapasitasnya masing-masing, jika benar-benar memang percaya (iman) dan berminat. Ungkapan-ungkapan Abdul Munir Mulkan ini adalah kebohongan yang dilandasi dengan duga-duga belaka, tidak lebih unggul dibanding dukun-dukun yang mengaku-ngaku dirinya tahu rahasia kegaiban atas bisikan Syetan sebagai walinya. Ungkapannya yang sangat berbahaya adalah: “Surga Tuhan itu nanti dimungkinkan terdiri dari banyak "kamar" yang bisa dimasuki dengan beragam jalan atau agama.” Kalimat Abdul Munir Mulkhan itu bertentangan dengan Al-Qur’an: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85). Di kesempatan lain Mulkhan mengatakan, “Dalam logika orang desa, kalau ada satu kelompok yang merasa benar sendiri dan yang lain dituding salah atau sesat, nanti saya khawatir kesepian di surga; tidak ada temannya. Klaim-klaim kebenaran absolut seperti itu sesungguhnya lebih menunjukkan, barangkali dalam bahasa yang agak sarkastik, kurang menyadari bahwa hidup sosial tidak bisa sendirian. Di hutan saja pun tidak bisa hidup sendirian, mesti bersama hewan-hewan, pohon-pohonan dan semak belukar.” Ungkapan Abdul Munir Mulkan, “kesendirian, tidak kerasan di surga” dan sebagainya itu bertentangan dengan ayat: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya. (QS Al-Kahfi/ 18: 107-108). Kalau orang Liberal masih berkilah bahwa mukmin di situ termasuk pula kini orang-orang Yahudi, Nasrani dan lainnya, maka kilah mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya: ‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi saw annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim). Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau). 3. Djohan Effendi Djohan EFfendi, anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah, penyunting buku Catatan Harian Ahmad Wahib Pergolakan Pemikiran Islam. Isinya sangat menyesatkan, di samping mengkampanyekan faham pluralisme agama (menyamakan semua agama) masih pula ditambah dengan pernyataan-pernyataan yang menghina Nabi Muhammad saw, misalnya Wahib menginginkan nabi yang tingkat internasional. 4. Dawam Rahardjo Dawam Rahardjo, petinggi Muhammadiyah pembela aliran-aliran sesat di antaranya Ahmadiyah, bahkan dirinya mengatasnamakan Muhammadiyah mengundang Tahir Ahmad yang dianggap Khalifah ke-4 bagi Ahmadiyah, tinggal di London, untuk datang ke Indonesia. Dawam Rahardjo lah yang menyambut kehadiran Tahir Ahmad penerus nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad di Bandara Cengkareng Jakarta dengan mengalungkan bunga padanya dan membawa-bawa penerus nabi palsu itu ke ketua MPR Amien Rais dan Presiden Gus Dur tahun 2000. Padahal Ahmadiyah itu selain memalsu nabi, memalsu pula ayat-ayat Al-Qur’an dengan memiliki kitab suci Tadzkirah. Namun semua itu dianggap sama saja dengan Islam, dan hanya beda penafsiran, menurut Dawam Rahardjo yang suka membela lagi mengusung kesesatan ini. Dawam Rahardjo ini pula yang membela Ulil Abshar Abdalla dalam kasus penghinaan Islam dengan tulisan Ulil di Kompas, 18 Nopember 2002, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Isinya, menegaskan bahwa Ulil tidak percaya adanya hukum Tuhan. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, bahwa: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar (GATRA, edisi 21 Desember 2002). Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18 November 2002). Namun pernyataan Ulil yang menurut aqidah Islam telah memurtadkan itu justru dibela oleh Dawam Rahardjo, baik lewat tulisan-tulisannya, misalnya lewat Majalah Tempo pimpinan Gunawan Mohamad (orang yang dikagumi Ulil dan dipercaya oleh The Asia Foundation dan semacamnya untuk memelihara JIL dan sebangsanya). Majalah Panjimas –yang sempat terbit sementara waktu hangat-hangatnya protes terhadap puncak kengawuran Ulil tahun 2002-2003, maupun lewat televisi misalnya Metro TV, sampai-sampai Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Al-Qur’an itu filsafat, namun ketika ditanya oleh KH Athi’an Ali Da’i lewat telepon dari Bandung, Dawam Rahardjo hanya manyun belaka sebagaimana biasanya. 5. Muslim Abdurrahman Muslim Abdurrahman penolak keras diterapkannya syari’ah Islam, pengurus Muhammadiyah pula. Dia mengatakan, kalau syari'at Islam diterapkan maka yang jadi korban pertama adalah perempuan. Perkataan ini sama dengan menuduh Allah swt itu dhalim. Na'udzubillahi min dzalik. Sebegitu beraninya, seorang makhluq membantah aturan Tuhannya, hanya karena untuk menyenangkan hati bossnya yang diyakini sebagai penentang Allah swt, sekaligus mengajak manusia kepada penentangan yang nyata. 6. Gus Dur atau Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid pencetus gagasan assalamu’alaikum diganti dengan selamat pagi. Dalam tragedy Tsunami di Aceh 26 Desember 2004 yang menewaskan 150.000an jiwa lebih dan menghancurkan hampir seluruh bangunan, Gus Dur menyuara di Radio Jakarta News FM, agar mayat-mayat di Aceh itu dibakar saja ditempat. Alasannya, karena dia dibilangi adiknya, dr. Umar, katanya sarung tangan tidak cukup aman untuk mengevakuasi mayat-mayat. Ketika Gus Dur ditanya, apakah tidak melanggar agama, kalau mayat-mayat itu dibakar, Gus Dur malah mengemukakan bahwa yang menolak dibakarnya mayat-mayat itu hanya orang yang tak tahu agama (Islam). Namun “fatwa” nyeleneh Gus Dur ini sebagaimana biasa sudah tidak digubris orang. Sebagaimana dia ketika kalah dalam pemilihan ketua umum PBNU di Muktamar NU di Boyolali Jawa Tengah 2004 lalu dia mengancam mau membuat NU tandingan pun orang banyak yang tidak menggubrisnya, kecuali sekadar sebagai ramai-ramai berita saja. Tetapi ini bukan berarti menutup kemungkinan adanya NU tandingan yang dia ancamkan. 7. Zainun Kamal Zainun Kamal penghalal nikah antara Muslimah dengan lelaki Nasrani, pada Hari Ahad tanggal 28 November 2004 Zainun Kamal menikahkan wanita Muslimah. Suri Anggreni alias Fithri, dengan lelaki Kristen, Alfin Siagian, di Hotel Kristal Pondok Indah Jakarta Selatan. Lalu pengantin diberkati pendeta di situ. Ijab Qabul cara Islam, dibimbing oleh Dr Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, dari Yayasan Wakaf Madani, Kompleks Perumahan Dosen UIN Ciputat Jakarta Selatan. Ini telah menghalalkan yang haram, karena muslimah itu dengan tegas diharamkan menikah dengan lelaki kafir, dalam Surat Al-Mumtahanah/ 60 : 10 Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10). Orang Kristen itu jelas kafir, maka termasuk dalam larangan nikah dengan muslimah. Kekafiran orang Kristen itu ditegaskan dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6: Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.(QS Al-Bayyinah: 6.) 8. Munawir Sjadzali Munawir Sjadzali – mendiang -- penggagas penyamaan bagian waris antara laki-laki dan perempuan. Padahal dalam Al-Qur’an ditegaskan: Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; (QS An-Nisaa’: 11). Munawir juga berani menganggap beberapa ayat Al-Qur’an kini tidak relevan lagi. Dalam 10 tahun atau dua periode dia jadi menteri agama RI telah mengirimkan dosen-dosen IAIN ke Barat untuk apa yang disebut studi Islam, lebih dari 200 orang untuk meraih gelar doctor dan master di bidang agama. Aneh, belajar ilmu Islam kok kepada orang-orang kafir atau paling kurang orang sekuler di Barat. Padahal Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 120 dan QS Al-Baqoroh ayat 109 telah memperingatkan tentang bahaya orang-orang kafir Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, yang sangat ingin mengembalikan Muslimin kepada kekafiran. Pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam kepada orang kafir yang sudah digalakkan sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975 ini jelas tidak sesuai dengan petunjuk Allah swt, maka bila akibatnya rusak, itu sudah pasti. Bahasa Jawanya, kutuk marani sunduk atau ulo marani gebuk (Ikan mendatangi pancing atau ular mendatangi pukulan. Maknanya, usaha yang salah, payah-payah hanya mencari celaka). Dan itulah yang akibatnya kini alumninya banyak yang nyeleneh sebagaimana dalam uraian ini. 9. Harun Nasution Harun Nasution tokoh di IAIN Jakarta yang menggemakan istilah pembaruan Islam dialihkan maknanya menjadi: memperbaharui dengan model modern/ Barat, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) pun dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis. Mendiang Prof Dr Harun Nasution alumni McGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49). Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda (syalbanah), tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen). Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda: "Likulli banii aadama haddhun minaz zinaa: fal 'ainaani tazniyaani wa zinaahuman nadhru, walyadaani tazniyaani wazinaahumal bathsyu, warrijlaani tazniyaani wazinaahumal masy-yu, walfamu yaznii wazinaahul qublu, walqolbu yahwii wa yatamannaa, walfarju yushoddiqu dzaalika au yukaddzibuhu." Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama). Benarlah Rasulullah SAW, dan bohonglah Syekh Thahthawi. 10. Kautsar Azhari Noer Kautsar Azhari Noer, seorang dosen UIN Jakarta, penggema ajaran Ibnu Arabi dan pluralisme agama. Dr Kautsar Azhari Nur orang liberal dari Paramadina Jakarta ini dalam pidato Debat Fiqih Lintas Agama di UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, 15 Januari 2004, berkata: “Akidah itu memang tidak sama. Akidah itu buatan manusia bukan buatan Tuhan.” Komentar saya: Kalau aqidah itu buatan manusia, padahal fondasi dalam agama itu justru aqidah, dapatkah agama Allah yaitu Islam itu fondasinya hanya buatan manusia? Barangkali perkatan Dr Kautsar itu betul apabila yang dimaksud hanyalah agama buatan manusia, misalnya agama model Gatoloco dan Darmogandul, suatu kepercayaan di Jawa yang sangat menghina Islam dengan perkataan-perkataan porno dan jorok. Tentang aqidah, penjelasan ini bisa disimak: Wakil Sultan (di Suriah tempat Ibnu Taimiyah bermukim, pen) bertanya tentang iktikad (Aqidah), maka Ibnu Taimiyah ra berkata: Aqidah bukan datang dariku, juga bukan datang dari orang yang lebih dahulu dariku tapi dari Allah SWT dan Rasul-Nya, dan apa yang diijma’i oleh para salaf umat ini diambil dari kitabullah dan hadits-hadits Bukhari dan Muslim serta hadits-hadits lainnya yang cukup dikenal dan riwayat-riwayat shahih dari generasi salaf umat ini. Anggapan pihak Paramadina bahwa aqidah mereka memang beda, yaitu pluralisme agama –menyamakan semua agama– adalah berbeda dengan orang Muslim yang aqidahnya tegas bahwa hanya Islam lah yang benar. Al-Qur’an menyatakan sesembahan orang non Islam/kafir itu bukan sesembahan orang Muslim dalam surat Al-Kafirun secara diulang-ulang. Tetapi dosen UIN Jakarta dan Paramadina ini berani mengatakan bahwa muslim tapi aqidahnya berbeda, yaitu pluralisme agama. Bagaimanapun, keyakinan orang pluralis bertentangan dengan Islam, di antaranya bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Kafirun. Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS Al-Kafirun: 1-6). 11. Zuhairi Misrawi Zuhairi Misrawi (alumni filsafat Al-Azhar Mesir yang pernah diadili dan diharap istitab (bertaubat) kepada Allah SWT oleh teman-temannya di Mesir karena dianggap mengatakan bahwa shalat 5 waktu tidak wajib, kata Zainul Majdi MA alumni Al-Azhar dari Lombok, di dalam pertemuan para Ulama dan tokoh Islam di As-Syafi’iyah Jakarta, Rabu 6 Ramadhan 1425H/ 20 Oktober 2004. Zuhairi Misrawi ini bertekad, seandainya dia jadi ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), maka akan dia fatwakan, bahwa arti musyrik adalah politikus busuk. Lihat buku penulis, Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, Al-kautsar, Jakarta, 2004). 12. Masdar F. Mas’udi Masdar F. Mas’udi alumni IAIN Jogjakarta, orang NU yang menyuarakan kalau lelaki nekad berzina maka hendaknya pakai kondom, dan menyerukan musim haji wuqufnya bukan hanya di bulan Dzulhijjah tapi bisa di Bulan Syawwal dan Dzulqo’dah. Dosen Ilmu Fiqh, Dr. Khuzaimah T. Yango, alumni Mesir, menjelaskan dalam perkuliahan yang saya ikuti di MUI DKI Jakarta 1997 bahwa pendapat Masdar F. Mas’udi yang menyamakan pajak dengan zakat adalah jelas pendapat yang tidak benar dan tak punya landasan. Karena zakat jelas beda sekali dengan pajak. Dalam seminar pun sudah banyak yang membantah Masdar, kata Dr. Khuzaimah. Rupanya setelah bermain-main dengan tema pajak dan zakat, Masdar masih punya “mainan” lagi yaitu tentang waktu pelaksanaan ibadah haji. Waktu pun berjalan terus, sedang kedudukan seseorang bisa menanjak. Di tahun 2000, Masdar Farid Mas’udi yang tadinya disebut intelektual muda itu telah menjadi Katib Syuriyah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) dan Anggota Dewan Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dia dengan menulis embel-embel kedudukannya itu membuat artikel yang dimuat secara bersambung di Harian Republika, Jum’at tanggal 6 dan tanggal 13 Oktober 2000, berjudul Keharusan Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji. Tulisan itu menyodorkan pendapat bahwa pelaksanaan ibadah haji hendaknya bukan hanya sekitar tanggal 8, 9, 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah, tetapi kapan saja asal selama 3 bulan (Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah). Alasan Masdar, karena jelas di dalam Al-Qur’an Al-Hajju asyhurun ma’lumat. Haji itu di bulan-bulan yang sudah diketahui (3 bulan tersebut). Jadi, menurut Masdar, janganlah Al-Qur’an dikorbankan oleh hadits Al-Hajju ‘arafah, haji itu adalah Arafah. (Istilah Al-Qur’an dikorbankan oleh hadits itu tidak pernah dipakai oleh ulama manapun. Saya baru dengar dari pernyataan Masdar itu). Landasan pikiran Masdar, ia kemukakan bahwa ibadah haji itu ‘napak tilas’. Maka dimensi ruang itu lebih penting ketimbang dimensi lainnya termasuk waktu. Oleh karena itu, saran Masdar, agar pelaksanaan ibadah haji itu ya kapan saja, asal 3 bulan tersebut. Faham sesat dan melecehkan Islam ini dimuat di Kompas, Republika dan media lainnya. 13. Ulil Abshar Abdalla Ulil Abshar Abdalla (generasi NU yang menulis bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, dan vodca –minuman beralkohol lebih dari 16% bisa jadi di Rusia halal karena udaranya dingin sekali. Ungkapan yang merusak Islam dan menghalalkan yang haram ini ditulis di Kompas 18 November 2002/ Ramadhan 1423H dan dalam wawancara dengan majalah di Jakarta. Orang ini mulai sengak perkataannya, misalnya dia mengecam Saudi dengan ungkapan bahwa duit petro dolar dari Arab itu paling hanya untuk mencetak Al-Qur'an dan buku-buku wahabi yang norak, anti intelektual… dst. Gaya bicara semacam itu bisa mengindikasikan adanya kesombongan tersendiri, yang dalam Al-Qur'an justru disandang oleh orang-orang yang anti orang beriman: Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. QS Al-Baqarah: 13-16). 14. Luthfi Assyaukanie Luthfi Assyaukani (orang Paramadina Mulia Jakarta yang menganggap teks Al-Qur’an mengalami copy editing oleh para sahabat. Ungkapan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an ini disiarkan lewat internet JIL, islamlib.com: “Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses copy-editing oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan.” (Islamlib.com --Merenungkan Sejarah Alquran, Oleh: Luthfi AssyaukanieTanggal dimuat: 17/11/2003). Bagaimana liciknya orang liberal dari Paramadina ini, memasukkan berbagai unsur termasuk kekuasaan sebagai pelaku copy-editing terhadap wahyu Allah SWT. Di masa sekarang perpolitikan yang sangat jauh dari Islam dan penguasanya tidak takut kepada Allah SWT, lalu digambarkan bahwa Al-Qur’an pun mengalami copy-editing oleh kekuasaan, maka bisa dibayangkan betapa tajamnya untuk menyuntikkan pemahaman yang keliru mengenai kemurnian Al-Qur’an. Betapa tega orang itu dalam menyuntikkan benih-benih untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an. Tangan penguasa dengan bermodal kekuasaannya dianggap telah mengedit Al-Qur’an. Meskipun ada celoteh semacam itu, namun umat Islam tetap yakin terhadap penegasan Allah SWT: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS Al-Hijr: 9). Pertanyaan yang perlu diajukan kepada Luthfi AsSyaukani, kenapa musuh Utsman bin Affan ra yang sampai membunuhnya, kemudian tidak membuat Al-Qur’an tandingan, kalau memang benar bahwa Utsman menggunakan kekuasaannya untuk mengedit Al-Qur’an? 15. Prof. Dr. M. Amin Abdullah Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah, Rektor IAIN Jogjakarta: “Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.” Komentar: Ini mengingkari ilmu. Sebab tafsir-tafsir klasik itu menyampaikan warisan ilmu dari Nabi Muhammad saw yang disampaikan kepada para sahabat, diwarisi tabi’in, lalu tabi’it tabi’in, yang kemudian diwairisi para ulama. Dengan cara menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka sebenarnya yang akan dibabat justru Al-Qur’annya itu sendiri. Karena kalau umat Islam sudah menafikan tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka tidak tahu lagi mana makna yang rajih (kuat) dan yang marjuh (lemah) dalam mengetahui isi Al-Qur’an. Di samping itu, masih mengingkari keadaan manusia. Seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluq yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafiq ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana? Mu’min, munafiq atau kafir. Hanya itu. Apalagi hanya tafsirnya, sedang Al-Qur’annya itu sendiri tidak menambah apa-apa kecuali menambah kerugian bagi orang-orang dhalim, dan menambah larinya orang-orang kafir dari kebenaran, memang. Allah swt berfirman: Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS Al-Israa’: 82). Dan sesungguhnya dalam Al Qur'an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). (QS Al-Israa’: 41). Itulah komentar yang perlu disampaikan untuk Amien Abdullah (Rektor UIN Jogjakarta, penyeru diterapkannya metode hermeneutik untuk menafsiri Al-Qur’an, padahal hermeneutik itu metode untuk Injil yang memang teksnya penuh problem). 16. Taufik Adnan Amal Taufik Adnan Amal (dosen ulumul Qur’an IAIN Makassar, mengemukakan bahwa ayat innaddiena indallohil Islam itu ada yang lebih tepat untuk sekarang innad diena indallohil hanifiyyah. Ungkapan Taufiq Adnan Amal dan Ulil Abshar Abdalla yang disebarkan lewat Majalah Syir’ah itu mengandung kampanye untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an dan sekaligus meragukan masih relevannya ayat-ayat Al-Qur’an dengan masa sekarang. Tentang buku Taufiq Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Al-qur'an, insya Allah dibahas di bagian bawah dari judul ini. 17. Abdul Moqsith Ghazali Abdul Moqsith Ghazali, tadinya belajar di pascasarjana UIN Jakarta, termasuk tim penyusun draf counter legal Kompilasi Hukum Islam. Di antara isinya, Pasal yang tidak kalah kontroversial adalah pembolehan perkawinan beda agama. Tim Pengarusutamaan Gender bentukan Depag, sebagai penyusun draf, menilai pelarangan perkawinan beda agama melanggar prinsip pluralisme dalam Islam. Abdul Moqsith Ghazali, anggota tim penyusun, mengaku sejak semula sudah memperkirakan akan mendapatkan kritikan tajam. Timnya pun secara internal menjalani perdebatan yang panjang dan alot untuk membuahkan draf itu. Menurut dia, banyak sekali ketidakadilan dalam susunan KHI lama. ''Kami menyusun ini dengan mengacu pada dalil-dalil yang ada. Karena itu, jika memang tidak ada dalil yang melarang untuk mengubah sesuatu hal, berarti itu merupakan dalil untuk mengubah,'' kata Moqsith (Republika, Selasa, 5 Oktober 2004). Dia tak sadar, ucapannya bisa dipertanyakan, tak ada larangan nikah dengan buaya, babi dsb, apakah boleh nikah dengan babi, buaya dan sebagainya? Pertanyaan ini dilontarkan oleh Ustadz Agus Hasan Bashori dari Malang, ketika ada kajian di Masjid Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jawa Timur, 9 Januari 2004). 18. Dr. Siti Musdah Mulia Dr. Siti Musdah Mulia (wanita, dosen pascasarjana UIN Jakarta, menyuarakan kesetaraan gender dengan membuat LSM di Departemen Agama, menyuarakan pembatalan syari’at Islam di antaranya melarang poligami, tapi membolehkan nikah beda agama. Ini jelas-jelas mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dilakukan bersama timnya 11 orang plus kontributornya 16 orang. Tim pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram itu adalah: a. Dr Siti Musdah Mulia, MA, Apu; b. Drs Marzuki Wahid, MA; c. Drs Abd Moqsith Ghazali, MA; d. Dra Anik Farida, MA; e. Saleh Partaonan, MA, M.Hum; f. Drs Ahmad Suaedy, g. Drs H Marzani Anwar, APU alumni IAIN Jogjakarta; h. H Abdurrahman Abdullah, MA, i. Dr KH Ahmad Mubarok, MA; j. Drs Asep Taufik Akbar, MA. Kontributor aktif 16 orang: k. KH Drs Husen Muhammad pengasuh PP Arjawinangun Cirebon Jabar; l. KH Drs Afifuddin Muhajir, MA pengasuh PP Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur; m. Drs Lies Marcoes-Natsir, MA feminis Muslim; n. Dr H Zainun Kamal, MA dosen Pascasarjana UIN Jakarta; o. Dr H Ahmad Luthfi dosen pascasarjana UIN Jakarta; p. Drs Syafiq Hasyim, MA deputi direktur ICIP Jakarta; q. Faqihuddin Abdul Qadir, MA direktur Fahmina Institute Cirebon; r. Drs M Jadul Maula, MA direktur LkiS Jogjakarta; s. Drs Imam Nakhai, MHI dosen Ma’had Aly Situbondo; t. Dr Hamim Ilyas, MA dosen UIN Jogjakarta; u. Dra Badriyah Fayumi, Lc, MA peneliti Puan Amal Hayati pimpinan Sinta Nuriyah isteri Gus Dur di Ciganjur Jakarta; v. Drs Noer Yamin Aini, MA peneliti PPSDM UIN Jakarta; w. Drs Umi Khusnul Khatimah, MA PP Fatayat NU; x. Dra Mesraini MA staf pengajar UIN Jakarta; y. Dra Ny Hindun Anisa, MA PP Krapyak Jogjakarta; z. dan Drs Fatmah Amelia, MA dosen UIN Jogjakarta. Mereka ini di bawah kordinator Siti Musdah Mulia mengeluarkan buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan label Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Jakarta 2004. Isinya meresahkan umat Islam karena menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, hingga MUI berkirim surat teguran keras ke Menteri Agama Said Agil Al-Munawwar, akhirnya draf itu dicabut oleh Menag, Oktober 2004.) 19. Faqihuddin Faqihuddin (alumni Suriah yang temannya sendiri seperti Adnin Armas heran, kenapa setelah jadi dosen STAIN Cirebon jadi nyeleneh dan menulis di Majalah Syir’ah yang isi majalah itu banyak menyesatkan). 20. Hussein Muhammad Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, memberikan pengantar untuk buku In The Name Of Sex karya Soffa Ihsan yang tak sungkan membeberkan sederet pengalaman menghirup kenikmatan sesaat bersama perempuan lain –dari yang muda hingga yang tua. Soffa Ihsan bertutur ihwal petualangannya di dunia prostitusi di kota besar hingga tempat-tempat terpencil di Sumatra. Soffa menyangsikan aturan agama dapat menyelesaikan masalah faktual, seperti pelacuran, hubungan sejenis, seks bebas, yang tak memandang kelas di masyarakat itu. Ia memandang doktrin agama tafsiran ulama klasik yang pernah dilahapnya di pesantren tidak relevan lagi dengan kenyataan yang berkembang di masyarakat. (Lihat Majalah Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005). Buku yang jelas-jelas membeberkan bejatnya moral diri sendiri sebagai seorang gigolo (?), masih pula menghujat Islam itu, malah diberi kata pengantar oleh Hussein Muhammad. Di samping itu rupanya orang Cirebon ini dipercaya teman-teman sepenyelenehan untuk bicara gender sampai di Malaysia. Sekalipun Hussein Muhammad ini sudah dipercaya oleh orang JIL sampai jadi utusan ke Malaysia, namun ternyata keok di kandang sendiri di Cirebon, ketika melabrak seorang ustadz muda, Muhammad Toharo. Singkat peristiwanya, Hussein Muhammad dan Faqihuddin beserta dua rekannya datang ke seorang ustadz muda, Muhammad Toharo, di Yayasan As-Sunnah Cirebon Jawa Barat. Empat orang berpaham model JIL itu berbantah dengan Ust Toharo di rumah Toharo. Disepakati, mereka mempercayai Kitab Tafsir Ibnu Katsir, dan akan dibaca saat itu juga. Hussein Muhammad disuruh membacanya, tafsiran Surat Al-Baqarah ayat 62 yang sering dijadikan landasan faham pluralisme agama, menyamakan semua agama. Baru membaca beberapa baris, Hussein Muhammad dicecar, Yahudi dan Nasrani yang diterima agamanya oleh Allah swt itu yang saalifah, yang telah lalu (bukan setelah datangnya Nabi Muhammad saw). Pembacaan tafsir ini tidak diteruskan sampai hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani yang sudah mendengar seruan Nabi Muhammad saw dan tidak mau masuk Islam, lalu mati, maka menjadi penghuni-penghuni neraka. Akibatnya, empat orang JIL ini tidak bisa mengelak, akhirnya mengakui bahwa Yahudi dan Nasrani sekarang statusnya kafir. Hanya saja mereka berempat masih mengelak tentang Yahudi dan Nasrani yang statusnya kafir itu masuk neraka atau tidak. Lalu Ust Toharo menegaskan, menurut Al-Qur'an, orang kafir itu masuk neraka selamanya. Percaya Al-Qur'an tidak? Bila tidak percaya maka kamu kafir, tegas Ust Toharo, awal 2005. Demikian menurut penuturan Ust Toharo ketika penulis bertemu dengannya di Bogor, menjelang Iedul Adha 1425H/ 19 Januari 2005. 21. Nasaruddin Umar Nasaruddin Umar (orang UIN Jakarta yang menyebarkan feminisme dan dipercaya oleh orang JIL –Jaringan Islam Liberal untuk bicara Islam model mereka ke Amerika). Dia diangkat jadi pengurus structural PBNU setelah Muktamar di Donoudan Boyolali Jawa Tengah, Syawal 1425H/ November 2004, yang saat itu pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Panasan/Adisumarmo Solo hingga di antara tokoh NU, yang duduk di DPR dan akan menghadiri muktamar itu ternyata meninggal. Gus Dur dan Masdar Farid Mas'udi kalah telak oleh pasangan Hasyim Muzadi dan KH Sahal Mhfudz, maka Gus Dur mengancam akan membuat NU tandingan. Akibatnya, Hasyim Muzadi mengakomodasi pihak liberal model Gus Dur dan Masdar F Mas'udi, maka dimasukkanlah Nasaruddin Umar yang liberal dan feminisme itu ke jajaran kepengurusan PBNU). 22. Alwi Shihab Alwi Shihab (tokoh di NU/ PKB, pendorong awal dan pengkampanye penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk menatar para karyawan tentang faham pluralisme agama / menyamakan semua agama di satu instansi meliputi Jawa dan Madura). 23. Quraish Shihab Quraish Shihab mantan menteri agama 70 hari zaman Soeharto dan mantan rector IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan selamat natal diklaim sebagai sesuai Al-Qur’an, dan bersuara aneh tentang jilbab hingga pernah dibantah mahasiswa Indonesia di Mesir. Quraish Shihab menulis dengan judul Selamat Natal Menurut Al-Qur’an, di buku Membumikan Al-Qur’an. Di antara isinya: Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan. (Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Dr. M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996) Tulisan Quraish Shihab itu walaupun berdalih ini dan itu, di antaranya untuk interaksi social dan keharmonisan, namun justru dia tidak menengok kondisi social yang umat Islam selama ini jadi incaran kristenisasi dan pemurtadan. Bahkan di masa umat Islam terkena musibah seperti di Aceh yang kena badai Tsunami Ahad 26 Desember 2004 hingga mematikan lebih dari 150-an ribu orang dan menghancurkan hampir seluruh bangunan, tetap saja kristenisasi dan pemurtadan mengintai-intai dan mencari kesempatan. Hingga dikhabarkan 300 anak Aceh dibawa keluar oleh lembaga Kristen, yang hal itu menjadi polemik. Dengan “fatwa” seperti itu, maka ada situs yang menyebut bahwa hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja yang memahami ayat 30-34 Surat Maryam sebagai ayat yang memerintahkan/membolehkan untuk mengucapkan selamat natal kepada orang kafir. (lihat syariahonlien.com, konsulotasi akidah, Boleh mengucapkan selamat Natal?). 24. Atho’ Mudhar Atho’ Mudhar Kepala Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Deprtemen Agama RI yang berpendapat bahwa Masjidil Aqsho bukan di Palestina tapi di baitul makmur di langit, suatu penafsiran aneh yang berbau pro Yahudi Israel dan dikemukakan di pengajian Paramadina pimpinan Nurcholish Madjid lalu disebarkan oleh Majalah Tempo pimpinan tokoh liberal Gunawan Mohammad. Masalah itu pernah penulis kemukakan kepada Syaikh Rajab, Imam Masjidil Aqsho Palestina, 1993, beliau sangat terheran-heran, ada orang Indonesia yang seliar itu dalam menafsirkan ayat suci Al-Qur’an. 25. Azyumardi Azra Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta dan Ketua umum Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta menggantikan Komaruddin Hidayat. Azra termasuk penolak diterapkannya syari’at Islam namun nasibnya tak seburuk Ahmad Syafi’i Maarif, karena Azra meliuk-liuk dalam tulisan dan bicaranya dengan berlindung pada peradaban atau menisbatkan gagasannya kepada tokoh lain, hingga walau sampai sebagai pemuja demokrasi hingga dia sebut Islam kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan demokrasi, namun masyarakat belum mengecamnya. Padahal dia justru pemuja demokrasi untuk dipas-paskan dicocok-cocokkan dengan Islam seraya menolak diterapkannya syari’at Islam. Dalam tulisannya di rubrik Resonansi di Harian Republika, Azyumardi Azra mengajak Indonesia untuk meniru langkah-langkah PM Malaysia, Abdullah Badawi. Azyumardi menulis: Bagaimana sosok Islam progresif yang dibayangkan Badawi itu? Singkatnya adalah Islam yang toleran, inklusif, modern, kompatibel dengan demokrasi dan perkembangan kontemporer. Bukan Islam yang dipahami secara harfiah, kaku, eksklusif, dan berorientasi ke masa silam. Di situlah lihainya Azyumardi Azra, ketika ia sedang memuja demokrasi dan liberal dengan menyebut Islam yang inklusif (menganggap agama kami mungkin salah, agama orang lain mungkin benar, maka saling mengisi; ini faham liberal yang setingkat di bawah pluralisme agama yang menyamakan semua agama), dan memuja demokrasi dengan menyebut Islam yang kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan demokrasi; ia sandarkan kepada orang lain yakni PM Abdullah Badawi. Sehingga seakan-akan tulisannya itu bukanlah memuja demokrasi plus jualan faham liberal yang tak sesuai dengan Islam, dari dirinya sendiri. Kelihaian ini yang mengakibatkan Azyumardi Azra belum terkena getah cap buruk dari masyarakat, kecuali dari kalangan tertentu yang sudah mencium keliberalannya dan faham pluralisme agamanya yang dibungkus-bungkus itu. Dengan cara itu dia mendapatkan dua keuntungan, dari pihak anti Islam dia dipercaya, sedang dari pihak Islam dia tidak/belum dikecam. Allah lah yang Maha Mengetahui, mengetahui rahasia-rahasia yang di dalam hati, sedang manusia mengetahui gejala yang nampak. Bagi yang jeli seperti Adian Husaini, sekalipun dia berada di Kuala Lumpur Malaysia, namun sempat juga melihat tikaman-tikaman Azyumardi Azra terhadap Islam, maka Adian pernah menulis khusus menyoroti artikel resonansi Azra di Republika. Sorotan Adian itu dimuat di hidayatullah.com Jumat, 03 Desember 2004 dan dibaca di Radio Dakta Bekasi, berjudul Kebangkitan Islam atau Kebangkrutan Islam? Tulis adian: Menurut Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam ditandai dengan toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru ‘ancaman Islam’. Sikap cari muka terhadap Barat? Pada tanggal 2 Desember 2004, Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis satu di kolom Resonansi, di Harian Republika, berjudul Memahami Kebangkitan Islam. Kolom ini perlu kita cermati karena memuat banyak hal yang perlu diklarifikasi. Sejumlah istilah yang digunakan Azyumardi memiliki makna yang rancu dan menunjukkan kuatnya hegemoni Barat dalam kajian tentang Islam, umat Islam, dan dunia Islam. Sehingga, ilmuwan sekaliber Prof. Azyumardi Azra (AA) harus menelan mentah-mentah istilah dan sekaligus wacana yang dijejalkan oleh Barat ke dunia Islam. Karena itu, muncul paradoks, bahwa sesuatu yang mestinya diprihatinkan, justru dibangga-banggakan. (Lihat hidayatullah.com). Adian mencontohkan, faham pluralisme agama (menyamakan semua agama) dibanggakan Azra karena kini tumbuh di Indonesia, padahal itu seharusnya sangat harus diprihatinkan, bukan dibanggakan. Makanya, Adian sampai mengatakan, Azra telah menelan mentah-mentah pernyataan orang Israel, yang hal itu sangat disayangkan, lalu Adian mempertanyakan, apakah itu untuk menjilat Barat. 26. Said Aqil Siradj Said Aqil Siradj, dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU –Nahdlatul Ulama-- yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para sahabat Nabi Muhammad saw bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad saw mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/ kabilah. Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi Muhammad saw itu maka Aqil Siradj dikafirkan oleh belasan ulama dan ada gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro Makkah, agar gelar doktornya dicabut; namun malah Aqil Siradj menantang silahkan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia jalani belasan kali silahkan dicabut. Lancangnya Said Aqil Siradj melontarkan tuduhan bahwa --orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad saw mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/ kabilah-- itu sangat jauh bila dibandingkan dengan peringatan dari Nabi Muhammad saw untuk berhati-hati dalam berucap mengenai pribadi para sahabat Nabi saw: Diriwayatkan dari Abu Said r.a katanya: Di antara Khalid bin al-Walid dan Abdul Rahman bin Auf telah terjadi sesuatu, lalu Khalid mencacinya. Mendengar hal itu, Rasulullah s.a.w bersabda: Janganlah kamu mencaci Sahabatku, maka sesungguhnya walaupun salah seorang dari kamu membelanjakan emas sebesar gunung Uhud sekalipun, dia tidak dapat menandingi salah seorang ataupun separuh dari mereka. (Hadits Muttafaq ‘Alaih ). Dengan lontaran-lontaran nyeleneh seperti itu maka mereka dari jauh pun sudah tercium baunya bahwa mereka adalah orang-orang yang suaranya nyeleneh mengenai Islam. Atau kacau dalam berbicara tentang Islam. Itu belum yang secara habitat memang liberal seperti Komaruddin Hidayat bekas ketua Paramadina. Dulunya justru di barisan depan dalam menghadapi Islam, seakan berada di barisan Nasrani, ketika dia keceplosan menyinggung hal yang rawan: Kalau nanti partai Islam menang maka kalian para tokoh dan anggota gereja disembelih semua. Berita itu santer tahun 1985-an, dimuat oleh Koran Protestan, Sinar Harapan, lalu Komaruddin Hidayat khabarnya meminta maaf atas keterlanjurannya itu. Ada pula bibit-bibit yang kini masih dalam proses kenyelenehan misalnya Pradana Boy, Sukidi, Fuad Fanani dari Muhammadiyah, dan semacamnya yang sudah tampak membela-bela kenyelenehan atau nyerempet-nyerempet ke arah kenyelenehan dengan tulisan-tulisan misalnya di milis-milis. Belum pula aktivis yang tadinya dari Majalah Panji Masyarakat (dulu pimpinan Buya Hamka kemudian dilanjutkan anaknya, Rusydi Hamka, belakangan pindah-pindah tangan, dan kini telah tiada nafas lagi) misalnya Syafi’i Anwar yang bekerjasama dengan The Asia Foundation dengan lembaganya, ICIP –International Center for Islam and Pluralism– menyuarakan suara kemusyrikan yaitu pluralisme agama. Lembaga inilah yang mendatangkan tokoh Mesir yang telah divonis sebagai orang murtad oleh Mahkamah Agung Mesir tahun 1996 karena tulisan-tulisannya yang menghujat Islam yakni Dr Nasr Hamid Abu Zayd ke Indonesia untuk ke UIN Jakarta dan lembaga-lembaga liberal lainnya, September 2004. Orang-orang JIL pun sibuk mengikuti work shopnya, bahkan sibuk menulis dan wawancara untuk disebarkan di sana-sini. Nama Amin Abdullah rector UIN Jogjakarta dan ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah selaku pengagum Nasr Hamid Abu Zayd karena teori hermeneutic yang diikutinya telah menganggap Al-Qur'an sebagai produk budaya itupun diwawancarai dan disebarkan, pada bulan September 2004. Masyarakat Islam Indonesia dijejali suguhan yang dikais-kais dari otak orang yang sudah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir dengan sejumlah pelecehan terhadap Islam. Berikut ini cuplikan artikel yang pantas disimak: Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd Oleh Dr. Syamsuddin Arif Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan kritik Wacana Agama, digelar di Jakarta. Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok tokoh yang sedang tenar di Indonesia ini. Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang ‘kabur’ ke Belanda dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar hermeneutika yang pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan laporan jurnal. Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan seluruhnya– adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat. Promosi guru besar Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu’tazilah (al-Ittijah al-‘Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Beirut 1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut Muhyiddin ibn ‘Arabi’ (Falsafat at-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyiddin ibn ‘Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo, 1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik (Isykaliyyat al-Qira’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, Kairo, 1992); (5) Kritik Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi’i dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992). Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes. Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai, dalam khutbahnya di Mesjid ‘Amru bin ‘Ash, menyatakan Abu Zayd murtad. Pernyataan Ustadz Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa’ al-Islami dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan Mahkamah al-Isti’naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding. Ulama al-azhar Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau—kalau yang bersangkutan tidak mau—ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut: Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang disebut dalam al-Quran seperti ‘arasy, malaikat, setan, jin, surga, dan neraka adalah mitos belaka. Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz. Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran adalah karangan beliau. Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah tradisi reaksioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam. Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos. Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia. Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada merupa kan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy. Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah SAW. Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas Teks-teks agama. Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan. Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi. Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan The Freedom of Worship Medal_ kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya yang dinilai ‘berani’ dan ‘bebas’ (courageous independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa. Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah. Gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar. Prof Dr M Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya tidak valid secara akademis. Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya merupakan ijma’, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar Aneka Kenyelenehan dan Buku-bukunya yang Berbahaya Kembali ke sosok-sosok nyeleneh, dari seberang sana Said Agil Siradj pun tak ketinggalan menghimpun barisan nyeleneh yang lain lagi lewat jalur tasawuf dan lainnya, di UIN Jakarta juga. Belum lagi Azyumardi Azra yang ikut-ikutan jejak Said Agil Siradj, Dawam Rahardjo, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam memberi kata pengantar buku Kristen yang menghujat Islam, yaitu Azra memberi kata pengantar terjemahan buku Robert Morey berjudul Islamic Invasion Confronting the World's Fastest Growing Religion. Padahal buku itu penuh dengan penghinaan dan caci maki terhadap Nabi Muhammad saw dan Islam. Belum lagi perempuan-perempuan yang membela pelacuran, ataupun hal-hal yang nyeleneh misalnya mengobarkan untuk tidak sholat seperti Wardah Hafidz yang memamerkan dirinya sudah lama tidak sholat karena menganggap bahwa sholat tidak bisa untuk memecahkan problem kemiskinan. Itu dia ungkap dalam wawancara dengan TV 7 milik Kompas (Katolik) Jakarta Ramadhan 2002 yang kemudian secara panjang lebar diwawancarai majalah liberal Syir'ah dengan membeberkan kebanggaannya (?) sampai berani melawan ibunya yang menasihati agar sholat, karena kalau tidak, maka nanti di akherat masuk neraka sedang ibunya tak bisa menolongnya. Lalu dijawab Wardah Hafidz bahwa ibunya agar membiarkannya, karena dirinya sudah dewasa untuk menentukan jalannya sendiri. Rupanya Wardah Hafidz lupa bahwa orang-orang yang diancam siksa karena meninggalkan sholat itu adalah orang-orang dewasa. Hingga malaikat pun bertanya, kenapa mereka masuk neraka Saqor yang membakar apa saja sampai tak tersisa, amat sangat panasnya. "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian". (QS Al-Muddattsir/ 74: 42-47). Dalam hal untuk mencopot jilbab misalnya, Yayah Hizbiyah dari UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) Solo memamerkan pengalamannya di Majalah Syir’ah. Yang sudah jompo seperti Sinta Nuriah isteri Gus Dur pun tak mau ketinggalan untuk bekerjasama dengan lembaga kafir dalam menginterupsi ajaran Islam mengenai perempuan, dibantu oleh Badriyah Fayumi dari Ushuluddin UIN Jakarta. Para perempuan itu ada yang dikomandoi Syafiq Hasyim dengan lembaga Rohima-nya di Pancoran Jakarta, bekerjasama dengan lembaga kafir pula, erat kaitannya dengan lembaga Sisters in Islam di Malaysia yang dimotori Zainah Anwar yang telah membuat gerah para ulama setempat. Mereka ini tampaknya sejalan dengan Siti Musdah Mulia di Departemen Agama, yang anehnya bisa mendirikan LSM di Departemen Agama , di samping di luar juga. Malahan Siti Musdah Mulia (menurut Majalah Sabili) bisa mendapatkan dana besar dari The Asia Foundation untuk menyusun Draft counter legal Kompilasi Hukum Islam yang disebut Pembaruan Hukum Islam dan atas nama Pengarusutamaan Gender Departemen Agama di masa Menteri Agama Dr Said Agil Al-Munawwar MA yang berakhir 2004. Hanya saja pada hari terakhir jabatan Menteri Agama, Said Aqil mencabut draft Kompilasi Hukum Islam bikinan Musdah Mulia yang staf ahli Menag itu karena disurati oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Duda Dikenai ‘Iddah Isi Draft itu membabat hukum Islam secara terang-terangan, jadi bukan sekadar mengingkari, namun melawan, di antaranya poligami dilarang, mahar bisa dari wanita, lelaki, atau dua-duanya; iddah (masa tunggu setelah cerai hidup atau cerai mati) dikenakan bagi perempuan dan laik-laki (3 bulan untuk cerai hidup). Bahkan ada pasal iddah untuk duda dalam pasal 88 ayat 9: (9) Masa iddah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut: a. apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan seratus tiga puluh hari; b. apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi mantan istrinya. (Draft Kompilasi Hukum Islam, Pengarusutamaan Gender Depag RI, 2004). Hak cerai dan rujuk bukan hanya pada suami tapi juga pada isteri. Nikah bukan ibadah. Poligami dilarang tapi kawin kontrak boleh. Hukum waris laki-laki dan perempuan 1:1 atau 2:2. Nikah beda agama boleh. Itu semua menurut Prof Ali Mustafa Ya’qub dari Komisi Fatwa MUI adalah hukum Iblis. Sedang menurut Prof Bustanul Arifin SH, tindakan membuat LSM di Departemen Agama oleh Siti Musdah Mulia itu adalah subversi khofi (terselubung). Seharusnya ditindak. Berita tentang Draft kompilasi hukum Islam buatan kaum liberal (sebagian adalah tenaga-tenaga dari IAIN dan UIN) di Departemen Agama RI itu bisa disimak sebagai berikut: Draft Kompilasi Hukum Islam Picu Kritik Laporan : fin JAKARTA -- Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) baru menjalani sosialisasi pertama kemarin. Sejumlah pasal langsung memicu kontroversi. Titik kontroversi terutama ada pada Hukum Perkawinan dan Hukum Waris. Di antaranya adalah pelarangan poligami, pemungkinan perjanjian kawin dalam jangka waktu tertentu, serta penyamaan berbagai hak suami dan istri. Calon istri, misalnya, bisa melakukan ijab-kabul dan memberikan mahar. Pasal yang tidak kalah kontroversial adalah pembolehan perkawinan beda agama. Tim Pengarusutamaan Gender bentukan Depag, sebagai penyusun Draft, menilai pelarangan perkawinan beda agama melanggar prinsip pluralisme dalam Islam. Abdul Moqsith Ghazali, anggota tim penyusun, mengaku sejak semula sudah memperkirakan akan mendapatkan kritikan tajam. Timnya pun secara internal menjalani perdebatan yang panjang dan alot untuk membuahkan Draft itu. Menurut dia, banyak sekali ketidakadilan dalam susunan KHI lama. ''Kami menyusun ini dengan mengacu pada dalil-dalil yang ada. Karena itu, jika memang tidak ada dalil yang melarang untuk mengubah sesuatu hal, berarti itu merupakan dalil untuk mengubah,'' kata Moqsith. Menteri Agama, Said Agil Husin Al-Munawar, juga memperkirakan substansi Draft KHI baru ini akan mengundang perdebatan. Namun, dia berharap Draft ini tidak langsung ditolak, akan lebih baik jika dikritisi lebih dulu. ''Bagaimanapun juga, saya lebih senang dengan usaha pembaruan hukum Islam yang bernuansa Indonesia daripada formalisasi syariat Islam,'' ujarnya. Guru besar hukum Islam Universitas Indonesia, Tahir Azhari, dengan terang-terangan menganggap beberapa poin Draft itu mengada-ada. Tentang perkawinan dengan perjanjian jangka waktu tertentu, misalnya, dia menyebut nikah adalah ibadah yang berdasarkan tradisi Rasulullah. Nikah harus berlandaskan hukum, bukan semata-mata atas kesepakatan layaknya kontrak. Draft baru menyebut, batas usia minimum calon istri maupun calon suami adalah 19 tahun. Pertimbangannya, untuk tidak lagi mendiskriminasi perempuan. KHI lama menyebut, calon suami 19 tahun dan calon istri 16 tahun. Tahir mengkritik, sejak akil baligh, perempuan dan laki-laki sudah layak menikah. Soal perkawinan beda agama, Tahir menyitir beberapa ayat dalam surat Albaqarah yang menurutnya jelas melarang orang Islam kawin dengan non-Islam. ''Prinsip ini berasal dari wahyu, tidak boleh kita mempertanyakannya lagi,'' tegas Tahir. Menurut dia, akal tidak bisa begitu saja membantah wahyu. Kritik tajam juga dikemukakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN), Hasanuddin Af. Dia menganggap para penyusun Draft mengambil langkah yang secara langsung bertentangan dengan Alquran dan hadis. Padahal, Alquran adalah perintah Allah yang tidak dapat lagi diganggu-gugat. Menurut Hasanuddin, keadilan bukan berarti semuanya harus sama persis. ''Seharusnya yang menjadi dasar adalah keseimbangan dan proporsionalitas. Bagaimanapun juga fisik laki-laki berbeda dengan perempuan, jadi harus ada pembagian tugas,'' katanya. Soal poligami, Hasanuddin menyebut pintu untuk mempunyai istri lebih dari satu sangat sempit. Harus memenuhi beberapa syarat yang tidak ringan. Dia menyebut, misalnya, kemampuan dan keadilan. Ulama KH Husein Muhammad bersikap lebih akomodatif. Menurut dia, realitas memang harus menjadi dasar pembentukan hukum. Dan, realitas zaman klasik berbeda dengan saat ini. ''Dulu semua hal dilakukan atas dasar personal. Sekarang, semua hal penting harus dilakukan berdasarkan hukum,'' ujar pemimpin Ponpes Daarut Tauhid, Cirebon, itu. Beberapa Pasal Kontroversial: 1. Asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1). Perkawinan di luar ayat 1 harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). 2. Calon suami atau calon istri harus berusia minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1) 3. Calon istri dapat mengawinkan dirinya sendiri dengan syarat tertentu (pasal 7 ayat 2) 4. Perempuan bisa menjadi saksi (pasal 11) 5. Calon istri bisa memberikan mahar (pasal 16) 6. Calon suami dan calon istri bisa melakukan perjanjian perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28) 7. Perkawinan beda agama boleh (pasal 54) Hukum Waris: 1. Anak yang berbeda agama tetap mendapatkan warisan (pasal 2 huruf e) 2. Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1 (pasal 8 ayat 3) 3. Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya (pasal 16 ayat 2). Dalam pembahasan di kelompok Kajian Islam Cibubur di Pesantren Husnayain Jakarta, Februari 2005, Adian Husaini selaku pembicara menegaskan, Draft Counter Legal Kompilasi Hukum Islam susunan Siti Musdah Mulia dan kawan-kawannya di Departemen Agama RI itu adalah salah satu produk dari pemahaman yang menggunakan hermeneutika sebagai pendekatannya. Umat Islam bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia) menentang Draft KHI itu karena jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Maka seharusnya umat Islam dan MUI lebih manentang lagi kepada sumbernya yang mengakibatkan adanya produk itu, yaitu hermeneutika. Jadi umat Islam perlu menentang diajarkannya hermeneutika di UIN dan IAIN, apalagi di pesantren, karena jelas hasilnya mesti akan merusak hukum Islam, dan sudah terbukti adanya draft KHI yang sampai mengenakan ‘iddah bagi laki-laki, tandas Adian di depan para kiai, aktivis, dan wartawan serta penulis Muslim. Gatoloco Lama dan Baru Yang nyeleneh-nyeleneh di UIN, IAIN, STAIN, Departemen Agama, LSM-LSM dan bahkan pesantren-pesantren kini sudah mubal (banyak sekali). Kalau dulu yang nyeleneh dan merusak Islam itu adalah orientalis-orientalis kaki tangan penjajah, dan juga orang-orang kafir anti Islam model Gatoloco dan Darmogandul di Jawa (Solo-Jogja), namun kini orientalis plus Gatoloco itu sosok-sosoknya adalah professor-profesor, doctor-doktor di perguruan tinggi Islam. Kiai-kiai di pesantren. Tokoh-tokoh Islam di departemen atau lembaga atau organisasi Islam, dan sosok-sosok terdidik di kampus-kampus. Hingga misi penjajah serta kafirin model Gatoloco tersalur lewat departemen, lembaga pendidikan tinggi Islam, pesantren, dan organisasi-organisasi Islam. Bedanya, Gatoloco dan Darmogandul dulu menyembunyikan namanya, hanya melontarkan hujatan dan pelecehan terhadap Islam dengan sikap kekafirannya. Sedang Gatoloco model sekarang, mereka justru memampangkan namanya disertai gelar-gelarnya/ titelnya, lalu nyadong/ minta jatah dana ke lembaga kafir, kemudian mengacak-acak Islam dengan suara-suara nyelenehnya model Gatoloco. Gatoloco bilang anjing dan babi yang dibeli dengan duit sendiri lebih halal dibanding kambing curian, mereka juga ada yang bilang anjing, contohnya mahasiswa Filsafat Ushuluddin IAIN Bandung, mengomandoi mahasiswa baru agar berdzikir dengan ucapan Anjing hu akbar. Gatoloco bilang anjing dan babi halal, maka Dr Siti Musdah Mulia di Departemen Agama bersama orang-orang liberal dari UIN, IAIN, dan lainnya 27 orang mengomandoi nikah beda agama halal. Gatoloco bilang Mekkah artinya mekakah (wanita melebarkan kakinya waktu mau disetubuhi lelaki), Taufiq Adnan Amal dosen IAIN Makassar dan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Ilam Liberal) bilang ayat Innad diena ‘indallahil Islam itu ditemukan lafal lain yang lebih cocok dengan zaman sekarang yaitu Innad diina ‘indallohil hanifiyyah. Gatoloco dan Darmogandul bilang hukum Islam dipakai orang Islam yang hatinya pahit asin, Nurcholish Madjid bilang fiqh Islam tak memadai lagi, perlu hukum lain yang bisa mencakup kepentingan seluruh orang. Gatoloco bilang anjing dan babi yang dibeli dengan duit sendiri lebih halal dibanding kambing curian, Abdul Munir Mulkhan wakil rector UIN Jogjakarta dan petinggi Muhammadiyah bilang kalau yang masuk surga itu orang tertentu (Islam) saja maka akan kesendirian dan tidak krasan di sana. (dua-duanya pernyataan kacau). Gatoloco tak percaya akherat, Harun Nasution direktur pascasarjana IAIN Jakarta dulu tak percaya qodho dan qodar sebagai rukun iman, dan tak percaya siksa pada jasad di akherat, hingga dibantah keras oleh Prof HM Rasjidi, bahwa itu mengikuti filosof (yang telah dikafirkan ulama). Gatoloco menolak Islam, menolak Al-Qur’an, menolak hadits, mencela adzan; Syafi’i Maarif, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Muslim Abdurrahman, Masdar F Mas’udi, Hasyim Muzadi, Ulil Abshar Abdalla dan orang-orang yang terdaftar di bab sosok-sosok nyeleneh di buku ini cukup dengan ramai-ramai pakai gayanya sendiri-sendiri menolak penerapan syari’at Islam. Bedanya, Gatoloco memang jelas-jelasan anti Islam dan menolak Islam terang-terangan sebagai non Islam, sedang tokoh-tokoh Gatoloco generasi baru ini mengaku diri mereka muslim. Gatoloco sinis terhadap Islam dan Muslimin dengan perkataan-perkataan yang sangat jorok lagi porno; para penolak syari’at Islam itu sinis pula kepada orang yang tsiqqoh (teguh) atau istiqomah dengan Islamnya pakai perkataan yang dibuat-buat, misalnya: Bila diterapkan syari’at Islam maka yang terjadi bukan persatuan tapi persatean (ini kata Syafi’I Ma’arif ketua Muhammadiyah). Bila syari’at Islam ditegakkan maka korban pertama adalah perempuan (ini kata orang-orang Jil –Jaringan Islam Liberal dan disebarkan, dengan nama Muslim Abdurrahman, dibela pula oleh Ulil Abshar Abdalla ketika berhadapan dengan penulis di Al-Azhar Kebayoran Baru, tahun 2002 ). Gatoloco mengacak-acak Islam dengan menghinakannya pakai buku sederhana Suluk Gatoloco Serat Darmogandul tanpa nama penulisnya dan dicetak di Penerbit Sadu Budi, Solo Jawa Tengah, tahun 1952 berbahasa Jawa kuno; oknum-oknum IAIN, UIN, JIL, Depag RI, dan orang-orang liberal lainnya membuat buku-buku yang membahayakan bagi Islam dengan kemasan lux dibiayai lembaga kafir, biasanya. Sebagian ada yang diberikan gratis kepada relasi mereka. Bahkan kalau Departemen Luar Negeri Amerika mengirimkan buku-buku berbahasa Indonesia sampai ke pelosok-pelosok, di mana ada pesantren maka dikirimi buku-buku Amerika. Buku-buku yang Membahayakan Dalam hal buku, pengarangnya, serta latar belakang dan misi perusakan Islam, untuk mencocokkan perkatan Adnin Armas yang mengutip perkataan Prof Naquib Al-Atas bahwa Harun Nasution adalah orang yang duduk manis di depan gurunya yaitu para orientalis di Mc Gill University di Canada, perlu disimak kembali bukti berikut ini: 1. Buku Dr. Harun Nasution Buku Dr. Harun Nasution dengan judul “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1974. Tetapi penerbitnya agak menyesal menerbitkannya karena reaksi yang hebat menentang buku itu timbul dalam masyarakat. Buku ini mendapat tantangan dan reaksi yang sangat keras dan tajam dari Prof. Dr. H. M.Rasjidi, karena beliau khawatir akan pengaruh buku tersebut bagi angkatan muda Islam, mengingat buku itu konon menjadi buku wajib pada tingkat I IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Dan mengingat pula buku itu dikarang oleh Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri. Dr. Harun Nasution adalah keluaran Mc. Gill University, Montreal, Canada. Dan masuknya di universitas itu adalah antara lain karena bantuan dari Prof. Rasjidi sendiri. Tetapi beliau kaget melihat hasil karya Dr. Harun tersebut. Dan tanpa ragu-ragu sedikitpun juga Prof. Rasjidi mengasah penanya yang sudah tajam itu untuk menghadapi dan mengoreksi Dr. Harun Nasution, dengan judul “Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution” antara lain berkata seperti di bawah ini: “Terdorong oleh rasa faidah mengetahui hal-hal yang baru yang dapat saya manfaatkan dalam mengabdi kepada Islam dan Umat Islam Indonesia, saya merintis jalan untuk berusaha menyalurkan para sarjana tamatan IAIN dan lain-lain untuk memasuki alam fikiran orientalisme; dalam hal ini saya tidak bertindak sebagai perintis. Saya mengetahui bahwa banyak ulama dari Al-Azhar di Cairo dikirim ke Jerman atau London atau Paris oleh satu panitia yang memakai nama Almarhum Syekh Muhammad Abduh. “Akan tetapi entah karena suatu hal yang tak terduga, di antara yang saya usahakan belajar di Instintute of Islamic Study ada yang memberikan hasil yang mengecewakan. Dalam menyelami alam fikiran orientalisme, mereka bukan mendapatkan sumber kekeliruan para sarjana Barat tentang Islam, akan tetapi malah menelan segala sesuatu yang mereka katakan dengan tidak memakai daya kritis." “Memang kemegahan Barat dalam keuletan cara meneliti dan berfikir dapat dibanggakan, akan tetapi bagi orang yang bijak, di celah hal-hal yang mengagumkan itu sering terdapat kekeliruan-kekeliruan yang besar.” “Di antara mereka yang terpengaruh dengan cara berpikir orientalisme yang merugikan Islam adalah teman saya sendiri, Dr. Harun Nasution yang saya bantu untuk datang ke Canada pada tahun 1963.” “Beliau mendapat MA pada tahun 1965 dan Ph. D. pada tahun 1968 sebagai putra Indonesia pertama yang mendapat gelar tersebut.” “Akan tetapi cara berpikir beliau dan konsepsi beliau tentang Islam sangat merugikan kepada Islam dan Umat Islam di Indonesia sehingga perlu dikoreksi." “Mula-mula saya tidak mau melakukan koreksi tersebut di muka umum, pada tanggal 3-12 tahun 1975 saya menulis laporan Rahasia kepada Sdr. Menteri Agama dan beberapa orang staf eschelon tertinggi di Kementerian Agama. Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Dr. Harun Nasution yang berjudul: Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya pasal demi pasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Menteri Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.” “Karena lebih dari satu tahun tidak ada respon dari Departemen Agama, maka saya menggambarkan dua kemungkinan: A. Pihak Departemen Agama, khususnya Diperta (Direktorat Perguruan Tinggi Agama) setuju dengan isi buku tersebut dan ingin mencetak sarjan IAIN menurut konsepsi Dr. Harun Nasution tentang Islam. B. Atau pihak-pihak tersebut di atas tidak mampu menilai buku tersebut dan bahayanya bagi existensi Islam di Indonesia serta umatnya. Kedua kemungkinan tersebut di atas tidak memberikan harapan yang baik.” “Dengan begitu maka satu-satunya jalan yang dapat saya tempuh adalah menyiarkan koreksi saya itu dalam bentuk buku untuk umum, sehingga pendapat umumlah yang akan memberi penilaian kepada dua pandangan yang berlainan ini.” Demikian Prof. Dr. H. M. Rasjidi dalam kata pendahuluannya. Dan setelah memberikan koreksi dan kritiknya pasal demi pasal dan bab demi bab, pedas, asam , pahit, lincah dan ilmiah itu, maka Rasjidi sampai kepada kesimpulan dan menutup pembahasannya seperti tertera di bawah ini: “Telah agak lama saya menerima pengaduan dari mahasiswa dan dosen-dosen tentang kuliah-kuliah Dr. Harun Nasution. Ketika saya membaca bukunya yang berjudul: Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, saya menjadi yakin akan keluhan-keluhan yang saya dengar. “Karangan Dr. Harun Nasution yang diwajibkan untuk dipelajari mahasiswa IAIN adalah buku yang penuh fikiran kaum orientalis yang beragama kristen. I. Pernyataan bahwa Tuhan tidak perlu ditakuti tetapi dicintai, adalah kata Kristen. II. Agama monotheisme adalah Islam, Yahudi, Kristen (Protestan dan Katolik) dan Hindu adalah fikiran comparative religious yang ditimbulkan oleh orang-orang yang mengaku berdasar ilmiyah dengan tidak berguna sedikitpun. III. Orang-orang yang kotor tidak akan diterima kembali ke sisi yang Maha Suci, adalah expresi Kristen, pengaruh dari Neo Platonisme dan Gnosticisme. IV. Injil adalah teksnya bukan wahyu, yang wahyu adalah isi atau arti yang terkandung dalam teks itu. Pernyataan tersebut adalah pernyataan yang lebih Kristen dari pada teolog-teolog Kristen. Orang Kristen mengatakan bahwa wahyu adalah yang mendorong penulis-penulis Injil untuk menulis Injil masing-masing, adapun isinya banyak yang salah, karena manusia tak luput dari kekhilafan. V. Tidak dapat diketahui dengan nama pasti mana Hadits yang betul berasal dari Nabi dan mana yang dibuat-buat. Ini adalah pendapat Goldziher, seorang Yahudi dari Hongaria. VI. Istihsan yang dibawa oleh Abu Hanifah, Al Masalih Al Mursalah yang dicetuskan oleh Malik bin Anas ditolak oleh Al-Syafi’i, Qiyas yang dicetuskan oleh Al- Syafi’i ditolak oleh Ibn Hazm Al-Zahiri. Pintu ijtihad ditutup. Semua itu merupakan gambaran suram tentang hukum Islam ditulis oleh seorang sarjana Islam. Sedang ahli hukum di Prancis mengeluarkan pernyataan dalam konperensi hukum Islam di Paris sebagai berikut: “Para peserta Kongres merasa tertarik oleh problema-problema yang dilontarkan dalam Minggu Hukum Islam dan oleh diskusi mengenai problema tersebut, serta mendapat kesimpulan yang terang bahwa prinsip Hukum Islam mempunyai nilai yang tak dapat dibantah, dan bahwa variasi aliran-aliran dalam hukum Islam mengandung kekayaan-kekayaan ilmu hukum yang istimewa yang memungkinkan hukum ini untuk melayani hajat penyesuaian dalam kehidupan modern, (dikutip dari “Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah”, terbitan Bulan Bintang 1976). VII. “Sementara itu Islam dalam sejarah mengambil bentuk ketatanegaraan”. Ini adalah konsep Kristen yang dibawa oleh Nabi Isa tak mengandung konsepsi tentang negara Kristen. VIII. “Pemikiran pembahasan modernisasi mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama agar disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern. Pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran aspek teologi, hukum dan seterusnya dan mengenai lembaga-lembaga.” “Ini semua berarti bahwa yang ada di Barat itu semua benar dan sempurna. Dan oleh karena Umat Islam tak dapat meninggalkan Al-Qur’an dan Hadits, maka diperlukan interpretasi baru tentang ayat-ayat, apalagi ayat-ayat itu banyak yang dubious.” “Dengan begitu maka yang mutlak adalah yang terjadi di Barat yang beragama Kristen. Kita yang beragama Islam hanya dapat memberikan interpretasi baru kepada ayat-ayat Al-Qur’an.” “Hal tersebut adalah fikiran orang yang belum yakin akan keunggulan isi Al-Qur’an dan belum sadar akan kelemahan dan bibit-bibit kehancuran yang sekarang tumbuh di Barat.” Akhir kata “Semula kita, Umat Islam Indonesia menginginkan generasi muda yang mahir dalam ilmu ke-islaman, bahasa Arab, Al-Quran, Syari’ah, Tauhid, dan lain-lain. Di samping itu mereka harus mengetahui ilmu-ilmu baru: Sosiologi, Hukum dan Filsafat dan lain-lain." “Buku Dr Harun Nasution menunjukkan bahwa sekarang ada di antara kita yang terpengaruh oleh metode orientalis Barat sehingga menganggap Islam sebagai suatu gejala masyarakat yang perlu menyesuaikan diri dengan peradaban Barat.” “Dengan begitu akan hilanglah identitas Islam kita, dan akan hilanglah kekuatan jiwa yang kita peroleh dari Al-Qur’an. “Buku Dr. Harun Nasution telah membantu terciptanya masyarakat semacam itu, masyarakat modern yang segala-galanya di dalamnya benar, dan Agama Islam harus diubah penafsirannya sehingga sesuai dengan peradaban Barat itu." “Aku berdo’a kepada Allah SWT mudah-mudahan tulisan ini dapat menghindarkan bahaya yang besar itu!” “Ya Allah, janganlah Engkau menyesatkan hati kami setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan berilah kami rahmat dari sisiMu, sungguh Engkau Maha Pemberi!” (Prof Dr HM Rasjidi, Koreksi terhadap Dr Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, halaman 150, Bulan Bintang, Jakarta, 1977). 2. Buku Ahmad Wahib Yang lebih menghebohkan tetapi kurang berisi dan berbobot ialah buku dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam karya Ahmad Wahib, diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta. Buku ini mendapat reaksi demikian ramainya dari kalangan tua dan muda dari pusat sampai daerah. Disunting oleh dua orang aktivis Pemuda Islam, Djohan Effendi dan Ismed Natsir. Reaksi Rasjidi Prof Dr HM Rasjidi tidak begitu bersemangat berbicara tentang isi buku tersebut, karena itu hanyalah catatan harian pribadi Ahmad Wahib yang tidak pantas diterbitkan untuk umum. Itu suatu tragedi yang merupakan halaman yang suram dalam kehidupan Islam di zaman Orde Baru ini. (Panji Masyarakat, No. 346, Jakarta). Yang diserang dan disesalkannya ialah penyuntingnya, Djohan Effendi dan pembuat kata pengantarnya, Prof Dr H Mukti Ali. Serangan kepada Mukti Ali lebih keras dan lebih tajam, karena beliau itu bekas Menteri Agama RI yang sama sekali tidak patut menyambut dan turut menghidangkan buku itu ke tengah masyarakat Islam yang sudah diserang dari segala penjuru itu. Cuma ada sesuatu yang baru bila Prof Dr Rasjidi menyebut dan menuliskan nama Mukti Ali. Tidak kurang dari 8 kali nama Mukti Ali disebut-sebut dengan variasi yang berbeda-beda. Empat kali tanpa memakai gelar Prof. Dr. Empat kali pula dengan menyebutkan Prof. Dr. , di antaranya dua kali diberi keterangan dalam kurung seperti ini: Prof. (DR) HA Mukti Ali. (Sekali lagi, DR dalam tanda kurung saya pinjam dari tuan Husserl), kata Rasjidi. Apakah barangkali beliau meragukan titel DR nya Mukti Ali? Wallahu a’lam. Sebagaimana diketahui, bahwa Mukti Ali pernah kuliah di Canada, sedang Rasjidi pernah lima tahun menjadi dosen di sana. Rasjidi sendiri memang sengaja begitu. “Yang saya serang itu ‘kan kata pengantarnya,” katanya kepada Tempo. “Saya sendiri tidak apa-apa dengan almarhum Wahid. Ia sudah meninggal, dan mudah-mudahan Tuhan mengampuni dosa-dosanya, sudah begitu saja. Saya hanya mau bikin kapok orang yang melindungi cara berfikir seperti Wahib itu.” Dan yang dimaksudnya, tak lain tak bukan, Prof. Mukti Ali. Ialah yang memberi kata pengantar dan “pelindung”.(Tempo, No. 48, 1982). Tentang penyutingnya, Johan Effendi oleh Rasjidi dikatakan “seorang doktorandus dari IAIN yang naik tinggi kedudukannya dalam kalangan sekretariat negara, yang juga salah seorang tokoh muda Ahmadiyah Lahore. (Panji Masyarakat, No.346, 1402 H.). Apakah benar Johan Effendi sebagai seorang Ahmadiyah? Penulis (K.H. Firdaus A.N.) sendiri pernah bertanya kepadanya tentang hal itu. Tetapi ia agak malu-malu menjawabnya; dan saya tidak mau mendesaknya lagi. Tetapi yang sebenarnya aktif menyunting buku Wahib itu adalah Ismed Natsir (alumni kampus Katolik STF –Sekolah Tinggi Teologi –Filsafat--Driyarkara Jakarta sebagaimana tokoh JIL --Jarigan Islam Liberal-- Ulil Abshar Abdalla yang fahamnya mengacak-acak Islam, pen). 3. Buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an Buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Taufiq Adnan Amal, dosen Ulumul Qur’an IAIN Makassar, meniru Orientalis untuk meragukan kemurnian Mushaf Utsmani). Tasykik (peragu-raguan yang disebarkan Buku Rekonsturuksi Sejarah al-Qur’an di antaranya: Kutipan: Adalah benar bahwa Tuhan telah membuat atau mewahyukan al Qur’an dalam bahasa Arab, tetapi manusia bisa membuatnya menjadi bahasa Persia, Turki, Urdu, Cina, Indonesia, atau bahasa-bahasa dunia lainnya. (Rekontruksi Sejarah Al Qur’an, Taufiq Adnan Amal, Penerbit : FkBA, Jogjakarta, hal.352.) Tanggapan: Kalimat adalah benar bahwa Tuhan telah membuat dan atau mewahyukan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, pendapat tersebut sangat sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Zuhruf ayat 3 yang berbunyi : a. Artinya: Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami (nya).( QS Az Zuhruf: 3) b. Artinya: Sesungguhnya Kami turunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab supaya kamu berfikir (QS Yusuf: 2 ) Kalimat selanjutnya yang berbunyi: Manusia bisa membuatnya menjadi bahasa Persia, Turki, Urdu, Cina, Indonesia atau bahasa-bahasa dunia lainnya, adalah kalimat atau pendapat yang keluar dari mulut atau otak pikiran para budak-budak kuffar yang saat ini bergentayangan di perguruan Tinggi Agama Islam yang bertebaran di seluruh Indonesia, setelah mereka menyelesaikan studi doktornya di perguruan tinggi kafir di Barat seperti Amerika, Jerman Prancis, Inggeris, Belanda, Australia, Canada dan lainnya. Mereka ini belajar Islam dari dosen-dosen mereka yang sangat anti Islam serta anti al-Qur’an yaitu para Orientalis yang sengaja mempelajari Islam untuk berusaha menghancurkan Islam. Setelah mereka itu kembali ke Indonesia mereka ini menjadi budak Orientalis serta menjadi budak kuffar dan bersedia menjadi kaki-tangannya. Sebab seandainya al Qur’an bisa dibuat seperti kehendak para budak Orientalis ini, bisa dibayangkan bagaimana susah dan repotnya. Kalau Al Qur’an ditulis dalam bahasa cina, bahasa jepang, bahasa korea, bahasa Urdu, bahasa Jerman, bahasa Inggeris, bahasa Indonesia, huruf Ô terdiri dari huruf apa yang tepat, Ð ditulis dengan huruf apa, Ò ditulis dengan huruf apa. Begitu juga kalau ditulis dengan bahasa Cina, Korea, Urdu, Jepang, Persi, maka bagaimana masalah tajwidnya. Pendeknya kalau al Qur’an sudah ditulis seperti yang diinginkan oleh para budak Orientalis ini berarti al Qur’an sudah tidak ada bedanya dengan kitab Injil yang sudah ditulis dalam berbagai bahasa. Gagasan para budak Orientalis ini sangat berbahaya dan seluruh ummat Islam harus ekstra hati-hati dan waspada terhadap kelicikan para budak Oientalis ini untuk mengacak-ngacak kitab suci Al Qur.an karena usaha mereka ini mendapat dukungan dana yang besar dari para bosnya di Barat sana. 4. Buku Fiqh Lintas Agama Buku Fiqh Lintas Agama (tulisan 9 orang tim Paramadina, didanai The Asia Foundation yayasan orang kafir, adalah wakaf Yahudi berpusat di Amerika ) berisi gugatan-gugatan terhadap hukum Islam bahkan aqidah tauhid, dimaknakan jadi kemusyrikan yakni pluralisme agama, menyamakan semua agama, akan masuk surga semua, dan bolah nikah dengan pemeluk agama apapun serta aliran kepercayaan apapun. Tim penulis Paramadina itu adalah: Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, dan Mun’im A. Sirry (Edditor). 5. Majalah Syir’ah Majalah Syir’ah bulanan, tiap terbit berisi penyebaran faham yang menjerumuskan ke arah murtad ataupun maksiat, atau kemunkaran dan bahkan kemusyrikan. Majalah ini dibiayai pula oleh The Asia Foundation. 6. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, oleh Tim Kesetaraan Gender Departemen Agama, pimpinan Dr Siti Musdah Mulia, berisi penghalalan yang haram seperti nikah beda agama, dan pengharaman yang halal seperti poligami, 2004, masa Menteri Agama Dr Said Agil Al-Munawwar MA. 7. Azyumardi Azra Azyumardi Azra rector UIN memberi kata pengantar buku Islamic Invation karangan Robert Morey yang sangat menghujat Islam. Buku itu sudah diterjemahkan dan dianggap buku gelap oleh Perpustakaan Nasional (menurut seorang peneliti yang menanyakan ke Perpustakaan Nasional di Jakarta), namun muncul terjemahan baru yang justru diberi kata pengantar oleh Azyumardi Azra. Padahal buku itu dalam kesimpulannya menyatakan, “Kekuatan dan kejeniusan Muhammad yang mengangumkan membuat dia mampu merubah tatacara ibadah penyembahan dewa bulan yang bernama Allah itu menjadi sebuah agama Islam, agama kedua terbesar di dunia.” Pada bagian selanjutnya, “Namun kalau kita perhatikan kehidupan Muhammad, kita akan menemukan bahwa dia merupakan manusia biasa yang juga bergelimang dosa seperti halnya dengan kita semua. Dia berbohong, dia menipu, dia dipenuhi nafsu birahi; dia mengingkari janji, dia membunuh, dan lain-lain. Dia tidak sempurna dan dia juga berdosa.” Robert Morey yang kafir itu menutup mata bahwa orang-orang Arab kafir yang memusuhi bahkan akan membunuh Nabi Muhammad saw pun tidak pernah menganggap bahwa Nabi Muhammad saw itu berbohong, menipu, mengingkari janji dan sebagainya. Bahkan julukannya dari masyarakat Arab itu sendiri adalah Al-Amien, orang yang sangat terpercaya, jujur. Terlalu percaya diri si kafir Robert Morey ini, bahwa dia mengakui sebagai orang berdosa itu memang betul, tetapi menyamakan dirinya dengan Nabi Muhammad saw sebagai sama-sama orang berdosa, itu adalah satu masalah yang amat sangat keterlaluan. Lebih buruk ketimbang sekadar menyamakan tai dengan emas, hanya karena sama-sama kuningnya. Tetapi mengapa buku yang sejahat ini dibolehkan beredar di Indonesia bahkan terjemahannya diberi kata pengantar oleh Azyumardi Azra rector UIN Jakarta. Ada hubungan apa si kafir penghujat Islam, Robert Morey ini, dengan Azra khususnya, dan dengan UIN pada umumnya? 8. Bulletin Relief di Jogjakarta Bulletin Relief di Jogjakarta, di antaranya ada edisi yang memuat penyataan kufur berbunyi: “…kenapa kita ribut menyalahkan orang ateis bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan. Padahal Tuhan sendiri ateis. Ia tidak bertuhan.” Dari seluruh rangkaian itu , yang mengenai UIN atau IAIN, maka Harun Nasution lah yang dianggap sebagai tokoh terhormat yang murid-muridnya menjadi doctor keluaran IAIN Jakarta (kini UIN) dan tersebar di seluruh Indonesia, rata-rata memimpin di IAIN-IAIN. Pemikiran Harun Nasution yang rusak itu telah mereka adopsi, baik secara talaqqi maupun dari buku Harun Nasution yang diperuntukkan bagi para mahasiswa IAIN, UIN, PTAIN, dan PTAIS se-Indonesia. Kenyataannya memang seperti itu, maka ketika ada pengomando dzikir di IAIN Bandung yang menyerukan untuk koor anjing hu akbar (Jum’at sore, 27 September 2004), bukannya pengelola IAIN ataupun pemimpinnya gerah, namun justru membelanya. Sehingga orang akan bertanya-tanya, sebenarnya IAIN-IAIN, UIN, PTAIN, dan PTAIS se-Indonesia ini dikotori oleh oknum-oknum perusak aqidah Islam atau memang sebenarnya justru sebagai lahan persemaian perusakan Islam di Indonesia? Pertanyaan itu jawabannya sudah nyata. Generasi Gatoloco Anti Islam kini tumbuh dengan generasi baru dan punya wadah-wadah formal. Memang keadaan dan kenyataannya seperti itu. Allah lah yang Maha Perkasa untuk mengatasinya, namun umat Islam tidak boleh jadi laki-laki dayyuts, yaitu merelakan isterinya berzina atau berselingkuh. Maka tidak layak umat Islam rela IAIN-IAIN, UIN, STAIN, STAIS dan lainnya jadi sarang penyesatan Islam, walaupun justru para pengelolanya telah rela, dan memang tak sedikit yang menjadi agen kesesatan dengan kurikulum yang memang perlu dirombak. Sebelum sarang-sarang itu disterilkan, maka umat Islam perlu mensterilkan masyarakat dari bahaya virus liberal yang mereka sebarkan. Kalau sarang mereka itu mereka sebut sendiri wilayah bebas tuhan, maka umat Islam bisa mencanangkan perkampungan-perkampungannya sebagai wilayah bebas UIN, IAIN, STAIN, dan STAIS. Apakah itu yang diinginkan? Pembaharuan Nurcholish Madjid ke Arah Paganisme Dr. Nurcholish Madjid alumni Chicago Amerika mengemukakan beberapa masalah yang masih belum jelas, bahkan bisa dipertanyakan keshahihannya. Di antaranya: 1. Islam dianggap bukan nama agama, tapi hanya sikap penuh pasrah kepada Allah. 2. Istilah musyrikat dianggap tidak mencakup segala jenis wanita musyrik, tapi hanyalah wanita musyrik Arab. 3. Sebaliknya istilah Ahli Kitab dianggap bukan hanya Yahudi dan Nasrani, tetapi menurut Nurcholish Madjid, mencakup watsaniyin (penyembah berhala/paganis) India, China, dan Jepang. 4. Di samping itu Nurcholish Madjid menganjurkan umat untuk mempelajari kitab-kitab suci lama. Mengenai masalah pemaknaan Nurcholish tentang Islam, dia sudah menjelaskan di koran Pelita 30 Desember 1993 M/ Rabu 6 Rajab 1413 H dengan mengutip kitab-kitab Ibnu Taimiyah. Penjelasan Nurcholish adalah: (Jadi semua agama Nabi adalah Islam, yang intinya ialah Tauhid atau Monotheisme)... Tetapi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah dilebihkan oleh Allah atas sekalian para Nabi, dan umat beliau telah dilebihkan atas sekalian umat, tanpa sikap mencela kepada siapa pun dari kalangan para Nabi itu, tidak pula kepada umat-umat yang mengikuti mereka. Demikian tulis Nurcholish mengutip Ibnu Taimiyyah, Al-Iman hlm. 298. Pemaknaan Islam, Nurcholish Memlintir Ibnu Taimiyyah Pengutipan Nurcholish Madjid terhadap apa yang ia nisbahkan kepada Imam Ibnu Taimiyyah beserta komentar Nurcholish Madjid itu mari kita buktikan, apakah Imam Ibnu Taimiyyah seperti yang Nurcholish Maksud. Masalah agama yang satu (Islam) dan berbeda-bedanya syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) bagi setiap umat telah dijelaskan secara deteil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As-Shofadiyah. (As-Shofadiyah, Ibnu Taimiyyah 661-728H, , 2 juz, 1406 cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307 -313). Penjelasannya sebagai berikut: Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 213). Ibnu Abbas berkata, Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun, semuanya di atas Islam. Firman-Nya kaanan naasu ummatan wahidah (“Manusia itu adalah umat yang satu) artinya di atas kebenaran yaitu agama Islam. Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu dalam Surat Yunus , inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang betul. Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu termasuk (pendapat) yang batil. Karena agama Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa awalin dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu baginya. Dan itulah agama Islam. Sedang bermacam-macamnya syari’at itu seperti bermacam-macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw adalah penutup nabi-nabi dan seutama-utamanya para utusan, tidak ada nabi sesudahnya. Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya, sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan (kiblat baru, pen) menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun bermacam-macam syari’atnya. Maka demikian pula firman Allah Ta’ala: “… maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48). Apa yang telah Allah jadikan bagi setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang-orang yang dulu berpegang dengan Taurat dan Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama Islam, walaupun syari’at untuk mereka itu hanya khusus bagi mereka. Demikian pula orang-orang yang berpegang pada Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam, walaupun Al-Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan menghalalkan untuk mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka. Demikian pula Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang Dia hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina kemudian Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, pen). Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt). Oleh karena itu ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran 85), lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97). Dan telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa memiliki bekal atau unta/kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau sebagai Nasrani.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya). Allah Ta’ala berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran: 18). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran: 19). Kemudian jika mereka mendebat kamu (Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20). Nurcholish mengembalikan makna Islam kepada pengertian umum, sangat berbahaya. Nurcholish mengutip pula ayat: Dan barangsiapa menganut selain Al-Islam sebagai din (agama), maka ia tidak akan diterima dan di akherat akan termasuk mereka yang merugi. (terjemah QS Ali Imran: 85). Namun, karena Nurcholish mengembalikan terjemahan Al-Islam dalam ayat itu kepada yang umum, untuk seluruh pengikut para Nabi, maka menjadi tidak jelas, apakah mereka yang mengaku pengikut Nabi Musa dan Isa (ahli kitab) sekarang ini diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lebih-lebih, Nurcholish memasukkan watsaniyin, penyembah-penyembah berhala India, China, dan Jepang sebagai ahli kitab karena mereka Nurcholish anggap memiliki kitab suci yang intinya tauhid. Kalau bagi Nurcholish, sekarang pun agama selain pengikut Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam masih diterima Allah karena juga termasuk dalam pengertian Al-Islam secara umum, maka mafhum mukhalafahnya (pengertian tersiratnya), agama yang tidak diterima Allah itu hanya agama penyembah berhala Arab, karena menurut Nurcholish Madjid, yang dihitung musyrikat hanyalah musyrikat Arab. Kalau sampai pemahamannya seperti itu, berarti sangat bertentangan dengan misi tauhid itu sendiri, dan itu sangat berbahaya bagi aqidah Islam. Ceramah Murid Syaikh Al-Albani di IAIN Surabaya Menegaskan Makna Islam Walaupun lontaran Nurcholish Madjid yang mengaburkan makna Islam itu dia keluarkan tahun 1990-an, namun dampaknya sangat membahayakan, karena disusul pula dengan penyebaran faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama oleh kelompok Islam Liberal (JIL –Jaringan Islam Liberal, Paramadina dan konco-konconya) serta diterbitkan pula buku panduan aqidah pluralisme agama yang berjudul Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, 2003. Maka seorang Syaikh Ahli Hadits, murid Syaikh Al-Albani pun ketika berceramah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis 9 Desember 2004, menegaskan tentang makna Islam yang sebenarnya, guna menyanggah faham sesat yang telah disebarkan sejak belasan tahun itu. Berikut ini petikan ceramah Syaikh di IAIN Surabaya : “…Tentang hakikat agama Islam. Agama yang dengan bangga kita menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19) “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85) Ayat ini merupakan Dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan merupakan syariatnya yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq dan agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasul Allah bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”. Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya adalah agama Nabi Muhammad ?. Sedangkan makna umumnya adalah agama semua Nabi yang mengajarkan Tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah ?. Sebagaimana firman Allah: “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’aam: 162-163) Pasrah menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing Nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus yang karenanya al-Qur’an diturunkan adalah tunduk patuh kepada Allah dan taat kepada Muhammad SAW yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Di dalam al-Qur’an, di dalam surat al-Fatihah, surat terbesar dalam al-Qur’an, yang menjadi rukun shalat dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits: “Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini adalah agama yang dianut oleh para Nabi, para shiddiq, shuhada’ dan kaum shalih seperti firman Allah: “Dan barangsiapa yang menta‘ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni‘mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (al-Nisaa’: 69). Telah shahih di dalam al-Sunnah bahwa ketika Rasul Allah ? menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” beliau mengatakan yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani”. Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima tetapi sifat agama maka ini tertolak dan batil. Pertama: Tertolak oleh al-Imran: 85: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85) Yang mana dalam ayat ini kata Islam terkait dengan nama dan sebutan bukan dengan sifat dan sikap. Murtad menurut Nurcholish Madjid hanya mundur Pada tahun 1986, saya (Hartono Ahmad Jaiz) pernah bertanya kepada Dr. Nurcholish Madjid di rumahnya, Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dalam suatu wawancara bersama Mas Ichwan Sam dari Koran Harian Pelita. Pertanyaan saya: Kalau Cak Nur mengartikan Islam dengan sikap pasrah hanya kepada Allah seperti itu, maka yang disebut murtad itu bagaimana? Jawab Nurcholish: Oh ya. Kalau orang Islam jadi Kristen ya mundur, dong. Ya jelas mundur. Itu kan iring-iringan begini, Islam yang memimpin. Dan ini sudah dibuktikan oleh sejarah. Ini Barat memimpin sekarang ini kan baru 200-an tahun saja. Dunia ini dipimpin oleh Islam selama beratus-ratus tahun. Jadi orang Islam sendiri jangan lagi mundur. Itu nggak bisa. Justru kalau bisa yang di belakang itu ditarik ke depan. Jawaban Nurcholish Madjid itu tidak jelas. Menjawab masalah keimanan dengan kepemimpinan umat di dunia. Atau karena saat itu rancang bangun konsep pengertian tentang Islam diartikan penyerahan diri belum cukup rapi tahun 1986 itu, wallahu a’lam. Kalau landasan beragamanya hanya akal, bukan Qur’an dan Sunnah, maka modelnya ya seperti Nurcholish Madjid itu. Ditanya tentang murtad dari Islam, dia jawab dengan kenyataan kemajuan di dunia ini, bukan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal tentang murtad itu sudah jelas dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, di antaranya: Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah: 217). Firman Allah Ta’ala Barangsiapa yang murtad artinya kembali (keluar) dari Islam kepada kufur, maka mereka sia-sia artinya batal dan rusak, al-hibthu, yaitu kerusakan yang disandang binatang ternak mengenai perutnya karena banyak makanannya, rumput, lalu terbukalah lobang-lobangnya dan kadang mati. Dari yang demikian itu maka ayat ini mengancam Muslimin agar teguh di atas agama Islam. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Maaidah: 54). Penjelasan Tafsir At-Thabari sebagai berikut: Allah Ta’ala mengingatkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Hai orang-orang yang beriman artinya yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa-apa yang dibawa Nabi mereka, Muhammad, kepada mereka; barangsiapa di antara kamu sekalian murtad dari agamanya (maksudnya) barangsiapa di antara kalian yang kembali dari agamanya yang haq/ benar yang pada hari ini ia berada di atasnya lalu menukarnya dan mengubahnya dengan memasuki ke dalam kekufuran, apakah itu ke dalam agama Yahudi atau agama Nasrani atau selain itu berupa jenis-jenis kekufuran, maka tidak akan membahayakan kepada Allah sedikitpun. maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. Maka Allah akan mendatangkan ganti kepada orang-orang mukmin yang tidak menukar, tak mengubah, dan tidak murtad dengan kaum yang lebih baik dibanding yang telah murtad dan menukar agama mereka; Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah. Dari dua ayat itu telah jelas bahwa orang murtad yaitu orang yang keluar dari Islam masuk kepada kekufuran, entah itu kepada Yahudi, Nasrani atau kekufuran yang lainnya. Mereka itu bila meninggal dalam keadaan kafir (murtad) maka musnah sia-sia amalnya, dan akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Di dunia ini, orang-orang mukmin diancam jangan sampai murtad, sekaligus dijanjikan apabila ada yang murtad maka Allah akan mengganti dengan kaum lain yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah. Imam Ibnu Taimiyyah menegaskan contoh: “…Dan lebih jelas dari itu (golongan yang tak sesuai Sunnah) bahwa di antara mereka ada yang mengarang buku mengenai agama musyrikin dan murtad dari Islam sebagaimana Ar-Razi mengarang kitabnya mengenai penyembahan bintang-bintang dan berhala-berhala, dia menegakkan dalil-dalil atas bagusnya yang demikian, manfaatnya, dan mencintainya. Dan ini adalah murtad dari Islam menurut kesepakatan Muslimin, walaupun kadang ia taubat darinya dan kembali ke Islam.” Murtad itu masalah yang sangat besar dan hukumannya pun sangat berat. Nabi Muhammad saw menegaskan: Dari Qatadah, dari Al-Hasan berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia. (HR An-Nasai, Al-Bukhori, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan lainnya). Ahli Kitab Nurcholish memasukkan watsaniyin (penyembah berhala/paganis) India, China, dan Jepang sebagai ahli kitab, dengan alasan mereka itu mempunyai kitab suci yang intinya tauhid, karena setiap bangsa telah berlalu padanya nadzir (pemberi peringatan). Hal itu Nurcholish nisbahkan kepada Abdul Hamid Hakim dengan mengutip Kitabnya, Al-Mu’inul Mubin, Juz 4 yang jumlah halamannya 168 halaman termasuk 3 halaman daftar isi dan halaman terakhir kosong itu (kalau yang terbitan Bulan Bintang Jakarta). Kutipan Nurcholish itu ada beberapa persoalan. Pertama, dikutip bagian yang mungkin dianggap sesuai dengan kepentingan Nurcholish saja. Kedua, Abdul Hamid Hakim mengaku mengutip dari Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, diringkas dan diubah, mengenai jawaban pertanyaan masalah bolehkah menikahi wanita China yang diharapkan masuk Islam . Ketiga, Nurcholish tidak komprehensif dalam mengemukakan pengertian, hanya mengutip sebagian. Keempat, arah pembahasan berbeda. Abdul Hamid Hakim menguraikan tentang pernikahan dengan musyrikat, jadi arah pembahasannya tentang menikahi wanita China kalau diharapkan masuk Islam. Dan kalau wanita yang dikawini menjadi murtad maka cerai. Abdul Hamid Hakim juga mengutip tentang peringatan Rasyid Ridha agar tidak mengawini wanita Nasrani kalau dikhawatirkan akan menarik laki-laki Islam menjadi agama wanita seperti perkawinan dengan wanita Eropa yang banyak terjadi. Terlepas dari itu, Nurcholish Madjid perlu mempertanggungjawabkan pula, benarkah watsaniyin /berhalais atau paganis India, China, dan Jepang itu termasuk Ahli Kitab seperti Yahudi dan Nasrani? Kalau alasannya karena mereka dianggap memiliki kitab suci karena setiap bangsa itu telah berlalu padanya utusan, maka bukankah penyembah berhala Arab justru lebih afdhal untuk dimasukkan sebagai Ahli Kitab? Karena musyrikin dan musyrikat Arab itu jelas-jelas mereka berhaji mengikuti Nabi Ibrahim dan Isma’il. Kenapa justru musyrikat hanya dipredikatkan kepada wanita Arab padahal mereka justru pengikut Nabi Ibrahim yang jelas memiliki shuhuf (kitab)? Sekalipun Nurcholish Madjid mengatakan mengutip dari sana-sini, namun hal itu tidak akan bisa cuci tangan begitu saja, karena Nurcholish bahkan menjadikan kutipan-kutipannya itu sebagai landasan pemikirannya, padahal apa-apa yang dia kutip itu sama sekali tidak seperti yang Nurcholish maksudkan. Dalam masalah ini saja Nurcholish Madjid telah memlintir Abdul Hamid Hakim ulama Sumatera Barat , bahkan sebelumnya tadi Nurcholish Madjid telah memlintir Imam Ibnu Taimiyyah ulama terkemuka tingkat dunia, dalam masalah sangat mendasar yaitu makna Islam. Konsekuensi logisnya, kalau watsaniyin/berhalais –penyembah berhala itu termasuk ahli kitab, musyrikat itu hanya musyrikat Arab, dan Al-Islam itu dianggap seluruh pengikut para nabi sampai kini, maka semua agama sekarang ini diterima oleh Allah selain agama berhala Arab. Muslimah bisa dinikahi oleh siapa saja kecuali penyembah berhala Arab. Ini sangat bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Lafal asy-syirku (syirik) dalam Al-Qur’an seperti Firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. (QS At-Taubah: 28). Itu mencakup seluruh orang kafir, baik Ahli Kitab maupun lainnya, menurut umumnya para ulama, karena lafal syirk di situ tersendiri dan tanpa disandingi, dan kalau lafal musyrikun (orang-orang musyrik) itu disandingkan dengan lafal Ahli Kitab maka menjadi dua macam. Pemahaman musyrikat hanya musyrikat Arab itu harus diberi dalil untuk menunjuk bahwa yang dimaksud hanya wanita musyrik Arab. Tanpa menunjukkan dalil, maka pengkhususan hanya musyrikat Arab itu tidak bisa diterima secara syar’i. Di samping itu, pemahaman Nurcholish itu bertentangan dengan kaidah: Al-‘Ibratu bi’umuumil lafzhi laa bikhushuushis sabab, pengertian ungkapan itu pada lafalnya secara umum bukan pada sebab tertentu. Alur pemikiran Nurcholish bersifat kontradiktif. Innad diina ‘indallaahil Islaam (sesungguhnya agama di sisi Allah itu Al-Islam), Al-Islamnya diartikan umum, bukan Islam khusus yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam saja. Demikian pula Al-Islam pada surat Ali Imran ayat 85. Sedangkan musyrikat yang sifatnya umum diartikan khusus musyrikat Arab. Mengenai pengertian lafal Al-Islam, bisa ditelusuri adanya peristiwa Abdullah bin Salam dan kawan-kawan yang mereka itu beragama Yahudi kemudian masuk agama Islam dan masih mengikuti aturan Yahudi tentang diharamkannya beberapa macam makanan yang hal itu dihalalkan dalam Islam, ternyata menjadi penyebab turunnya ayat: Udkhuluu fis silmi kaaffah. Masuklah kalian ke dalam Islam dengan sempurna. Kalau benar yang dimaksud Al-Islam di dalam Al-Qur’an tersebut masih tetap bersifat umum mencakup pengikut nabi-nabi terdahulu walaupun sudah datang Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti yang Cak Nur maksudkan, tentunya Abdullah bin Salam yang Yahudi masuk Islam itu dibiarkan saja masih mengikuti sebagian syari’at Yahudi. Pemahaman Nurcholish itu berarti kontradiksi dengan ayat dan kaidah. Ayat (lafal) al-Islam yang sudah ditakhsish dengan ayat agar masuk Islam (yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) dengan sempurna hingga pengertiannya menjadi khusus, malah Nurcholish artikan umum. Sedang ayat (lafal) musyrikat yang umum diartikan secara khusus (hanya wanita musyrik Arab) dengan alasan kebiasaan Al-Qur’an dalam menamakan orang musyrik. Kalau pemahamannya seperti itu, ungkapan-ungkapan Al-Qur’an itu banyak yang hanya untuk Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seperti akhir surat Al-Kafirun, artinya: Bagi kamu sekalian (orang-orang kafir) agamamu dan bagiku (Muhammad) agamaku. Pantas saja Cak Nur pernah membolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal, karena memang yang tertera dalam Al-Quran itu hanya bagiku (Nabi Muhammad seorang) agamaku. Cara seperti ini mengakibatkan perintah-perintah dalam Al-Quran tidak akan dipahami sebagai untuk umat Islam, karena banyak yang hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam Seperti: Katakanlah (wahai Muhammad) Dia Allah itu satu. Sekali lagi, sekalipun Nurcholish bisa berkilah bahwa itu hasil kutipan, bukan orisinal pendapat Nurcholish, namun sebagai ilmuwan yang ingin membangun buah pikirannya untuk dimasyarakatkan mesti mengoreksi, apakah yang dikutip itu shahih atau tidak menurut kaidah agama. Sebab hal ini membahas agama. Di samping itu, apakah mengutipnya itu sesuai dengan inti permasalahan dalam pembahasan itu. Dalam kasus ini, diputus rangkaian dan penyebabnya, sehingga arahnya berbeda antara yang dimaksud pihak yang dikutip yakni Abdul Hamid Hakim dengan tujuan Nurcholish sebagai pengutip. Selayaknya sebagai pengutip yang baik tidak menyelisihi pemahaman pembahasan teks yang dikutip. Anjuran Mempelajari Kitab Suci Lama Setelah nyata ketidakakuratan pemahaman Nurcholish dalam hal musyrikat, mari kita lacak anjuran dia mengenai kitab-kitab suci lama. Nurcholish dengan jelas menganjurkan kaum Muslim hendaknya mempelajari dan menarik hikmah, dari kitab-kitab suci lama, dan kaum Ahlul Kitab mempelajari Al-Qur’an. (Makalah Nurcholish Madjid, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang, halaman 14). Anjuran Nurcholish itu jelas bertentangan dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Berkata Abu Hurairah: Adalah ahli kitab, mereka membaca Taurat dengan Bahasa Ibrani dan mereka menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk warga Islam. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah kamu sekalian membenarkan ahli kitab dan jangan kalian membohongkan mereka. dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (HR Al-Bukhari, kalimat yang akhir itu dari Al-Qur’an Surat Al-Ankabut: 46). Dalam riwayat lain ada yang lebih tegas lagi: Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Umar bin Khatthab mendatangi Nabi saw dengan kitab yang dia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab, lalu Nabi saw membacanya, maka beliau marah lalu bersabda: ?Apakah mereka bingung mengenainya wahai Anak Khatthab.Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dalam keadaan putih lagi suci. Janganlah kalian menanyakan kepada mereka (Ahli Kitab) tentang sesuatu lalu mereka mengabarkan kepada kalian kebenaran maka kamu membohongkannya atau kebatilan maka kamu membenarkannya. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa saw keadaannya hidup maka tidak ada kelonggarannya kecuali ia mengikutiku. (HR Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna. Hadits ini punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi, maka penulis Al-Fikrus Shufi, Abdur Rahman Abdul Khaliq menyebutnya hadits hasan). Hadits tersebut adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (metode pemahaman) Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak boleh seorang pun mencari petunjuk --untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri-- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, hatta walaupun dulunya termasuk syari’at yang diturunkan atas salah satu nabi yang terdahulu, bila tanpa pembolehan dari Allah dan rasul-Nya. (Tasawuf Belitan Iblis, hlm. 6). Masalah Umar membawa-bawa lembaran Taurat itu juga pernah saya tanyakan kepada Nurcholish Madjid 1986 dengan saya sebut ada hadits tentang Umar bin Khatthab dimarahi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti tersebut di atas. Jawaban Nurcholish terhadap peristiwa yang terdapat dalam hadits itu hanya dengan: Itu saya kira, menurut saya tergantung pada kesempatan, situasi, jadi hadits itu harus dibaca dalam situasi apa, sebab para ulama dahulu itu banyak sekali yang mempelajari Taurat juga, ucap Nurcholish sambil mencontohkan Ibnu Taimiyah. Jawaban itu, di samping tidak seimbang, karena hadits dijawab dengan ‘Saya kira’, dan juga beralasan adanya ulama yang mempelajari Taurat. Alasan Nurcholish itu sama dengan menjadikan suatu pengecualian sebagai suatu perintah umum. Misal, orang yang sedang mengubur jenazah tidak dilarang menginjak-injak kuburan lantaran agar tanahnya tidak ambleg. Hukum umumnya dilarang duduk di atas kuburan, termasuk menginjak-injak kuburan. Tetapi kasus menginjak-injak kuburan karena sedang menanam jenazah itu pengecualian, sebagaimana ulama yang ingin meneliti penyelewengan-penyelewengan dengan mempelajari Taurat. Itu adalah keadaan khusus. Jadi tidak bisa dijadikan anjuran. Arah Pembaruan Ke Mana? Setelah pengertian lafal Al-Islam dilepas dari ikatannya, Ahli Kitab diperluas pengertiannya, musyrikat dipersempit pengertiannya, dan mempelajari kitab-kitab suci lama dianjurkan kepada umum, maka kaum muslimin yang dianjuri oleh Nurcholish Madjid itu mau diarahkan ke mana? Bukankah khutbah Jum’at nantinya kalau mengikuti saran Nurcholish itu akan menjadi wadah menyuarakan kitab-kitab lama, petuah nenek moyang penyembah berhala, segala macam tetek bengek yang berasal dari warisan lama karena dianggap seluruhnya itu warisan orang-orang yang termasuk ahli kitab? Demikian pula isi khutbah-khutbah Jum’at, khutbah nikah, khutbah Idul Fitri, Idul Adha, khutbah gerhana bulan dan matahari, majelis taklim, pengajian, kuliah shubuh, dan forum-forum da’wah akan diisi dengan berbagai ajaran agama apa pun yang lama. Termasuk kitab-kitab Tafsir, Hadits, Fiqh, Akhlak, Tauhid, dan lain-lain akan diwarnai di sana-sini dengan ajaran-ajaran kitab suci lama termasuk kitab para penyembah berhala, penyembah binatang seperti sapi, ular dan lainnya. Kalau sudah demikian, maka ajaran Islam yang dihadirkan dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk membawa Tauhid ke alam raya ini hapus, tak tersisa. Karena sudah berbaur dengan ajaran penyembah-penyembah berhala, penyembah sapi, ataupun ular. Na’udzubillahi min dzaalik Rusaknya Pemahaman Mereka Akibat Program Penjauhan dari Manhaj yg Benar Kenapa semua itu bisa terjadi? Kenapa pemahaman mereka jauh dari Islam? Kenapa sampai menghalalkan yang haram, dan berani membuat ajaran baru, misalnya tentang pernikahan antara wanita Muslimah dengan lelaki Nasrani? Aneka pertanyaan bisa disembulkan. Jawaban yang singkat dan padat adalah: karena memang diprogramkan seperti itu pengajarannya. Dan itu adalah jalan yang dianggap efektif oleh Barat dalam menghadapi Islam dan umatnya. Apalagi sekarang sudah banyak agen-agennya di sini. Adapun secara tinjauan metodologi, maka dari satu segi saja, yaitu dalam hal menafsiri Al-Qur’an, metode yang mereka gunakan untuk menafsiri Al-Qur’an bukan metode/ manhaj yang benar. Tidak sesuai dengan yang ditempuh oleh para ulama salafus shalih. Bahkan bukan sekadar itu, kini mulai digalakkan untuk meniru-niru metode penafsiran Bible dengan cara mengajarkan hermeneutika di beberapa UIN/ IAIN. Padahal, metode untuk menafsiri Al-Qur’an sudah jelas manhajnya. Sebagaimana dituturkan oleh Imam Ibnu Taimiyyah dalam fatwanya tentang Tafsir, dan Imam Ibnu Katsir dalam muqoddimah kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul Adhiem. Di antaranya sebagai berikut. Imam Ibnu Katsir berkata: Kalau ada orang bertanya, manakah jalan terbaik dalam ilmu Tafsir? Jawabnya adalah: Sesungguhnya jalan terbaik dalam ilmu tafsir adalah Al-Quran ditafsirkan dengan ayat. Yang mujmal (global) dalam satu ayat maka akan diperinci dalam ayat lain. Apabila belum cukup jelas, maka dengan As-Sunnah atau Hadits, karena As-Sunnah adalah penjelas dari Al-Quran, seperti firman Allah dalam An-Nahl 64: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Quran), melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” Dan sabda Rasulullah SAW: “Ketahuilah aku diberi Al-Quran dan semisalnya bersamanya,” yakni As-Sunnah Al-Muthohharoh. Kesimpulannya, kau cari tafsir Al-Quran dari Al-Quran. Jika kau tak jumpainya maka dari As-Sunnah. Apabila tidak kita jumpai pula maka kita kembalikan kepada perkataan sahabat-sahabat Nabi Saw, karena mereka itulah yang lebih tahu tentang ayat-ayat itu. Dan karena mereka menyaksikan hubungan-hubungan ayat itu dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masanya. Dan juga karena mereka punya pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Terlebih-lebih ulama-ulama mereka serta tokoh-tokoh mereka seperti Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin di antaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali bin Abi Thalib ra. Abdullah bin Mas’ud berkata: Demi Dzat yang tiada sembahan kecuali Dia, tidak ada satu ayat dari Kitab Allah yang turun kecuali aku tahu tentang siapa dia turun, dan di mana dia diturunkan. Andaikan aku tahu ada seseorang yang lebih alim tentang kitab Allah daripada aku, di manapun akan saya datangi dia, selagi onta bisa berjalan ke sana. Abdurrahman As-Sulami (seorang tabi’in) berkata, “Orang-orang yang membacakan Al-Quran kepada kami, mereka belajar bacaan dari Nabi SAW dan setiap kali mereka mempelajari 10 ayat, mereka belum ganti kepada ayat yang lain, sehingga mereka tahu apa yang harus diamalkan dari ayat itu. Kemudian mereka berkata: Kami mempelajari Al-Quran dan beramal bersama-sama.” Dan di antara sahabat yang ahli tafsir (Al-Quran) ialah Abdullah bin Abbas, yang diberi gelar Al-Habru Al-Bahru (seorang pendeta yang sangat luas pengetahuannya). Dia adalah putera paman Rasulullah SAW dan penerjemah Al-Quran, berkat do’a Rasulullah Saw untuknya: Ya Allah, fahamkanlah dia dalam agama, dan ajarkanlah padanya tafsir. (HR Ahmad). Ibnu Mas’ud berkata tentang Ibnu Abbas, Ni’ma tarjumaanul Quraani Ibnu Abbas. Sebaik-baik penerjemah Al-Quran itu Ibnu Abbas. Abdullah bin Mas’ud wafat tahun 32H, sedang Abdullah bin Abbas meninggal 36 tahun berikutnya (68H). Coba bayangkan apa yang dilakukannya tentang ilmu sesudah Ibnu Mas’ud. Karena itu kebanyakan yang diriwayatkan As-Suddi (penafsir dari Tabi’in) dalam kitabnya adalah dari kedua sahabat itu (Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas). Tetapi kadang-kadang dia (As-Suddi) menceritakan perkataan-perkataan yang diambil dari Ahli Kitab yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, di mana beliau berkata: Ballighuu ‘annii walau aayah. Fahadditsuu ‘an Banii Israail walaa haroja. Waman kaddzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa’ maq’adahu minan naar. (Al-Bukhari). Sampaikan apa yang datang daripadaku walau satu ayat. Dan ceritakan apa-apa yang dari Bani Israil, dan itu tidak dosa. Dan barangsiapa yang bohong atas namaku dengan sengaja, hendaklah menempati tempat duduknya di neraka. Tetapi cerita-cerita Israiliyat ini dijadikan sebagai saksi, bukan untuk membantah. Dan cerita Israiliyat itu terbagi menjadi tiga bagian: 1. Yang kita ketahui keshahihannya, sesuai dengan yang ada di tangan kita, yang menyaksikan kebenaran. Dan itulah yang shahih. 2. Yang kita ketahui kebohongannya jika dibanding apa yang di tangan kita. Atau yang berlawanan dengannya. Dan itulah yang harus ditolak, 3. Yang harus didiamkan. Bukan bagian pertama dan bukan yang kedua. Maka kita tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh mendustakannya. Kita boleh saja menceritakannya namun pada umumnya tidak ada faedahnya dalam urusan agama. Apabila tidak kita jumpai tafsir-tafsir dalam Al-Quran, dan tidak dijumpai di Hadits, juga tak ada di sahabat-sahabat Nabi SAW, maka pada umumnya para mufassir mengembalikan kepada ucapan para tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr. Sesungguhnya dia adalah lambang dalam ilmu tafsir. Dia pernah berkata: “Aku baca mushaf pada Ibnu Abbas tiga kali, dari Fatihahnya sampai akhirnya. Aku hentikan pada setiap ayat, dan aku tanyakan tafsirnya kepadanya (Ibnu Abbas).” Karena itu Sufyan Ats-Tsauri berkata, apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah itu bagimu. Dan di antara tabi’in ada lagi nama-nama Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atho bin Abi Robah, Hasan Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyab, Qotadah, dan Ad-Dhohhak, dan lain-lainnya di antara golongan Tabi’in. Perkataan mereka diambil dalam ayat-ayat, dan perbedaan lafadh-lafadh. Adapun menafsirkan Al-Quran dengan pendapat murni (tanpa seperti yang tersebut) maka hukumnya haram. Karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW: Barangsiapa yang berkata mengenai kitab Allah Azza wa Jalla dengan pendapatnya (walaupun) benar (namun) salah. (HR Abu Daud). “Barangsiapa berkata mengenai Al-Quran dengan tanpa ilmu maka hendaknya ia menduduki tempat duduknya di neraka.” Karena dia telah memaksakan diri mengenai apa yang dia tidak tahu. Dan dia telah menempuh jalan yang tidak diperintahkan. Karena dia tidak mendatangkan perkara lewat pintunya. Seperti orang yang menghukumi antara manusia dengan kebodohan, maka dia dalam neraka. Karena itu, pada umumnya orang-orang salaf merasa dosa menafsirkan apa yang tidak mereka ketahui ilmunya. Sehingga diriwayatkan dari Abu Bakar As-Shiddiq RA, dia berkata: Ayyu samaa’in tudhillunii, wa ayyu ardhin taqillunii, idz ana qultu fii kitaabillaahi maa laa a’lamu. Langit mana yang akan menaungi aku, dan bumi mana yang mau menyanggaku, apabila aku berkata dalam kitab Allah, apa yang aku tidak tahu. Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, Syu’bah bin Hajjaj dan lainnya berkata, pendapat-pendapat para Tabi’in mengenai furu’ (cabang-cabang) bukanlah hujjah/ argumen. Bagaimana dia jadi hujjah dalam tafsir padahal dia sendiri tidak jadi hujjah terhadap orang lain yang menyeleisihinya. Dan ini benar. Adapun jika mereka (Tabi’in) itu sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan keadaannya jadi hujjah. Tetapi kalau mereka berselisih maka pendapat sebagian mereka tidak jadi hujjah atas lainnya, dan tidak pula terhadap orang sesudahnya. Dan hal itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an atau As-Sunnah, atau umumnya bahasa Arab, atau perkataan-perkataan sahabat dalam hal itu. Demikianlah metode menafsiri Al-Qur’an, berdasarkan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang diuraikan oleh ulama yang memang ahli, diakui dunia. Dalam uraian itu, perkataan Tabi’in di dalam hal cabang-cabang agama yang ada perbedaan satu dengan lainnya, maka tidak bisa jadi hujjah/ argumen. Lalu harus dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an atau As-Sunnah, atau umumnya bahasa Arab, atau perkataan-perkataan sahabat dalam hal itu. Padahal ditinjau dari segi baiknya generasi, para Tabi’in itu disebutkan oleh Nabi saw sebagai generasi terbaik sesudah Sahabat Nabi saw. Bahkan generasi sesudahnya lagi (Tabi’it tabi’in) pun masih termasuk generasi terbaik. Namun menurut Ibnu Taimiyyah, mengutip Syu’bah bin Hajjaj dan lainnya, perkataan para Tabi’in dalam hal furu’ (yang ada perbedaan satu sama lain) maka tak bisa jadi hujjah/ argumen atau dalil. Sekarang ini aneh. Generasi yang sama sekali tidak disebut baik apalagi terbaik oleh Nabi saw, tetapi berani menabrak ayat-ayat Al-Qur’an dan ngotot melaksanakannya untuk dimasyarakatkan. Ada lagi yang ngotot untuk memasukkan bahkan telah mengajarkan metode tafsir Bible untuk menafsiri Al-Qur’an. Apakah mereka merasa lebih tinggi keislamannya dan pengetahuan Islamnya dibanding para Tabi’in. Atau hermeneutika yang dari mitos musyrikin Yunani itu dianggap lebih hebat dibanding perkataan para Tabi’in yang telah disabdakan Nabi saw sebagai salah satu generasi terbaik? Kalau mau rusak Islamnya tetapi untuk diri sendiri dan tidak menyiarkan kepada orang lain agar ikut rusak, maka cukup diucapi, kasihanilah dirimu, nanti di akherat akan merugi. Tetapi kalau sudah mengajarkan, membuat system pendidikan, bahkan mencari-cari jalan dan dana serta mempertahankan mati-matian pengajaran yang jelas-jelas merusak pemahaman Islam, maka tidak cukup hanya diucapi “kasihanilah dirimu di akherat kelak akan merugi”. Tidak cukup. Perlu dibendung dan dihancurkan system yang akan merusak Islam itu, karena itu adalah makar terhadap Islam. Pengusung-pengusungnya itu adalah musuh-musuh Allah swt, alias wadyabala syetan, yang sejatinya adalah musuh manusia. Dan itulah yang disebut pemurtadan di sini. Semoga bisa difahami dan dicamkan oleh umat Islam secara tulus ikhlas, sehingga menyadari bahwa Islam telah terancam oleh orang-orang yang pada hakekatnya merusak namun mengaku sebagi membangun. Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS Al-Baqarah: 11-12). Mereka mengarahkan pendidikan dan pengajaran Islam ke apa yang mereka sebut sosio historis. Tetapi mereka sendiri tidak menyadari bahwa secara sosio historis, tidak pernah pemahaman Islam ini jadi benar apabila dicampur tangani oleh orang kafir. Tidak pernah Islam ini maju karena didukung oleh orang kafir. Tetapi sebaliknya, orang Islam ini hancur karena kekejaman orang kafir, contohnya di Andalus Spanyol. Orang Islam ini hancur karena kedhaliman orang kafir, tipuannya, dan aneka kelicikannya. Anehnya, justru yang telah menghancurkan umat Islam, dan secara sosio historis telah terbukti, itu kini justru dijadikan pemandu-pemandu dan pendana-pendana dalam menggarap pendidikan tinggi Islam. Sekarang justru sudah merambah ke pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah. Ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada pembuka-pembuka pintu dan jalan di negeri ini. Anehnya lagi, orang-orang yang di negeri ini dan mengaku dirinya sebagai Muslim, tidak sayang-sayang kepada agamanya (Islam) dan umatnya; tetapi justru tidak sedikit yang lebih sayang kepada apa yang diperkirakan akan menyenangkan pihak-pihak kafirin. Sehingga begitu mulutnya menyuara, bukan ayat atau hadits yang jadi landasan, namun perkataan orang kafir ini, kafir itu, atau hasil otak-atiknya sendiri. Bahkan heremneutika dari mitos musyrikin Yunani Kuno pun kini dikais-kais untuk menginterupsi Al-Qur’an. Ke arah jalan maghdhub dan dhollin yang sudah mereka jalani itulah pendidikan Islam ini akan mereka arahkan. Apakah tidak berbahaya, wahai saudara-saudaraku Kaum Muslimin dan Muslimat? PENUTUP : Mereka Menghalangi Syari’at Islam Gejala dan bukti-bukti kenyelenehan telah diuraikan. Tanggapan sewajarnya telah dibentangkan. Kini perlu disimak peringatan-peringatan Allah swt dan Rasul-Nya. Karena sebenar-benar perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad saw. Dalam hal upaya menjauhkan umat dari Islam yang benar, Allah swt telah memperingatkan, di antaranya: “Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (An-Nisaa’: 61). (yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat." (Al-A’raaf: 45). Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (Al-Anfaal: 47). Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (At-Taubah: 34). “(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. (Ibrahim: 3) Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25). Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan, (Al-Anfaal: 36). supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi. (Al-Anfaal: 37). Hadits-hadits Nabi Muhammad saw: Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: Abu Jahal berdoa: Wahai tuhanku sekiranya al-Quran ini betul datang dari sisiMu, maka turunkanlah hujan batu dari langit atau timpakan kepada kami siksaan yang pedih. Lalu turunlah ayat Yang artinya: Dan Allah tidak sekali-kali akan menyiksa mereka, sedangkan engkau wahai Muhammad ada di antara mereka dan mengapa mereka tidak patut disiksa oleh Allah sedangkan mereka menghalangi orang-orang Islam dari Masjidil Haram ------sehingga ke akhir ayat . (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih). Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a, ia berkata: Suatu ketika Rasulullah s.a.w sedang shalat di dekat Ka’bah. Sementara itu Abu Jahal dan konco-konconya duduk di sekitarnya karena sehari sebelumnya mereka beramai-ramai menyembelih seekor unta, lalu Abu Jahal berkata: Siapakah di antara kamu yang berani mengambil ari-ari unta dari Bani Polan dan meletakkannya ke atas kedua bahu Muhammad apabila dia sedang sujud. Seorang dari mereka tiba-tiba berdiri dan mengambil ari-ari lalu meletakkannya ke atas bahu Beliau. Mereka semua tertawa sehingga riuh rendah. Sementara itu aku (Ibnu Mas’ud) hanya mampu berdiri dan melihat gelagat tersebut. Seandainya aku mempunyai kekuatan, niscaya aku akan buangkan benda itu dari belakang Rasulullah s.a.w semasa Beliau sedang sujud yang amat lama. Beliau tidak mengangkat kepalanya sehingga salah seorang melaporkan perkara tersebut kepada Fatimah yang waktu itu sudah menjadi seorang gadis. Tidak lama kemudian datanglah Fatimah lalu membuang ari-ari tersebut dari tubuh Rasulullah s.a.w, kemudian Fatimah memalingkan mukanya ke arah orang-orang kafir Quraisy tersebut seraya mencaci-maki mereka. Setelah Nabi s.a.w selesai dari shalatnya, Beliau mengangkat suaranya ke arah orang-orang kafir sambil berdoa ke atas mereka. Apabila Beliau berdoa dan memohon, Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Kemudian Beliau berdoa: Ya Allah! aku serahkan kepada Engkau segala urusan orang-orang Quraisy ini, dengan berdoa sebanyak tiga kali. Ketika mereka mendengar suara Nabi s.a.w itulah mereka serta merta berhenti dari tertawa. Mereka benar-benar takut dengan doa Beliau. Kemudian Nabi s.a.w berdoa lagi: Ya Allah! aku serahkan kepada Engkau Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Walid bin Uqbah, Umaiyah bin Khalaf dan Uqbah bin Abu Mu'ait, kemudian yang ketujuh aku (Ibnu Mas’ud) lupa namanya. Demi Dzat yang mengutus Muhammad s.a.w dengan membawa kebenaran, sesungguhnya aku (Ibnu Mas’ud) melihat orang-orang yang Beliau sebut itu terbunuh sewaktu peperangan Badar kemudian mereka diseret ke dalam telaga Badar (HR Muttafaq ‘alaih). …Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya dari asal (orang yang tidak mempercayaiku) ini ada kaum yang membaca al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka, (yaitu tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca, bahkan mereka hanya sekadar membacanya saja). Mereka (mampu) membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad. (HR Al-Bukhari dan Muslim).# Lampiran 1 : Ada Pemurtadan di IAIN Masih segar dalam ingatan, ada kasus menghebohkan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Jum‘at, 27 September 2004, ratusan mahasiswa baru tengah mengikuti acara taaruf. Beberapa kali mahasiswa baru dan orang yang menyaksikan acara itu terkaget-kaget mendengar slogan-slogan yang diteriakkan para tokoh mahasiswa. Di Fakultas Ushuluddin, misalnya, mahasiswa baru disambut dengan slogan, Selamat bergabung di area bebas tuhan. Kata-kata semacam itu terus mengalir bak air bah. Presiden Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat bahkan mengajak mahasiswa baru, sambil mengepalkan tangan, berteriak, Kita dzikir bersama, anjing-hu akbar! Nyaris saja peristiwa itu menguap begitu saja. Beruntung Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) mendapat laporan tentang kejadian itu melalui rekaman video compact disk (VCD). Menjelang Hari Raya Idul Fitri lalu, KH Athian Ali M Da’i (Ketua FUUI) membeberkan rekaman itu kepada khalayak. Kenapa peristiwa itu mesti terjadi di IAIN, yang diharapkan menjadi tempat mencetak kader cendekiawan Muslim? Mengapa pemikiran anti-Tuhan semacam itu tumbuh semakin liar? Dr Roem Rowi, dosen senior di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, Surabaya, mencoba menelaah tragedi di atas. Roem Rowi sangat memahami hal itu, sebab ia telah menceburkan dirinya di lingkungan IAIN semenjak tahun 1977. Asisten Direktur (Asdir) I Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel ini menerima wartawan Hidayatullah, Ali Athwa dan Bahrul Ulum, dalam sebuah perbincangan panjang di kantornya. Wawancara kemudian dilanjutkan oleh Cholis Akbar di Masjid Al-Akbar Surabaya. Roem Rowi adalah Direktur Imarah (ta‘mir) masjid terbesar di Jawa Timur itu. Berikut petikan wawancaranya: Apa tanggapan Anda begitu mendengar kasus di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung? Iya. Saya sendiri sangat pedih melihat kondisi itu. Sudah banyak orang mengkritik IAIN, misalnya institusi pendidikan Islam ini dianggap telah meniru dan menjiplak Barat. Ibarat sebuah pepatah, Siapa yang menanam, dia yang akan memetik buahnya. Nah, kalau dulu ditanamnya seperti itu, sekarang ini sudah sangat kelihatan buahnya. Maksud Anda? Saya kira, IAIN mulai gencar seperti itu di saat Menteri Agama kita dipimpin oleh Pak Munawir Sadzali. Beliau yang sejak lama menginginkan seperti itu. Sampai-sampai ketika itu, muncullah gagasan beliau tentang reinterpretasi Al-Qur‘an dan ide-ide pembaratan Islam. Menurut saya, tidak masalah belajar di Barat. Cuma, seharusnya yang belajar di Barat haruslah orang-orang yang sudah terseleksi keislamannya, sehingga tidak mudah tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang tidak islami yang justru menjauhkan dari nilai-nilai Islam. Secara metodologis, Barat memang sangat bagus dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Masalahnya, belajar di Barat kan tidak harus terbaratkan atau membaratkan diri. Apalagi tiba-tiba nilai-nilai Islam ikut terbaratkan juga. Barat tetaplah Barat. Masa iya sih, orang-orang Barat—yang notabene ghairul Islam-- mau memberi beasiswa gratis pada para mahasiswa Islam tanpa ada tujuan dan imbalan lain? Sejauhmana mental terbaratkan melanda kalangan IAIN? Kalau seluruh Indonesia saya tidak bisa memastikan. Tetapi, kondisi umumnya seperti itu. Ada pengalaman menarik, ketika sebuah kampus IAIN membuka program Pasca Sarjana. Mahasiwanya kebanyak dosen-dosen agama di perguruan tinggi swasta, sementara staf pengajarnya dari IAIN. Para mahasiswa merasa kaget, sampai ada yang berkomentar, Lho, kesannya, kok kami ini seolah-olah mau disesatkan? Menurut penilaian mereka, materi kuliah yang disampaikan sangat jauh dari nilai-nilai Islam, bahkan sengaja dijauhkan. Bahasa kasarnya, mereka melihat ada pemurtadan di IAIN. Sebegitu parahnya? Belum sampai keseluruhan. Itu baru kasus umum. Cuma, sebagai motornya bisa dilihat, seperti di IAIN Sunan Kajiga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Masalahnya kemudian, orang yang diproduk dari situ—kebanyakan sarjana S-2 dan S-3--adalah orang-orang daerah yang akan kembali ke kampus masing-masing. Efeknya bisa kita lihat. Di Jawa Timur, misalnya, sampai pernah ada yang mengusulkan harus ada Tafsir Kebencian. Kata mereka, dalam Al-Qur‘an ada ketidakadilan dan kebencian kepada wanita. Bagaimana bisa seperti itu? Tafsir ya tafsir saja, gak usah tafsir kebencian segala. Kenapa kalangan nyeleneh seperti itu belakangan ini banyak muncul di tengah masyarakat? Mungkin salah satu faktornya karena ummat Islam sendiri tidak bisa menampilkan prestasi yang dapat dibanggakan. Sementara Barat sudah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Barangkali hal itu menyilaukan mereka. Menurutnya Islam sepertinya tidak menjanjikan apa-apa, sebaliknya Barat menyediakan semua. Di lain sisi kita sudah apologis melihat keberhasilan Islam di masa lalu yang sempat menguasai dunia selama tujuh abad. Sehingga kita tidak percaya pada diri kita sendiri. Padahal kalau mau jujur, kemajuan Barat saat ini belum mencapai angka itu. Di samping itu memang ada usaha dari mereka untuk terus-menerus menekan potensi ummat Islam. Barat tentu sudah menghitung potensi kebangkitan kembali kekuatan Muslim. Anda sendiri lama di pesantren, juga lama di Timur Tengah. Ketika pertama kali masuk lingkungan IAIN, apa kesan Anda? Pertama, IAIN itu terlalu ideal. Lembaga ini menerima input dari beragam mahasiswa, ada yang dari pesantren, aliyah, juga SMU, SMK, dan STM yang landasan agamanya jelas sangat minim. Memang banyak yang dari pondok pesantren, tetapi kualitas keagamaan pesantren juga jauh merosot karena dominan warna umumnya. Jika yang berlatar belakang sekolah agama saja merasa merosot, apalagi sekolah umum. Mahasiswa yang berlatar belakang umum itu masuk tanpa ada program matrikulasi atau tanpa penyetaraan. Pandangan tentang Islam pada masa awal ikut mempengaruhi pandangan selanjutnya. Itulah sebabnya muncul efek yang bisa kita lihat bersama. Pernyataan semacam area bebas Tuhan adalah akibat dari seleksi awal tadi. Kedua, banyak yang berlatar belakang pesantren. Tetapi ketika mempelajari filsafat atau apapun namanya, mereka tidak makin mendalami ilmu-ilmu Islam. Saya sering mengingatkan mahasiswa bahwa filsul-filsuf agung Islam terdahulu seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, sudah sangat paham Al-Qur‘an dan hadits, matang dalam lughah, balaghah, dan hafal ilmu-ilmu Islam yang lain di luar kepala. Nah, anak-anak IAIN sekarang ini tidak memiliki itu. Dia belajar filsafat tapi Al-Qur‘an dan hadits tidak hafal. Jadi, logis jika output-nya jadi begitu. Saya sering guyon (bergurau), Wah, kalau begini terus, bukan Ushuluddin namanya. Tapi Uculudin, plesetan dari ucul (pisah—bahasa Jawa) dari ad-din (agama). Bagaimana perasaan Anda hidup dalam lingkungan seperti itu? Orang-orang seperti saya, yang pikiran-pikirannya seperti ini, menjadi barang langka. Saya justru dianggap aneh. Sejak dulu, saya memang selalu mengatakan bahwa apa kata Al-Qur‘an ya kata Al-Qur‘an. Jangan ditambah, dikurangi, atau direkayasa. Akhirnya orang seperti saya ini dianggap tekstual dan fundamentalis. Padahal, orang seperti Fazlur Rahman, dalam bukunya Tafsir Kontekstual justru menyarankan agar kita tidak boleh punya pra-konsepsi sebelum memahami betul ayat Al-Qur‘an. Misalnya, orang menggugat soal waris yang sudah jelas 2:1 untuk pria dan wanita. Kata mereka, seharusnya waris dibagi rata karena ada ayat adil dalam Al-Qur‘an. Itu namanya sudah punya pra-konsepsi sebelumnya bahwa adil itu harus sama. Tapi Anda kelihatan enjoy saja? Lho, saya ini mengeluh. Barangkali, hanya saya, dosen yang tiap kali masuk kelas selalu menanyai latar belakang sekolah mahasiswa. Saya tanya satu per satu latar belakangnya, saya beri tanda cawang jika mereka dari sekolah umum atau yang tidak mengerti bahasa Arab. Saya katakan, Anda wajib mengambil program Bahasa Arab di luar sebelum mengambil mata kuliah saya, karena yang Anda pelajari ini tafsir. Saat masuk lagi, saya cek ulang, sudah apa belum. Kalau tidak memenuhi permintaan saya, nilai mata kuliahnya akan saya kurangi 50%. Tetapi inisiatif seperti itu berasal dari saya pribadi. Padahal sebenarnya hal-hal seperti itu sudah ketentuan resmi institusi dan pihak rektorat. Bagaimana bisa disebut sarjana Islam yang tahu dan paham tafsir dan ilmu-ilmu Islam yang lain jika tak matang dalam bahasa Arab? Sejak awal aktif di IAIN, hal itu sudah saya usulkan. Boleh saja menerima mahasiswa lulusan STM atau SMK, tetapi harus ada penyetaraan dan matrikulasi. Minimal, matang berbahasa Arab sebab itu adalah alat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam yang lain. Tetapi usulan saya itu tampaknya belum laku. Saya pernah mengantar seorang staf pengajar dari Perancis ke sebuah kampus pendidikan Islam di Jombang (Roem Rowi menyebut nama sebuah perguruan tinggi). Di sana, sang tamu disambut oleh petinggi perguruan tinggi itu. Tamu saya ini geleng-geleng kepala, Kok bisa, pimpinan sekolah jurusan agama Islam tak paham bahasa Arab, bahasa agamanya sendiri? Kalau belajar Islam tetapi tak menguasai bahasa agamanya, gimana? Ini orang Perancis, non-Muslim, tapi fasih berbahasa Arab. Sekarang ini repot. Lulusan Jurusan Peradaban Islam nggak ngerti sejarah Islam. Jurusan Tafsir Hadits tak paham bahasa Arab. Dan program seperti itu masih jalan terus. Malah ada rekrutmen dosen baru berlatar belakang umum dan tidak paham Islam. Sudah mahasiswanya seperti itu, dosennya begitu juga. Belakangan, datang sarjana-sarjana Barat yang mengajar di IAIN. Ya sudah, jadilah begitu. Sempat ada yang melontarkan gagasan agar IAIN dihapus saja. Tanggapan Anda? Tidak harus begitu. Karena sudah telanjur seperti ini, lebih enak dibenahi saja. Saya masih berharap agar dari IAIN lahir sarjana Muslim atau tokoh agama sekaligus yang hanif (lurus), tidak nyleneh dan aneh-aneh. Saya memahami keprihatinan banyak orang. Termasuk keprihatinan kalangan pesantren yang mulai gerah setelah mengetahui perkembangan santri-santrinya yang kuliah di IAIN. Saya kira, keresahan itu bagian dari cinta mereka untuk bisa mengembalikan IAIN menjadi lebih baik. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di kota Ponorogo, Roem Rowi melanjutkan belajar di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Lulus dari Gontor (1967), ia kuliah di IAIN Jurusan Ushuluddin IAIN Sunan Ampel. Tapi itu hanya berjalan setengah tahun. Roem Rowi dapat panggilan beasiswa dari Universitas Islam Madinah. Ia lalu berangkat ke sana dan masuk di Jurusan Dirasat Islamiyah hingga lulus tahun 1971. Dari Madinah, Roem Rowi melanjutkan jenjang S-2 di Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir). Ia mengambil Jurusan Tafsir Hadits. Tahun 1976 kembali ke tanah air dan mengajar di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel. Roem sempat berhenti kuliah karena sang ayah meninggal dan harus menjadi kepala keluarga untuk membesarkan adik-adiknya. Roem pergi lagi ke Al-Azhar, menempuh program S-3 Jurusan Tafsir Al-Qur‘an. Ia lulus tahun 1989 dengan disertasi berjudul HAMKA wa Jihaaduhuu fii Tafsir Al-Qur‘anul Kariim fii Kitab al-Azhar. Saat itu, di Indonesia hanya ada beberapa gelintir orang yang bergelar doktor bidang tafsir. Mengapa Anda tertarik menekuni bidang tafsir? Saya menganggap Al-Qur‘an adalah pedoman hidup. Tidak ada satu pun kitab yang siap menyertai kita mulai hidup dan mati, sampai kita dihidupkan kembali kelak, kecuali Al-Qur‘an. Belakang banyak orang yang melakukan studi kritis terhadap Al-Qur‘an. Sebenarnya siapa yang punya otoritas menafsirkan Al-Qur‘an? Menurut saya, tafsir Al-Qur‘an ya sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau merupakan juklak (petunjuk pelaksanaan) Al-Qur‘an. Beliau telah memberikan contoh bagaimana caranya menafsirkan Al-Qur‘an. Itulah yang harus kita ikuti. Adapun dalam hal-hal tertentu, kita diberi peluang untuk berijtihad. Dan peluang itu sangat terbuka lebar dibanding yang telah dicontohkan. Meskipun jelas harus berpedoman kepada Rasulullah, ternyata banyak sekali versi penafsiran terhadap Al-Qur‘an? Inilah yang menjadi masalah. Kita lebih banyak disibukkan dengan hal-hal yang sebenarnya sudah dicontohkan Rasulullah. Kita harus sepakat menerima kode etik dalam penafsiran Al-Qur‘an karena sudah ada rambu-rambunya. Al-Qur‘an itu firman Allah Subhanahu wa Taala, maka yang paling mengerti maksudnya adalah Allah sendiri. Jadi harus kita sepakati bahwa acuan pertama berangkatnya dari sana. Kalau Allah mengatakan begini ya sudah, jangan ditawar-tawar lagi. Itu sudah juklaknya. Terus terang saya su’uzhan, tampaknya ada skenario besar sedemikian rupa agar kita disibukkan dengan permasalahan yang sebenarnya sudah sangat jelas. Sehingga kita berpolemik memikirkan itu-itu saja dan tidak pernah memikirkan hal lain. Celakanya, kita sering tidak menyadari. Jadi tidak boleh sembarang orang menafsirkan Al-Qur‘an? Harus pakai aturan. Banyak syarat yang harus dipenuhi, misalnya harus menguasai nahwu, sharaf, asbabun nuzul, balaghah, badi’, dan semacamnya. Harus kompeten. Kalau tidak, nanti hasilnya ya tidak karuan. Sama dengan orang yang tidak tahu mesin motor disuruh membongkar mesin. Akibatnya bisa fatal. Tapi repotnya, aturan semacam itu oleh sebagian kelompok dinilai memonopoli Al-Qur‘an. Padahal ini menyangkut soal otoritas disiplin ilmu. (Contohnya) saya ini dosen ilmu tafsir, maka tidak punya otoritas berbicara di bidang kedokteran. (Kalau saya berbicara dan bertindak sebagai dokter), bisa-bisa nanti saya malah jadi membunuh orang. Ketepatan dalam memberikan penafsiran, membuat iman seseorang semakin kuat. Sebaliknya, jika keliru justru akan menjerumuskan. Al-Qur‘an itu tidak seperti koran atau karya tulis lain yang tak masalah bila diotak-atik. Tetapi Al-Qur‘an itu wahyu. Rasulullah memberi peringatan keras kepada penafsir ayat Al-Qur‘an yang hanya didasari pendapat semata. Mereka yang demikian itu disuruh bersiap-siap masuk neraka. Ini merupakan rambu-rambu supaya kita berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur‘an. Kalau keluar dari rambu-rambu itu, maka nanti makna Al-Qur‘an tidak sesuai dengan yang diinginkan Allah. Menurut para ulama, kalau kita akan menafsiri ayat hendaknya berangkat dari hati yang bersih. Tidak ada prakonsepsi yang dapat mengarahkan pada penafsiran menurut selera kita. Kita kosongkan pikiran, tapi kosong ini dalam arti mohon petunjuk kepada Allah agar tidak menyimpang. Untuk bisa seperti itu, para ulama memberikan persyaratan antara lain aqidah yang kuat. Ini persyaratan mutlak. Sebab bila aqidahnya tidak benar, maka akan menyeret dan mencelakakan ummat manusia. Ada orang yang berpendapat bahwa Al-Qur‘an itu sudah out of date. Tanggapan Anda? Ia seolah-olah menganggap Allah itu dungu. Secara tidak langsung mereka membodohkan Allah. Seolah dia berkata, Allah itu tidak tahu kalau sekarang zaman sudah berubah. Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah) untuk mengatakan semacam itu. (Cholis Akbar/Hidayatullah) (Majalah Suara Hidayatullah, edisi Januari 2005-02-17) Lampiran 2 : Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen Majalah GATRA edisi 3 April 2004 menurunkan laporan cukup panjang tentang fenomena kajian hermeneutika di kalangan perguruan Islam di Indonesia. Disebutkan, dua perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Islam Negeri Jakarta dan IAIN Yogyakarta sudah mengajarkan mata kuliah Hermenutika untuk mahasiswanya. Laporan GATRA itu menarik untuk dicermati, di tengah-tengah hingar bingar pemilu 2004. Mengapa? Sebab, fenomena ini menunjukkan, betapa lemahnya pertahanan kaum Muslim dalam aspek yang sangat strategis, yakni cara pemahaman (epistemologis) terhadap sumber utama Islam, yakni al-Quran. Laporan GATRA mengulas terbitnya satu majalah pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA, awal Maret 2004, yang nomor perdananya mengulas secara mendalam masalah hermeneutika. Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman al-Quran yang dikenal sebagai ilmu tafsir. Jika metode atau cara pemahaman al-Quran sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum Muslim di Indonesia? Pertanyaan ini perlu disampaikan, kepada kita semua, termasuk kepada para politisi Muslim, yang sedang aktif menggalang dukungan suara untuk partai dan dirinya. Bahwa, ada kanker ganas yang sedang bekerja sangat cepat menggeregoti organ-organ vital kaum Muslimin. Apakah hermeneutika dapat diadopsi untuk menggantikan tafsir al-Quran? Sebuah ulasan ringkas dan komprehensif tentang hermeneutika dan al-Quran disusun oleh Syamsuddin Arif, kandidat doktor bidang pemikiran Islam di ISTAC-IIUM, yang sedang melakukan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitet, Frankfurt am Main, Jerman. Syamsuddin Arif termasuk salah satu cendekiawan Muslim langka yang kini dimiliki kaum Muslim. Selain menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan fasih, lisan dan tulisan, alumnus Pondok Gontor ini juga menguasai bahasa Latin dan Yunani. Di Jerman, di tengah-tengah kesibukan penelitiannya, sedang menekuni bahasa Hebrew dan Syriac. Catatan Syamsuddin Arief berikut ini sangat menarik dan penting untuk dicermati, mengingat, bahwa biasanya, banyak pemikir dan tokoh Islam, sangat peduli dengan wacana pemikiran Islam yang terkait dengan aspek fiqih dan politik, seperti isu perkawinan antar agama atau masalah penerapan syariat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi, jarang sekali yang peduli atau memahami masalah-masalah kajian metodologis atau epistemologis yang sebenarnya lebih mendasar dan berdampak besar dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia di masa depan. Contohnya masalah hermeneutika. Tampak, bagaimana banyak ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia, terlambat memahami masalah yang sangat fundamental tersebut. Padahal, beberapa institusi pendidikan Islam sudah mengajarkan hermeneutika sebagai alternatif bagi metode penafsiran al-Quran yang selama ini dikenal oleh umat Islam pada umumnya. Bahkan, sekarang sudah banyak muncul cendekiawan dan tokoh-tokoh organisasi Islam, yang begitu bersemangat menyebarkan dan mengajarkan hermeneutika, dengan menyerukan agar metode tafsir klasik al-Quran tidak digunakan lagi. Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al-Quran dan al-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan impor pemikiran semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap teliti sebelum membeli gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim. Salah satu produk asing tersebut adalah hermeneutika, yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional Hermeneutika al-Qur’an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci di sebuah perguruan Tinggi. Konon tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah hermeneutika al-Quran yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di Indonesia khususnya. Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ahistoris (mengabaikan konteks sejarah) dan uncritical (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen. Istilah dan Sejarahnya Secara etimologi, istilah hermeneutics berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan derivat dari kata Hermes, yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi. Dalam karya logika Aristoteles, kata hermeneias berarti ungkapan atau pernyataan (statement), tidak lebih dari itu. Bahkan para teolog Kristen abad pertengahan pun lebih sering menggunakan istilah interpretatio untuk tafsir, bukan hermeneusis. Karya St. Jerome, misalnya, diberi judul De optimo genere interpretandi (Tentang Bentuk Penafsiran yang Terbaik), sementara Isidore dari Pelusium menulis De interpretatione divinae scripturae (Tentang Penafsiran Kitab Suci). Adapun pembakuan istilah hermeneutics sebagai suatu ilmu, metode dan teknik memahami suatu pesan atau teks, baru terjadi kemudian, pada sekitar abad ke-18 Masehi. Dalam pengertian modern ini, hermeneutics biasanya dikontraskan dengan exegesis sebagaimana ilmu tafsir dibedakan dengan tafsir. Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi hermeneutika umum (General Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk membebaskan tafsir dari dogma,ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum,semua teks diperlakukan sama, tidak ada yang perlu di-istimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan historisitas teks dan pentingnya kesadaran sejarah (Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali (Nacherleben) dan menghayati isi teks tersebut. Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya hermeneutic circle, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis. Asumsi dan Implikasinya Dengan latarbelakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Quran, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Quran sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani. Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai produk sejarah—sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas). Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman. Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar). Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebanaran. Pada tataran fiqih, semakin gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang qath’iy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan sebagainya. Jika metodologi pemahaman al-Quran sudah dirusak oleh para ulama, cendekiawan, dan tokoh Islam, yang semestinya menjaga umat, maka keadaan ini bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Tentunya kaum Muslimin sangat perlu mencermati dan melakukan tindakan pencegahan dan penyembuhan terhadap serbuan penyakit yang sudah begitu jauh mencengkeram dan merusak tubuh umat Islam. Wallahu a’lam. (KL, 31 Maret 2004). (Ulasan ringkas Adian Husaini tentang hermeneutika dari Syamsuddin Arif yang sudah dibuat Catatan Akhir Pekan di Radio Dakta dan hidayatullah.com/ Catatan Akhir Pekan ke-48 Radio Dakta 92,15 FM, Oleh: Adian Husaini). Lampiran 3 : Sejarah Singkat IAIN Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang berjumlah 14 mungkin bukan merupakan bentuk kelembagaan yang final dalam perkembangan kelembagaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Seperti tercatat dalam sejarah, nama Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia terus berubah sebagai upaya meresponi perkembangan masyarakat dan sekaligus juga sebagai obyek tarik menarik antara berbagai kekuatan atau kelompok dalam masyarakat. Kehadiran IAIN di tengah masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Dr. Satiman Wirjosandjoyo dalam Pedoman Masyarakat No. 15 Tahun IV (1938) pernah melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah itu. Dikatakan oleh Satiman antara lain bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, onderwijs (pengajaran) agama di pesantren mencukupi keperluan umum. Akan tetapi setelah Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama. Apalagi dengan kedatangan kaum Kristen yang banyak mendirikan sekolah dengan biaya rendah dan dikelola oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, maka keperluan akan adanya sekolah tinggi agama Islam itu semakin terasakan lagi dan kalau tidak, pengaruh Islam akan semakin kecil. Demikian alasan Satiman. Gagasan tersebut kemudian terwujud pada tanggal 8 Juli 1946 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja sebuah yayasan (Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam) yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Dalam memorandumnya Drs. Moh. Hatta menyatakan bahwa agama adalah salah satu tiang kebudayaan bangsa. Oleh karena penduduk Indonesia 90 % beragama Islam maka pendidikan agama Islam adalah salah satu soal maha penting dalam memperkokoh kedudukan masyarakat. Untuk itu perlu didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Pada masa revolusi STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu. Pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII), yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai wujud penghargaan pemerintah bagi Yogyakarta sebagai Kota Revolusi, kepada golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949. Ini bermula dengan pendirian Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Pebruari 1946 yang kegiatannya tertunda karena Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Setelah persetujuan Roem Royen ditanda tangani pada 7 Mei 1949 muncul keinginan untuk segera menyelenggarakan kembali pendidikan tinggi nasional. Pada awalnya keinginan itu berhimpitan dengan rencana perbaikan Perguruan Tinggi federal sesuai dengan bentuk negara yang diusulkan Belanda ketika itu, tetapi para republikan tetap menginginkan Republik Indonesia memiliki Perguruan Tinggi sendiri di Yogyakarta. Atas bantuan Sultan Hamengkubuwono IX, beberapa bangunan milik kraton Yogyakarta digunakan untuk kegiatan Perguruan Tinggi dan sejak 7 Desember 1949 semua lembaga pendidikan tinggi negeri yang berada di Yogyakarta digabungkan di bawah satu atap dalam naungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang kemudian dikukuhkan dengan PP No. 23 tanggal 16 Desember 1949 tersebut dan sejak 14 Desember 1949 Pemerintah RI secara resmi mulai menyelenggarakan Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal dengan Universitas Gadjah Mada. Kemudian pada 1954 kata Universiteit diganti dengan kata Universitas dan kata Negeri dihilangkan sehingga menjadi Universitas Gadjah Mada. Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Peresmian PTAIN dengan jurusan Da’wah (kelak Ushuluddin), Qodlo (kelak menjadi Syari’ah) dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada 26 September 1951. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957. Dalam rangka menjadikan PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta lebih memenuhi kebutuhan umat Islam akan pendidikan tinggi Agama Islam, dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri. Menurut dokumen ini, penggabungan itu diberi nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah al-Islamiah al-Hukumiyah_ yang berkedudukan di Yogyakarta, dengan PTAIN Yogyakarta sebagai Induk dan ADIA Jakarta sebagai fakultas dari Institut baru tersebut. IAIN ini akhirnya diresmikan pada 24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh Menteri Agama, K. H. Wahib Wahab. Perkembangan IAIN yang pesat dengan bermunculannya fakultas-fakultas cabang di berbagai pelosok tanah air menyebabkan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 1963, yang memungkinkan didirikannya suatu IAIN yang terpisah dari pusat. Sudah barang tentu, berdasarkan pertimbangan historis, Jakartalah yang pertama mendapatkan kesempatan untuk memiliki IAIN baru ini. Dengan demikian, IAIN Jakarta adalah IAIN kedua yang berdiri setelah IAIN Yogyakarta. Kini, IAIN sudah berjumlah 14 buah dengan dibukanya IAIN terakhir di Sumatra Utara pada 1973 oleh Menteri Agama waktu itu, Prof. Dr. H. A. Mukti Ali. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 1965, maka terhitung sejak 1 Juli 1965 IAIN Al-Jami’ah di Yogyakarta diberi nama Sunan Kalijaga, nama salah seorang tokoh terkenal penyebar agama Islam di Indonesia. Kini hampir 49 tahun sudah usia IAIN Sunan Kalijaga, dihitung sejak diresmikannya PTAIN pada 26 September 1951. Penetapan tanggal ini dikuatkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 100 Tahun 1982 dan Keputusan Menteri Agama No. 399 Tahun 1993 tentang Statuta IAIN Sunan Kalijaga. IAIN-IAIN lain juga diberi tambahan nama seperti Syarif Hidayatullah untuk IAIN Jakarta, Walisongo untuk Semarang, Sunan Gunung Jati, Bandung dan sebagainya.*** Disadur dari Artikel Atho Mudzhar Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi. (DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA - BIRO HUKUM DAN HUMAS Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat) Dapatkan koleksi ebook lain yang tak kalah serunya hanya di: http://jowo.jw.lt