Menangkal Bahaya JIL dan FLA Penulis: Hartono Ahmad Jaiz Agus Hasan Bashori mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Pengantar Penerbit Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al-A’raf:30) Terkadang, banyak manusia terlena tapi tidak menyadari bahwa dirinya terlena, atau ia bodoh tapi tidak menyadari bahwa dirinya bodoh, atau bahkan ia tersesat dan menyesatkan tapi tidak menyadari bahwa dirinya tersesat danmenyesatkan, karena barangkali memang demikianlah Allah telah mengunci mati penglihatan, pendengaran, dan hatinya. Mereka mengerti dan memahami tentang suatu kebenaran tapi iatidak mau mengikutinya, mereka mengerti dan memahami tentang suatu larangan tapi mereka juga tidak mau menghindarkannya, padahal sesungguhnya ia bisa dan mampu untuk itu. Mereka cenderung menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan ilmunya sebagai hiasan dan kebanggaan untuk mencari pujian dan popularitas dalam kehidupan dunia belaka. Maka yang demikian inilah, pertanda sebuah petaka yang sangat berbahaya bagi umat manusia telah mengancam. Memang, tidak ada siapa pun yang berhak melarang seseorang untuk berbicara atau berfikir, asalkan perkataan atau pikiran itu tidak menganggu dan membahayakan orang lain. Karena ini adalah bagian dari hak asasi, atau paling tidak, itu adalah merupakan potensi yang harus dihargai. Namun jika sebaliknya; perkataan dan pikiran itu membahayakan orang lain, cenderung menyelewengkan dan melecehkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah, menghujat para ulama, memutarbalikkan fakta dan dalil, maka ini bukan lagi hak asasi atau potensi yang harus dihormati, tapi adalah sebuah kezhaliman dan penghinaan yang harus dicegah dan dimusnahkan. Apalagi kalau hal itu dipasarkan dan diobralkan laksana dagangan murahan yang tidak diharapkan darinya, kecuali hanya keuntungan materi yang tidak mengenyangkan. Terakhir, mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan beruna bagi para pembaca dan kaum muslimin pada umumnya. Amin. Pustaka Al-Kautsar Pengantar Penulis Alhamdulillahi Rabbil ‘alamien. Shalawat dan salam semoga tetap Allah curahkan atas Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman. Amma ba’du. Buku ini kami tulis berdua, dengan judul “Menangkal Bahaya JIL dan FLA”. Isinya berupa bantahan terhadap lontaran-lontaran aneh yang menyesatkan dari orang-orang firqah liberal (JIL; Jaringan Islam Liberal, Paramadina –yayasan bentukan Nurcholish Madjid cs kini dipimpin Azzumardi Azra rektor UIN/ Universitas Islam Negeri Jakarta, sebagian orang NU –Nahdlatul Ulama, sebagian orang Muhammadiyah, sebagian orang IAIN –Institut Agama Islam Negeri, dan lain-lain. Juga bantahan terhadap isi buku “Fikih Lintas Agama” yang ditulis oleh tim sembilan penulis Paramadina di Jakarta bekerjasama dengan yayasan orang kafir, The Asia Foundation yang berpusat di Amerika. Tim penulis paramadina sembilan orang itu adalah; Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun’im A. Sirry. Mereka menulis buku yang judul lengkapnya; “Fikih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis”. Cetakan: I, September 2003. Mereka itu secara terang-terangan mengusung keyakinan inklusif pluralis alias menyamakan semua agama, dan secara blak-blakan memang mereka sengaja membuka jati diri mereka bahwa meskipun mengaku Islam namun juga mengakui bahwa aqidah mereka berbeda. Kalau mereka meyakini aqidah yang berbeda itu tanpa menyelewengkan pengertian ayat-ayat Al-Qur’an, As-Sunnah (Hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam), menghujat ulama, memelintir perkataan ulama, meninggikan tokoh-tokoh non Islam bahkan anti agama, dan menggiring umat ke filsafat yang tak punya landasan itu serta hanya untuk mereka ‘nikmati’ sendiri bukan dipropagandakan; maka urusannya masih sebatas urusan mereka. Urusan orang-orang tertentu dan terbatas yang lokasi kumpulnya di sekitar Ciputat, Pondok Indah, dan Utan Kayu Jakarta. Namun “aqidah yang berbeda” itu mereka pasarkan dengan cara-cara menyelewengkan pengertian ayat-ayat Al-Qur’an, As-Sunnah, menghujat ulama, memelintir perkataan ulama, meninggikan kedudukan dan suara serta tingkah tokoh-tokoh kafir bahkan sangat anti agama, mengekspose penyelewengan sebagian tokoh dijadikan sample/ contoh untuk dicarikan jalan keluarnya berupa penghalalannya, dan menggiring umat Islam untuk tidak meyakini Islam secara semestinya. “Aqidah yang berbeda” itu memerlukan “Fikih yang berbeda” pula. Mereka sendiri yang menyatakan itu, bahwa yang aqidahnya eksklusif maka Fikihnya eksklusif pula, sedang mereka (kaum liberal) yang aqidahnya inklusif pluralis alias menyamakan semua agama, maka memerlukan Fikih pluraris pula. Mereka buatlah ramai-ramai (9 orang) sebuah buku setebal 274 halaman dengan judul “Fikih Lintas Agama”. Sesuai dengan sifatnya ‘yang berbeda’, maka Fikih Lintas Agama itu pun berbeda dengan fikih hasil ijtihad para ulama. Di antara perbedaannya bisa disimplifikasikan/ disederhanakan sebagai berikut: 1. Dibiayai oleh lembaga orang kafir dan duit lembaga pendana itu dari orang kafir. 2. Ditulis oleh orang-orang yang latar belakang keilmuannya bukan ilmu fikih, namun rata-rata menggeluti filsafat atau perbandingan agama, atau tasawuf, atau ilmu kalam (bukan ilmu Tauhid). Kalau toh tadinya belajar ilmu fikih di Fakultas Syari’ah seperti Masdar F Mas’udi (salah satu dari 9 orang tim Penulis FLA Paramadina) pada perjalanan terkininya bukan lagi menekuni studi jurusan Fikih tetapi filsafat. 3. Cara ber-istidlal (mengambil dalil untuk menyimpulkan hukum) tidak ada konsistensi, sehingga antagonistis, bertabrakan satu sama lain. 4.Tidak jujur. 5. Memperlakukan ayat-ayat Al-Qur’an semau mereka. 6. Pendapat yang sangat lemah pun dijadikan hujjah, lalu disimpulkan satu ketentuan, dan ketentuan yang berdasarkan pendapat sangat lemah itu kemudian untuk menghukumi secara keseluruhan. Akibatnya, hukum dibalik-balik, yang haram jadi halal. 7. Pembolak-balikan itu untuk mempropagandakan “aqidah dan Fikih yang berbeda” yaitu di antaranya: Ulama diposisikan sebagai orang durjana Orang kafir naik kedudukannya hingga suaranya bisa dijadikan hujjah untuk membantah ulama, bahkan bisa-bisa untuk membantah hadits bahkan naik lagi bisa untuk membantah ayat Al-Qur’an. Orang kafir berhak nikah dengan Muslim dan Muslimat. Orang kafir berhak mendapatkan waris dari orang Muslim. Orang Muslim tidak boleh menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan siyasah. Orang Muslim dalam kehidupannya hanya boleh diatur pakai selain syari’at Islam. Muslim dan kafir sama, namun jangan bawa-bawa agama untuk mengatur hidup ini. Ini artinya, aturan dari orang kafir harus dipakai, sedang aturan dari Allah tak boleh dipakai. Itulah “aqidah yang berbeda” maka memerlukan “Fikih yang berbeda” pula. Dan itulah Fikih yang pembuatan dan penerbitannya dibiayai oleh orang kafir. Propaganda kepentingan kafirin namun lewat jalur ilmu Islam praktis yakni Fikih inilah sebenarnya persoalan dalam pembicaraan ini. Namun kalau hanya dikemukakan bahwa itu upaya mengusung kepentingan orang kafir, lalu tidak disertai bukti-bukti hujjah yang nyata, maka persoalannya bisa mereka balikkan. Bahkan membalikkannya pun bisa pakai ayat atau hadits dengan disesuaikan dengan kepentingan mereka. Lalu khalayak ramai, kafirin plus sebagian umat Islam yang hatinya ada penyakitnya, bisa-bisa serta merta memberondongkan serangan yang menyakitkan, bukan sekadar kepada orang yang mengecam Paramadina namun bisa jadi terhadap Islam itu sendiri. Oleh karena itu saya mengajak seorang Ustadz Agus Hasan Bashori Lc, Mag, yang bermukim di Malang Jawa Timur, untuk menulis bantahan terhadap buku Fikih Lintas Agama itu. Berhubung yang mengusung aqidah rusak berupa paham pluralisme agama, menyamakan Islam dengan agama-agama lain, itu bukan hanya tim 9 penulis FLA Paramadina, maka pemikiran, lontaran-lontaran, dan beberapa hal yang berkaitan dengan penyebaran paham pluralisme agama pun saya uraikan. Sehingga diharapkan buku ini akan bisa menguak sepak terjang mereka serta pola pikir dan kelicikan mereka. Untuk lebih memudahkan pertanggungjawabannya, maka buku ini di bagian pertama adalah tulisan saya, sedang bagian kedua tulisan Ustadz Hasan Bashori. Adapun kalau pembahasannya ada yang sama, berarti masing-masing menganggap masalah itu penting untuk disoroti. Namun apabila ada masalah yang sebenarnya penting tetapi ternyata kami berdua sama-sama tidak membahasnya, itu kemungkinan saling tidak mau melangkahi satu sama lain, tahu-tahu sama-sama tidak melangkah. Kami menyadari, yang kami bantah itu adalah buku yang mereka tulis ramai-ramai 9 orang, yang sebelum dibukukan pun diseminarkan di pergedungan dengan mengundang atau didatangi pers. Entah kumpulan tulisan para penulis itu pesanan atau ‘pengajuan’ (untuk cari dana ke orang kafir), wallahua’lam, tetapi Zuhairi Misrawi mengemukakan bahwa kerja mereka siang malam untuk mewujudkan buku FLA itu. Sementara itu kami berdua untuk membantah buku FLA itu tidak pakai kumpul-kumpul apalagi mengumpulkan orang untuk seminar membahas tulisan yang akan dibukukan. Kami berdua (saya di Jakarta, Ustadz Hasan Bashori di Malang Jawa Timur) hanya bertemu 3 kali dan bukan urusan untuk membicarakan tentang tulisan ini tetapi sama-sama menghadiri pertemuan yang diadakan orang di Puncak Bogor Jawa Barat dan Jakarta. Lalu saya katakan, tulislah apa yang Antum (Anda) mau, dan saya juga akan tulis semau saya. Ketika beredar buku saya berjudul “Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama”, Maret 2004, ada pertanyaan dari Ustadz Hasan Bashori lewat SMS, “Antum sudah menerbitkan buku, jadi tulisan saya sama siapa nanti?” Saya jawab, “Ya sama saya, kan buku “Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama” itu baru manasi saja.” Alhamdulillah, Allah memberikan kesempatan dan kesanggupan, sehingga bicara-bicara antara kami berdua ketika ketemu itu kemudian bisa terwujud tulisan untuk membantah para ‘jagoan’ liberal tua dan muda (yang tua seperti Nurcholish Madjid sudah 64 tahun, yang muda seperti Zuhairi Misrawi bujangan umur 29-an tahun). Kami sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang secara langsung atau tidak langsung memberikan semangat kepada kami untuk mewujudkan buku ini. Kunjungan rombongan kiai dan ustadz yang menyempatkan untuk bertemu kami dan mengemukakan keprihatinan mereka atas makin menjadi-jadinya kenekadan kelompok liberal dengan menerbitkan buku nyleneh di antaranya “Fikih Lintas Agama”, merupakan dorongan tersendiri yang seakan meletakkan beban di pundak kami untuk memikulnya. Sehingga dunia terasa sempit ketika tulisan ini belum jadi. Bukan lantaran kami punya hutang budi, jasa, atau harta kepada orang kuat, lembaga kuat, kelembagaan ataupun perorangan, sehingga harus menanggapi buku FLA. Namun keresahan dan keprihatinan para da’i, para ustadz, para pengelola santri, mahasiswa, dan masyarakat atas meruyaknya penyesatan di mana-mana yang sistematis dan terprogram rapi itulah yang mengetuk hati kami untuk menyusun buku ini. Mudah-mudahan sumbangan dorongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berhubung buku ini disusun dengan proses seperti yang telah saya uraikan itu, maka saran dan kritik yang membangun dari pembaca budiman senantiasa kami nantikan. Hanya kepada Allah-lah kami menyembah, dan hanya kepada Allah pula kami minta pertolongan. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam dan terutama bagi kami, keluarga dan sanak kerabat Muslimin Muslimat. Amin. Jakarta, Selasa, 14 Rabi’ul Awwal 1425H / 4 Mei 2004 (Hartono Ahmad Jaiz) Isi Buku Dustur Ilahi … vii Pengantar Penerbit … ix Pengantar Penulis … xi Orang Liberal Indonesia-Malaysia Berhadapan dengan Ulama dan Umat Islam … 1 Jaringan Menghina Allah, Rasul-Nya, Ulama, dan Umat Islam … 4 Jaringan Islam Liberal (JIL) Dikoordinasikan Ulil Sejak Awal 2001 … 8 Ulil Lebih Bandel … 10 Sisi Kedua Adalah Kevulgaran dalam Menohok Islam … 16 Islam di Antara Agama-agama Lain … 17 Kawin Beda Agama … 17 Tidak Ada Hukum Tuhan … 17 Merusak Islam … 18 Penjahat Akan Terdukung Kejahatannya … 21 Bila Orang Liberal Mencomot Dalil … 27 Pemikiran Ulil dan JIL Tidak Berstandar Islam … 27 Masalah Pluralisme Agama … 30 Mencampur Aduk Aneka Kerancuan … 36 Dalil-dalil yang Menyanggah Faham Pluralisme Agama … 38 Masalah Menghina Islam dan Hukum Bunuh … 42 Dibunuh Karena Pendapatnya Merusak Islam … 46 Masalah Menggunakan Dalil … 48 Sejarah Tahapan Menyikapi Orang Kafir … 50 Lontaran-lontaran Para Tokoh Liberal Menghancurkan Islam … 53 Islam Liberal Meruntuhkan dasar Islam … 54 Program Liberalisasi Islam (Dr. Greg Barton) … 55 Tokoh-tokoh Awal Islam Liberal di Indonesia (Greg Barton) … 55 Ungkapan-ungkapan Nyeleneh Orang Liberal dan Bantahannya … 56 Syaikh Muhammad Al-Ghazali: “Orang Sekular Itu Murtad” … 73 Tokoh Sekuler, Dr. Faraq Fouda Dibunuh … 74 Kronologi Debat dengan Dr. Nurcholish Madjid (Pertama) … 79 Debat dengan Dr. Nurcholish Madjid di Jalan (Kedua) … 81 Orang JIL, Paramadina, dan Oknum UIN Berbahaya bagi Islam … 87 Nurcholish Menikahi Wanita Konghucu di Paramadina … 87 Ulil, JIL, Kiprah dab “Fatwanya” … 90 Ulama dan Umat Islam Tersinggung Berat … 92 Lelaki Muslim Menikahi Wanita Konghucu di Paramadina … 93 Kecaman … 94 Antek Yahudi dan Nasrani Memreteli Islam … 98 Inti Ajaran Ulil, Menyejajarkan Bualan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah … 100 Masdar dan Zuhairi Diancam Mati, Swaramuslim Mensyukuri … 105 Gertak Mati Pengawal Akidah … 107 Fikih Lintas Agama Dikecam di Mana-mana … 115 Teologi Pluralis Keyakinan Kafir … 115 Tidak Ilmiah … 116 Memperkosa Ayat dan Hukum Islam … 118 Teologi Pluralisme Itu Kafir … 120 Masalah Ijtihad; Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi … 127 Pendahuluan … 127 Ijtihad … 129 Ijtihad Istinbahi dan Ijtihad Tathbiqi … 131 Lapangan Ijtihad … 132 Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang … 133 Syarat-syarat Ijtihad … 134 Jenis-jenis Ijtihad Dilihat dari Tingkatannya … 136 Ijtihad Tathbiqi … 138 Kesimpulan … 142 Nurcholish Madjid Cs Memperkosa Ushul Fikih Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agamanya … 143 Provokasi Kebencian Terhadap Imam Asy-Syafi’i … 146 Kerja Maraton Menggembosi Fikih di Kalangan Kiai-kiai NU … 149 Desain Besar: Menghadang Formalisasi Syari’at, Aqidah, dan Jihad … 153 Sama dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari’at Islam … 158 Nafsu Besar Tenaga Kurang … 160 Penyelewengan Terang-terangan … 161 Memperkosa Ushul Fikih Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agama … 165 Fikih Paramadina Mengusung “Hak” Kafirin Menghadang Syari’at … 167 Membatalkan Hadits, Membolehkan Kafir Mewaris Harta Muslim … 168 Kesalahan Fatal, Mengebiri Hadits Demi Membela Kafirin … 172 Membatalkan Hukum Islam dengan Logika Qiyas Sekenanya … 175 Dialog Antar Agama Menirukan Kafir Quraisy … 178 Mencela Imam Asy-Syafi’i dan Menggugat Fikih Jihad … 182 Adab Jihad; Yang Tidak Boleh Dibunuh dan Larangan Melampaui Batas … 184 Melandasi Kecaman dengan Celoteh Musuh Agama … 186 Kafir Ada Tiga Jenis … 189 Agama Islam dan Syir’at Setiap Umat … 197 Memelintir Ibnu Taimiyah … 202 Para Filosuf dan Teolog … 213 Wijhah, Kiblat Masing-masing Umat … 219 Titik Pusat Ajaran Pluralitas dalam Al-Qur’an? … 219 Penjelasan Ibnul Qayyim tentang Wijhah … 222 Teologi Pluralis Propaganda Kekafiran Berkedok Al-Qur’an dan As-Sunnah … 231 Merangkul Teman dari Agama Lain, Membuat Musuh di Agama Sendiri … 237 Memainkan Ayat, Menirukan Nasrani … 245 Jihad Melawan Nasrani … 251 Sunnu Bihim Sunnata Ahlil Kitab … 255 FLA Memlintir Pernyataan Ibnu Taimiyah … 255 Langkah-langkah untuk Menyamakan Semua Agama dan Praktek Fikihnya … 256 Menaikkan Majusi Jadi Ahli Kitab dengan Memlintir Ibnu Taimiyah … 258 Ibnu Taimiyah; Majusi Jelas Bukan Ahli Kitab … 263 Masalah Nikah Beda Agama Lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) Haram Menikahi Muslimah … 272 Mencari Celah dengan Memlintir Imam Ath-Thabari … 274 Istri Masuk Islam … 280 Masalah Menikahi Wanita Muhshanat dari Kalangan Ahli Kitab … 284 Wanita Kitabiyah Hanya Yahudi dan Nasrani … 286 Puncak Pembatalan Syari’at Allah … 288 Penutup … 291 Daftar Pustaka … 299 Buku-buku karya Hartono Ahmad Jaiz … 303 Riwayat Hidup Penulis … 305 Orang Liberal Indonesia-Malaysia Berhadapan dengan Ulama & Umat Islam Jaringan Menghina Allah, Rasul-Nya, Ulama, dan Umat Islam Jaringan Islam Liberal (JIL) Dikoordinasikan Ulil Sejak Awal 2001 Ulil Lebih Bandel Sisi Kedua Adalah Kevulgaran dalam Menohok Islam Islam di Antara Agama-agama Lain Kawin Beda Agama Tidak Ada Hukum Tuhan Merusak Islam Penjahat Akan Terdukung Kejahatannya Orang-orang berfikiran Liberal yang dinilai menghina Islam di Indonesia dan Malaysia berhadapan dengan ulama dan umat Islam. Ulil Abshar Abdalla (35 tahun) kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta diadukan ke polisi Desember 2002/ Syawal 1423H karena dinilai telah menghina Islam lewat tulisannya di koran Kompas 18 November 2002M berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Sementara itu orang-orang liberal di Malaysia, di antaranya Zainah Anwar, Kassim Ahmad, Faris A Noor, dan Akbar Ali dinyatakan oleh Persatuan Ulama Malaysia dan sejumlah organisasi Islam sebagai menghina Islam, dan diadukan kepada penguasa. Keberanian memporak-porandakan syari’at Islam oleh orang-orang model liberal itu tampaknya sudah melampaui batas. Kata orang Arab, balaghos sailuz zuba, (banjir sudah sampai di gunung). Kata orang Jawa, wis kebak sundukane (sudah penuh tusukannya, maksudnya bukti-bukti kejahatannya). Sampai-sampai Ulil Abshar Abdalla menganggap Vodca (satu jenis minuman keras, pen) itu bisa jadi dihalalkan di Rusia karena daerahnya sangat dingin. Sedang larangan perkawinan Muslimah dengan non Muslim kini Ulil anggap sudah tidak relevan lagi. Itulah bukti-bukti penohokan terhadap Islam. Ulil Abshar Abdalla (36 tahun asal Pati Jawa Tengah) kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) tiba-tiba jadi bahan pembicaraan umum. Pasalnya, ia menulis di Harian Kompas Jakarta, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” pada terbitan Senin 18 November 2002M/ 13 Ramadhan 1423H. Rupanya Ulil sudah ada hubungan intensif dengan pihak Kompas, yang di masyarakat kadang diplesetkan jadi “Komando Pastur” itu. Karena sehari sebelumnya (Ahad, 17/12/2002), Ulil ketika berbicara di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta mengatakan bahwa tulisannya tentang faham JIL (Jaringan Islam Liberal) akan muncul di Kompas besok. Tulisannya itu dia uraikan di Masjid UGM Jogja itu pula, dengan pengakuan bahwa sebenarnya apa yang ia tulis itu untuk menyamakan persepsi di kalangan JIL sendiri pula, yang menurutnya masih belum sama. Penyebaran gagasan Ulil yang ia sebut mengais-ngais dari khazanah lama itu sebelum tulisannya muncul di Kompas telah dibabat dalam Dialog Ramadhan di Masjid Kampus UGM Jogja itu oleh Isma’il Yusanto dari Hizbut Tahrir dan Hartono Ahmad Jaiz penulis buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Karena Ulil dalam uraiannya membagi syari’at Islam menjadi ibadah dan mu’amalah. Yang ibadah untuk diikuti, sedang yang mu’amalah seperti jilbab, pernikahan, qishosh, hudud, jual beli dan sebagainya; itu tidak usah diikuti. Karena yang penting adalah maqoshidus syari’ah (tujuan syari’ah) dan itu dikembalikan kepada keadilan Tuhan, katanya. Keruan saja pernyataan Ulil yang juga aktivis Lakspedam NU (Nahdlatul Ulama) itu dibabat dalam Dialog Ramadhan 1423H yang diselenggarakan “Jama’ah Salahuddin” UGM itu, hingga ia disuruh tobat, dan disebut sebagi menirukan cara Iblis, yaitu disuruh oleh Allah malah membantah. (Lihat di Majalah Media Dakwah, Desember 2002/ Syawal 1423H: Tokoh JIL Diminta Tobat) . Dalam kesempatan di Masjid UGM Jogja itu tangan Ulil mengangkat buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, dengan mengatakan, saya dianggap sesat di dalam buku ini. Tetapi itu hanyalah ijtihad Mas Hartono (Penulis buku ini). Asal yang mengatakan sesat itu tidak langsung Tuhan, tidak apa-apa bagi saya, serunya. Karena hal-hal yang dilontarkan Ulil dan perlu ditanggapi cukup banyak, maka ungkapan tersebut belum sempat ditanggapi. Namun dalam siaran di Radio FM Muslim Jakarta, setelah lebaran Iedul Fitri 1423H, dan keadaan justru ramai membicarakan kasus Ulil yang dinilai menghina Islam lewat tulisannya di Kompas tersebut, dan hukuman penghina Islam itu adalah hukum bunuh/ mati; maka diulas pula ungkapan Ulil, “asal yang mengatakan sesat itu bukan langsung Tuhan” itu tadi. Dalam siaran Radio FM Muslim Jakarta, Hartono mengemukakan, bagaimana mungkin untuk masa sekarang yang sudah tidak turun wahyu, seseorang perlu dikatakan langsung sesatnya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan, di zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan wahyu masih turun pun, ketika dedengkot gembong munafiq Abdullah bin Ubai bin Salul menyebarkan berita bohong, yaitu menuduh Aisyah isteri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berzina, ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebut langsung nama Abdullah bin Ubai. Walaupun, memang disebut kebohongannya dan ancaman siksanya. Tetapi nama Abdullah bin Ubai tidak disebut. Kalau sudah tingkat Abu Lahab, Fir’aun, bahkan Iblis, maka disebut oleh Allah, bahkan Iblis dan Fir’aun disebut berkali-kali. Pembabatan terhadap lontaran Ulil (tokoh liberal) secara drastis ternyata muncul, (bukan sekadar diiblis-ibliskan seperti yang terjadi di Jogjakarta dan di siaran Radio di Jakarta, atau disuruh kembali ke Islam sebelum mati nggluntung). Karena para ulama dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di antaranya dari unsur Kiai NU (Nahdlatul Ulama) pun menyatakan bahwa tulisan Ulil di Kompas itu sudah menghina Allah, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Islam, dan umat yang ingin menegakkan syari’at Islam. Sedangkan hukum bagi penghina Islam itu adalah hukuman mati, alias darahnya halal. Pernyataan itupun muncul menjelang Idul Fitri 1423H. Jaringan Menghina Allah, Rasul-Nya, Ulama, dan Umat Islam Majalah Gatra di Jakarta –dengan cover gambar kepala dililit tali gantungan– membuat laporan utama tentang kasus Ulil Abshar Abdalla ini pada edisinya 21 Desember 2002, di antaranya sebagai berikut: “Pernyataan Bersama Ulama dan Umat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur” di Bandung, Jawa Barat, 2 Desember, menjelang Lebaran lalu: Satu di antara isi pernyataan bersama itu berbunyi, “Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah, umat Islam, dan para ulama.” Mereka menuding tulisan Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal, di Kompas 18 November lalu, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, sebagai contoh penghinaan dimaksud. “Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati,” demikian lanjutan pernyataan itu. Akhir pekan lalu, Rizal Fadhilah bersama timnya sibuk melakukan pembahasan akhir draf surat pengaduan tersebut. Bila tak ada aral melintang, awal pekan ini mereka berniat menyampaikan laporan itu ke polisi. “Dalam waktu dekat kami akan laporkan, mungkin Senin,” kata Fadhil. Materi pernyataan itulah yang dalam dua pekan terakhir ini bikin heboh dan dikenal sebagai fatwa mati untuk Ulil Abshar Abdalla. Seorang perumus fatwa itu, KH Athian Ali Muhammad Da’i, MA, menandaskan bahwa fatwa itu tidak hanya untuk Ketua Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU) tersebut. “Terlalu kecil jika kita hanya menyorot Ulil. Kita ingin membongkar motif di balik Jaringan Islam Liberal yang dia pimpin,” kata kiai yang pernah mengeluarkan fatwa mati untuk Pendeta Suradi, Februari 2001, itu. Fatwa tersebut dirumuskan dalam acara silaturahmi ulama asal Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di Masjid Al-Fajar, Jalan Situsari, Bandung. Masjid ini adalah sekretariat Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) yang dipimpin Athian Ali. “Silaturahmi ini tidak direncanakan sebelumnya,” kata Athian. Kebetulan, Sabtu 30 November lalu, KH Luthfi Bashori (kiai NU asal Malang, Jawa Timur) dan KH Mudzakir (Forum Umat Islam Surakarta) beserta rombongan menyampaikan kabar hendak mampir silaturahmi ke FUUI. Usai dari Bandung, rombongan itu melanjutkan perjalanan ke Jakarta untuk menjenguk KH Abu Bakar Ba’asyir. Pertemuan di Bandung berlangsung pukul 20.30 sampai 01.30. Menurut panitia, Hedi Muhammad, sekitar 75 tokoh menghadiri silaturahmi itu. Antara lain KH Siddiq Amien (Ketua Umum Persis), Prof. Dr. Tb. Hasanuddin (Muhammadiyah Jawa Barat), KH Abdullah Abu Bakar (Dewan Masjid Indonesia), Ir. Muhammad Rodi (Partai Keadilan Solo, Jawa Tengah), serta Ali Usman (PPP Solo). Tiap peserta mengusulkan agenda aktual tertentu agar diangkat dalam pernyataan bersama. “Sempat muncul riak perdebatan kecil, tapi tak sampai memanas, suasananya Islami,” kata Hedi Muhammad, yang juga Sekretaris FUUI, kepada Mappajarungi dari GATRA. Akhirnya, disepakatilah empat poin untuk dinyatakan bersama. Mulai soal penyelesaian hukum kasus Abu Bakar Ba’asyir, seruan memboikot produk Coca-Cola, fatwa mati Islam liberal, serta seruan menentang hegemoni politik Amerika Serikat. Dalam hal fatwa mati, forum tersebut tidak secara khusus membahas proses penggalian hukum (istimbath) delik penghinaan agama yang berujung sanksi penghilangan nyawa itu. “Pembahasannya sudah kami selesaikan saat mengeluarkan fatwa mati pada Pendeta Suradi dulu,” kata Athian Ali kepada GATRA. Kasus tulisan Ulil Abshar rupanya dianalogkan dengan kasus Suradi: sama-sama penghinaan agama. Diskusi butir ini pun berlangsung lancar. Athian semula khawatir, peserta dari NU, KH Luthfi Bashori, akan menentang fatwa mati itu, karena Ulil Abshar dikenal sebagai pemikir muda NU. “Ternyata, Kiai Luthfi termasuk yang bersikeras mendukung,” ujar Athian. Ketika GATRA menghubungi pengasuh Pondok Pesantren Al-Murtadha, Singosari, Malang, itu, ia membenarkan dukungan tersebut. “Jaringan Islam Liberal itu meresahkan umat Islam. Kalangan pesantren menilainya telah melecehkan Islam,” kata Luthfi, 37 tahun, kepada Yohan Wahyu dari GATRA. Kiai muda yang pernah berguru pada Syekh Alwi Al-Maliki di Mekkah, Arab Saudi, ini baru saja menerbitkan buku berjudul Musuh Besar Umat Islam, yang diberi kata pengantar oleh Dr. Fuad Amsyari (Surabaya). Dalam buku itu, Luthfi menyebut Islam liberal sebagai pelaku “sinkretisme modern”. Jaringan Islam Liberal (JIL) dikoordinasikan Ulil sejak awal 2001 Sebagaimana pernah ditulis GATRA, Desember 2001 jaringan ini mewadahi pengembangan pemikiran keislaman yang kritis, pluralis, dan membawa misi pembebasan. Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid tercatat sebagai sedikit pemikir muslim Indonesia yang menjadi “maskot” mazhab JIL. Konsolidasi jaringan ini dimaksudkan sebagai respons atas menguatnya ekstremisme dan fundamentalisme agama. Mereka memanfaatkan kemajuan multimedia untuk menopang kampanye gagasan, dari jaringan koran, radio, sampai internet. Dalam perjalanannya, kontributor JIL kerap terlibat ketegangan dengan kalangan Islam literal. Mulai ketegangan di forum diskusi, ajuan somasi, sampai pengaduan ke polisi. Kasus fatwa mati kali ini seperti menjadi akumulasi dari serangkaian hubungan tegang antardua kubu pemikiran Islam itu. Artikel Ulil yang dinilai menghina Allah, menurut Athian, adalah ungkapan bahwa tidak ada hukum Tuhan. “Menurut saya, tidak ada yang disebut hukum Tuhan dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya hukum Tuhan tentang pencurian, jual-beli, pernikahan, pemerintahan, dan lain-lain,” tulis Ulil. “Ini penghinaan luar biasa pada Tuhan,” kata Athian. Tuduhan penghinaan atas Nabi dirujukkan pada bagian artikel yang berbunyi, “Rasul Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya).” Ulil juga dipandang menghina Islam ketika menyamakan Islam dengan agama-agama lain. Ulil menulis, “Islam—seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain—adalah ‘nilai generis’ yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme,... bisa jadi, kebenaran ‘Islam’ ada dalam filsafat marxisme.” Bagi Athian, kebenaran mutlak hanya satu, yaitu Islam. Tidak hanya dinilai menghina Allah, Nabi, dan Islam, Ulil juga dianggap menghina ulama dan umat Islam ketika menulis, “Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah, sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.” Menanggapi fatwa ini, Ulil meminta agar orang tidak mudah main-main dengan fatwa mati. “Itu malah bisa memperburuk citra Islam,” katanya. Dari segi kredibilitas ulama pemberi fatwa dan pengaruh mereka, Ulil sebenarnya tidak khawatir pada dampak fatwa ini. “Tapi, ini semacam cicilan kecil menuju langkah berikutnya yang berbahaya,” katanya. “Ini bisa menciptakan iklim teror, sebentuk terorisme pemikiran.” Pada struktur masyarakat Sunni yang terpecah-pecah, karena tidak ada kepemimpinan agama yang terpusat, Ulil khawatir fatwa demikian bisa menjadi bola liar. “Siapa saja bisa menangkap bola ini untuk mengeksekusi dengan caranya sendiri,” katanya kepada GATRA. Perbedaan penafsiran atas agama, menurut Ulil, jangan mudah divonis menghina Islam. Ia bersiap melapor ke polisi kalau buntut fatwa ini serius mengancam keamanan pribadinya. Malah, sudah ada yang menawarinya beasiswa studi ke Michigan University, Amerika Serikat, bila ia merasa terteror di Indonesia. (Jakarta, Senin, 16-12-2002 00:45:07 Islam Liberal Bahaya Bola Liar Fatwa Mati, GATRA.com/ Majalah Gatra, 21 Desember 2002). Ulil Lebih bandel Saya (Hartono Ahmad Jaiz) lihat Ulil Abshar Abdalla tampak lebih bandel/ tahan banting dibanding dedengkot nyeleneh angkatan lama seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Satu contoh, dua tokoh yang fahamnya pluralisme agama --menyejajarkan Islam dengan agama-agama lain— itu dalam diskusi di Gedung Pers Kebon Sirih Jakarta, April 1985 tampak tegang dan marah-marah hanya karena seorang penanya mengemukakan bahwa terjemahan Nurcholish Majid “Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar)” adalah terjemahan yang haram. Dua orang itu (Nurcholish dan Gus Dur) sewot, berkata keras dan membalik-balikkan ucapan kepada penanya. Sebaliknya, kini, Ulil Abshar Abdalla, ketika dalam diskusi/ debat di Al-Azhar Jakarta Mei 2002 dengan saya, dan di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta Ramadhan 1423H/ 17 November 2002M (sehari sebelum tulisan Ulil muncul di Kompas), ternyata Ulil tidak segrogi Nurcholish atau Abdurrahman Wahid. Padahal, di Jogjakarta itu saya berkata keras, menegaskan bahwa Ulil memakai cara Nicollo Machiavelli yang dikenal menghalalkan segala cara, bahkan cara Iblis. Tidak kalah sengitnya, Isma’il Yusanto menekankan agar Ulil Abshar Abdalla kembali ke Islam yang benar sebelum dirinya mati nggluntung. Ungkapan yang drastis sudah dihujankan kepada Ulil dari berbagai pihak. Namun dia hanya kadang tampak mengkeret sedikit lalu tegar lagi. Berbeda dengan dua tokoh yang tersebut di atas. Seperti Nurcholish Madjid, begitu dihajar oleh Media Dakwah akhir 1992 dan 1993, sampai-sampai dia sakit dan harus dibawa tetirah (istilah Jawa, digunakan untuk anak kecil yang sakit-sakitan lalu dibawa ke tempat lain, misalnya ke neneknya agar berganti suasana dan cepat sembuh, menurut Aru Saif Asadullah, teman Ridwan Saidi tokoh Betawi) ke pegunungan Dieng Jawa Tengah oleh rekan-rekan pendukungnya saat itu. Di samping itu para pendukungnya, sejadi-jadinya secara maksimal membelanya, misalnya Dawam Rahardjo, sampai di aneka kesempatan dipakainya untuk membela Nurcholish Madjid. Entah itu syukuran lulusnya Azyumardi Azra dari Univbersitas Columbia Amerika, entah itu sebagai utusan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) ke cabangnya di London untuk kawasan Eropa dan sebagainya. Dawam Rahardjo secara bicara duga-duga tapi sangat bersemangat membela Nurcholish, bicara sejadi-jadinya. Intinya, membenarkan Nurcholish Madjid dan menyalahkan serta menjelekkan pengkritiknya. Pembelaan yang seperti itu barangkali saja mengakibatkan orang yang dibela yaitu Nurcholish Madjid tambah kencang tegangannya, hingga Nurcholish Madjid tega mencaci Hartono Ahmad Jaiz sebagai wartawan tengik. (Lihat di Buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, 2002). Pembelaan Dawam Rahardjo terhadap Ulil Abshar Abdalla agak lain lagi. Ketika di televisi Metro TV, Senin malam (23/12 2002), Dawam Raharjo yang telah dikecam oleh para ulama Indonesia dan luar negeri karena menghadirkan penerus nabi palsu Ahmadiyah, Tahir Ahmad, dari London ke Jakarta tahun 2000 masa pemerintahan Gus Dur ini sok “menasihati” para ulama, agar berhati-hati kalau berfatwa. Karena seperti kasus di Mesir, kata Dawam, di antaranya Faraq Fouda (tokoh sekuler tahun 1990-an, model JIL atau kelompok liberal, pen) dibunuh (oleh tukang ikan di Mesir, 8 Juni 1992) itu di antaranya karena fatwa ulama, menurut Dawam Rahardjo. Pembelaan Dawam itu diucapkan di samping Ulil Abshar Abdalla yang berbicara langsung di Metro TV. Sementara itu Dawam Rahardjo sendiri tidak bisa/ tidak menjawab semprotan KH Athi’an dari Bandung (lewat telepon) yang mempersoalkan kenapa Dawam Rahardjo menyebut Al-Qur’an itu filsafat. Perlu diingat, Dawam Rahardjo adalah petinggi di LP3ES yang pada tahun 1982 menggegerkan umat Islam karena menerbitkan buku Catatan Harian Ahmad Wahib suntingan Johan Effendi (orang Ahmadiyah) dan temannya, Ismet Natsir keluaran STF Katolik Driyarkara Jakarta tempat kuliahnya Ulil Abshar Abdalla di bawah bimbingan Romo Magnis Suseno SJ. Buku “panduan pluralisme agama dan pemikiran sekuler liberal” itu sangat dikecam oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan para tokoh Islam, karena isinya ada 26 point yang menghina Islam, di antaranya landasan Islam bukanlah al-Qur’an tapi sejarah Muhammad. Sedang Karl Marx --dedengkot yang menimbulkan Marxisme dan menganggap agama adalah candu bagi masyarakat-- itu dianggap surganya sama dengan surga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam atau bahkan lebih tinggi lagi. Kembali pada kasus Ulil, pembelaan-pembelaan kepada Ulil Abshar Abdalla tampaknya hanya pating clebung (menyuara sana sini) tidak sebagaimana orang membela Nurcholish Madjid. Bahkan mertua Ulil Abshar Abdalla sendiri, KH Musthofa Bisri tokoh NU, mengkritik tulisan Ulil (sang menantu ini) lewat Kompas pula, yang intinya tulisan itu keterlaluan. NU Jawa Timur dan tokohnya seperti Luthfi Bashori dari Malang justru menyetujui hukuman mati atas penghina Islam, sedang Ulil pun termasuk. Ini adalah satu hal yang berbeda dengan Nurcholish Madjid, yang kalau toh ada kritikan dari sesama rekannya, hanya sederhana. Misalnya, Dr Bachtiar Effendi menganggap pembaruan Nurcholish Madjid dengan mengartikan kalimah thoyyibah laa ilaaha illallaah menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar) itu adalah cari kerjaan saja, sebagaimana Gus Dur mau mengganti assalamu’alaikum jadi selamat pagi. Kritikan lain dari sesama rekan ada juga di antaranya Pak Sutjipto Wirosardjono dari Koran Republika, bahwa pembaruan yang dicanangkan itu secara perhitungan kenyataan, antara lukanya dan hasilnya banyak lukanya. Kalau kepada Nurcholish Madjid, orang seperti Dawam Rahardjo pembelaannya jelas secara gigih. Opini pun dibangun oleh para pembela Nurcholish atau mungkin bisa juga oleh Nurcholish Madjid sendiri, bahwa orang yang tak setuju kepadanya itu karena pikirannya belum sampai. Pembelaan model taShallallahu Alaihi wa Sallamuf sesat itu disebarkan secara luas atau tersebar ke mana-mana. Sehingga Nurcholish dicitrakan sebagai tokoh intelektual atau bahkan cendekiawan plus embel-embel Muslim. Namun rupanya pembelaan-pembelaan semacam itu justru mengurung Nurcholish Madjid untuk tidak merujuk kepada pemahaman atau sikap yang obyektif dan hati-hati. Akibatnya, kata-kata kasar pun (tidak usah saya kutip) dilontarkan kepada Ridwan Saidi, rekannya sendiri, dan juga kepada saya (Hartono Ahmad jaiz). Ulil Abshar Abdalla pun terjerumus kepada kevulgaran yang ia sendiri mengakui bahwa tulisannya di Kompas itu provokatif dan berlebihan. Itu bukan sekadar satu sisi, tapi dua sisi. Yaitu sisi yang ia sebut musyakalah (menyamai, mengimbangi) orang-orang yang ia sebut garis keras (istilah ini bikinan, untuk menyudutkan Muslimin yang istiqomah melawan sekuler dan pluralis). Sebagaimana pengakuan Ulil: Ulil mengakui, gaya tulisannya memang provokatif. “Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan audiens yang juga provokatif, dalam istilah balaghah-nya (sastra Arab), musyakalah,” katanya. “Dari segi substansi, saya tidak menyesali tulisan saya. Mungkin saya mengevaluasi cara saya yang kurang tepat.” (Gatra, Nomor 05, 21 Desember 2002]. Dalam awancara di Majalah Tempo, Ulil ditanya: Memangnya Anda sedang geram ketika menulis artikel itu—seperti yang diduga oleh mertua Anda, K.H Mustafa Bisri? (Jawab Ulil): Memang tulisan itu provokatif dan agak melebih-lebihkan. Tulisan itu adalah hasil perjumpaan dan pergumulan pemikiran saya dengan teman-teman garis keras dalam sejumlah diskusi. Misalnya dengan Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir, Adian Husaini dari KISDI, Hartono Ahmad Daib yang menulis buku Paham dan Golongan Sesat di Indonesia. Pandangan mereka saya anggap bercorak “gerakan Islam baru”, untuk membedakan dengan gerakan Islam lama seperti Muhammadiyah dan NU. ***** ( @ tempointeraktif.com/ Majalah Tempo, 19 Desember 2002 ). Sisi kedua adalah kevulgaran dalam menohok Islam Inilah yang justru seharusnya pertama tama harus disadari dan kemudian bertaubat. Tetapi malahan Ulil bersikukuh dengan tegar: “Dari segi substansi, saya tidak menyesali tulisan saya…” Padahal yang diresahkan dan dikhawatirkan oleh umat Islam termasuk dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama), bahkan Kiai NU, KH Luthfi Bashori dari Malang Jawa Timur, sampai menyepakati bahwa tulisan itu menghina Islam, sedang orang yang menghina Islam itu hukumannya menurut Islam bisa dihukum mati, adalah justru substansi isi tulisan itu. Bukan sisi kevulgaran yang ia sebut provokatif dari segi cara atau penampilan gaya menulisnya. Majalah Gatra mewawancarai Ulil di antaranya dalam meteri-meteri sensitif yang jelas jawaban Ulil menohok Islam sebagai berikut. Islam di Antara Agama-agama Lain Ulil: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabab-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar Gereja. Baru pada 1965 Masehi, Gereja Katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1.423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik.” Kawin Beda Agama Ulil: “Larangan beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus takut kawin dengan yang di luar Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala itu, membolehkan laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab. Ahli kitab hingga saat ini masih ada. Malah, agama-agama selain Nasrani dan Yahudi pun bisa disebut ahli kitab. Kawin beda agama hambatannya bukan teologi, melainkan sosial.” (Gatra, 21 Desember 2002). Tidak Ada Hukum Tuhan Ulil: “Dalam pemikiran hukum Islam dibedakan antara wilayah ibadah dan muamalah. Wilayah ibadah sudah diatur secara detail. Semua tata cara ibadah harus sesuai dengan ketentuan agama. Misalnya salat, jumlah rakaatnya tak bisa ditambah. Tapi, muamalah itu progresif dan dinamis, sesuai dengan perkembangan manusia. Sedangkan hukum Tuhan yang diibaratkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak pernah ada. Walaupun pernah diterapkan pada masa Nabi, hanya berlaku pada saat itu saja. Misalnya potong tangan, qishash, dan rajam. Ini praktek yang lahir karena pengaruh kultur Arab. Yang terpenting dalam hukum adalah mencakup lima pokok kemaslahan (maqasidusy-syariah), yaitu untuk menjaga jiwa, akal, agama, harta, dan kehormatan. Misalnya, perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk pelarangan minuman keras (khamar). Jadi, haramnya khamar ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu, vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin.” (Gatra, 21 Desember 2002). Merusak Islam Cara berfikir Ulil Abshar Abdalla ini sangat memberi peluang dalam merusak pemahaman Islam. Dalam hal lima pokok itu sendiri, urutan lima hal yang dilindungi itu sudah ia ubah. Mestinya urutan yang pertama adalah agama (perlindungan nomor pertama, hingga orang yang murtad dan meninggalkan jama’ah maka dihukum mati karena membahayakan agama), lalu oleh Ulil diurutkan ke nomor tiga. Padahal dikedepankannya agama sebagai nomor pertama yang dilindungi itu ada implikasinya. Dalam sejarah, nabi palsu seperti Musailamah Al-Kadzdzab diperangi sampai mati oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq dengan mengerahkan 10.000 tentara, dan dipilihkan panglima terkenal Khalid bin Walid untuk memimpin penyerbuan. Demikian pula Ja’d bin Dirhim disembelih sebagai korban di hari raya Idul Adha oleh Gubernur Wilayah wasith di Irak gara-gara pendapatnya yang nyeleneh, yaitu mengingkari Nabi Ibrahim sebagai Khalilullah, dan Nibi Musa sebagai Kalimullah. Juga murid Ja’d bin Dirhim yakni Jahm bin Shofwan dibunuh karena pendapatnya yang menyeleweng dari Islam. Al-Hallaj pun dihukum bunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama karena Al-Hallaj tokoh taShallallahu Alaihi wa Sallamuf sesat itu mengatakan anal haqq (aku adalah al-haq, Tuhan). Dari sisi lain, tentang apa yang telah dikemukakan Ulil, kalau larangan minuman khamr itu bersifat sekunder dan kontekstual, hingga vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin; maka larangan berzina yaitu untuk melindungi keluarga (nasab –keturunan) pun bisa diqiyaskan kepada “fatwa Ulil” tentang vodka itu. Hingga orang yang bermadzhab kepada faham Ulil akan mengqiyaskannya: berzina di Puncak yang udaranya sangat dingin atau di musim dingin di daerah-daerah yang ada musim dinginnya maka tidak apa-apa, karena di sana sangat dingin. Karena zina itu larangannya sekunder dan kontekstual. Kalau sampai demikian, maka rusak lah agama ini. Kontekstual yang benar menurut ilmu Islam adalah ayat satu dihubungkan dengan ayat lainnya serta hadits-hadits yang menjelaskannya, sesuai dengan penjelasan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in atau ulama yang ahli dan terpercaya. Itulah kontekstual. Sehingga ditemukan makna ayat atau hadits yang benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. 36. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda: ‘Seorang penzina tidak akan berzina jika ketika itu dia berada di dalam keimanan. Seorang pencuri tidak akan mencuri jika ketika itu dia berada di dalam keimanan (yaitu iman yang sempurna). Begitu juga seorang peminum arak tidak akan meminum arak jika ketika itu dia berada di dalam keimanan’…” (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih). 1177. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Setiap minuman yang memabukkan adalah arak dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barangsiapa yang meminum arak di dunia lalu meninggal dunia dalam keadaan dia masih tetap meminumnya dan tidak bertaubat, maka dia tidak akan dapat meminumnya di Akhirat kelak’...” (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih). 1558. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Di antara tanda-tanda hampir Kiamat ialah terhapusnya ilmu Islam, munculnya kejahilan, ramainya peminum arak, dan perzinaan dilakukan secara terang-terangan’…” (HR Al-Bukhari dan Muslim/ Muttafaq ‘alaih). Penjahat akan terdukung kejahatannya Nurcholish Madjid dalam kondisi yang kalah tegar dibanding Ulil, namun akibat didukung-dukung oleh para pengagumnya seperti Dawam Rahardjo maka bisa diangkat sebagai orang berjulukan cendekiawan Muslim terkemuka, sedang oleh pihak yang mengkritisinya adalah tak lebih dari Gatoloco Darmogandul yang mengkutak-katik Islam semaunya. Ulil Abshar Abdalla dengan aneka ketegarannya mendapatkan fatwa hukuman mati dengan diqiyaskan kepada Pendeta Suradi yang menghina Islam, tapi oleh pendukungnya ia malah mendapatkan tawaran untuk belajar di Amerika serta diberi peluang untuk berbicara, menulis, ceramah dan sebagainya oleh orang-orang atau lembaga atau kelompok yang ingin menghancurkan Islam lewat orang yang mengaku Islam. Orang yang membela agama Allah dengan ikhlas insya Allah akan dimudahkan Allah SUBHANAHU WA TA’ALA. Sebaliknya, orang yang merusak agama, ia akan mendapat dukungan dari kafirin, munafiqin, musyrikin, sekuler, anti Islam berfaham liberal, menyamakan semua agama dan sebagainya hingga mudah untuk menjajakan perusakan terhadap agama. Padahal masalah semacam ini telah diancam oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. 1547. Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Ketika aku mengiringi jenazah di perkuburan Baqi’ al-Gharqad (di Madinah), lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghampiri kami, lantas baginda duduk dan kami juga duduk di sekitarnya. Baginda memegang sebatang tongkat dan menghentakkan tongkat itu ke tanah. Baginda kemudian menggariskan tanah dengan tongkat tersebut dan bersabda: ‘Setiap orang dari kamu, setiap jiwa yang bernafas telah ditentukan oleh Allah tempatnya di Suurga atau di Neraka. Begitu juga nasibnya telah ditentukan oleh Allah, apakah dia mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.’ Saidina Ali berkata: ‘Seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah! Kenapa kita tidak menunggu ketentuan kita terlebih dahulu kemudian barulah memulakan amal ibadah? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang termasuk dalam golongan yang mendapat kebahagiaan, sudah pasti dia mudah melakukan amalan golongan bahagia. Begitu juga barangsiapa yang termasuk dalam golongan yang mendapat kecelakaan, dia juga sudah pasti mudah melakukan amalan golongan celaka.’ Baginda bersabda lagi: ‘Lakukanlah amalan, karena segala-galanya dipermudahkan. Golongan yang mendapat kebahagiaan akan dipermudahkan melakukan amalan golongan yang mendapat kebahagiaan. Dan adapun golongan celaka maka akan dipermudahkan melakukan amalan golongan celaka.’ Seterusnya Baginda membaca ayat, yang artinya: Adapun orang yang memberikan apa yang ada padanya ke jalan kebaikan dan bertakwa dengan mengerjakan suruhan Allah dan meninggalkan segala larangannya serta dia mengakui dengan yakin akan perkara yang baik, maka sesungguhnya kami akan memberikan dia kemudahan untuk mendapat kesenangan Syurga. Sebaliknya orang yang bakhil daripada berbuat kebajikan dan merasakan cukup dengan kekayaannya dan kemewahannya serta dia mendustakan perkara yang baik, maka sesungguhnya kami akan memberikannya kemudahan untuk mendapat kesusahan dan kesengsaraan. (HR Al-Bukhari dan Muslim). Tidak sadarkah bahwa kita akan mati, sedangkan seluruh perbuatan kita itu harus dipertanggung jawabkan? Pembela kebenaran hendaknya tidak terpikat kepada kebatilan, apalagi mendukungnya. Kewajiban umat adalah memberantas kemunkaran. Sedang kemunkaran yang terbesar adalah perusakan agama. Adanya tokoh-tokoh yang merusak agama, perlu dilihat latar belakangnya pula. Ulil Abshar Abdalla, menurut Dawam Rahardjo (orang yang tampaknya biasa membela atau mendukung aliran dan pemikiran sesat), tingkatannya di atas Ahmad Wahib (tokoh yang menghebohkan karena bukunya yang berjudul Catatan Harian Ahmad Wahib mengandung 26 poin yang menghina Islam dan menganggap semua agama sama , dan Ahmad wahib itu di atas Nurcholish Madjid. Latar belakang Ahmad Wahib adalah orang muda yang dididik oleh dua orang Romo di Jogjakarta selama 5 tahun. Sehingga pemikirannya sangat kacau dalam memandang bahkan menafsirkan Islam. Demikian pula konon Ulil Abshar Abdalla itu dididik pula oleh seorang Romo terkenal yaitu Frans Magnis Suseno SJ di Sekolah Tinggi teologia (Katolik) Filsafat Driyarkara Jakarta. Ternyata Ulil tingkatannya lebih tinggi kekacauan pikirannya dibanding Ahmad Wahib, karena Romo yang mendidik Ulil pun lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, Nurcholish Madjid di Chicago Amerika konon dididik oleh tokoh kontroversial berfaham pluralisme Agama yakni Fazlur Rahman, orang yang diusir (?) para ulama dari Pakistan karena pendapat-pendapatnya yang kontroversial. Dengan kenyataan seperti itu, maka umat Islam mesti hati-hati dan waspada dalam mendidikkan anak-anaknya dan dalam bergaul. Hasil didikan dan pergaulan yang sedemikian mencemaskan semacam itu, yang lebih memprihatinkan umat Islam adalah makin banyaknya kaum intelektual Islam yang dalam belajar Islam mereka itu di bawah didikan orang-orang kafir Yahudi dan Nasrani di Barat, dan sekarang mereka menjadi pengajar-pengajar di perguruan-perguruan tinggi Islam dan lembaga-lembaga Islam se-Indonesia. Para anak didik kafirin Barat itulah justru yang banyak bercokol dan memang dicetak untuk menduduki perguruan-perguruan tinggi Islam se-Indonesia, diprogram secara intensip sejak Menteri Agama Mukti Ali 1975 sampai kini, dan paling gencar di masa Menteri Agama Munawir Sjadzali selama 10 tahun, 1983-1993. Dengan demikian, umat Islam mesti jeli. Agar selamat dari jeratan kafirin Yahudi dan Nasrani Barat anti Islam itu, maka wajib mewaspadainya, menyingkirkan mereka, dan membatasi gerak mereka semaksimal mungkin. Tanpa sikap yang demikian, justru umat Islam akan menjadi mangsa mereka, yaitu wakil-wakil kafirin Yahudi Nasrani yang berbaju Islam untuk memangsa Islam dari dalam. Membunuh orang Islam di barisan kafirin waktu perang adalah sah, menurut ajaran Islam, maka memboikot total seluruh kegiatan wakil kafirin (yang belajar Islam ke orang-orang kafir Barat) adalah sah pula . Dan sekarang sudah masanya umat Islam menjaga diri benar-benar mengenai bahaya ini. Kalau Dawam Rahardjo menilai bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah lebih tinggi dibanding Ahmad Wahib, sedang Ahmad Wahib lebih tinggi dari Nurcholish Madjid, maka tak mengherankan, setelah Ulil “sukses” menghebohkan umat Islam dengan tulisannya yang menafikan hukum Tuhan itu kemudian diundang untuk bicara di Paramadina, Februari 2003. Konsepnya yang belum matang lalu agak dimatangkan kemudian dihidangkan di sana, dengan “mengompori” orang-orang yang tergabung dalam diskusi di Paramdina bahwa kalau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang difahami umat Islam selama ini maka artinya adalah penyembahan teks. Ulil mengajukan jalan keluarnya, yaitu Al-Qur’an dipakai namun kedudukannya adalah separoh, sedang yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia, karena manusia itu sudah diberi takrim (penghormatan). Jalan keluar yang dilontarkan Ulil itu sebenarnya hanyalah tidak mau menerima kalau manusia ini harus tunduk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka Ustadz Hasan Bashori dengan sigapnya menanggapi lontaran sampah dari Ulil di Paramadina Februari 2003 itu dengan buku yang berjudul Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur'an, Pustaka Sunnah, Surabaya, 2003, dengan meminta saya untuk memberi kata pengantar. Meskipun kata-kata sampah Ulil itu sudah dibantah Ustadz Hasan Bashori (teman sekuliah dengan Ulil di LIPIA Jakarta, hingga berani mengatakan Ulil rosib –gagal/ tak lulus— sedang Hasan Bashori juara pertama), namun lantaran tingkatan Ulil di kalangan orang sekuler dan liberal cukup tinggi, maka fatwa-fatwa sampahnya itupun dipunguti oleh Paramadina. Kemudian mereka pun mau mengikuti jejak Ulil, yakni ngawur sejadi-jadinya, lalu membentuk tim 9 orang sebagai penulis yang membuat apa yang mereka sebut Fiqih Lintas Agama, terbit menjelang akhir tahun 2003. Kalau Ustadz Hasan Bashori telah berani melawan Ulil dengan menulis buku, walaupun Ulil di jajaran Liberal dianggap oleh Dawam Rahardjo sebagai orang yang maqamnya tinggi, melebihi Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid, maka untuk menulis buku yang membantah Nurcholish Madjid dan kawan-kawannya pun al-hamdulillah sanggup. Kurang lebihnya, cara-cara ngawurnya serta kaduk wani kurang dugonya (terlalu berani tanpa perhitungannya) sama. Baik Ulil maupun tim penulis FLA Paramadina. Maka sebelum membahas buku FLA perlu diungkap celoteh-celoteh Ulil dan lainnya yang model-model liberal dan ngawur lagi merusak Islam itu. Bila Orang Liberal Mencomot Dalil Pemikiran Ulil dan JIL Tidak Berstandar Islam Masalah Pluralisme Agama Mencampur Aduk Aneka Kerancuan Dalil-dalil yang Menyanggah Faham Pluralisme Agama Masalah Menghina Islam dan Hukum Bunuh Dibunuh Karena Pendapatnya Merusak Islam Masalah Menggunakan Dalil Sejarah Tahapan Menyikapi Orang Kafir Dr Din Syamsuddin: Pemikiran Ulil dan JIL Tidak Berstandar Islam Laporan utama Majalah Panjimas Nomor 07, tanggal 26 Desember 2002, tentang Islam Liberal, memuat pendapat-pendapat Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) hingga mendominasi laporan itu disertai wawancara. Pendukung JIL Masdar F Mas’udi yang diberi porsi cukup luas. Pendapat KH Athi’an Ali Da’I dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) dari Bandung ditampilkan, di samping pendapat KH Mustofa Bisri mertua Ulil yang ditampilkan untuk ditepis Ulil sambil menyinggung-nyinggung nama saya (Hartono Ahmad Jaiz). Dr Din Syamsuddin dari MUI (Majelis Ulama) diwawancarai, secara mendasar mengatakan: “Pada gugusan pemikiran Ulil dan JIL tidak ada pemikiran yang berstandar Islam.” (hal 27). Berbeda dengan itu, KH Sahal Mahfudz Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan juga Rais ‘Am NU (Nahdlatul Ulama) tampaknya biasa-biasa saja terhadap Ulil, padahal dulunya Kiai Sahal ini agak kritis terhadap Pak Munawir Sjadzali Menteri Agama (1983-1993) yang melontarkan gagasan reaktualisasi ajaran Islam yang menganggap hukum waris Islam tidak adil, dan menganggap bahwa ada beberapa ayat Al-Qur’an yang sudah tidak relevan lagi. Kenapa terhadap Ulil yang JIL itu KH Sahal Mahfudz tidak mengkritisi? Apakah lantaran KH Sahal Mahfudz sama-sama se-NU dan sedaerah (Pati Jateng) dengan Ulil? wallahu a’lam. Yang jelas, keduanya adalah pendukung berat Gus Dur (Abdurrahman Wahid) terutama dalam Muktamar Nu di Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat, 1994. KH Sahal Mahfudz pendukung Gus Dur untuk kaum tua, sedang Ulil penggerak GMNU (Gerakan Muda NU) untuk mendukung Gus Dur di kalangan muda, dengan memakai kaos seragam bertulisan di punggung Gus Dur Oke. Di Masa Gus Dur jadi presiden 1999-2001 maka KH Sahal Mahfudz jadi ketua umum MUI, sedang Ulil jadi kordinator JIL. Sementara itu Panjimas juga menampilkan cuplikan sikap NU (Nahdlatul Ulama) Jawa Timur. Tulis Panjimas: “…meski JIL dimotori oleh umumnya anak-anak muda NU yang “maju”, kalangan organisasi mereka tampaknya kurang begitu happy. Sebuah taushiyah (rekomendasi, pen) dari Konferensi PWNU (Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur, yang berlangsung di Pondok Pesantren Miftahul Ulum , Trenggaleng Pasuruan, pertengahan Oktober lalu berbunyi (persisnya): “Kepada institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada Warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran “Islam Liberal” dalam masyarakat. Apabila pemikiran “Islam Liberal” tersebut dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istitaabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU).” (hal 27). Tetapi laporan utama Panjimas itu ditutup dengan sengaja memberikan keleluasaan kepada awak JIL Hamid Basyaib untuk membela Ulil. Lebih dari itu, tampaknya Panjimas berancang-ancang untuk mengerahkan wadyabala JIL, yang tua untuk turun gunung angkat pena, dan yang muda untuk belajar berlaga melontarkan gagasan liberalnya lewat tulisan. Ada beberapa hal yang terungkap dalam laporan tentang JIL di Panjimas No 07 –2002 itu. Masalah dana JIL dari mana, ternyata dari Asian Foundation dan Ford Foundation serta NGO lainnya. Pendana-pendana itu tampaknya dari pihak yang berseberangan dengan Islam. Itu satu persoalan, menurut QS Al-Baqarah: 120. “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120). Terungkap pula, gaya JIL itu terlalu percaya diri. Ulil dan kawan-kawannya seolah meletakkan diri sebagai mujtahid mutlak di satu sisi, namun di sisi lain tidak pakai manhaj/ metodologi keilmuan yang jelas. Ini adalah pemandangan ironis sekaligus tragis. Sehingga ungkapan “Belajar dari Ijtihad Umar” yang dilakoni JIL akan mengakibatkan peniruan yang memerosotkan sahabat Nabi saw terkemuka, seolah Umar bin Al-Khatthab hanya sekelas dengan orang JIL keteguhan Islam dan ilmunya, atau hanya kakak kelas. Padahal, syetan saja konon takut berpapasan dengan Umar bin Al-Khatthab, pertanda keteguhan Islamnya, dan dia terhitung mujtahid di barisan sahabat Nabi saw. Meskipun demikian, kalau pendapatnya, seandainya ada yang tak cocok dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak perlu diikuti. Kita harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan kepada Umar. Maka Ibnu Mas’ud diriwayatkan sangat mengecam ketika dia mengatakan firman Allah dan sabda Nabi saw lalu orang menyanggahnya dengan perkataan Abu Bakar dan perkataan Umar. Pelajaran semacam ini perlu dicermati, sebab banyak orang sekarang kadang membantah ayat atau hadis dengan perkataan orang, hatta orang kafir sekalipun. Ini satu keanehan. Di samping persoalan itu, masih ada beberapa masalah besar, di antaranya masalah pluralisme agama dan penggunaan dalil semaunya. Masalah Pluralisme Agama Ulil Abshar Abdalla menjawab pertanyaan tentang pluralisme agama. Kutipan: “Ada hadis yang mengatakan, “Tamsil agama yang saya (Muhammad) bawa seperti sebuah batu bata yang saya letakkan di sudut dari sebuah bangunan yang hampir lengkap”. Artinya Islam ini menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen. Ibnu Arabi mengatakan semua agama itu baik karena datangnya dari Allah.” Sanggahan: Ungkapan Ulil, “Islam ini menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen” itu jelas bertentangan dengan ayat dan hadits. Insya Allah sebentar lagi akan saya kemukakan dalil-dalilnya. Hadits yang Ulil kemukakan itu lengkapnya sebagai berikut: Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata: Dari Nabi s.a.w, beliau bersabda: “Perumpamaanku dan perumpamaan para Nabi adalah seperti perumpamaan seseorang yang membangun sebuah gedung. Dia (seseorang itu) membinanya dengan baik dan sempurna, tetapi masih ada satu tempat yang belum diletakkan bata. Ramai orang yang masuk ke dalam rumah tersebut dan mereka mengaguminya seraya berkata: ‘Alangkah lebih baik jika kekurangan itu disempurnakan.’ Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Aku diibaratkan sebagai bata tersebut di mana kedatanganku adalah sebagai penutup para Nabi’…” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Menurut Ibnu Hajar, dalam hadits ini dibuatnya perumpamaan-perumpamaan itu untuk mendekatkan pemahaman dan menjelaskan keutamaan Nabi saw atas seluruh nabi-nabi dan bahwa Allah menutup para utusan dengan beliau dan menyempurnakan syari’at-syari’at agama dengan beliau. Mengenai keutamaan Nabi Muhammad saw dan kekhususannya di antaranya ada hadits: Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari r.a, ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: Aku diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Semua Nabi sebelumku hanya diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada manusia yang berkulit merah dan hitam (yaitu seluruh manusia). Dihalalkan untukku harta rampasan perang, sedangkan dulunya tidak pernah dihalalkan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Disediakan untukku bumi yang subur lagi suci sebagai tempat untuk sujud (yaitu shalat). Maka siapa pun apabila tiba waktu shalat walau dimana saja dia berada hendaklah dia mengerjakan shalat. Aku juga diberi pertolongan secara dapat menakutkan musuh dari jarak perjalanan selama satu bulan. Aku juga diberi hak untuk memberi syafa’at . (HR Al-Bukhari dan Muslim). Allah SWT menjelaskan tentang posisi para nabi dan keutamaan Nabi Muhammad saw di antaranya sebagai berikut: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu".( QS Ali Imran: 81). Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut: Ali bin Abi Thalib dan putera pamannya, Ibnu Abbas, pernah berkata,”Allah tidak mengutus seorang nabi pun melainkan Dia mengambil janji darinya, (Yaitu) jika Allah mengutus Muhammad, sedang ia (seorang nabi selain Nabi Muhammad saw) dalam keadaan hidup, niscaya ia akan beriman kepadanya (Muhammad saw), menolongnya dan memerintahkan kepada nabi itu untuk mengambil janji dari umatnya: Jika Muhammad diutus sedang mereka hidup, niscaya mereka akan beriman kepadanya dan menolongnya.” Thawus, Hasan Al-Bashri, dan Qatadah mengatakan, ”Allah telah mengambil janji dari para nabi, agar masing-masing mereka saling membenarkan satu sama lainnya.” Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ali dan Ibnu Abbas, bahkan menghendaki makna tersebut dan mendukungnya. Oleh karena itu, Abdul Razak meriwayatkan dari Muammar dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, pendapat yang sama seperti pendapat Ali dan Ibnu Abbas. Imam Ahmad meriwayatkan: Riwayat dari Abdullah bin Tsabit, ia berkata: “Umar bin Khattab pernah datang kepada Nabi seraya berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memerintahkan kepada seorang saudaraku yang beragama Yahudi dari Bani Quraidzah (untuk menuliskan ringkasan Taurat), maka ia menuliskan untukku ringkasan dari isi Taurat. Berkenankah engkau jika aku perlihatkan hal itu kepadamu?” Abdullah bin Tsabit berkata, maka berubahlah wajah Rasulullah. Kemudian aku katakan kepada Umar: ”Tidakkah engkau melihat perubahan pada wajah Rasulullah?” Umar pun berkata, ”Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Rasulku.” Abdullah bin Tsabit melanjutkan, maka hilanglah kemarahan Nabi dan beliau bersabda:”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka kalian telah tersesat. Sesungguhnya kalian adalah (umat yang menjadi) bagianku dan aku adalah (nabi yang menjadi) bagian kalian.” (HR Ahmad). Dalam hadits lain, Al-Hafidh Abu Bakar berkata, meriwayatkan hadits dari Jabir yang berkata: Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, karena mereka tidak akan memberikan petunjuk kepada kalian, dan sungguh mereka telah sesat. (Kalau kamu menanyakan sesuatu kepada Ahli Kitab) maka sesungguhnya kamu boleh jadi membenarkan kebatilan atau membohongkan kebenaran. Maka sesungguhnya seandainya Musa hidup di antara punggung-punggung kalian (di kalangan kalian) tidak halal baginya kecuali mengikutiku. (HR Ahmad). Dengan demikian, Muhammad saw adalah rasul yang menjadi penutup para nabi selama-lamanya sampai hari kiamat kelak. Beliau adalah pemimpin agung, seandainya beliau muncul kapan saja, maka beliau yang wajib ditaati dan didahulukan atas seluruh nabi. Oleh karena itu, beliau menjadi imam mereka pada malam Isra’, yaitu ketika mereka berkumpul di Baitul Maqdis. Beliau juga adalah pemberi syafaat di Mahsyar, agar Allah datang memberi keputusan di antara hamba-hamba-Nya. Syafaat inilah yang disebut maqamal mahmud (kedudukan yang terpuji) yang tidak pantas bagi siapa pun kecuali beliau, yang mana ulul azmi dari kalangan para nabi dan rasul pun semua menghindar darinya (dari memberikan syafaat), sampai tibalah giliran untuk beliau, maka syafaat ini khusus bagi beliau (Nabi Muhammad saw). Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepadanya. Ali Al-Haitsami (W 807H) dalam Majma’ Az-Zawaid menulis bab larangan bertanya kepada Ahli Kitab. Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata: Janganlah kamu sekalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, karena mereka tidak akan memberi petunjuk kepada kalian, dan sungguh mereka telah menyesatkan diri mereka sendiri, bisa jadi mereka menceritakan kepada kalian dengan kebenaran lalu kalian membohongkan mereka atau dengan kebatilan lalu kalian membenarkan mereka. (HR At-Thabrani dalam Al-Kabir, dan rijal/ para periwayatnya kuat/ terpercaya). Riwayat dari Abi Musa, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Bani Israel telah menulis satu kitab (Talmut, pen) lalu mereka mengikutinya dan mereka meninggalkan Taurat. (HR At-Thabrani dalam Al-Kabir, dan rijalnya kuat). Dari hadits itu, orang-orang Bani Israel sebenarnya telah menghapus sendiri agama mereka diganti dengan ajaran kitab yang mereka tulis. Maka ungkapan Ulil bahwa Islam ini hanya menyempurnakan saja, bukan membatalkan atau mengamandemen agama-agama sebelumnya, itu adalah ungkapan yang tidak sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi saw, dan kenyataan yang ada. Lebih tandas lagi adalah hadits Nabi saw sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra, dari Rasulillah saw bahwasanya beliau bersabda: “Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seorang dari umat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab wajibnya beriman kepada risalah Nabi saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau). Kitab Shahih Muslim adalah kitab hadits shahih (benar periwayatannya) yang termasuk menjadi pedoman umat Islam. Dalam hadits tersebut Imam Muslim memberinya bab: Wajibnya beriman kepada risalah Nabi saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau. Pertanyaan yang ringan tetapi telak bisa dikemukakan, lebih afdhol mempercayai Imam Muslim yang telah diakui oleh dunia Islam ataukah mempercayai celotehan Ulil Abshar Abdalla orang JIL yang dihujat banyak ulama dan umat Islam? Mencampur aduk aneka kerancuan Ulil Abshar Abdalla dan orang-orang yang mengusung faham Liberal menyebarkan faham pluralisme agama. Mereka itu tidak lain adalah orang-orang yang mengaduk-aduk Aqidah Islam. Yang mereka pakai justru faham-faham di luar Islam lalu dicampur aduk dengan faham tasawuf sesat yang merusak Islam. Ada kerancuan faham dipertemukan dengan kerancuan faham yang lainnya sehingga terbentuklah kerancuan yang baru yaitu pluralisme agama model JIL. Ini di antaranya adalah kerancuan dari faham pluralisme (menyamakan semua agama) yang dicanangkan oknum Nasrani, John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973), dan kerancuan faham tokoh sufi/ tasawuf Ibnu Arabi (560-638H/ 1165-1240M) yang mencanangkan Wihdatul Adyan, penyatuan agama-agama, di samping faham kemusyrikan bikinan Ibnu Arabi yang terkenal dengan sebutan wihdatul wujud, satunya alam dengan Tuhan. Ibnu Arabi juga menyebarkan faham, “Hamba adalah Tuhan” (Fushushul Hikam oleh Ibnu Arabi, 92-93). “Neraka adalah surga itu sendiri.” (Fushushul Hikam, 93-94). Ad-dhal (orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir adalah al-mu’min” (Masra’ at-Tasawuf, 108). Lalu Ulil Abshar Abdalla dan para pengusung faham Liberal membuat reka-rekaan, bahwa kedatangan Nabi Muhammad saw selaku utusan Allah SWT tidak untuk menghapus agama-agama sebelumnya, namun hanya menyempurnakan. Ujung-ujungnya hanyalah menjadi muqollid (pembebek) faham rusak Ibnu Arabi yaitu Wihdatul Adyan, penyatuan semua agama, dianggapnya semua agama adalah baik karena datangnya dari Allah, itulah agama Ulil dan para pengusung faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama. Padahal, dalam Al-Qur’an ditegaskan, yang artinya: “Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS Al-A'raaf/ 7 :30). Kita tanyakan kepada kaum pluralis. Kalau menurut pandangan pluralis: Bahwa semua agama itu sama, sejajar, hanya beda teknis; Ini apakah artinya, semua itu tidak ada yang mendapat petunjuk? Ataukah tidak ada yang sesat? Apakah semuanya tunduk kepada Allah, ataukah semuanya tunduk kepada syetan? Jelas-jelas paradigma pluralis itu bertentangan dengan ayat dan juga bertentangan dengan do'a kita setiap shalat: “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani).” (Al-Fatihah: 6,7). Dalil-dalil yang Menyanggah Faham Pluralisme Agama Ayat-ayat dan hadits-hadits telah jelas menegaskan tidak sama antara orang yang beragama Islam (beriman) dengan orang non Islam (kafir) dan penegasan tentang dihapusnya agama-agama terdahulu oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Berikut ini sebagian dalilnya: Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (QS As-Sajdah: 18). Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr/ 44: 20). Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 108). Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS Al-A’raaf: 158). Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (As-Saba’: 28). Mungkin golongan pluralis masih berkilah, bahwa ayat-ayat dan hadits tentang diutusnya Nabi Muhammad untuk seluruh manusia ini bukan berarti menghapus agama-agama terdahulu. Kilah mereka itu sudah ada jawaban tuntasnya, lihat Hadits riwayat Imam Muslim tersebut di atas tentang dihapusnya agama-agama terdahulu, dan hadits berikut: Diriwayatkan dari Anas ra, dia menceritakan, ada seorang anak Yahudi yang biasa mengambilkan air wudhu untuk Rasulullah saw dan membawakan sandal beliau. Lalu anak itu sakit, maka Rasulullah saw menjenguknya. Beliau menemuinya, sedangkan ayahnya sedang duduk di samping kepalanya. Kemudian beliau berkata kepadanya: Wahai Fulan, ucapkanlah laa ilaaha illallaah. Lalu anak itu melihat kepada bapaknya dan bapaknya pun diam. Kemudian beliau mengulanginya kembali, anak itupun kembali melihat bapaknya, maka ayahnya mengatakan: ‘Taatilah Abul Qasim’ (Rasulullah). Maka anak itupun mengucapkan: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan engkau adalah Rasul Allah”. Setelah itu Rasulullah keluar dan beliau berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkannya dari neraka melalui aku.” (HR Ahmad). Hadits yang setegas itu masih pula ada ketegasan dari Allah SWT tentang hanya agama Islamlah yang diterima oleh Allah SWT, sedang selain Islam tidak akan diterima. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imraan: 19). Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali ‘Imraan: 85). Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi Muhammad saw sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti Nabi saw mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu menjalankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai Allah SWT. Sejarah otentik yang tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti, Nabi berkirim surat mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi saw yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa Romawi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi. Telah jelas ayat-ayat dan hadits yang menegaskan tentang hanya Islam lah agama yang diterima Allah swt. Orang yang telah mendengar seruan Nabi Muhammad saw lalu mati dalam keadaan tidak masuk Islam, maka menjadi penghuni (tetap) neraka, bukan sekadar masuk neraka. Dengan ketegasan ayat-ayat dan hadits seperti tersebut, maka tidak bisa diingkari lagi. Orang yang mengingkari ayat-ayat itu hukumnya adalah kufur. Adapun apabila dia semula beragama Islam maka dengan mengingkari ayat itu hukumnya jadi murtad. Dalam kasus Ulil, ia mengemukakan Hadis Nabi, lalu diulas dengan dicocokkan kepada pendapat Ibnu Arabi yang sudah divonis kafir, mulhid dan murtad oleh para ulama, itu adalah cara-cara yang tidak sesuai dengan ilmu dalam hal istidlal (mengambil dalil sebagai landasan) dan istinbat (mengambil kesimpulan). Apalagi kemudian yang diikuti justru pendapat yang telah dinilai sesat oleh para ulama. Secara pandangan saja, ungkapan Ibnu Arabi “bahwa semua agama itu baik, karena datangnya dari Allah”; itu adalah pendapat serampangan yang amat sangat berbahaya. Setara dengan serampangannya orang yang mengatakan, “orang jadi guru ngaji atau jadi maling sama baiknya, karena semua adalah taqdir dari Allah”. Malah justru lebih buruk pendapat Ibnu Arabi yang menyamakan semua agama itu, karena menyamakan antara orang yang menyembah berhala dengan yang menyembah Allah SWT. Masalah Menghina Islam dan Hukum Bunuh Kembali kepada kasus Ulil Abshar Abdalla yang mencomot dalil semaunya. Kutipan pernyataan Ulil: “…tuduhan bahwa saya menghina Islam karena perbedaan pandangan dan pemikiran harus dihukum mati itu, saya tidak mengerti. Mana ada ayat atau hadisnya. Yang ada adalah hadis yang mengatakan “man baddala dinahu faqtuluhu”, barangsiapa yang keluar dari Islam maka dibunuh.Hadis inipun saya kritik. Bukan karena dhaif, tetapi bertentangan dengan prinsip Al-Quran yang berpandangan bahwa beragama itu harus sesuai dengan kebebasan kita. Kata Quran, “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a falyakfur. (Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau jadi kafir, dia kafir).” Sanggahan: Perintah membunuh penghina Allah dan Rasul-Nya 1069. Diriwayatkan dari Jabir r.a, ia berkata: “Rasulullah s.a.w bertanya kepada para Sahabatnya: ‘Siapakah yang bersedia untuk membunuh Ka'ab bin Al Asyraf? Karena dia telah menyakiti/menghina Allah dan Rasul-Nya.’ Maka Muhammad bin Maslamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Adakah kamu setuju jika aku membunuhnya?’ Beliau menjawab: ‘Ya!’ Kemudian dia (Muhammad bin Maslamah) berkata: ‘Izinkanlah aku terlebih dahulu untuk memberitahu sesuatu kepadamu.’ Beliau pun menjawab: ‘Katakanlah!’ Maka dia pun mendekati Beliau dan membincangkan sesuatu. Kemudian Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Ka’ab pernah berhasrat mengeluarkan sedekah, akan tetapi dia menyusahkan kami.’ Setelah mendengar kata-kata Beliau dia begitu marah sekali. Lalu dia berjanji akan membalas perbuatannya itu. Kebetulan pada masa itu dia begitu akrab dengan Ka’ab. Satu hari dia menemui Ka’ab dan berkata: ‘Aku ingin kamu memberikan kepadaku suatu bentuk pinjaman.’ Lalu Ka’ab bertanya: ‘Jadi apa yang akan kamu gadaikan kepadaku?’ Dia menjawab: ‘Apa yang kamu inginkan?’ Ka'ab menjawab: ‘Aku ingin kamu gadaikan kepadaku perempuan-perempuanmu itu.’ Kemudian dia menjawab: ‘Kamu adalah bangsawan Arab, jadi adakah patut aku menggadaikan perempuan-perempuanku kepada kamu?’ Lalu Ka'ab berkata kepadanya: ‘Kalau begitu, kamu gadaikanlah anak-anakmu kepadaku.’ Maka dia berkata: ‘Aku tidak mungkin menggadaikannya kepadamu, sekiranya aku menggadaikannya kepadamu kami pula akan dicela karena seolah-olah menggadai dua wasak (satu wasak sama dengan enam puluh gantang) tamar saja. Oleh karena itu aku gadaikan senjataku kepadamu.’ Lalu Ka'ab berkata: ‘Baiklah aku setuju.’ Lalu dia berjanji kepada Ka'ab bahwa dia akan datang menemuinya dengan ditemani oleh al-Haris, Abu Abas bin Jabir dan Abbad bin Bisyri. Setelah itu mereka berempat pergi menemui Ka'ab pada waktu malam, lalu Ka'ab turun menemui mereka. Menurut kata Sufian, pada pendapat lain menurut kata Amru bahwa isteri Ka'ab telah berkata kepada suaminya itu: ‘Sesungguhnya aku seperti mendengar suara orang yang ingin menumpahkan darah.’ Setelah mendengar kata-kata isterinya itu, lalu Ka'ab berkata: ‘Tidak! Mereka hanyalah Muhammad bin Maslamah bersama saudara susuannya dan ditemani Abu Nailah. Sebagai memuliakan tetamu, aku harus menemani mereka walaupun pada waktu malam begini.’ Ketika Ka'ab masih di rumahnya itulah Muhammad (bin Maslamah) menggunakan kesempatan tersebut untuk mengatur rancagan seterusnya. Sesaat kemudian Ka'ab pun keluar, setelah dia ditanya oleh mereka: ‘Aku seperti mencium bau harum pada dirimu.’ Ka'ab menjawab: ‘Memang! Karena isteriku seorang perempuan Arab yang suka bersolek.’ Setelah itu Muhammad bin Maslamah berkata kepada Ka'ab: ‘Izinkan aku mencium bau harum pada dirimu.’ Ka’ab berkata: ‘Silakan!’ Maka diapun menciumnya, kemudian dia meminta untuk menciumnya sekali lagi dengan berkata: ‘Kalau boleh aku ingin menciumnya sekali lagi.’ Lalu dia menghulurkan kepalanya kepadanya, ketika itulah dia mengarahkan kawan-kawannya agar membunuh Ka'ab, maka merekapun membunuhnya.” (Muttafaq ‘alaih). Orang yang jelas-jelas menghina Islam hukumannya adalah hukum bunuh. Dalam kitab Bulughul Maram dan syarahnya, Subulus Salam pada bab Qitalul jani wa qotlul murtad dikemukakan hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasaai, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no 3665: “Dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang buta mempunyai ummul walad (budak perempuan yang dipakai tuannya lalu beranak) yang memaki-maki dan mencela Nabi SAW. Ia telah melarang ummul walad tersebut, namun dia tidak mau berhenti. Maka pada suatu malam ia ambil satu pacul yang tajam sebelah, lalu ia taruh di perutnya dan ia duduki, dan dengan itu ia bunuh dia. sampai yang demikian kepada Nabi SAW, maka sabdanya: “Saksikanlah bahwa darahnya itu hadar.” Darahnya itu hadar, maksudnya darah perempuan yang mencaci Nabi SAW itu sia-sia, tak boleh ada balasan atas pembunuhnya dan tak boleh dikenakan diyat/tebusan darah. Jadi darahnya halal alias halal dibunuh. Juga ada hadits: Diriwayatkan dari As-Sya’bi dari Ali ra bahwa seorang wanita Yahudi telah memaki/menghina Nabi SAW dan mencelanya, maka seorang lelaki mencekiknya hingga mati, maka Rasulullah saw membatalkan darahnya. (HR Abu Dawud, menurut Al-Albani dalam Irwaul Ghalil hadits no 1251 ini isnadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim). Itu artinya halal dibunuh. Dibunuh Karena Pendapatnya Merusak Islam Orang yang menciptakan dan menyebarkan pendapat yang merusak/ menghina, mengingkari ataupun menyelewengkan Islam ternyata dalam sejarah Islam pun dibunuh. Jahm bin Shofwan As-Samarkandi adalah orang yang sesat, pembuat bid’ah, pemimpin aliran sesat Jahmiyah. Ia mati (dibunuh) pada masa tabi’in kecil (belakangan). Ibnu Hajar Al-‘Asqolani mengatakan dalam kitabnya, Lisanul Mizan, “Saya tidak mengetahui dia (Jahm) meriwayatkan sesuatu tetapi dia menanam keburukan yang besar, titik.” Jahm bin Shofwan telah dibunuh pada tahun 128H . Ibnu Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari jalan Muhammad bin Shalih maula (bekas budak) Bani Hasyim, ia berkata, Salm (bin Ahwaz) berkata ketika menangkap Jahm, “Wahai Jahm, sesungguhnya aku tidak membunuhmu karena kamu memerangiku (memberontakku). Kamu bagiku lebih sepele dari itu, tetapi aku telah mendengar kamu berkata dengan perkataan yang kamu telah memberikan janji kepada Allah agar aku tidak memilikimu kecuali membunuhmu”. Maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya. Dan riwayat dari jalan Mu’tamir bin Sulaiman dari Halad At-Thafawi, bahwa telah sampai khabar kepada Salm bin Ahwaz sedangkan ia (Salm) di atas kepolisian Khurasan, (beritanya adalah): Jahm bin Shofwan mengingkari bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan sebenar-benarnya bicara, maka ia (Salm bin Ahwaz) membunuhnya (Jahm bin Shofwan).. Riwayat dari jalan Bakir bin Ma’ruf, ia berkata, Saya melihat Salm bin Ahwaz ketika memukul leher (membunuh) Jahm maka menghitamlah wajah Jahm. Hadits-hadits tentang suruhan membunuh orang yang menghina Islam, menghalalkan dibunuhnya orang yang menghina Islam, dan disertai praktek yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi saw telah jelas. Praktek itu dilakukan pula oleh kalangan tabi’in. Generasi selanjutnya pun mempraktekkannya, hingga Al-Hallaj, tokoh tasawuf sesat dibunuh di Baghdad tahun 309H/ 922M atas keputusan para ulama, karena Al-Hallaj mengatakan anal haqq (aku adalah al-haq/ Allah). Lontaran pendapat Al-Hallaj itu merusak Islam, maka dihukumi dengan hukum bunuh. Maka walaupun Ulil mengingkari semua itu, kebenaran hadits Nabi saw, praktek para sahabat, tabi’in dan para ulama berikutnya telah membuktikannya. Masalah Menggunakan Dalil Dalam hal penggunaan dalil, Ulil yang berfaham pluralis (semua agama sama) itu mengingkari fahamnya sendiri. Ketika dia pakai dalil “Faman sya’a falyu’min, waman sya’a falyakfur. (Maka siapa ingin jadi mukmin, dia mukmin; dan siapa yang mau jadi kafir, dia kafir)”; maka pada dasarnya Ulil sedang melepas faham pluralisme agamanya. Terminoligi “iman” dan “kafir” itu bukan terminologi faham pluralisme. Jadi sebelum mencomot dalil, dia sudah terkena diskualifikasi, maka tidak boleh mencomot dalil itu. Apalagi kemudian untuk menghantam hadits, “siapa yang keluar dari Islam maka bunuhlah”. Ulil tidak menilai hadits itu dha’if (lemah), namun dibentrokkan dengan ayat, tanpa melihat ayat-ayat lain, hadits-hadits lain serta peristiwa yang dialami Nabi saw dan para sahabatnya. Padahal Abu Bakar justru memerangi orang-orang murtad, terkenal namanya adalah perang Riddah, dengan mengerahkan 10.000 tentara Islam bahkan panglimanya pun dipilih yang Pedang Allah, Khalid bin Walid. Apakah Abu Bakar dan 10.000 tentara Islam yang menyerbu orang-orang murtad itu menyelisihi Al-Qur’an? Jelas tidak. Yang dilakukan Ulil dalam mencomot dalil adalah menyembunyikan kebenaran, yaitu menafikan dalil-dalil lainnya. Seolah dia kampanyekan bahwa Islam mempersilakan orang kafir agar “lenggang kangkung” (berjalan sesukanya) di muka bumi ini dengan menikmati hak yang sama dengan orang mukmin. Ulil telah menyembunyikan ayat: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Anfaal: 39). “Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS An-Nisaa’: 101). “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS At-Taubah: 123). Bagaimana sikap Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya terhadap orang-orang kafir digambarkan dalam Al-Qur’an: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Fat-h: 29). Nabi Ibrahim pun telah mencontohi ketegasan sikapnya terhadap orang-orang kafir sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS Al-Mumtahanah: 4). Sejarah Tahapan Menyikapi Orang Kafir Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan suruhan memerangi orang kafir, bersikap keras, dan membenci mereka telah jelas nashnya (teksnya). Meskipun demikian, orang JIL seperti Ulil Abshar Abdalla sengaja ingin menyembunyikannya. Di samping jelasnya ayat-ayat tersebut, para ulama telah menjelaskan pula tentang sejarah tahapan sikap Nabi Muhammad saw beserta sahabatnya dalam menghadapi orang-orang kafir. Di antaranya Ibnul Qayyim menjelaskan, yang intinya sebagai berikut: Pasal: Urutan petunjuk dalam melawan kuffar dan munafik sejak Nabi saw dibangkitkan sampai meninggal dunia. Pertama kali yang diwahyukan Allah kepadanya ialah supaya beliau membaca “dengan atas nama rabb yang telah menciptakan” (Al-‘Alaq:1). Itulah awal nubuwwahnya. Dia memerintah supaya beliau membaca dengan nama diri-Nya dan belum diperintahkan pada saat itu untuk bertabligh (menyampaikan). Kemudian turun ayat: “Hai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan!” (QS Al-Muddattsir: 1-2). Beliau diangkat menjadi Nabi dengan firman-Nya “Iqraa” dan menjadi Rasul dengan firman-Nya “Ya Ayyuhal Muddatstsir”. Kemudian perintah memberi peringatan kepada kaum kerabatnya yang dekat, kemudian kepada kaumnya, lalu lingkungan sekelilingnya dari bangsa Arab, kemudian kepada Arab Qatibah, kemudian kepada seluruh alam dunia. Beliau menjalankan dakwah setelah pengangkatnnya sebagai Nabi dan Rasul selama kurang lebih sepuluh tahun tanpa peperangan, dan diperintahkan untuk menahan, sabar, dan memaafkan. Kemudian baru diizinkan untuk berhijrah dan diizinkan pula untuk menyerang, kemudian diperintahkan berperang melawan orang yang menyerangnya. Kemudian diperintahkan untuk berperang melawan musyrikiin sehingga dien ini semua milik Allah. Kaum kafir yang hidup berdampingan dengan beliau setelah turunnya perintah jihad ini menjadi tiga golongan: 1. Ahlus Sulhi (perdamaian) dan Hudnah (gencatan senjata). 2. Ahlul Harbi (yang harus diperangi). 3. Ahludz Dzimmah (yang di bawah kekuasaan pemerintah Islam). Dan memerintah kepada Ahlus Sulhi untuk menyempurnakan perjanjiannya. Beliaupun diperintahkan untuk menepatinya selama mereka istiqamah/konsisten atas perjanjian. Jika ditakutkan di antara mereka ada yang berkhianat, maka perjanjian ditinggalkan. Dan tidak memerangi mereka sampai mereka melanggar perjanjian. Dan memang beliau diperintah untuk memerangi orang yang melanggar perjanjian… Kesimpulan: Setelah ditelusuri pernyataa-pernyataan Ulil Abshar Abdalla dalam wawancara dengan Majalah Panjimas itu, di sini dalam hal mencomot dalil, Ulil telah melakukan beberapa hal yang prinsip atau mendasar: 1. Menyembunyikan dalil (Ayat Al-Qur’an ataupun Hadits) untuk kepentingan membantah dalil. 2. Membentrokkan hadits dengan ayat semaunya untuk menafikan/ meniadakan keabsahan hadits sebagai landasan. 3. Membentrokkan hadits --yang ia sendiri tidak mengkritik lemahnya hadits itu (alias mengakui shahihnya?) dengan ucapan orang yang sudah dikafirkan oleh para ulama, lalu dia lebih memilih ucapan orang tertuduh kafir itu. 4. Mengambil kesimpulan dari dalil (beristinbath) dengan tiga cara tersebut, sehingga hasilnya sangat jauh dari dalil itu sendiri, dan justru dekat dengan ucapan orang kafir. Itulah cara mencomot dalil model Ulil Abshar Abdalla tokoh JIL. Akibatnya hanya menabrak kanan kiri dan merusak pemahaman Islam secara frontal. Dalam bahasa lugasnya adalah sesat lagi menyesatkan. Bahasa haditsnya, fadholluu wa adholluu, mereka itu sendiri sesat masih pula menyesatkan orang lain. Karena maqam (kedudukan) atau tingkatan Ulil ini lebih tinggi dibanding Ahmad Wahib, sedang Ahmad Wahib lebih tinggi dibanding Nurcholish Madjid, maka tim 9 penulis Fiqih Lintas Agama yang ditokohi Nurcholish Madjid itu tampaknya hanya membebek pada Ulil Abshar Abdalla. Tidak jauh dari empat cara ngawur yang telah ditempuh Ulil, hanya saja diberi label yaitu “Fiqih Lintas Agama”. Rujukan: 1. Shahih Al-Bukhari, 2. Shahih Muslim, 3. Fathul Bari, 4. Majma’Zawaid, 5. Zaadul Ma’ad, 6. Tasawuf Pluralisme dan Pemurtadan. 7. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, dan berbagai sumber lain. Lontaran-lontaran Para Tokoh Liberal Menghancurkan Islam Islam Liberal Meruntuhkan dasar Islam Program Liberalisasi Islam (Dr. Greg Barton) Tokoh-tokoh Awal Islam Liberal di Indonesia (Greg Barton) Ungkapan-ungkapan Nyeleneh Orang Liberal dan Bantahannya “Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (QS As-Shaff: 8). “Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah’, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah: 59). “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS Al-An’aam: 112). Berikut ini kumpulan lontaran tokoh-tokoh liberal hasil pelacakan Adian Husaini, kemudian dikomentari oleh Hartono Ahmad Jaiz. Islam Liberal Meruntuhkan dasar Islam 1. Merusak makna Islam, Iman, mukmin, dan kafir. 2. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) Mushaf Utsmani dan menawarkan al-Quran Edisi Kritis. 3. Mempersamakan al-Quran dan Kitab Agama lain. 4. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) tafsir al-Quran. 5. Meruntuhkan syari’at Islam. 6. Mengikuti jejak Yahudi-Kristian. Program Liberalisasi Islam (Dr. Greg Barton) 1. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad. 2. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan. 3. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama 4. Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. Tokoh-tokoh Awal Islam Liberal di Indonesia (Greg Barton) 1. KH Abdurrahman Wahid (tokoh NU –Nahdlatul Ulama dan pernah menjadi presiden Republik Inonesia 1999-2001 yang diturunkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pimpinan Amien Rais dalam sidangnya, karena kasus dana Bulog (Badan Urusan Logistik). Tokoh yang sbutannya Gus Dur ini dikenal nyeleneh, di antaranya melontarkan bahwa lafal Assalamu’alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi). 2. Prof. Dr. Nurcholish Madjid (alumni Chicago Amerika 1984/1985 dikenal melontarkan gagasan sekularisasi, dan menerjemahkan kalimah syahadat menjadi tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). 3. Ahmad Wahib (mendiang), (orang HMI –Himpunan Mahasiswa Islam—yang diasuh oleh beberapa pendeta Nasrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologia katolik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama, hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Nabi Muhammad saw). 4. Djohan Effendi (orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Jogjakarta, dan memasarkan faham liberal dan pluralisme agama dengan Ahmad Wahib dalam training-training HMI. Kemudian menyunting buku catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam bersama Ismet Nasir keluaran Driyarkara sebagaimana Ahmad Wahib. Buku itu menggegerkan umat Islam tahun 1982, dan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pimpinan KH Syukri Ghazali dan KH Hasan Basri, buku itu harus dicabut. Namun buku itu didukung oleh bekas menteri agama, Mukti Ali, dan surat dari Litbang Departemen Agama dengan alasan bahwa buku itu ilmiyah. Pemrotes utama selain MUI dan para pemuda Islam adalah Prof Dr HM Rasjidi mantan menteri agama RI pertama). Ungkapan-ungkapan Nyeleneh Orang Liberal dan Bantahannya Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah (muslimun) kepada-Nya. Komentar: Ini satu bentuk penyembunyian kebenaran. Sebab Allah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29). Dr. Alwi Shihab, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa: Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Komentar: Ungkapan itu bertentangan dengan ayat-ayat Allah: “ Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85). “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putera Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (QS Al-Maaidah: 72).) Muhammad Ali, Pengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta: Ayat-ayat surat Ali Imran: 19 dan 85 harus ditafsirkan dalam kerangka pluralisme, yakni "Islam" di dalam ayat itu, harus diartikan sebagai "agama penyerahan diri" . Komentar: Ungkapan itu bertentangan dengan sabda Nabi saw: Hadits dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tidaklah mendengar padaku seseorang dari umat ini, baik dia itu Yahudi ataupun Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan (Islam) yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim). Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama: Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam. Komentar: Perkataan itu bertentangan dengan ayat: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-Taubah: 30). Ulil Abshar Abdalla, Kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal): Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Komentar: Ungkapan itu bertentangan dengan ayat: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran; 85). “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS Al-Baqarah: 147). “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS Yunus: 32).) Sukidi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban Pimpinan Pusat Muhammadiyah: Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, menjadi ciri pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam… Komentar: Ya, tetapi Al-Qur’an tidak seperti yang dimaui Nurcholish. Al-Qur’an menegaskan, ahli kitab [Yahudi dan Nasrani] -yang tidak mau masuk Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw- itu kafir: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6). Dr. Djalaluddin Rakhmat, orang Bandung yang menyebut dirinya Susi, Sunni-Syi’ah (satu sebutan yang sangat aneh): Dalam Al-Qur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja. Komentar: Perkataan tokoh Syi’ah yang tidak berterus terang dirinya Syi’ah ini bertentangan dengan ayat: “Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: ‘Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka’. Orang-orang kafir berkata: ‘Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata’…” (QS Yunus: 2) Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Pengajar di Fakultas Usuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta (14 Jun 2000): Di masa Nabi Muhammad saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dikatakan sebagai kafir, tetapi disebut ahlul kitab. Komentar: Perkataan ini bertentangan dengan ayat: “Orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS At-taubah: 30). “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At-taubah: 31). “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32). “Orang-orang kafir” dalam ayat itu penekanan pembicaraan ayat sebelumnya jelas Yahudi dan Nasran, jadi siapa lagi kalau bukan mereka. Juga tegas-tegas Allah menyebutkan: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6). Prof. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah: Ahmadiyah (golongan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi selepas Rasulullah) sama dengan kita.... Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu. Komentar: Ungkapan Dawam itu menyalahi Al-Qur’an: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Ahzaab: 40). Dan bertentangan dengan hadits: 1092. Hadis Abu Hurairah r.a: Nabi s.a.w bersabda: “Segala urusan Bani Israel diatur oleh para Nabi. Apabila seseorang Nabi itu meninggal dunia, dia digantikan oleh seorang Nabi yang lain. Tetapi sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. Pada suatu ketika nanti akan muncul Khalifah. Para Sahabat bertanya: ‘Apakah yang anda perintahkan kepada kami?’ Nabi s.a.w menjawab: ‘Patuhilah pelantikan khalifah yang pertama, kemudian yang seterusnya. Penuhilah hak-hak mereka, sesungguhnya Allah akan menanyakan tentang apa yang telah dipertanggungjawabkan kepada mereka’...” (HR Muttafaq ‘alaih). Ahmad Baso, aktivis Jaringan Islam Liberal, tokoh muda NU: Mushaf Utsmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur'an dengan mengabaikan sumber-sumber Mushaf lainnya. Komentar: Ini salah satu hujatan terhadap para sahabat Nabi Muhammad saw tanpa bukti ilmiah dan akhlaq baik, sekaligus untuk menanamkan racun keraguan terhadap kemurnian Al-Qur’an. Allah-lah yang akan menghakiminya bila penguasa di dunia tidak mau. Taufik Adnan Amal, Pengajar Ulumul Qur’an di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Alaudin Makasar: … proses tersebut (pembukuan Mushaf Utsmani) masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini Komentar: Yang memiliki sejumlah masalah mendasar bukan pembukuan Mushaf Utsmani, tetapi otak pelontar ini sendiri yang telah dicocok hidungnya oleh para orientalis Yahudi dan Kristen yang anti Islam. Padahal mereka sudah mencari-cari masalah yang ingin mereka sebarkan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an sejak berlama-lama tidak berhasil, maka kini punya murid dari kalangan yang mengaku dirinya Muslim, maka gembiralah mereka. Hanya saja, kenapa untuk menggembirakan orang yang anti Islam, mesti mengorbankan keilmuan dan keyakinan. Itulah masalahnya yang mendasar, dan lebih drastis ketimbang sekadar apa yang ia sebut sejumlah masalah mendasar. Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal: Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dsb. Komentar: Ungkapan ini mengingkari ayat Al-Qur’an, hadits Nabi saw, dan pernikahan yang dia lakukan sendiri pula, yang tentu saja memakai hukum Islam, yaitu hukum Allah swt yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kalau dia nanti mati, mau dikubur dengan cara apa, kalau tidak mengakui adanya hukum Tuhan? Hukum Tuhan dia anggap tidak ada, tetapi perkataan orang-orang kafir pun dia kais-kais sebagai landasan dalam berbicara dan menulis. Padahal, menirukan perkataan orang kafir itulah kecaman berat yang difirmankan Allah swt dalam surat Al-Bara’ah atau At-Taubah. Nama surat al-Bara’ah itu sendiri sudah mengandung makna “lepas diri” tidak mau cawe-cawe terhadap kafirin, yaitu Ahli Kitab dan musyrikin plus munafiqin. Tetapi mengapa justru orang-orang yang wajib dibaro’ahi itu oleh Ulil Abshar Abdalla dan sindikatnya dijadikan boss, pemberi dana, pengarah, pembimbing, dan pemberi petunjuk; hingga perkataan nenek moyangnya yang menentang Allah swt pun dikais-kais untuk dimunculkan sebagai racun terhadap umat Islam? Betapa keblingernya ini. Kalau orang atheis tidak mengakui adanya Tuhan, maka orang yang menirukannya cukup mengatakan, tidak ada hukum Tuhan. Kalau orang bertauhid meyakini bahwa Tuhan itu hanya satu, maka orang musyrik menambahnya menjadi dua, tiga, dan banyak. Sebaliknya orang atheis meniadakan Tuhan sama sekali. Akibatnya, orang bertauhid mengikuti hukum Allah swt apa adanya. Orang musyrik menambah-nambah dan membuat-buat hukum semau mereka, sedang orang yang tidak percaya Allah maka mereka menganggap hukum Allah tidak ada, lalu mereka membuat sendiri atau menirukan kafirin terdahulu dan menolak hukum apa saja yang dari Allah swt. Jadi, kesimpulannya hanyalah menolak hukum Allah, sambil mengais-ngais apa saja yang dari kafirin. Tentu saja setelah duitnya. Sialnya, kemungkinan nanti dia tidak ke sana tidak ke sini –laa ilaa haaulaa’ walaa ilaa haa ulaa’ . Pihak kafirin tidak percaya kepadanya, sedang pihak mukminin pun marah kepadanya. Tragis benar! Ulil Abshar Abdalla: Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Komentar Apakah Ulil mendapatkan mandat dari Allah swt untuk membatalkan ayat-ayat Allah? Di antaranya QS Al-Mumtahanah/60: 10 dan QS Al-Baqarah 221. Padahal jelas sudah tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Jadi Ulil sedang menangkringkan dirinya sebagai “Tuhan”? Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10). “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah: 221). Prof. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Presiden III-T Indonesia: “… menurut hemat saya, Ulil justru mengangkat wahyu Tuhan di atas syariat.” Komentar: Bukan mengangkat wahyu Tuhan, tetapi mengangkat dirinya sendiri disejajarkan dengan Tuhan. Sedang yang mendukungnya ini ingin memisahkan syari’at dengan wahyu. Jadi sama-sama rusaknya, saling dukung mendukung. Dr. Zainun Kamal, pengajar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta: “Hanya sebahagian ulama yang berpendapat muslimah haram menikah dengan non-muslim.” Komentar: Ulama tidak berpendapat pun Al-Qur’an dan Hadits sudah ada. Ulama pun faham bahwa tidak ada ijtihad mengenai yang sudah ada nashnya (teks ayat atau hadits yang sudah jelas dan tegas maknanya). Ayatnya sudah jelas: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Mumtahanan/ 60: 10). Dr. Muslim Abdurrahman, tokoh Muhammadiyah: Korban Pertama dari Penerapan Syari’at Adalah Perempuan. Komentar: Ini sama dengan menuduh Allah swt yang mensyari’atkan syari’at untuk manusia itu zhalim. Perkataan itu sangat terlalu. Kalau Allah dianggap dhalim, apakah justru syetan yang adil? “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maaidah: 50). Orang yang “tidak doyan” syari’at model ini kalau buang air apakah tidak cebok? Dan kalau cebok, mungkin merasa dirinya jadi korban syari’at. Lantas kalau dirinya mati nanti, menurut Adian Husaini, dipersilakan jasad model orang yang menolak ditegakkannnya syari’at itu agar dicantelkan saja di pohon, tidak usah dikubur. Karena menguburkan jenazah itu termasuk bagian dari syari’at. KH Abdurrahman Wahid: Bagi saya, peringatan Natal (Krismas) adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal. Komentar: Pernyataan Gus Dur itu waktu dia jadi presiden RI. Meskipun presiden, kalau menyalahi Islam ya tetap salah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Maaidah: 51). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS At-Taubah: 23). “Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk (golongan) mereka.” (HR Abu Daud, kata As-Sakhowi ada yang dha’if tapi punya syawahid/ saksi-saksi. Ibnu Taimiyyah berkata, sanadnya jayyid/ baik. Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari berkata, sanadnya hasan/ bagus). Ucapan Abdullah bin Amru bahwa ia berkata: “Barangsiapa membangun di bumi musyrikin dan membuat nairuz dan mahrojan mereka (upacara hari-hari besar kafirin/ musyrikin) dan menyerupai dengan mereka sehingga mati maka dia akan dikumpulkan bersama mereka (musyrikin) di hari Kiamat.” (Sunan Al-Baihaqi al-Kubro, lihat Aunul Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud, dan Faidhul Qadir). Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah, bekas rektor IAIN Jogjakarta: “Tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat.” Komentar: Ini mengingkari ilmu. Sebab tafsir-tafsir klasik itu menyampaikan warisan ilmu dari Nabi Muhammad saw yang disampaikan kepada para sahabat, diwarisi tabi’in, lalu tabi’it tabi’in, yang kemudian diwairisi para ulama. Dengan cara menafikan makna dan fungsi tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka sebenarnya yang akan dibabat justru Al-Qur’annya itu sendiri. Karena kalau umat Islam sudah menafikan tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an, maka tidak tahu lagi mana makna yang rajih (kuat) dan yang marjuh (lemah) dalam mengetahui isi Al-Qur’an. Di samping itu, masih mengingkari keadaan manusia. Seakan-akan manusia sekarang ini bukanlah manusia model dulu, tetapi makhluq yang baru sama sekali, tidak ada sifat-sifat kesamaan dengan manusia dulu. Padahal, dari dulu sampai sekarang, dan insya Allah sampai nanti, ciri-ciri dan sifat-sifat manusia itu sama. Yang munafiq ya ciri-ciri dan sifat-sifatnya sama dengan munafiq zaman dulu. Yang kafir pun demikian. Sedang yang mu’min sama juga ciri dan sifatnya dengan mu’min zaman dulu. Maka Allah telah mencukupkan Islam sebagai agama yang Dia ridhai, dan Al-Qur’an menjadi pedoman sepanjang masa, karena manusia zaman diturunkannya Al-Qur’an itu sifatnya sama dengan zaman sekarang ataupun nanti. Tinggal tergolong yang mana? Mu’min, munafiq atau kafir. Hanya itu. Apalagi hanya tafsirnya, sedang Al-Qur’annya itu sendiri tidak menambah apa-apa kecuali menambah kerugian bagi orang-orang dhalim, dan menambah larinya orang-orang kafir dari kebenaran, memang. Allah swt berfirman: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS Al-Israa’: 82). “Dan sesungguhnya dalam Al Qur'an ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).” (QS Al-Israa’: 41). Syaikh Muhammad Al-Ghazali: “Orang Sekular Itu Murtad” Syaikh Muhammad Al-Ghazali ulama internasional di Mesir menyayangkan orang Arab dan umat Islam atas kurang gigihnya bekerja hingga hari kerjanya hanya dipakai selama sepertiga sampai setengah jam. Padahal, katanya, hari kerja di Eropa, Amerika, dan Jepang itu 8 jam. Ulama yang kitab karangannya tersebar ke seluruh penjuru dunia ini mengemukakan keprihatinannya itu menjawab pertanyaan wartawan Majalah Al-Khairiyah Kuwait no 48/ 1414H yang menanyakan: Dunia Islam menderita krisis politik, ekonomi, sosial yang sangat mencekik, bagaimana jalan keluarnya. Menurut Syaikh Al-Ghazali, Dunia Islam wajib bekerja keras agar sukses. Kalau kaum Muslimin dalam keadaan leha-leha atau malas maka pasti akan dihukum oleh kodrat. Oleh karena itu petani Muslim wajib meningkatkan pertaniannya sampai hasil panennya baik dan berlipat ganda, sedang Muslimin yang bekerja di lapangan-lapangan lain hendaknya bekerja keras. Mengenai krisis politik, Syaikh Al-Ghazali penulis Fiqh Siroh (Sejarah Nabi Muhammad SAW) ini mengemukakan, penguasa adalah cerminan masyarakat. Maka apabila masyarakat ingin bebas untuk hidup dalam kemuliaan Islam, wajib atas masyarakat itu memegang teguh Islam tanpa meninggalkannya sedikitpun. Syaikh Al-Ghazali mengemukakan usahanya untuk mengembalikan hal yang telah pernah sampai pada Muslimin dulu yakni berlakunya hukum --yang diturunkan Allah-- di seluruh negeri umat Islam. Syaikh Muhammad Al-Ghazali yang produktif menulis ini jagoan juga dalam berdebat. Setidaknya beliau telah dua kali berdebat secara resmi dengan kelompok ilmaaniyah (sekular). Pertama, tahun 1989, Darul Hikmah (lembaga di bawah Ikatan Dokter Mesir) menyelenggarakan debat Islam dan Sekular. Syaikh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qorodhowi dari pihak Islam, berhadapan dengan kubu sekular yang saat itu tampil Dr Fuad Zakariya. Debat kedua, 1992, diadakan oleh Asosiasi Penulis Mesir pimpinan Dr Samir Sarhan, dihadiri 30.000 hadirin. Wakil pihak Islam Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma'mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah berhadapan dengan kelompok sekular diwakili Dr Muhammad Khalafallah dan Dr Faraq Fouda. Hasilnya disebarkan ke seluruh dunia, di antaranya di Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta dengan judul Debat Islam-Sekular. Tokoh Sekuler, Dr. Faraq Fouda Dibunuh Perdebatan itu tidak berhenti begitu saja. Syaikh Muhammad Al-Ghazali didatangkan lagi di dalam pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam) Juli 1993 di Mesir atas kasus terbunuhnya tokoh sekular Dr Faraq Fouda, 8 Juni 1992. Kesaksian Syaikh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekular, karena menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, sekular itu hukumnya adalah keluar dari Islam. Syaikh Al-Ghazali ditanya Majalah Al-Khoiriyah: Anda cukup lama menolak kebohongan orang sekular terhadap Islam, apa sebenarnya mereka itu? Jawab Syaikh Al-Ghazali: Mereka itu adalah manusia yang telah keluar dari Islam secara nyata. Kalau toh kemurtadannya itu pasif dan mereka tinggal saja di dalam rumah-rumah mereka, maka kami tidak mendobrak rumah-rumah mereka dan kami tidak berusaha menghukumi mereka. Tetapi mereka itu ingin bertolak di jalan-jalan untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, lalu mereka memerangi sholat sambil menggalakkan kebejatan akhlaq dan pemabukan. Mereka menginginkan kaum Muslimin meninggalkan agamanya di medan-medan pembinaan, tarbiyah, ta'lim, pers dan sebagainya. Mereka itu musuh-musuh Islam, maka wajib kita singkap wajah-wajah mereka agar kita tahu betul hakekat mereka dan menghadang jalan mereka. Dalam perdebatan dengan kaum sekular yang dihadiri 30.000 pengunjung 1992, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan tentang sempoyongannya peradaban Barat. "Mereka berjalan sempoyongan dan tidak dapat keluar dari kegelapan dan kemuraman kecuali setelah mereka memboyong peradaban yang ditinggalkan oleh kerajaan Umawiyah, Abbasiyah, dan Turki. Mereka ambil 'abjad-abjad', lalu mereka rangkai dan susun kata dan kalimat darinya," tuturnya. Dalam hal kehidupan masyarakat, Syaikh Al-Ghazali mengemukakan, minoritas Kristen Koptik yang ada di tengah Muslimin Mesir adalah kelompok minoritas yang paling bahagia di dunia ini. Mereka telah memperoleh segala hal yang mereka inginkan, baik yang berkenaan dengan urusan duniawi maupun ukhrowi. Bahkan ada yang menjadi sekjen PBB (Persatuan Bangsa-bangsa). "Apakah ada kelompok minoritas di dunia ini yang hidup di bawah naungan mayoritas kaum Yahudi dan Kristen yang anda jumpai seperti kehidupan sosial dalam naungan mayoritas Muslim ini?" sergah Syaikh Al-Ghazali. Kehidupan sosial seperti ini, menurutnya, tidak lain tumbuh dari warisan peradaban Islam yang kita fahami dari agama kita, Kitab Suci kita, dan dari Sunnah Nabi kita; bahwa seluruh penduduk negeri berada dalam perlindungan dan amanah kita. Oleh karena itu Syaikh Al-Ghazali mengingatkan kepada Umat agar digalang betul tentang pentingnya persatuan Islam di seluruh negeri dengan cara memegang teguh aqidah dan syari'ah Islam. Dengan demikian Muslimin merasa bersaudara secara internasional dan tahu betul bahwa dipecah-pecahnya umat Islam itu adalah program penjajah. Apabila umat Islam kembali pada agamanya, maka program semu yang digariskan para penjajah itu akan luntur dengan sendirinya. Peristiwa Pengedaran Brosur Bantahan Lontaran Nurcholish Madjid yang Mengutip Ibnu Arabi Bahwa Iblis Kelak Akan Masuk Surga Kronologi Debat Dengan DR. Nurcholish Madjid (PERTAMA) Pada hari Jum’at, tanggal 27 Februari 1987, kami berempat sebagai mahasiswa Ma’had Ad Diraasaat Al Islamiyah mendapat tugas dari sekretaris Ma’had (M. Amin Djamaluddin) untuk membagikan brosur di tempat pengajian Paramadina, lantai VI Sarinah Jaya Blok M, Jakarta Selatan. Kami berempat: 1. Halim Bayan, 2. Suherman, 3. Muhammad Arief, 4. Anwar Alwi, disertai surat pengantar untuk panitia pengajian Paramadina, serta 100 eksemplar brosur. Setelah surat pengantar tersebut diterima oleh panitia pengajian Paramadina, dan surat tanda terima ditanda-tangani oleh panitia (sdr. Nawawi) serta brosur sebanyak 100 eksemplar tersebut disuruhnya taruh saja di atas meja sana (sambil menunjuk pada meja penjualan buku dan kaset). Setelah meletakkan brosur tersebut di atas meja yang ditunjuk, maka kami berempat mulai membagikan brosur yang kami bawa masing-masing di pintu masuk kepada setiap undangan yang hadir. Kira-kira setengah jam kami berempat membagikan brosur tersebut datanglah seorang dari dalam ruangan untuk pengajian (yang wajahnya mirip dengan Dr. Nurcholish Madjid) dan dia bertanya kepada panitia: Dia bertanya: “Apakah ini dibuat oleh Yayasan Paramadina?” Panitia menjawab: “Bukan pak!” Dia bertanya lagi: “Jadi siapa?” Panitia: “Itu dia pak orangnya.” Dia bertanya kepada kami berempat (dari Ma’had): “Bagaimana mempertanggung-jawabkannya kepada yang berwajib kalau ada apa-apa nih…???” Kami jawab: “Tenang pak, kami yang mempertanggung jawabkannya, lagi pula ini bukan selebaran gelap, ini nama Ma’had kami (kata sdr. Halim sambil menunjuk tulisan yang ada pada muka brosur sambil membacanya pula).” Dia bertanya lagi: “Betul alamat ini?” Kami jawab: “Betul pak, dan cukup jelas.” Dia bertanya lagi: “Apa sudah minta izin untuk membagi-bagikan ini?” Kami Jawab:“Sudah pak, ini surat tanda terimanya, dan kami memberikannya juga untuk panitia.” Dia bertanya: “Mana?” Kami jawab: “Ini pak (sambil memberikan surat tanda terima tsb).” Dia bertanya lagi: “Siapa yang tanda tangan ini?” Kami jawab: “Itu pak orangnya (lalu dia memanggil orang yang tanda tangan). Betul kamu yang tanda tangan?” Panitia pengajian: “Betul pak, saya kira tanda tangan ini untuk surat pak!” Lantas dia bilang: “Waah, kalau begitu sudah salah administrasi. Apa isi suratnya tidak kamu baca?” Panitia jawab: “Tidak pak.” Lantas kami bilang: “Lebih baik bapak baca dulu isi brosur ini, menurut kami isinya tidak menjelekkan, tapi melengkapi isi ceramah bapak intelektual kita.” Dia menjawab: “Coba, pembagian brosur ini distop dulu (tapi kami masih tetap saja membagikan brosur itu).” Setelah kami bercakap-cakap dengan pihak panitia, maka kami berdua (Halim Bayan dan Suherman) diperbolehkan masuk untuk mendengarkan ceramah, dan panitia mengatakan kepada kami: “Nanti kamu akan tertarik mendengarkan ceramahnya!” Kami masuk dan sdr. Arief dan Anwar disuruh pulang untuk memberikan surat tanda terima tersebut kepada pak Amin, (sesuai dengan pesannya, kalau sudah dapat surat tanda terima segera pulang seorang untuk membawanya ke Ma’had). Saya (Pak Amin) tunggu. Setelah sampai di Ma’had. surat tanda terima tersebut diserahkan oleh sdr.Arief dan sdr.Alwi kepada Pak Amin, kira-kira jam 21.15 WIB. Debat Dengan DR. Nurcholish Madjid di Jalan (KEDUA) Karena kami berdua (Halim Bayan dan Herman)-lah yang diperbolehkan masuk, menjelang akhir pengajian (15 menit menjelang akhir) kami berdua turun untuk membagikan lagi brosur dan tak lama kemudian pengajian pun bubar (pulang). Setiap mobil yang pulang kami stop dan kami kasih brosur, dan sampai gilirannya mobil Dr. Nurcholish Madjid: Herman: (Mengacungkan tangan menyetop mobilnya Dr. Nurcholish Madjid). Dr. Nurcholish: “Apa ini?” Herman: “Ini pak, ini sebagai tambahan materi bulan lalu yang disampaikan oleh Bapak Nurcholish Madjid.” Dr. Nurcholish: “Tidak..!! Saya sendiri yang menyampaikan isi materi itu (sambil menepuk-nepuk dadanya).” Mobilnya terus melaju tetapi tak terhindar dari sergapan Halim Bayan. Dr. Nurcholish: “Apa lagi, ini….!!!” (sambil turun dari mobil). Halim: “Ini pak, ini sebagai materi pelengkap saja. Waktu pengajian dulu.” Dr. Nurcholish: “Tidak..!! Ini fitnah besar terhadap diri saya. Saya kan hanya menjawab saja.” Halim Bayan: “Ya..!! Tapi bapak tidak menerangkan dengan jelas dan tidak memberi komentar terhadap pendapat Ibnu Arabi, bapak hanya mengutip saja pendapat Ibnu Arabi tsb dalam pengajian, tidak menolak atau meng-iya-kan pendapatnya Ibnu Arabi tersebut. Ini hanya pelengkap apa yang dilontarkan oleh Bapak, dan dalam brosur ini dijelaskan dengan terang siapa Ibnu Arabi, apa pendapatnya serta diterangkan siapa-siapa yang mengkafirkannya.” Dr. Nurcholish: “Ya..!! Tapi caranya jangan begini, diskusi forum dong!!!” Herman: “Oke…..Pak!! Kalau begitu Bapak setuju untuk berdiskusi dengan kami. Di sini tecantum alamat kami yang cukup jelas Ma’had Dirasaatil Islamiyyah ini nama perguruan kami, Pak. Silahkan bapak datang ke alamat ini kita berdiskusi.” Dr. Nurcholish: “Tidak..!! Saya tidak mau ngomong dengan orang bodoh.” Halim Bayan: “Tenang Pak, jangan emosi (sambil mengelus pundak Bapak Dr. Nurcholish Madjid).” Dr. Nurcholish: “Jangan pegang badan saya, saya tidak suka…!! Ini fitnah, ini fitnah (sambil merampas brosur yang dipegang oleh Halim Bayan dan dipegang lalu dibanting).” Halim Bayan: “Tidak pak…!! Ini bukan fitnah, dan kami menulis berdasarkan kaset rekaman, bukan membuta-buta, lalu memojokkan Bapak, dan tidak ada unsur-unsur fitnah serta brosur ini ilmiyah karena mengembangkan kutipan bapak yang singkat itu. Dr. Nurcholish: “Kalau begitu, oke…!! Kita bersumpah…..!! Berani…? Berani nggak…….!!” Halim Bayan: “Oke pak…..!! Saya berani.” ]Dr. Nurcholish: “Oke (lalu memegang tangan dan bersalaman dengan Halim Bayan) Wallahi….wallahi….wallahi…wallahi. Kalau kamu benar, saya yang celaka, kalau saya yang benar, kamu yang celaka dan saya tidak akan memaafkan.” Halim Bayan: “Oke-oke..!!” Dr. Nurcholish: “He…!! Ini kami yang menulis ya..?? Sebutkan kamu yang menulis, hah..??” Halim Bayan: Ini atas nama perguruan kami, jadi bukan kami sendiri.” Dr. Nurcholish: “Bohong…!!! Rupanya ini orang yang berani memfitnah saya (sambil menjambak rambut Halim).” Halim: (Halim terdiam sejenak setelah dilepaskan). “Oke Pak..!! Bapak sebagai intelektual yang menguasai ilmu yang banyak, tidak pantas berbuat demikian. Baru tantangan begini saja sudah emosi. Bapak minta maaf nggak sama saya, minta maaf nggak, minta maaf nggak???” (kata Halim sambil menunjuk-nunjuk muka Bapak Dr. Nurcholish Madjid). Dr. Nurcholish: “Oh … ya….!!! Saya yang salah, saya minta maaf (sambil merangkul dan senyum sinis) serta membacakan ayat: ‘Innamal mu’minuuna ikhwatun fa-ashlihuu bayna akhawaikum’ dan disambung oleh Halim: ‘Wattaqullaha la’allakum turhamun’ (surat Al Hujurat ayat 10).” Halim: “Oke…ya.. saya maafkan kejadian ini, saya maafkan kejadian ini. Halim Bayan lagi: “Oke..pak, kita sama-sama muslim, tapi bagaimana dengan ini, Pak? (kata Halim sambil menunjuk brosur).” Dr. Nurcholish: “Sudah saya katakan, ini fitnah, ini fitnah… cara ini pernah dilakukan oleh PKI, kamu PKI ya?? Saya ketua HMI dulu, sambil menepuk dadanya.” Halim: “Tidak pak…!! Maksud kami baik, ingin memberi gambaran pada masyarakat yang sebenarnya, Ibnu Arabi itu seperti yang diterangkan oleh brosur.” Dr. Nurcholish: “Tadi kamu minta izin pada siapa?” Halim: “Sama Bapak ini, Pak (sambil menunjuk pada seorang yang ada di situ).” Orang yang tanda tangan surat tanda-terima: “Iya…Pak!! Saya tertipu. Tadi saya membaca sekilas, tidak begitu memperhatikan.” Halim: “Kenapa Bapak tidak teliti …??? Kan saya suruh baca dulu, jadi saya nggak salah.” Orang TTD:“Tadi kamu menyuruh tanda-tangan saja, tidak memperlihatkan brosur.” Halim: “Kan bapak tidak memeriksa.” Dr. Nurcholish: “Pokoknya, sekali lagi saya tidak terima hal itu.Itu fitnah, itu cara PKI, awas kalau sampai cara ini dilanjutkan, kamu berdosa, kamu tidak akan dimaafkan sampai hari kiamat.” Halim: “Begini Pak, sekali lagi ini bukan fitnah. Di sini kan tercantum nama dan alamat perguruan kami. Inikan alamatnya cukup jelas, jadi ini bukan fitnah dan bukan selebaran gelap.” Dr. Nurcholish: “Okelah..!! Pokoknya bulan depan aku akan bahas masalah ini di forum, di pengajian Paramadina ini. Kamu datang, dan kalau tidak punya uang, bilang suruh saya gitu..!!” Halim: “Oke Pak…!!! Sekarang Bapak tulis di sini (di brosur) bahwa bapak bersedia berdiskusi dengan kami, membahas tentang Ibnu Arabi ini. Tentukan hari, tanggal, bulan dan tahunnya di situ.” Dr. Nurcholish: “Enggak….!! Begini sajalah. Ini tanda tangan saya sebagai bukti bahwa saya berjanji (sambil berjanji dan menandatangani salah satu brosur dan dikasih pada Halim). Sudah ya…!! Saya jalan.” Herman: “Sebentar Pak….!! Assalamu’alaikum dulu Pak (sambil berjabatan tangan).” Dr. Nurcholish: “Wa’alaikumussalam.” Jakarta, 28 Februari 1987 Penulis (Herman) Orang JIL, Paramadina, dan Oknum UIN Berbahaya bagi Islam Nurcholish Menikahi Wanita Konghucu di Paramadina Ulil, JIL, Kiprah dan ¡°Fatwanya¡± Ulama dan Umat Islam Tersinggung Berat Lelaki Muslim Menikahi Wanita Konghucu di Paramadina Kecaman Antek Yahudi dan Nasrani Memreteli Islam Inti Ajaran Ulil, Menyejajarkan Bualan dengan Al-Qur¡¯an dan As-Sunnah Nurcholish Menikahi Wanita Konghucu di Paramadina Lontaran-lontaran nyeleneh (aneh) yang membahayakan bagi Islam yang biasa keluar dari mulut orang JIL (Jaringan Islam Liberal), Paramadina, dan oknum UIN (Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, kini sudah lebih maju lagi. Bukan sekadar lontaran nyeleneh, namun praktek nyeleneh secara resmi pun diupacarakan. Di antaranya adalah upacara pernikahan Ahmad Nurcholish (27 th, Muslim) dengan Ang Mei Yong, (24 Tahun, Konghucu) di Yayasan Paramadina Jakarta, pimpinan Dr Nurcholish Madjid. Majalah Gatra memberitakan sebagai berikut: Pernikahan Mei Menuai Kontroversi JARUM jam menunjukkan pukul 09.30, ketika Ahmad Nurcholish, 27 tahun, yang memakai setelan jas warna hitam, menggandeng Ang Mei Yong, 24 tahun, yang bergaun pengantin warna putih. Mereka memasuki ruangan di Islamic Study Center Paramadina, di kompleks Pondok Indah Plaza, Jalan Tb. Simatupang, Jakarta Selatan. Sekitar 50 orang hadir dalam acara tersebut. Mereka adalah orangtua pasangan Nurcholish-Mei, kerabat, dan para undangan. Di antara mereka tampak Ulil Abshar-Abdalla, koordinator Jaringan Islam Liberal, dan Budi S. Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Ang Lin Gie, 66 tahun, ayah Mei, dengan alasan tak lancar berbahasa Indonesia, mewakilkan kepada Dr. Kautsar Ashari Noer sebagai wali sekaligus menikahkan mempelai secara Islam. Sebelum menikahkan, Kautsar bertanya kepada kedua mempelai: Apakah kalian sudah mantap untuk melaksanakan pernikahan? Kedua mempelai menjawab dengan anggukan kepala. Apakah kalian yakin nikah model begini sah?¡± Kedua mempelai berbarengan menjawab, Ìíakin.¡± Pernikahan pun dilangsungkan dengan ijab kabul secara Islam dengan mas kawin 8,8 gram emas dibayar tunai. Usai pernikahan itu, mempelai bersama keluarga meluncur ke Sekretariat Matakin di kompleks Royal Sunter Blok F-23, Jalan Danau Sunter, Jakarta Utara. Sampai di Sekretariat Matakin, mereka menuju ke ruangan lithan, tempat sembahyang pemeluk Khonghucu. Di tempat yang disucikan umat Khonghucu itu, kedua mempelai mendapat perestuan. Namun, ¡°Ini bukan liep gwan (pemberkatan Red.),¡± tutur Peter Lesmana, seorang Ketua Matakin. ¡°Kalau liep gwan, pasangan akan disumpah, keduanya harus Khonghucu, ia menjelaskan. Nurcholish, yang lahir di Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah, pada 7 November 1974, adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Sukardi Za. Arifin-Siti Ambarwati. Sukardi seorang guru madrasah, sedangkan Siti guru taman pendidikan Al-Quran di Tawangharjo. Pendidikan dasar sampai aliyah ditempuh Nurcholish di Tawangharjo. Ketika aliyah¡ªsetingkat SMU¡ªdia juga nyantri di Pesantren Al-Faqih, sebuah pesantren salafiyah yang konservatif. Pada 1993, pemuda bermata sayu itu hijrah ke Jakarta. Dia sempat bekerja di Bouraq Airlines, dan kini bekerja di sebuah perusahaan pelayaran. Selain bekerja, Nurcholish tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Sistem Informasi STMIK Budi Luhur, Jakarta. Di Jakarta inilah Nurcholish menjadi anggota Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar, yang bermarkas di Masjid Jami¡¯ Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian Nurcholish ditunjuk sebagai ketua bidang pengembangan sistem informasi. Minatnya berorganisasi mengantar Nurcholish juga aktif sebagai Koordinator Kajian dan Pengembangan Wacana di Generasi Muda Antar-Iman (Gemari), organisasi yang kerap mengadakan kegiatan dialog antar-iman dengan basis para pemuda dari masing-masing agama. Selain itu, dia juga aktif sebagai staf Infokom pada Indonesian Conference on Religion and Peace, organisasi dialog antar-iman yang berskala nasional. Kegiatan lain Nurcholish adalah di Dunia Pelang, lembaga swadaya masyarakat yang kerap melakukan pendampingan terhadap anak-anak jalanan dan pemulung. Aktivitasnya di Gemari mempertemukannya dengan Mei yang juga sibuk di sini. Lalu, apa alasan Nurcholish ¡°menggaet¡± Mei? ¡°Saya menyukai tantangan,¡± tutur Nurcholish kepada Alfian dari GATRA. Sebelumnya, Nurcholish pernah menjalin kasih dengan perempuan beragama Katolik dan Protestan, tapi kandas di tengah jalan. µÄtu karena mereka tidak berani menghadapi tantangan yang bakal muncul, ia memaparkan. Adapun Mei, menurut Nurcholish, berani menghadapi semua itu. Bahkan, sebelum meyakinkan kepada masing-masing keluarga, mereka menginventarisasi apa saja yang bakal dihadapi usai pernikahan nanti. Memang, pernikahan Nurcholish-Mei ini tak urung memunculkan kontroversi. Namun, dalam pandangan dosen perbandingan agama Universitas Islam Negeri Jakarta, Kautsar Azhari Noer, kawin beda agama itu dibolehkan. Äàari dulu saya sudah berpaham seperti itu, kata Kautsar kepada Luqman Hakim Arifin dari GATRA. (Majalah Gatra). Ulil, JIL, Kiprah dan ¡°Fatwanya¡± Peristiwa itu berkait berkelindan dengan ¡°fatwa-fatwa¡± Ulil Abshar Abdalla, kiprah JIL, Paramadina, dan oknum UIN dalam menyebarkan faham yang membahayakan Islam. Mari kita runtut sejenak, agar terbuka gambaran seberapa jauh kesibukan mereka dalam hal merusak Islam. Seolah mereka tidak ada capaik-capaiknya. Dengan adanya hasil di antaranya pernikahan silang antara muslim dengan musyrikat itu, tampaknya mereka lebih sibuk lagi. Namun sebelumnya mari kita runtut dari beberapa waktu belakangan ini. Ulil Abshar Abdalla kordinator Jaringan Islam Liberal (menurut orang-orang di FUUI Bandung: jaringan iblis laknatullah, lihat Harian Pikiran Rakyat Bandung, 20 Maret 2003) mempersoalkan, kenapa dirinya dikritik orang. Bahkan dia tidak terima, kenapa orang justru mengkritik dia (Ulil), tidak mengkritik saya (Hartono). Hingga Ulil mengatakan kepada sebuah majalah terbitan Jakarta, kenapa Hartono Ahmad Jaiz itu tidak dikritik, apakah karena sudah ketahuan jeleknya, sehingga tidak dikritik? Di lain kesempatan, Ulil juga menyebut-nyebut bahwa dia menulis di koran Kompas yang dia akui vulgar itu hanya mengimbangi orang-orang seperti Hartono, Adian Husaini dan lainnya, yang istilah balaghohnya musyakalah (mengimbangi). Sehingga sama sekali Ulil tidak menyesali tulisannya yang banyak dihujat orang itu, malahan diterus-teruskan, sampai mengemukakan di suatu majalah bahwa Vodca (minuman beralkohol lebih dari 16%, pen) boleh jadi di Rusia dihalalkan karena di sana udaranya dingin sekali. Terlepas dari hal-hal itu, ada sesuatu yang menjadikan tanda tanya. Sehari sebelum tulisan Ulil yang menghebohkan, berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, muncul di Harian Kompas Senin 18 November 2002, Ulil telah mengemukakannya di Masjid Kampus UGM (Universitas Gajah Mada) Jogjakarta, dalam Dialog Ramadhan 1423H yang diselenggarakan para mahasiswa UGM yang tergabung dalam Jama¡¯ah Salahuddin. Kata Ulil, besok (yaitu hari Senin 18/11 2002) akan keluar tulisannya di Kompas. Maka dia uraikan isi tulisannya itu. Saat itulah Ulil saya bantah ungkapan-ungkapannya langsung di depannya. Karena ia menganggap bahwa hukum Islam seperti jilbab, qishosh, hudud dan semacamnya yang sifatnya mu¡¯amalah itu tidak usah diikuti. Al-hamdulillah, saya sempat menyebutnya bahwa teori yang ia kemukakan itu hanyalah teori Nicollo Machiavelli yang dikenal menghalalkan segala cara, dan teori Anthrophocentrism yang menjadikan manusia sebagai sentral pertimbangan. Dan ini pada hakekatnya adalah teori Ibliscentrism, yaitu sudah ada perintah Allah, namun perintah itu disanggah dengan menjadikan diri Iblis sebagai ukurannya. Saya katakan, orang Yahudi saja ketika mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad saw maka mereka menyepakati, apabila ada perselisihan pendapat hendaknya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur¡¯an dan As-Sunnah), yang hal itu dicantumkan dalam Piagama Madinah. Apakah Anda yang Muslim malah lebih dari Yahudi? Tampaknya pertanyaan saya itu oleh Ulil dicarikan jawabnya, lalu dikemukakan dalam diskusi di lembaga yang dipimpin Nurcholish Madjid yaitu Paramadina Jakarta, 8 Februari 2003. Di sana Ulil menganggap, rujuk kepada Al-Qur¡¯an dan As-Sunnah seperti yang difahami ummat Islam itu sebagai penyembahan terhadap teks. Ulil melontarkan istilah penyembahan terhadap teks itu merujuk kepada ungkapan orang kafir. Ini. agak berbeda dengan Pak Munawir Sjadzali ketika jadi menteri agama RI 1983-1993 merujuk kasus yang sama kepada seorang tokoh di Pakistan. Baik yang merujuk langsung kepada tokoh kafir maupun tokoh sekuler semuanya sama, yakni mengkotak-katik Al-Qur¡¯an dan As-Sunnah agar tidak diberlakukan lagi. Kembali kepada tulisan Ulil, entah apa jalinannya antara Ulil dengan Kompas. Yang jelas, saya sendiri yang sudah berlama-lama kerja di koran, saya tidak berani mengatakan bahwa tulisan saya akan keluar besok di koran tempat saya kerja. Namun Ulil yang bukan orang Kompas bisa mengumumkan tulisannya akan keluar di Kompas besok, dan ternyata keluar beneran. Padahal tulisan itu jelas-jelas sangat menghantam Islam dan Ummat Islam. Para analis barangkali bisa menganilisisnya. Benar. Keesokan harinya, tulisan Ulil ada di Kompas. Saya berada di Solo Jawa Tengah, saya buka e-mail saya, sudah ada orang yang prihatin atas munculnya tulisan Ulil itu. Ceramah ba¡¯da Isya¡¯/ Tarawih di masjid-masjid sudah menguraikan keprihatinan atas munculnya tulisan Ulil itu. Ulama dan Umat Islam Tersinggung Berat Banyak ulama, tokoh Islam, dan kaum Muslimin yang tersentak bahkan tersinggung dan marah-berat ketika membaca tulisan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) di Harian Kompas 18 November 2002 / Ramadhan 1423H yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam itu. Artikel itu menghantam Islam dan ummat Islam secara semaunya. Arahnya adalah pluralisme agama, menyamakan Islam agama Tauhid dengan agama-agama lain yang berseberangan bahkan bertentangan dengan Tauhid, yaitu syirik, menyekutukan Allah swt dengan selain-Nya. Resiko dari keberanian menyejajarkan agama Tauhid dengan kemusyrikan itu sampai-sampai Ulil Abshar Abdalla ¡°memfatwakan¡± tidak berlakunya lagi larangan pernikahan antara Muslim/ Muslimah dengan non Muslim. Dia karang-karang bahwa larangan atau keharamannya dalam Al-Qur¡¯an tidak jelas. Lebih dari itu, seluruh hukum dalam Al-Qur¡¯an yang menyangkut mu¡¯amalah (pergaulan antar manusia) tidak perlu diikuti lagi di zaman modern ini. Sehingga Ulil Abshar Abdalla menegas-negaskan hawa nafsunya berkali-kali bahwa dia tidak percaya adanya hukum Tuhan. Lelaki Muslim Menikahi Wanita Konghucu di Paramadina ¡°Fatwa¡± Ulil di Kompas yang mengacak-acak hukum Allah itu dia demonstrasikan pula secara nyata-nyata. Yaitu Ulil Abshar Abdalla menjadi salah satu pengundang dalam acara pernikahan lelaki Muslim dengan wanita Konghucu di Yayasan Paramadina (Islamic Study Center Paramadina Pondok Indah Plaza III Blok F 5-7 Jl TB Simatupang) Jakarta yang berlangsung Ahad 8 Juni 2003, pagi. Itu akad nikah cara Islam. Pengantin lelakinya bernama Ahmad Nurcholish, perempuannya Ang Mei Yong. Walinya diserahkan kepada Dr Kausar Azhari Noer dosen tasawuf di UIN (Universitas Negeri Jakarta) dan beberapa perguruan tinggi, dan pengajar di Paramadina. Sedang di antara saksinya adalah Ulil Abshar Abdalla. Sorenya, akad nikah cara Islam itu entah belum dianggap cukup atau bagaimana, kemudian diadakan upacara Liep Gwan (model Konghucu), di Sekretariat MATAKIN Komplek Royal Sunter Blok F 23 Jl Danau Sunter Selatan Jakarta Utara. Surat undangan yang diedarkan tertera nama-nama yang turut mengundang yaitu: Dr H Zainun Kamal MA (dosen UIN Jakarta, belakangan termasuk tim 9 penulis Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation), Ulil Abshar Abdalla ¨CJIL, dan Munawar MA Sag. Dicantumkan pula dalam undangan bahwa Dr Zainun Kamal lah yang menyampaikan khutbah nikah. Rupanya Ulil mengambil kesempatan secara maksimum (kemaruk?), dimulai dengan berperan sebagai orang yang turut mengundang dalam pernikahan beda agama seperti yang dia ¡°fatwakan¡±. Lalu tidak cukup hanya jadi pengundang, namun dia juga jadi saksi dalam upacara akad nikah. Lalu masih merasa belum cukup pula, maka mewawancarai Ahmad Nurcholish dan Mei Yong kemudian dimuat diinternet/ web site islamlib.com. Masih belum cukup pula, maka mewawancarai Drs. Nuryamin Aini, MA, pengajar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta yang intinya menyudutkan para ulama yang mengharamkan pernikahan Muslim dengan non Muslim. Penyudutan terhadap ulama itu hanya dengan dalih hasil penelitiannya tentang anak-anak hasil pernikahan beda agama, katanya lebih banyak yang ikut ke Islam. Dengan modal ¡°fakta¡± seperti itu, dosen UIN Jakarta itu berani-beraninya menyalahkan ulama, bahkan pada hakekatnya menyalahkan Al-Qur¡¯an, firman Allah. Terlalu canggih memang, Ulil dalam membawakan urusan beginian. Barangkali saja Ulil masih penasaran juga kalau dirinya belum menikahi perempuan musyrik kafir atau anaknya dinikahi oleh lelaki musyrik kafir. Karena walaupun ¡°fatwanya¡± itu manjur, namun tentunya bukan saja untuk orang lain. Sebagaimana dia tentu hafal (walau sudah tidak ingat lagi riwayat siapa, mungkin) ungkapan Ibda¡¯ binafsik, mulailah dengan dirimu sendiri (Hadits riwayat An-Nasa¡¯i).. Ini ternyata yang memulai menikahi wanita kafir musyrik adalah Ahmad Nurcholish yang tahun lalu (2002) selaku pengurus YISC Al-Azhar Jakarta mengundang Ulil Abshar Abdalla untuk duduk bersama (berbantah) dengan saya (Hartono) dan juga Haidar Bagir. Coba saja Ulil waktu itu (Mei 2002) langsung ¡°berfatwa¡± tentang nikah, tidak usah ditunda sampai November 2002, atau langsung Ulil contohi, maka kemanjurannya mungkin lebih cepat lagi. Dan tidak usah capaik-capaik sampai mengejar-ngejar dosen UIN untuk diwawancarai. Jadi lebih efisien. Dan lebih efisien lagi kalau Ulil menikahi sekaligus empat wanita dari empat jenis yaitu musyrik, kafir, murtad, dan zindiq (tidak mempercayai Allah, tak percaya hukum/ aturan Allah, namun tempo-tempo menampakkan dirinya sebagai orang beriman). Atau kalau khawatir disindir rekannya karena poligami (sebagaimana yang dilakoni teman se-liberalnya, Masdar F Mas¡¯udi yang berpoligami), Ulil bisa juga menjadwalkan satu persatu. Misalnya yang musyrik dulu, nanti ganti yang kafir, ganti lagi yang murtad, dan terakhir yang zindiq. Terserahlah. Untuk efisien-efisienan, saya tidak perlu mengajari. Semuanya tentu sudah terprogram rapi. Dan juga stocknya kan banyak. Kalau hanya mencari yang empat jenis itu tidak sulit-sulit amat. Baik yang lama maupun yang baru. Misalnya yang murtadnya baru, itu justru masih mudah diwawancarai guna mengukur seberapa keberhasilannya selama ini. Kecaman Kembali kepada masalah tulisan Ulil di Kompas, kecaman terhadap Ulil Abshar Abdalla dari yang mengkafirkan, menghalalkan darahnya, dan suara-suara kencang dari berbagai kalangan Muslim pun mencuat. Fatwa hukuman mati yang telah ditujukan kepada penghujat Islam yakni Pendeta Suradi dan H Amos yang dikeluarkan FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) pimpinan KH Athi¡¯an Ali M Da¡¯I di Bandung 2001 pun tinggal merujuknya kembali. Dan hal semacam itu diamini pula oleh ulama NU (Nahdlatul Ulama) di antaranya KH Luthfi Bashori alumni Makkah yang tinggal di Malang Jawa Timur. Fatwa yang tadinya untuk penghujat Islam dari kalangan Nasrani itu ketika mencuat ke masyarakat dan arah sasarannya kali ini adalah penghujat Islam namun dari kalangan JIL (Jaringan Islam Liberal), maka secepat kilat seorang profesor yang sudah berpengalaman dalam memelihara dan mendukung aliran-aliran dan faham sesat, yaitu Profesor Dawam Rahardjo, mengambil langkah seribu untuk membela Ulil Abshar Abdalla. Dia berbicara di televisi sejadi-jadinya, dan menulis di majalah sebisa-bisanya agar Ulil jangan sampai dipites (dipegang kepalanya sampai mati) oleh orang. Dawam sangat khawatir kalau sampai terjadi peristiwa yang merugikan penyebaran kesesatan, sebagaimana ketika tokoh sekuler di Mesir Faraq Fouda sedang menggemakan missi sekularisasinya, tahu-tahu dibunuh orang yang anti sekulerisme, 8 Juni 1992. Pembunuhan terhadap tokoh sekuler di Mesir 12 tahun lalu itu tampaknya sangat terngiang di telinga Dawam Rahardjo, sehingga ia sangat khawatir kalau hal yang sama menimpa salah satu yang ia anggap ¡°asuhannya¡±, yang kali ini adalah Ulil Abshar Abdalla. Apalagi kalau mengingat kesaksian Syeikh Muhammad Al-Ghazali di Mesir selaku saksi ahli Hukum Islam di pengadilan dalam kasus dibunuhnya tokoh sekuler itu, beliau mengatakan bahwa sekuler itu hukumnya murtad, maka darahnya halal. (Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta). Tentu saja para pendukung kesesatan seperti Dawam Rahardjo sangat ketar-ketir (sangat khawatir). Sebab, yang hanya sekuler saja sudah dibunuh, apalagi yang sampai menyamakan Islam dengan agama kemusyrikan, menafikan hukum Tuhan dan melontarkan aneka hujatan terhadap Islam. Rasa kekhawatiran yang memuncak dari para pendukung kesesatan itu agak menurun ketika mereka mendengar bahwa Ulil Abshar Abdalla diadukan ke polisi. Dari mulut Ulil sendiri terlontar kata-kata yang menunjukkan rasa leganya, ketika ada khabar bahwa FUUI akan mengadukannya ke pihak polisi. Kelegaan Ulil itu tampaknya sementara memang jadi kenyataan, karena sudah berbulan-bulan dari diadukannya itu sampai tulisan ini dibuat, ternyata belum ada berita perkembangan yang berarti. Bukan karena kurang gigihnya para pengadu, namun sebagaimana sudah diketahui umum, banyak hal yang kalau menyangkut didhaliminya Islam dan Ummat Islam maka pengaduan tinggal pengaduan. Barangkali kelegaan Ulil yang sempat ia lontarkan itu berdasarkan pengalamannya pula, di samping faktor-faktor lain yang tak perlu dikemukakan di sini. Maka sekali lagi, justru kematian yang mengancam diri Ulil itulah yang sangat dia khawatirkan bersama para pendukung kesesatannya. Sampai-sampai Ulil mengkhawatirkan kalau dirinya tiba-tiba dibunuh orang gara-gara kenekadannya dalam menohok Islam itu, dengan ia sebut ¡°fatwa mati¡± untuk dirinya itu jangan-jangan jadi bola liar yang lari ke sana-sini, lalu benar-benar menimpa dirinya. Memang takut mati adalah salah satu ciri dari orang-orang yang berhadapan dengan Islam, bahkan yang kurang berani berjuang menegakkan Islam ataupun mereka yang cinta dunia. Sebagaimana orang-orang Yahudi yang telah berani memain-mainkan aturan dari Allah pun mereka bungkam ketika ditantang Allah agar meminta mati apabila mereka merasa benar. Demikian pula Ulil Abshar Abdalla, ketika ditantang mubahalah (saling berdo¡¯a agar dilaknat Allah bagi yang berdusta) dalam satu seminar di Bandung, maka dia mengelak, bahkan beralasan kalau mubahalah itu berarti mengajak goblog, karena mubahalah itu dari kata bahlul yaitu goblog, kata Fauzan Al-Anshari ketika menceritakan pengalamannya berdiskusi menghadapi Ulil di Bandung. Kenyataannya, Ulil diancam mati, takut. Diajak mubahalah, mengelak dengan alasan yang dibuat-buat. Diadukan ke polisi, dia gembira. Di balik gembiranya itu dia tetap saja merusak pemahaman Islam dengan aneka celotehnya. Sementara itu ¡°bak-bak sampah¡± tempat penampungan celotehannya telah siap menampungnya, di antaranya Yayasan Paramadina Jakarta pimipinan Dr Nurcholish Madjid, media massa Katolik seperti Kompas, media massa sekuler yang sering sinis terhadap Islam seperti Tempo, Jawa Pos dengan 56-an koran-koran daerah di bawahnya (Radar ini Radar itu), pemancar radio 68H dengan 400-an radio swasta se-Indonesia yang merelaynya, website JIL Islamlib.com yang senantiasa menyuarakan faham liberalnya maupun lembaga-lembaga lainnya yang siap jadi penampung dan penyalur kenyelenehan dan kesesatannya. Makanya Ulil optimis, karena ada lembaga-lembaga yang menurut dia relatif bisa menerima lontaran-lontarannya, terutama adalah orang-orang IAIN-IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan STAIN-STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, dulunya cabang IAIN, lalu mereka berdiri sendiri-sendiri). Pemandangannya jadi terbelah dua. Ulil bersama para pendukungnya (ada lembaga, ada media massa, ada manusia-manusia yang sinis terhadap Islam dan semacamnya, bahkan musuh Islam benar-benar) berada di satu gerumbul. Di belahan lain adalah ummat Islam bersama tokoh-tokohnya yang aneka macam (ada yang disebut garis keras, moderat, lunak, dan sebagainya). Di saat serangan terhadap Islam dibomkan oleh Ulil dan konco-konconya, maka ummat terbelah-belah, bingung. Lalu tokoh-tokoh Islam ada yang gigih menanggapinya, ingin menghabisinya. Ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang malah ikut-ikutan dan mendukung kesesatannya. Sehingga para musuh Islam bersorak-sorai kegirangan, karena telah bisa menciptakan musuh Islam dari kalangan Islam sendiri. Lalu ketika tokoh Islam yang ingin menghabisi perusak Islam itu menempuh jalan yang dianggap baik, yaitu secara prosedur yang berlaku, maka entah kenapa Ulil dan para pendukungnya itu jadi lega. Saya tidak bisa menguraikannya. Hanya bisa menggambarkan kondisinya terbelah dua seperti tersebut. Hanya saja ada sekilas keterangan yang dikemukakan ketua FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) seperti dimuat di koran Pikiran Rakyat Bandung sebagai berikut: Singapura-Tiga Nama Dalam ceramahnya yang diselingi dengan teriakan takbir berkali-kali oleh hadirin, K.H. Athian Ali M Da¡¯i, M.A. mengatakan, gerakan provokasi pemikiran dan pemurtadan akidah islamiah yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam ¡°jaringan iblis laknatullah¡± sesungguhnya didanai oleh sebuah lembaga yang berasal dari Amerika Serikat (AS). ¡°Tokoh jaringan tersebut bersama seorang cendekiawan terkenal dan seorang rektor sebuah universitas Islam di Jakarta merupakan orang-orang yang harus ¡®dirawat¡¯ oleh pemerintah. Instruksi untuk ¡®merawat¡¯ ketiga tokoh Islam tersebut disampaikan langsung oleh seorang tokoh pemerintahan Singapura tatkala bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu,¡± kata K.H. Athian Ali. Upaya provokasi pemikiran dan pemurtadan akidah islamiah tersebut dilakukan secara sistematis melalui berbagai jalur dan sarana yang ada di tengah kaum Muslimin. Oleh karena itu, sejak beberapa bulan ini di sejumlah perguruan tinggi negeri dan Islam mulai bermunculan fakta sejumlah mahasiswa dan dosen yang mengikuti aliran pemikiran para tokoh dan kontributor ¡°jaringan iblis laknatullah¡±. Antek Yahudi dan Nasrani Memreteli Islam Pertentangan dan pergulatan antara perusak Islam dengan yang mempertahankannya, baik secara prosedural maupun perasaan tampaknya tetap berlangsung. Hanya saja, perusakan terhadap Islam senantiasa dilancarkan, karena Ulil dan para pendukungnya yaitu para pengusung perusakan Islam tetap bekerja siang malam karena sudah ada rasa kelegaan, merasa terlindungi, dan punya sarana yang banyak macamnya, serta banyak dana. Islam dijadikan sasaran untuk dipreteli satu persatu agar habis. Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sehingga Muslimin mengikuti agama mereka (lihat QS Al-Baqarah: 120) maka antek-antek Yahudi dan Nasrani yang mengaku Muslim tidak rela apabila Islam masih utuh seperti apa adanya. Mereka berupaya keras demi mengikuti kemauan bossnya, maka dipreteli dan dikelupas lah Islam ini, sehingga lepas satu-persatu, tidak tersisa lagi. Hingga Islam tinggal namanya, Al-Qur¡¯an tinggal gambar hurufnya. Dalam hadits disebutkan: ¡°Pastilah tali-tali Islam akan dilepaskan satu demi satu tali, maka ketika terlepas satu tali lalu manusia berpegangan dengan yang berikutnya. Yang pertama lepas adalah al-hukmu (hukum, pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.¡± (HR Ahmad, hasan). Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata, rasulullah saw bersabda: ¡°Hampir datang pada manusia suatu zaman (di mana) tidak tersisa dari Islam kecuali namanya, dan tidak tersisa dari Al-Qur¡¯an kecuali tulisannya. Masjid-masjid mereka ramai tetapi keropos dari petunjuk. Ulama mereka adalah seburuk-buruk orang di bawah kolong langit¡­ (HR Al-Baihaqi dalam Syu¡¯abul Iman juz 2, halaman 311). Perusakan terhadap Islam adalah satu kemunkaran yang sangat puncak. Tanpa ada perusakan pun, orang-orang yang mampu untuk menyiarkan dan mendakwahkan Islam maka wajib mendakwahkannya. Sehingga, lepasnya unsur-unsur Islam seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut, tanpa dilancarkan oleh orang-orang tertentu dengan program yang disusun rapi pun, ummat Islam ini sebenarnya wajib mempertahankan Islamnya. Apalagi dalam kasus ini perusakan dan pemretelan terhadap Islam itu justru diprogramkan, didanai, dan dilaksanakan secara sitematis; maka kewajiban untuk mempertahankan Islam di sini lebih mutlak wajibnya. Meskipun demikian, untuk melaksanakan kewajiban mempertahankan Islam dalam kasus ini pun memerlukan perangkat. Di antara perangkat yang paling utama adalah pemahaman Islam secara memadai dan benar. Karena, tanpa memiliki kemampuan memahami Islam secara memadai dan benar, maka menghadapi syubhat-syubhat (kesamaran-kesamaran) dan kata-kata sampah yang disasarkan untuk mempreteli Islam itu bisa jadi justru menambah kerancuan pemahaman. Akibatnya, pemahaman justru akan rusak, carut marut dan makin jauh dari Islam, alias ikut pula mempreteli Islam tanpa disadari. Padahal kalau gerakan sistematis perusakan pemahaman Islam ini dibiarkan, yang terjadi adalah proses pembusukan pemahaman Islam secara sitematis yang menuju kepada rusaknya seluruh sisi pemahaman Islam. Ulil Abshar Abdalla telah kelewat batas. Lontaran-lontaran Ulil yang merupakan olahan dari sampah-sampah berbahaya yang ia kais-kais dari tokoh-tokoh sekuler, Islam kiri, orientalis, kafirin, tasawuf sesat, liberal, dan mereka yang berfaham pluralisme agama alias mensejajarkan semua agama, jelas merusak pemahaman Islam yang sesuai dengan Al-Qur¡¯an, As-Sunnah, dan penjelasan para ulama yang bermanhaj salaful ummah. Inti Ajaran Ulil, Menyejajarkan Bualan dengan Al-Qur¡¯an dan As-Sunnah Inti dari lontaran sampah yang dibualkan Ulil adalah agar dalam mengatur kehidupan modern ini Al-Qur¡¯an tidak dijadikan pedoman, apalagi As-Sunnah. Justru yang dijadikan pedoman adalah apa yang ia sebut pengalaman manusia, dengan alasan bahwa Tuhan telah memuliakan (takrim) kepada manusia. Kalau untuk mengatur kehidupan modern ini masih merujuk kepada Al-Qur¡¯an dan As-Sunnah seperti yang tertulis dalam teks, maka Ulil menganggapnya sebagai penyembahan terhadap teks. Ulil menginginkan agar apa yang ia sebut penyembahan teks itu dicari jalan keluarnya, di antaranya adalah menjadikan pengalaman manusia ini kedudukannya sejajar dengan Al-Qur¡¯an, sehingga Al-Qur¡¯an yang berupa teks itu hanyalah separoh dari Al-Qur¡¯an, dan yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia. Itulah yang dimaui Ulil. Kalau kemauan Ulil itu diikuti, maka dia sendiri tertabrak oleh bikinan dia sendiri, yaitu dia sama dengan menginginkan agar jangan hanya menyembah teks tetapi sembah juga pengalaman manusia. Ujung-ujungnya, dia sendiri menyembah pikirannya sendiri, yaitu pikirannya yang menginginkan adanya penyembahan model yang ia lontarkan. Ulil berguru kepada Romo Katolik di antaranya Frans Magnis Suseno SJ di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Akibatnya menjadi orang nyeleneh. Lontaran Ulil berputar pada kisaran duga-duga yang jauh dari kebenaran, dan ketika dikemukakan ke masyarakat umum menjadi wabah penyakit aqidah. Sebenarnya semua itu menurut istilah Al-Qur¡¯an hanyalah mengikuti orang-orang kafir terdahulu. Guru yang mengajari Ulil itu keyakinannya telah disinyalir oleh Al-Qur¡¯an sebagai orang-orang yang hanya menirukan orang-orang kafir terdahulu. Lantas Ulil yang mengolah pemahaman di antaranya dari gurunya itu, terjebak dalam kisaran yang disebut dalam Al-Qur¡¯an sebagai orang yang menuhankan hawa nafsunya. Itulah kunci rahasianya. Aqidah orang yang mengikuti kafirin terdahulu disebut dalam Al-Qur¡¯an: Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS At-Taubah: 30). Setelah berguru kepada orang yang keyakinannya menirukan kafirin terdahulu, jadilah orang yang menciptakan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Kalau sudah demikian, maka peringatan Allah swt perlu dijadikan pertimbangan benar-benar: Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS Al-Jatsiyah: 23). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS Al-Qashash: 50). Allah swt telah memberikan peringatan setegas itu. Kanyataan telah membuktikan, orang yang berguru kepada tokoh yang keyakinannya menirukan orang-orang kafir terdahulu, maka ketika si murid itu pada gilirannya mengajarkan ajarannya itu kepada umum didukunglah oleh kelompok-kelompok kafirin dari Barat dan Timur serta wadya balanya dan antek-anteknya. Itulah Ulil yang telah berguru kepada intelektual kafir. Demikian pula tokoh-tokoh lain yang berguru kepada kafirin di Barat dalam apa yang disebut ¡°belajar Islam¡± ke Barat, yang kini mereka mengajar di UIN, IAIN-IAIN, Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia, dan di lembaga-lembaga Islam. Mereka adalah penerus Snouck Hurgronje, Van der Plas, atau bahkan Gatoloco dan Darmo Gandul. (Tentu saja ada juga yang shalih, tidak dinafikan). Jadi dari Barat diambil faham pluralisme agamanya (menyamakan semua agama), sedang dari tasawuf sesat diambil wihdatul adyan (menyamakan semua agama)nya, dan dari Gatoloco- Darmogandul diambil kebengalannya dalam meledek Islam. Jadilah sosok-sosok perusak Islam yang sangat berbahaya, sambil bekerja sama-sama dengan pihak yang gencar mengadakan pemurtadan. Astaghfirullaahal ¡®adhiem¡­ Na¡¯udzubillaahi min dzaalik! Masdar dan Zuhairi Diancam Mati, Swaramuslim Mensyukuri Masdar Farid Mas’udi (50 tahun) dan stafnya, Zuhairi Misrawi, dua sosok nyeleneh yang tergabung dalam tim 9 penulis buku FLA (Fiqih Lintas Agama) pimpinan Nurcholish Madjid (Paramadina) diancam mati oleh Presiden PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) di Mesir. Ancaman mati yang mengakibatkan batalnya acara “Pendidikan Islam Emansipatoris” yang akan Masdar selenggarakan untuk mahasiswa Indonesia di Mesir 7-8 Februari 2004 itu disyukuri orang, di antaranya tersirat dari ungkapan-ungkapan di situs swaramuslim. Sebelum acara itu berlangsung, berita pun telah ramai di milis Insist di Malaysia, bahwa Masdar --yang dikenal ingin mengubah waktu pelaksanaan ibadah haji agar ritual pokoknya jangan hanya di bulan Dzulhijjah tapi bisa kapan saja selama 3 bulan itu— telah bertandang ke Mesir untuk menggarap mahasiswa Indonesia. Seorang kandidat doktor di Mesir melaporkan ke milist Insist 6 Februari 2004 sebagai berikut: Assalamualaikum, Terlebih dahulu saya perkenalkan diri: nama saya ; Muchlis M. Hanafi, saat ini tengah menyelesaikan program doktor di Univ. Al-Azhar Kairo, jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Alquran. Selama ini saya hanya aktif sebatas sebagai pembaca di milist ini. Di tengah kemelut persoalan haji, mulai di tanah air sampai pada tingkat pelaksanaannya di tanah suci, yang tak kunjung usai, khususnya setelah tragedi Mina terbaru (2004) yang menelan korban 244 orang, berbagai ide dilontarkan. Di antara yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan, apa yang disampaikan oleh Masdar F Mas’udi, Katib Syuriah PBNU dan Anggota Komisi Fatwa MUI, seputar peninjauan ulang kembali waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji, dan ‘dipasarkan’ oleh Ulil Absar Abdalla dalam tulisannya di Media Indonesia, Selasa, 3 Februari 2004 (Tulisan dan wawancara Masdar dapat dilihat di www.islamlib.com, Jawa Pos, Minggu, 18 Januari 2004). Kesimpulannya, menurut Masdar, selama ini telah terjadi kesalahan dalam pemahaman menyangkut waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji. Puncak ibadah haji yang dilakukan tanggal 8, 9, 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, menurutnya, bertentangan dengan nash sharih dalam Al-Quran, Al-hajju asyhurun ma`lumat (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah maklum, yaitu Syawwal, Dzulqa`dah dan Dzulhijjah, dengan perbedaan apakah Dzulhijjah seluruhnya atau hanya 9 atau 10 hari pertama). Berdasarkan ayat tersebut, ibadah haji dapat dilakukan kapan saja, dalam hari-hari selama tiga bulan tersebut, tanpa terfokus pada hari-hari yang selama ini kita kenal sebagai puncak pelaksanaan ibadah haji. Demikian singkatnya, secara lengkap argumentasinya dapat dibaca di sumber yang kami sebutkan di atas. Di Mesir, wacana seperti itu bukanlah baru. Beberapa tahun lalu, seorang Jenderal (Purn) Mesir bernama Muhammad Syibl pernah mengutarakan ide tersebut dengan argumentasi yang sama. Likulli saqith laqith (Setiap yang ‘jatuh’ akan ada yang memungut), demikian kata pepatah Arab. Saat ini Masdar cs (P3M) tengah berada di Kairo dan akan menggelar, yang mereka sebut Pendidikan Islam Emansipatoris. Salah satu materinya ide sensasi dia ttg haji. Pendidikan model P3M ini terbilang baru dalam sejarah mahasiswa Kairo. Bayangkan, tempatnya di hotel Sonesta (bintang lima) dengan segala fasilitasnya, peserta gratis, bahkan diberi ganti transport, dapat modul dan buku-buku yang membawa misi mereka, biaya tiket, honor, akomodasi tutor semua mereka yang tanggung. Yang diminta dari mahasiswa Kairo cuma kuping. Resistensi mahasiswa cukup kuat, acara diboikot oleh sebagian besar organisasi mahasiswa yang ada; sebagian karena tidak setuju dengan pemikirannya, sebagian lain karena sosok koordinator program, Sdr. Zuhairi Misrawi, yang ketika di Kairo pernah mengatakan shalat tidak wajib. Besar kemungkinan acara gagal. Ini sekadar informasi berita terhangat di Kairo. Assalamualaikum. Informasi itupun mendapatkan tanggapan dari para “petinggi” di Inssist, di antaranya Adian Husaini dan Hamid Fahmy Zarkasyi. Adian menginginkan agar Masdar ditanya tentang poligami, karena dirinya berpoligami, padahal tokoh liberal. Sedang Hamid Fahmy Zarkasyi menanggapi: Kalau di zaman ekonomi mleset seperti ini ada orang yang tidak lagi mempersoalkan dana, untuk hal-hal yang non-profit, sungguh luar biasa jiwa keikhlasannya. Jauh-jauh dari Indonesia ke Cairo untuk menyebarkan suatu gagasan memang ‘langka’ di zaman sekarang ini. Khususnya jika dana itu keluar dari koceknya sendiri. Pekan berikutnya ternyata di Indonesia pun beredar berita besar bahwa acara Masdar di Mesir itu gagal, bahkan dia dan Zuhairi diancam mati. Berita itu dimuat oleh Majalah Gatra, edisi 14, tgl 20 Februari 2004 sebagai berikut: Gertak Mati Pengawal Akidah SENYUM renyah tersungging di bibir Masdar Farid Mas'udi saat ia melihat lambaian tangan istrinya yang menjemput di Pintu 1 Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Selasa malam lalu. Semua beban yang menindih benaknya seakan sirna. Zuhairi Misrawi dan Nur Rofi'ah, yang berjalan mengapit Masdar, juga mengumbar senyum lebar. Mereka baru saja terbang selama 19 jam dengan pesawat maskapai penerbangan Emirates Airlines dari Kairo, Mesir. "Lega rasanya kembali menghirup udara kebebasan berpikir di Indonesia," ujar Zuhairi, berbinar-binar. Mereka pantas ceria karena terbebas dari bayang-bayang ancaman maut di "negeri piramida". Para pengurus Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta itu merasa jiwanya terancam oleh ucapan Presiden Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir, Limra Zainuddin. Ia antara lain menyatakan: "Saya akan membunuh Bapak atauZuhairi. Kalau bukan Bapak yang mati, atau Zuhairi, maka saya yang mati. Pilihannya mayat saya, mayat Bapak atau Zuhairi. Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh Bapak." Ancaman itu dikutip dalam catatan kronologi bikinan tim panitia yang beredar di milis para mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir, akhir pekan lalu. Limra mengucapkannya ketika bertemu Masdar di lobi Hotel Sonesta, Kairo, Jumat sore pekan silam. Direktur P3M itu berada di sana karena besoknya, ia berencana punya gawe bertajuk "Pendidikan dan Bahtsul Masail Islam Emansipatoris ".Acara ini akan dilangsungkan di hotel bintang lima tersebut, Sabtu hingga Senin pekan lalu. Kegiatan ini merupakan kerja sama P3M, Kekatiban Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), dan organisasi mahasiswa setempat, "Sanggar Strategi TEROBOSAN". Pesertanya sekitar 75 mahasiswa Indonesia di Mesir yang mewakili sejumlah simpul. Pemikir Mesir, Prof. Dr. Hassan Hanafi dan Dr. Youhanna Qaltah, dijadwalkan menjadi pembicara. Sore itu, Limra mendatangi hotel untuk menolak acara tersebut. Setelah menemui manajer hotel, ia bertemu panitia dari unsur mahasiswa Indonesia di Kairo. Limra menyebutkan alasan menolak acara, karena lontaran pemikiran Zuhairi dianggap meresahkan masyarakat. "Pernyataan Zuhairi tentang salat tidak wajib. Dan permasalahan muslim menikahi wanita musyrik," kata Limra. "Juga pendapat Masdar tentang haji," Limra menambahkan. Baru beberapa menit Limra berada di lobi hotel, kemudian muncul Masdar bersama beberapa mahasiswa. Limra menyampaikan tembusan surat keberatan PPMI kepada Masdar. Surat tertanggal 5 Februari 2004 itu meminta Duta Besar RI untuk Mesir meniadakan acara yang akan digelar Zahairi Misrawi selaku Koordinator Program Islam Emansipatoris P3M. Penolakan itu, katanya berdasar aspirasi mahasiswa Indonesia di Mesir. Ujung surat PPMI itu menyiratkan ancaman. "Bapak sudah bisa membaca apa yang terjadi, bila acara Zuhairi tetap dilaksanakan." Menanggapi persoalan itu, Masdar berusaha mendinginkan susana dengan menawarkan dialog. Limra menolak, dengan alasan hanya buang-buang waktu. Ia menilai pandangan Masdar tentang pelanggaran waktu haji telah mengungkit akidah. "Itu kan sekadar pemikiran. Anda tidak harus mengikutinya," kata Masdar, berargumentasi. "Pokoknya tidak bisa,” ujar Limra dengan nada tinggi. "Saya sudah capek mengurus persoalan seperti ini, sampai program saya terbengkalai. Sejak Lebaran, saya sudah marah. Sampai sekarang saya masih marah." Masdar lalu menantang, "Seandainya acara ini tetap dilaksanakan, apa akibatnya?" Limra menanggapinya dengan melontarkan ancaman akan membunuh Masdar. Dengan tenang, Masdar meledek Limra, "Bisa nggak saya dibikinkan surat ancaman bahwa saya akan dibunuh?" Dan Limra pun berkelit, "Saya hanya bisa lewat lisan, saya banyak pekerjaan." Masdar kembali melontarkan pertanyaan, "Jadi, sama sekali nggak ada jalan keluar?" Limra naik pitam. Napasnya terengah-engah. Tangan kanannya mengambil asbak di meja, lalu diacungkan ke muka Masdar. "Apa perlu Bapak saya bunuh sekarang?" Limra membentak. Para mahasiswa di sekitar Masdar segera menenangkan Limra. Asbak dikembalikan ke tempat. Masdar "diamankan" ke kamar. Limra digandeng ke luar hotel. Pertemuan bubar. Masdar langsung menelepon Duta Besar RI untuk Mesir, Prof. Bachtiar Aly, meminta perlindungan. Kepada GATRA, Bachtiar Aly mengaku terkejut mendengar insiden ini. "Setahu saya, acara ini ditunda sampai setelah pemilu. Ternyata jadi dilaksanakan sekarang," kata Bachtiar. Ia menyatakan, Kedutaan Besar RI (KBRI) pernah menyarankan penundaan acara itu, karena ada surat penolakan dari ICMI dan NU Mesir. Anehnya, surat-surat itu tidak menohok Masdar, tetapi Zuhairi, alumni Jurusan Akidah Filsafat Al-Azhar. Surat ICMI menyebut Zuhairi sebagai sosok yang menimbulkan kontroversi karena pernah menyatakan salat tidak wajib. Surat NU menyatakan bersedia bekerja sama menyelenggarakan acara ini, dengan catatan tidak menampilkan Zuhairi sebagai pembicara. Ia dinilai memiliki resistensi kuat di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. PPMI malah secara khusus menulis surat kepada Zuhairi, tertanggal 6 Februari. Isinya mengecam Zuhairi yang dinilai sering mengusik ketenangan umat dalam menjalankan syariat. "Pemikiran dan slogan yang selama ini Saudara usung tidak sesuai dengan kepribadian seseorang yang pernah menuntut ilmu di Al-Azhar," tulis surat itu. Zuhairi menyangkal pernah mengatakan salat tidak wajib. "Sebagai alumni pesantren dan Al-Azhar, tidak mungkin saya mengatakan salat tidak wajib," katanya. "Saya hanya mengkritik salat yang tidak memiliki efek sosial bagi perbaikan masyarakat. Salat jalan, tapi korupsi juga jalan," salah satu penulis buku Fiqih Lintas Agama ini menambahkan. Seingat Zuhairi, tudingan itu bukan hal baru. Tahun 1999, saat masih kuliah di Al-Azhar, Zuhairi pernah sampai menandatangani surat pernyataan bahwa ia tak pernah menyatakan salat itu tidak wajib. Pengagum Hassan Hanafi ini lalu mempertanyakan klaim bahwa resistensi atas dirinya amat kuat. "Pada acara ini saya buktikan bisa mendapat dukungan 200-an mahasiswa. Janganlah memanipulasi slogan-slogan kosong," katanya. Kalau yang dibidik Zuhairi, mengapa Masdar yang kena damprat? "Masdar lagi apes saja," kata Bachtiar Aly. "Sebenarnya mereka mencari Zuhairi. Ternyata di hotel mereka ketemunya dengan Masdar, ditumpahkanlah segala emosi pada Masdar," Bachtiar menjelaskan. Insiden ini berakibat dibatalkannya acara itu. State Security, lembaga keamanan negara Mesir, menghubungi manajer hotel. Pihak hotel kemudian mengontak KBRI, mengabarkan tentang pembatalan acara tersebut. Menurut Masdar, karena KBRI tak bisa memberi jaminan, maka hotel pun angkat tangan. "Saya memang kecewa, tapi saya bisa mengerti," kata Masdar. Namun yang membuat Masdar masygul, ia dipersulit ketika bersilaturahmi ke kantor NU Mesir. Ketika Katib Syuriyah ini baru berbicara santai selama lima menit di kantor NU Mesir, tiba-tiba ada telepon dari State Security, minta Masdar membubarkan pertemuan. "Ini gimana, saya ketemu warga sendiri saja tidak bisa," katanya. Pembatalan acara itu, menurut Kepala Bidang Penerangan KBRI, Teuku Darmawan, sepenuhnya merupakan kebijakan State Security. KBRI di Mesir tidak ikut-ikutan. "Kami tahu ada pembatalan setelah mendapat info dari Hotel Sonesta yang mendapat teguran dari State Security ," kata Darmawan. Atase Pertahanan KBRI, Kolonel Yohastihar, menjelaskan bahwa kegiatan orang asing di Kairo harus ada clearence dari State Security. Untuk salat id saja, KBRI juga memberitahukan ke State Security. "KBRI tidak punya wewenang membubarkan acara. Kalau State Security yang melakukan, KBRI tidak bisa intervensi," tutur Yohastihar. Pembatalan acara ternyata tak membuat ancaman mati Presiden PPMI berhenti. Limra melebarkan ancamannya kepada para mahasiswa yang menjadi saksi dan penyusun kronologi versi P3M. Kepulangan Masdar, Zuhairi, dan Rofi'ah hanya menenangkan diri mereka. Sementara beberapa mahasiswa di Kairo masih dalam bayang-bayang ketakutan. Saat dihubungi GATRA, Selasa malam lalu, Limra menolak berkomentar. Untuk meredakan ekses lebih lanjut, Selasa siang lalu Duta Besar Bachtiar Aly mempertemukan pengurus PPMI dan Panitia P3M. Bachtiar menginginkan adanya islah, dan ketegangan bisa mereda. PPMI memberi surat berisi dua tuntutan pada panitia. Pertama, melengkapi kronologi. Kedua, minta maaf. PPMI mematok tenggat sampai Rabu pekan ini pukul 10 malam. Bila tidak terpenuhi, Presiden PPMI akan mengundurkan diri. Panitia Pengarah Acara P3M, Mas Guntur Romli, siap memenuhi tuntutan itu. "Dari segi substansi, Limra tidak menyangkal adanya ancaman bunuh," kata Guntur. Sehingga, kalaupun kronologi dilengkapi, tidak akan mengubah isi. Tampaknya, perjalanan menuju titik temu kian dekat. (Gatra) . Berita disertai gambar-gambar Masdar, Dubes RI di Mesir, lokasi di Mesir, dan Bandara Cengkareng Jakarta itu dikutip full oleh situs swaramuslim lalu diberi komentar: Beritahu teman artikel ini!! http://swaramuslim.net/more.php?id=P1527_0_1_0_M Lalu situs swaramuslim itu menampilkan komentar-komentar dari pembaca, di antaranya: Archive Komentar: Membersihkan Ummat Islam Dari Kaum Munafik Memang Paling Berat Dalam Surat Al-Baqarah, Allah menyebut ada 3 jenis manusia: mu'min, kafir dan munafik. Kaum Mu'min disebut 4x dalam surah itu, kafirin 2x disebut, sedangkan Munafikin disebut sampai 13x .... luar biasa! Tentu ada maksud di balik semua pemberitaan itu. Bahkan, begitu khususnya masalah keberadaan kaum munafik itu dalam perjuanagan Islam, sampai-sampai Allah buatkan sebuah surat tersendiri dalam Al-Qur'an yang disebut sebagai Surat Al-Munafikun. Ayat-ayat dalam surat ke 63 itu mengupas habis ciri, sifat, sepak terjang dan keberadaan kaum munafikin itu. Di zaman Rasulullah masih hidup, ketika Islam akan beliau kembangkan lebih luas dengan jihaad melalui peperangan, maka kelompok yang beliau bersihkan lebih dulu dalam tubuh umat Islam, adalah kaum munafik ini. Ummat Islam memang kesulitan menghadapi kaum menafik itu, jauh lebih mudah menghadapi kaum kafir yang sudah jelas identitasnya, sementara mereka ini mulutnya mengaku beriman tapi hatinya menolak Nur Ilahi. Tapi kita tidak bisa begitu saja menuding seseorang munafik, hanya berdasarkan ciri-cirinya saja, sebab kemunafikan ini menyangkut tentang isi hati manusia yang menjadi rahasia Allah. Bagi ummat Islam yang imannya pas-pasan, sulit mendeteksi keberadaan mereka, hanya hamba-hamba Allah yang bersih saja yang memiliki kemampuan untuk membaca firasat isi hati manusia munafik ini. Maka, waspadalah... wasapadalah…, kalau tanda-tanda kemunafikan itu ada di sekitar kita, atau bisa jadi ada dalam diri kita sendiri. Wassalamu’alaikum wr wb date : 21 Feb 2004 commented by: Annisa-Haqque Assalamualaikum wr wb Bersihkan Islam dari orang2 sesat macam Zuhairi, Nurcholis Madjid, Ulil Abshor, dll. Ana sarankan agar kita hati2 dari sepak terjang Paramadina yang dimotori Nurcholis , semoga Alloh memberikan hidayah kepadanya, yang mengajarkan semua agama sama. Na'udzubillahi min dzalik. Ini jelas2 merusak aqidah Islam, dan harus dilawan!! Bersihkan Islam dari firqoh sesat ini! Wassalamualaikum wr wb date : 22 Feb 2004 commented by: irfan Demikianlah berita dan sambutan masyarakat, di antaranya yang telah tertuang dalam situs tersebut. Barangkali pihak Paramadina, JIL Utankayu, Syir’ah, LKiS Jogjakarta, P3M, sekuler, dan yang selama ini dinilai oleh masyarakat sebagai kelompok yang mengaca-acak Islam perlu menengok kembali dosa-dosanya. Sejak awal pembuatan buku Fiqih Lintas Agama sudah diingatkan oleh sesama rekan Paramadina. Di antaranya Dr Zainun Kamal (satu dari 9 tim penulis FLA Paramadina) mengatakan, jangan sampai lebih merangkul teman dari non Islam namun justru membuat musuh di kalangan Islam sendiri. Ungkapan bijak itu perlu dijadikan renungan kembali Fikih Lintas Agama Dikecam di Mana-mana Teologi Pluralis Keyakinan Kafir Buku Fikih Lintas Agama (FLA) dikecam di mana-mana karena isinya menyelisihi ajaran Islam, menyesatkan, bahkan menuju kepada kepercayaan kemusyrikan yang sangat dilarang dalam Islam dan dosa paling besar. Itu semua karena ajaran yang diusung tim penulis Paramadina 9 orang itu adalah aqidah syirik, yaitu pluralisme agama, menyamakan semua agama. Aqidah yang merusak Islam dan diusung oleh kelompok Paramadina pimpinan Nurcholish Madjid dengan sponsor The Asia Foundation (yayasan orang kafir yang dananya dari Amerika) dalam buku Fikih Lintas Agama itu telah dibantah oleh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) di UIN (dahulu IAIN) Jakarta, 15 Januari 2004. Kemudian ungkapan-ungkapan wakil Tim Paramdina dalam debat itu yang tampaknya tetap ngotot mempertahankan penyelewengannya dibabat pula dalam buku berjudul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama karya Hartono Ahmad Jaiz. Borok-borok FLA dibeberkan, dan juga kerusakan-kerusakan muatannya dan metodologinya. Karena buku FLA terbitan Paramadina ini dipandang membahayakan Islam, maka sorotan tajam terhadapnya digelar di mana-mana. Di antaranya di Aula Al-Irsyad Solo Jawa Tengah dihadiri 1500-an orang, dengan pembicara Ustadz Abdullah Manaf dan Hartono Ahmad Jaiz, Ahad 24 Maret 2004. Malam harinya dilanjutkan di satu Masjid di Penumping Solo dihadiri 200-an jama’ah. Di Bekasi masalah buku FLA ini disoroti tajam di Majlis Taklim Al-Hikmah BJI, di Masjid Ummu Umar cabang Al-Huda Bogor. Di radio Dakta, dan di Islamic Center Bekasi. Di Jakarta gugatan terhadap buku FlA keluaran Paramadina itu digelar di Bina Ukhuwah Kelapa Gading dengan menghadirkan pembicara Ustadz Agus Hasan Bashori dan Hartono Ahmad Jaiz, juga di Masjid RS Pertamina Pusat Mayestik Blok M, dan di Pameran Buku Islam Nasional di Balai Sidang/ JCC Senayan dengan membedah buku Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, menghadirkan pembicara Fauzan Al-Anshari dari MMI dan Hartono. Dalam bedah buku bantahan terhadap FLA berjudul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama karya Hartono Ahmad Jaiz di Pameran Buku Islam Nasional di Senayan, juga di berbagai tempat tersebut dikemukakan plintiran-plintiran tim Paramadina dalam buku FLA-nya. Hingga buku FLA terbitan Paramadina itu terkuak belang ketidak jujurannya serta penyesatannya. Tidak Ilmiah Di samping itu, buku FLA Paramadina ini sangat tidak ilmiah, memalukan, dan menghina serta melecehkan sahabat Nabi saw terutama Abu Hurairah ra (FLA hal 70), dan juga ulama terutama Imam Syafi’I, serta memutarbalikkan pernyataan Imam Ibnu Taimiyyah. Ustadz Abdullah Manaf di Solo menegaskan, buku FLA itu sangat jauh dari metodologi ilmiah, apalagi dalam hal manhaj/ metodologi memahami Islam dan dalam beristinbath (menyimpulkan hukum). Bayangkan, untuk membolehkan hadir di upacara-upacara hari besar orang kafir, dalam buku FLA halaman 85 itu landasannya di antaranya adalah hadirnya Yasser Arafat bersama isterinya Suha, di acara misa tengah malam di Gereja Saint Catherine di Bethlehem, dan menghadiri Perayaan Malam Natal di Gereja Kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan mengikuti acara tarawih di masjid dekat gereja itu. (FLA hal 85). Lalu di halaman 86 dikemukakan, Ketua MPR RI Amien Rais menghadiri perayaan Natal di Gereja Sentrum Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada Selasa, 19 Desember 2000. Komentar Ustadz Abdullah Manaf, fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan juga Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Iqtidho’ush Shirothil Mustaqiem Limukholafati Ashabil Jahim mendasari larangan menghadiri upacara hari besar orang kafir itu pakai ayat, di antaranya ayat: Walladziina laa yasyhaduunaz zuur “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu.” (QS Al-Furqon: 72). Azzuur di situ para tabi’in mengartikan hari-hari besar orang musyrikin atau kafir. Jadi tidak menghadiri upacara perayaan orang kafir. Untuk mengharamkan hadir di perayaan orang kafir dengan memakai ayat seperti itu, itulah cara yang ditempuh oleh ulama, dan sesuai dengan keilmuan Islam. Tetapi kalau model Nurcholish Madjid cs dalam tim 9 orang dari Paramdina di buku FLA ini, untuk membolehkan hadir di perayaan orang kafir kok landasannya Yasser Arafat dan ketua MPR, ini ilmiahnya di mana? Kalau Islam dibangun di atas pelanggaran-pelanggaran orang, maka hak Allah itu di mana? Tandas Abdullah Manaf. Kecerobohan dan pemutarbalikan yang semena-mena memang tampak jelas di buku FLA. Hartono Ahmad Jaiz mencontohkan, buku FLA halaman 167: “Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.” Ungkapan FLA itu mengandung pemlintiran dan bahkan logika talbisul haq bil batil (mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan). Kata-kata “mempersilahkan pernikahan dengan agama lain” itu jelas bikin-bikinan Tim Paramadina. Karena di dalam Islam justru dilarang menikah dengan orang kafir (lihat Qs Al-Mumtahanah/ 60: 10), yang cakupan orang kafir itu adalah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan musyrikin (lihat QS Al-Bayyinah: 6). Juga ditegaskan larangan nikah dengan musyrikat dan musyrikin (lihat QS Al-Baqarah/ 2: 221). Kemudian hanya ada pengecualian berupa muhshonat (wanita baik-baik yang menjaga diri dan kehormatannya) dari Ahli Kitab (lihat QS Al-Maaidah/5:5). Sekarang budaya orang Yahudi dan Nasrani bisa dilihat terutama di Barat, bagaimana mereka dalam hal frre love bahkan free seks (kebebasan berzina) sudah terkenal di dunia ini. Apakah mereka masih tergolong muhshonaat, masih perlu diperbincangkan. Tahu-tahu FLA membuat kalimat liar: “Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain”. Kalimat liar Paramadina itu sangat menyimpangkan ayat dari makna dan kenyataan. Memperkosa Ayat dan Hukum Islam Setelah “mereka memperkosa” ayat, lalu belum puas, maka “memperkosa” hukum waris Islam, mereka katakan, “maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.”. Pertanyaan kepada mereka: Bukankah hukum pernikahan itu ada sendiri di dalam Islam, sedang hukum waris juga ada sendiri dengan dalil-dalil masing-masing? Kalau main logika “boleh dinikahi maka otomatis boleh mendapatkan waris” seperti itu, maka kita tanyakan kepada mereka: Bolehkah kamu menikahi ibumu? Tentu jawabnya, tidak boleh. Bolehkah kamu menikahi anak perempuanmu? Pasti jawabnya, tidak boleh. Kalau cara berfikir model Paramadina, maka jadinya: Karena ibu dan anak perempuan tidak boleh dinikahi, maka otomatis ibu dan anak perempuan tidak boleh mendapatkan waris. Logika Paramadina cukup dibalikkan kepada mereka. Biar mereka makan itu logika amburadulnya, karena justru anak dan ibu itu adalah pihak yang mendapatkan waris. Maka jelas sesatlah buku FLA yang ditulis 9 orang dari Paramadina itu. Dalam menjajakan kesesatan, mereka main babat semaunya begitu saja. Contohnya, mereka menulis: “Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA, hal 167). Hadits yang dimaksud adalah hadits shohih, bahkan muttafaq ‘alaih, diriwayatkan secara sepakat oleh imam hadits terkemuka, Al-Bukhari dan Muslim: 943. Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang Islam.” (Muttafaq ‘alaih). Pertanyaan yang perlu diajukan kepada Tim Paramadina penulis buku FLA: Apakah label kafir itu berubah jadi label muslim bila masanya normal dan kondusif? Apakah otomatis orang kafir jadi muslim bila keadaannya normal dan kondusif? Semangat zaman tidak menjadi sebab apa-apa dalam hal kekafiran orang maupun kemusliman. Karena hadits itu hanya bicara wujud orangnya, kafir atau muslim. Tidak ada hubungan antara kekafiran orang dengan semangat zaman. Di zaman normal dan kondusif pun orang yang kafir tetap disebut kafir, tidak lantas disebut sebagai muslim. Yang paling parah dari FLA ini adalah aqidahnya, yaitu aqidah pluralisme agama. Di sana ditulis: “Teologi pluralis tentang agama-agama, yang sering disebut pluralisme, memandang bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama: Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil.” (FLA, hal 65). Dalam dialog terbuka di Pameran Buku Islam Nasional di Senayan Jakarta, karena ada peserta yang menganggap bahwa mendebat faham lain seperti itu tidak perlu, maka Hartono Ahmad Jaiz mengemukakan jawaban-jawaban. Di antaranya, justru Allah SWT telah membantah aqidah orang Nasrani dengan menurunkan ayat dari awal Surat Ali Imran sampai hampir ayat ke-90. Sedangkan Nurcholish Madjid cs dengan aqidah pluralisme agama berlandaskan tuduhan terhadap QS Al-Baqarah 62 itu adalah melanjutkan tuduhan orang Nasrani yang menganggap Al-Qur’an menyamakan agama-agama. Dan tuduhan Nasrani itu telah dibantah 700 tahun yang lalu oleh Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Daqoiqut Tafsir juz 2 halaman 70. Namun kini faham Nasrani itu justru diusung oleh Nurcholish Madjid cs dengan nama pluralisme agama dan sering memlintir ungkapan Ibnu Taimiyyah. Teologi pluralisme itu kafir Terhadap aqidah pluralisme agama itu, Hartono membacakan petikan fatwa Lajnah Daimah, yang juga terdapat dalam lampiran disertasi Dr Ahmad Al-Qadhi yang berjudul Da’watut Taqriib bainal Adyan 4 jilid, terbitan Darul Jauzi, Damam Saudi Arabia, 1422H. Inti fatwa Lajnah Daimah itu: “Dan di antara Ushulil Islam (prinsip-prinsip Islam) bahwa wajib yakin kekafiran setiap orang yang tidak masuk Islam, yaitu Yahudi, Nasrani dan lainnya, dan menamakannya kafir, dia adalah musuh bagi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin, dan dia termasuk ahli (penghuni tetap) neraka. Sebagaimana Firman Allah Ta’ala: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al-Bayyinah: 1). Dan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6). Dan ayat-ayat lainnya. Dalam Kitab Shahih Muslim ada riwayat yang shahih dari Nabi saw: ‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi saw annahu qoola: “Walladzii nafsu Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim). Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa (Islam) yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau). Oleh karena itu pula barangsiapa tidak mengkafirkan Yahudi dan Nasrani maka dia kafir. Sebagai konsekuensi kaidah syariat: Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir maka ia kafir (man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir). Berdasarkan kaidah-kaidah dasar aqidah Islamiyah tersebut dan berdasarkan hakikat syariat di atas maka propaganda penyatuan agama (Wihdatul adyan, pluralisme agama) dan menampilkannya dalam satu kesatuan adalah propaganda dan makar yang sangat busuk. Misi propaganda itu adalah mencampur adukkan yang hak dengan yang batil, merubuhkan Islam dan menghancurkan pilar-pilarnya serta menyeret pemeluknya kepada kemurtadan. Dalilnya adalah firman Allah: Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. (Al-Baqarah: 217) Dan firman Allah: Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). (An-Nisa: 89) Dalam pembahasan tentang buku Fikih Lintas Agama karya Tim Paramadina, Ustadz Abdullah Manaf di Solo mengingatkan sejarah, ada tokoh namanya Ja’d bin Dirham guru Jahm bin Shofwan pemimpin aliran Jahmiyah. Ja’d bin Dirham itu percaya Qur’an, percaya Hadits, hanya saja tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim itu khalilullah (kekasih Allah) dan Nabi Musa itu Kalimullah (orang yang pernah diajak bicara Allah). Karena tidak percaya itulah maka kemudian Gubernur Kholid bin Abdullah Al-Qasri berkhutbah di Wasith (wilayah Iraq) pada Hari Raya Adha, dia (Gubernur) berkata: “Pulanglah kamu sekalian lalu sembelihlah qurban semoga Allah menerima qurban-qurban kalian. Maka sesungguhnya aku akan menyembelih Ja’d bin Dirham, karena dia menyangka bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa dan tidak menjadikan Ibrahim itu khalil (kekasih). Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan Ja’d yang menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” Kemudian Gubernur Kholid turun (dari mimbar) dan menyembelih Ja’d bin Dirham. Demikianlah pembahasan tentang buku Fikih Lintas Agama dan borok-borok kesesatan buku tulisan Tim Paramadina itu telah dibongkar di mana-mana, karena meresahkan umat Islam dan membahayakan. Maka ketika dedengkotnya, Nurcholish Madjid, justru diundang dan hadir dalam kampanye PKS (Partai Keadilan Sejahtera), partai yang berasaskan Islam, di Senayan Jakarta, Selasa 30 Maret 2004, maka menjadi bahan pembahasan bagi sebagian pengamat. Adian Husaini: “Saya terbengong-bengong membaca buku Fikih Lintas Agama. Aqidah dan Syariat Islam dimanipulasi dan diacak-acak habis-habisan tanpa dasar ilmiah yang memadai.” Komentar Adian Husaini penulis buku Islam Liberal dalam menanggapi sebuah artikel di sebuah Koran terbitan Jakarta yang menyebut Nurcholish Madjid ada di kampanye PKS putaran terakhir. Komentar Adian itu disalurkan lewat insistnet@yahoogroups.com sebagai berikut: Ya, setuju. Analisis Furqon (Koran Media Indonesia, Kamis, 15 April 2004, OPINI, Partai Keadilan Sejahtera dan Rasionalitas Islam Politik, Oleh Aay Muhammad Furkon, Peneliti Politik The Amien Rais Center) cukup cermat. Saya hanya ingin komentar terhadap paragraf ini: “Di saat kampanye putaran terakhir, PKS bisa menerima Nurcholish Madjid (Cak Nur) sebagai juru kampanye tamu, padahal pemikiran Cak Nur belum bisa diterima oleh sebagian para pendukung PKS.” Apa yang dimaksud dengan pemikiran Cak Nur? Tentulah banyak sekali. Tetapi, yang menonjol dan penting untuk dicermati adalah dalam soal teologi (inklusif dan pluralis) dan sekularisme. Bisa dibaca sejumlah buku untuk memahami pemikiran Cak Nur itu, seperti Teologi Inlusif Cak Nur, karya Sukidi. Teologi Pluralisnya Budhi M. Rahman, juga yang terakhir Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina dan The Asia Foundation (penulis: Cak Nur dkk.). Kritik-kritik terhadap hal itu, sudah saya tulis dalam buku Islam Liberal, juga buku Adnin: Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, juga buku Daud Rasyid. Saya terbengong-bengong membaca buku Fiqih Lintas Agama. Aqidah dan Syariah Islam dimanipulasi dan diacak-acak habis-habisan tanpa dasar ilmiah yang memadai. Ditulis dalam buku ini, misalnya: juga karena Imam Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. (hal 5). Ajaran semua agama adalah kepasrahan pada Tuhan. (hal. 33). Konsep ini sebenarnya jiplakan dari ide Wilfred Cantwell Smith, bisa dilihat dalam bukunya The Meaning and End of Religion. Tetapi, nama Smith sama sekali tidak disebut dalam buku ini. Sama dengan konsep Sekularisasi Cak Nur yang dibuktikan oleh Adnin menjiplak ide Harvey Cox. Juga disebutkan dalam buku ini: Segi persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. (hal. 55). Kita dapat bertanya pada penulis buku ini (Cak Nur dkk): Kitab suci yang mana yang disebutkan itu? Apakah konsep trinitas, trimurti, tuhannya kitab Gatholoco atau Darmo Gandhul, dan ratusan konsep ketuhanan dalam berbagai kitab suci lainnya adalah sama dengan konsep Tauhid Islam? Buku Fiqh Lintas Agama juga banyak memuat hal yang manipulatif. Misalnya tentang Ibnu Taymiyah. Ini sudah lama ditulis Cak Nur, dan Saya sudah mengecek hal ini pada sejumlah literatur yang digunakan Cak Nur, tetapi tidak tepat dan tidak lengkap memahaminya. (lihat bab 2 buku Islam Liberal). Dalam buku Teologi Inklusif Cak Nur (2001), Sukidi menulis: "Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-islam, yakni sikap berserah diri kehadirat Tuhan (QS 29:46). Sayangnya, sudah begitu banyak yang mengritik, tetapi Cak Nur menganggap sebagai angin lalu. Sebagai contoh, berikut ini kritik dari tokoh-tokoh PKS: Dr. Daud Rasyid, tokoh PKS, menilai karya Harun Nasution berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya penuh dengan kerancuan berpikir, akan tetapi justru dijadikan buku wajib bagi mahasiswa IAIN. Kebebasan berpikir yang ditanamkan oleh Harun ini sangat paralel dengan gaya orientalis Barat dalam meracuni otak-otak sarjana muslim yang belajar Islam kepada mereka, kata Daud Rasyid. Tetapi, menurut Daud, penerus Harun kemudian adalah Nurcholish Madjid. Hanya saja, katanya, sihir Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun. (Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, 1993:11-12). Sebuah buku berjudul Anatomi Budak Kuffar dalam Perspektif Al Quran, terbitan Al Ghirah Press, pernah menjadi bacaan favorit di kalangan kader-kader PKS. Disebutkan dalam buku ini, bahwa ceramah Nurcholish di TIM pada tanggal 21 Oktober 1992 adalah merupakan puncak gagasan Nurcholish Madjid dalam upaya menyeret manusia ke dalam comberan atheisme baru yang intinya menggusur syariah, bahkan menuduhnya sebagai simbolisme yang mengarah pada berhalaisme. Gagasan Nurcholish yang mendapat sambutan gegap gempita di Indonesia, merupakan prestasi puncak dari seorang anak didik orientalis dalam menyesatkan orang Islam. Puncak gagasan ini sangat paralel dengan sikap iblis, cendekiawan syetan dari jenis jin. Dan sikap iblis ini kemudian diwujudkan secara utuh oleh kamerad-kamerad syetan dari jenis manusia yang tergabung dalam Kelompok Pembaruan yang mengorganisir aktivitasnya dalam satu wadah yang disebut Paramadina, yang gerakannya kemudian dikenal dengan Gerakan Pembaruan Keagamaan. (hal: 62-63). Hingga kini, Cak Nur tidak pernah merevisi pendapatnya. Jadi, tuan-tuan dan puan-puan, begitulah adanya soal pemikiran Cak Nur itu. Apa benar hanya sebagian para pendukung PKS yang tidak setuju dengan pemikiran Cak Nur? Adakah tokoh PKS yang setuju dengan pikiran macam tu? (Veritas clara est sed pauci possunt videre. Nurcholishus diu tantum falsus facebat. vera dicere. m_ correge si falsus sum! Sorry, mau ujian bhs Latin jadi latihan sekalian. Vobis gratias ago. Wallahu a’lam). Masalah Ijtihad : Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi Pendahuluan Ijtihad Ijtihad Istinbahi dan Ijtihad Tathbiqi Lapangan Ijtihad Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang Syarat-syarat Ijtihad Jenis-jenis Ijtihad Dilihat dari Tingkatannya Ijtihad Tathbiqi Kesimpulan Pendahuluan Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah. Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat. Adapun ushuliyyah adalah seperti keadaan ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa. Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa. Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut: - Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir). - Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa). - Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat. Dalam masalah terakhir ini Syekh Hudhori Biek berpendapat bahwa pendapat yang rajih/ kuat adalah bahwa Allah mempunyai hukum tertentu dalam setiap perkara dan terdapat dalil atasnya. Maka barangsiapa berhasil mendapatkannya, ia pun telah bertindak tepat. Dan barangsiapa yang melakukan kesalahan sesudah mencurahkan tenaga, maka iapun dianggap salah, hanya saja ia diberi pahala untuk ijtihadnya, dan dibebaskan darinya dosa dan kesalahannya (itu). Oleh karena itu mujtahid yang tepat dalam syari’at adalah satu, dan hal itu karena dalil-dalil syari’at bisa berupa nash-nash dan bisa berupa qiyas yang berasal dari nash-nash itu; dan perbedaan yang terjadi adalah karena pentakwilannya. Adapun pentakwilan dan perbedaan di dalamnya, maka kita mengetahui dengan spontan bahwa As-Syari’ (Allah) tidak menetapkan suatu nash/ teks kecuali Ia menginginkan suatu makna tertentu. Hal ini kadang-kadang berhasil didapatkan oleh sebagian mujtahidin, maka ia dianggap tepat. Sedang yang menyimpang berarti ia berbuat kesalahan. Ijtihad Ijtihad menurut bahasa adalah berasal dari kata jahada (ÌåÏ) yang artinya: mencurahkan segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Jadi arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga. Seperti dalam kalimat: “Dia bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mengangkat batu penggilingan.” Kata ijtihad ini tidak boleh dipergunakan seperti pada kalimat: “Dia mencurahkan tenaga untuk mengangkat sebuah biji sawi.” Ijtihad menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Imam As-Syaukani adalah: “Mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat ‘amali/ praktis dengan jalan istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan hukum).” Definisi itu kemudian dijelaskan oleh As-Syaukani: 1. Badzlul wus’i (mencurahkan kemampuan), ini mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan arti badzlul wus’i adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usahanya. 2. Hukum syara’ itu mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fiqh. 3. Demikian pula pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqoha’, walaupun menurut mutakallimin dinamakan ijtihad. 4. Dengan jalan istinbath itu mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang dhahir atau menghafal masalah-masalah, atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalah-masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal-hal tersebut walaupun benar mencurahkan kemampuan menurut segi bahasa, namun tidak benar berijtihad menurut istilah. Sebagian ahli ushul menambah definisi itu dengan kata-kata faqih (seorang ahli fiqh), maka jadinya “pencurahan kemampuan oleh seorang faqih”. Itu mesti dalam hal ini, karena pencurahan kemampuan oleh yang bukan faqih (ahli fiqh) itu bukan dinamakan ijtihad menurut istilah. Ijtihad Istinbahi dan Ijtihad Tathbiqi Lapangan Ijtihad Al-Imam Abu Zuhroh mengemukakan bahwa sebagian ulama menta’rifkan: Ijtihad dalam istilah ushuliyyin (ahli ushul fiqh) adalah mencurahkan upaya keras (juhd) dan mengorbankan kemampuan maksimal, baik dalam istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan) hukum-hukum syar’i maupun tathbiq/ penerapannya. Ijtihad dengan ta’rif ini maka terbagi dua: 1. Khusus istinbath hukum dan menjelaskannya. 2. Khusus tathbiq/ penerapannya. Bagian pertama, Ijtihad Istinbathi yaitu ijtihad yang sempurna, dan itu khusus bagi golongan ulama’ yang mengarah pada pengenalan hukum-hukum furu’ (cabang) yang ‘amali (praktis/ operasional) dari dalil-dalilnya yang terinci. Sebagian ulama mengatakan, ijtihad (isthinbathi) ini termasuk ijtihad khusus, kadang terputus pada suatu masa. Hal itu menurut pendapat Jumhur (mayoritas ulama), atau paling kurang sebagian banyak dari ulama. Sedangkan ulama Hanabilah (ulama Hanbali) berpendapat bahwa jenis ini (Ijtihad Isthinbathi) harus tidak pernah lowong pada setiap masa, mesti harus ada mujtahid yang mencapai tingkatan ini. Bagian kedua, (Ijtihad Tathbiqi), para ulama bersepakat bahwa tidak boleh kosong suatu masa pun dari adanya (mujtahid tathbiqi). Mereka itu adalah ulama takhrij dan taathbiq (mengeluarkan dan menerapkan) ‘illat-illat yang diistinbatkan atas perbuatan-perbuatan juz’iyah. Maka pelaksanaan mereka atas hal ini adalah penerapan apa yang telah diistinbatkan para ulama yang dulu. Dan dengan tathbiq/ penerapan ini terjelaskanlah hukum-hukum permasalahan yang belum dikenalkan oleh ulama-ulama terdahulu yang memiliki derajat ijtihad mengenai hal itu. Dan sesungguhnya upaya yang dilakukan pemilik derajat kedua (mujtahid tathbiqi) adalah apa yang dinamakan tahqiqul manath (mengeluarkan ‘illat-illat, sebab-sebab terjadinya hukum). Lapangan Ijtihad Secara ringkas lapangan ijtihad ada dua: 1. Perkara syari’ah yang tidak ada nashnya sama sekali. 2. Perkara syari’ah yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya (tidak pasti penunjukan maknanya). Kalau di dalam lapangan ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu perkara, lantas hasil ijtihad itu menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan wewenang qodhi/ hakim, maka wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang itu sendiri. Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang, karena wewenangnya hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara berdasarkan undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang sudah pasti penunjukan maknanya).. Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad” terhadap yang sudah ada nash qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi nash, maka bukan sekadar ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang nash. Sebagaimana hakim memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi undang-undang, maka bukan hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja melanggar undang-undang. Ijtihad Terhadap Hukum yang Sudah Ada Nash Qath’inya Itu Dilarang Contohnya, tidak bolehnya berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat Islam, larangan khamr, larangan makan daging babi, larangan makan riba, kewajiban memotong tangan pencuri –bila tidak ada keraguan dan telah memenuhi syarat untuk dipotong--. Juga tentang hukum pembagian harta waris mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum lainnya yang telah ditetapkan dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang pasti, yang telah disepakati umat Islam dan telah diketahui dari ajaran agama dengan pasti sehingga telah menjadi sendi pemikiran dan perilaku umat Islam. Hendaknya kita jangan sampai terbawa arus orang-orang yang hendak mempermainkan agama, yang ingin mengubah nash-nash muhkamat menjadi mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai hukum-hukum yang dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa dilepas atau bisa diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan tempat kembalinya nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan tempat rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di sana hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak ada pula ukuran yang dijadikan landasan hukum. Syarat-syarat Ijtihad Untuk melakukan ijtihad diperlukan syarat-syarat. Syarat kecakapan berijtihad itu menurut Abdul Wahab Khalaf ada 4: 1. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan filologinya. Mempunyai rasa bahasa dalam memahami gaya bahasa yang ia peroleh dari upaya mempelajari ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Mempunyai cakrawala luas dalam ilmu sastra dan unsur-unsur yang mempengaruhi kefasihannya, puisi maupun prosanya, dan lain-lainnya. Karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berupaya memahaminya. Seperti orang Arab karena kondisi bahasanya yang Arab, maka mereka mampu memahami nash-nash yang datang dengan bahasa mereka. Dan mampu menerapkan kaidah-kaidah pokok bahasa untuk menyimpulkan arti dan ungkapan atau phrase dan sinonim-sinonimnya. 2. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an. Yang dimaksud ialah seseorang itu mengerti hukum-hukum syara’ yang dikandung oleh Al-Qur’an, ayat-ayat yang menjadi nash hukum dan metoda menemukan hukum-hukum itu dari ayat-ayat tertentu. Sekiranya ia dapat, dengan mudah menghadirkan semua ayat hukum Al-Qur’an yang berhubungan dengan topik peristiwa, serta sebab-sebab turun setiap ayat secara benar, juga atsar sebagai tafsir atau ta’wil ayat-ayat itu.Dari pengetahuan semua itu dapat ditemukan hukum suatu peristiwa. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an tidaklah banyak. Sebagian ulama tafsir telah mengelompokkan ayat-ayat dalam kitab tafsir yang khusus, sehingga memungkinkan jika ayat-ayat yang berhubungan satu topik, satu dengan yang lainnya dihimpun. Maka seseorang dengan mudah mengecek kembali ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum mengenai thalaq, perkawinan, pewarisan, harta pusaka, pidana, mu’amalah dan macam-macam hukum Al-Qur’an lainnya. Terlebih lagi jika setiap ayat disebutkan keterangan yang benar tentang sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits yang menjelaskan keglobalannya, dan hadits-hadits yang menafsirinya. Dengan demikian, himpunan undang-undang dalam Al-Qur’an itu menjadi mudah untuk dikembalikan sebagai reference ketika ada keperluan, dan mudah membandingkan pasal-pasal atau topik yang satu dengan yang lainnya. Setiap pasal dapat dipahami menurut keterangan topok-topiknya, karena Al-Qur’an itu sebagiannya menafsiri kepada sebagian yang lain. Suatu kesalahan jika ayat dari topik itu dipahami bahwa ia adalah kesatuan yang terpisah yang berdiri sendiri. 3. Hendaknya seseorang mempunyai pengetahuan Al-Sunnah. Artinya mengerti hukum-hukum syara’ yang ada dalam Al-Sunnah Nabawiyah, sehingga ia mampu menghadirkan hukum-hukum setiap bagian dari bagian-bagian perbuatan mukallaf yang ada dalam Al-Sunnah, dan mengerti tingkatan sanad sunnah itu dari segi keshahihan atau kelemahan riwayatnya. Para ulama telah mempunyai andil besar dalam penyusunan Sunnah Nabawiyah. Mereka mencurahkan perhatiannya untuk meneliti sanad-sanad dan para rawi setiap hadits Al-Sunnah itu. Sehingga ulama’ sesudah mereka, cukup mengadakan penelitian tentang sanad-sanadnya, sampai setiap hadits itu dikenal sebagai hadits mutawatir, masyhur, shahih, hasan, atau dho’if. Para ulama’ juga menaruh perhatian untuk menghimpun hadits-hadits hukum dan menyusunnya menurut bab-bab fiqh dan perbuatan mukallaf, sehingga manusia mudah kembali kepada keterangan yang ada dalam hadits shahih yang berupa hukum-hukum jual beli, thalaq, perkawinan, pidana dan lain-lainnya. Juga dapat kembali kepada ayat-ayat dan hadits-hadits yang membicarakan satu topik di antara topik-topik hukum. Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits-hadits itu, diharapkan dapatlah dipahami hukum syara’. Di antara kitab-kitab yang paling baik untuk dijadikan marja’ (reference) dalam masalah ini, ialah kitab “Nailul Authar” karangan imam Asy Syaukani. 4. Hendaknya ia mengerti segi-segi qiyas. Yaitu mengerti ’illat dan hikmah pembentukan syari’at yang dengan itu disyari’atkan beberapa hukum. Mengerti hikmah syari’ah yang dibuat oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat-’illat hukum, dan memahami peristiwa kemanusiaan mu’amalah, sehingga orang itu mengerti sesuatu yang menjadi realisasi ‘illat hukum yang berupa peristiwa yang tidak ada nash, memahami kepentingan dan kebiasaan manusia, dan hal-hal yang menjadi sarana kebaikan juga kejahatan baginya. Sehingga apabila melalui qias seorang mujtahid tidak menemukan jalan untuk mengetahui hukum suatu peristiwa, dia mampu menempuh jalan lain yang telah dirintis oleh syari’at Islam, supaya dapat menemukan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash (dalil ayat atau haditsnya) itu. Jenis-jenis Ijtihad Dilihat dari Tingkatannya Untuk mengemukakan mana yang ijtihad istinbathi dan mana yang ijtihad tathbiqi, Al-Imam Muhammad Abu Zahroh mengemukakan martabat atau tingkatan mujtahid, sebagai berikut: 1. Al-Mujtahidun fis syar’i, yaitu mujtahid mutlak. Ini tingkatan pertama (tertinggi). Mereka itu memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad. Mereka mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, menjalani seluruh jalan untuk mencari dalil tanpa mengikut orang lain, dan mereka menentukan manhaj (pola) untuk diri mereka sendiri, dan menentukan furu’nya/ cabang-cabangnya. Mereka itu adalah para fuqoha’ sahabat semuanya, fuqoha’ tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, dan Ibrahim An-Nakha’i; para fuqoha’ Mujtahidin seperti: Ja’far Shodiq dan ayahnya (Muhammad Al-Baqir), Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’id, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan banyak lagi yang lainnya. Walaupun pendapat-pendapat mereka tidak sampai kepada kita secara kumpulan yang dibukukan, tetapi dalam pujian-pujian kitab-kitab berbagai fuqoha’ terdapat pendapat-pendapat mereka yang dinukil/ dikutip dengan riwayat yang tidak ada bukti kebohongannya dan bisa dipercaya kebenarannya. 2. Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid pada tingkatan kedua. Mereka adalah mujtahid yang memilih perkataan-perkataan imamnya mengenai perkara yang pokok-pokok (ushul), dan mereka menyelisihi imamnya dalam perkara yang furu’ (cabang-cabang). Tingkatan yang kedua ini jelas terikat dengan manhaj, dan berijtihad dalam hal yang telah diijtihadi imam, baik menyepakatinya atau menyelisihinya. Yaitu berijtihad terhadap hal-hal (baru) yang belum dikemukakan. 3. Mujtahid dalam Madzhab. Mereka ini pada tingkatan ketiga. Mereka mengikuti imam baik mengenai ushul maupun furu’ dalam keadaan berhenti padanya. Pekerjaan mereka hanyalah dalam mengistinbathkan hukum-hukum masalah-masalah yang tidak ada riwayat (pengeluaran hukumnya) dari imam. Dan mereka itulah yang menurut pengikut Maliki bahwa tidak ada masa yang kosong dari keberadaan mujtahid jenis ini. Yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa upaya mereka dalam ijtihad adalah tahqiqul manath, artinya tathbiqul ‘ilal fiqhiyyah (menerapkan illat fiqih) yang telah dikeluarkan oleh (mujtahid) pendahulu-pendahu mereka dalam masalah-masalah yang belum dibentangkan para pendahulu. Dan mereka tidak berijtihad dalam masalah-masalah yang telah dinashkan dalam madzhabnya kecuali dalam skup tertentu. Istinbath pendahulu mereka itu terbina dalam materi-materi ungkapan yang belum mencakup adanya kebiasaan di masa belakangan. Sekiranya para pendahulu itu melihat apa yang dilihat orang sekarang maka mereka pasti mengemukakan apa yang mereka katakan. Upaya mereka pada hakekatnya ada dua unsur: Pertama, mencari kesimpulan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan imam-imam terdahulu, dan seluruh penerapan/ ketetapan fiqh umum yang terdiri dari illat-illat yang dikeluarkan oleh para imam yang kenamaan. Kedua, mengistinbathkan hukum-hukum yang belum dinashkan dengan membangunnya di atas kaidah-kaidah. Tingkatan ini adalah yang membebaskan fiqh madzhab, meletakkan dasar-dasar untuk pertumbuhan madzhab-madzhab, mentakhrijnya dan membinanya, dan meletakkan dasar-dasar tarjih, perbandingan antar pendapat-pendapat untuk menshahihkan sebagian dan melemahkan sebagian lainnya. Dan tingkatan inilah yang memberi ciri keberadaan fiqh setiap madzhab. 4. Mujtahidun dan Murjihun. Ini tingkatan keempat yaitu mereka tidak mengistinbathkan hukum furu’ yang belum diijtihadi para pendahulu dan belum diketahui hukumnya. Dan juga mereka tidak mengistinbathkan hukum masalah-masalah yang belum diketahui hukumnya, tetapi mereka mentarjih antara pendapat-pendapat yang diriwayatkan, dengan sarana tarjih yang telah diterapkan oleh para pendahulu terhadap mereka. Maka mereka menetapkan tarjih sebagian pendapat atas sebagian lainnya dengan (berdasarkan) kuatnya dalil atau kemaslahatan, untuk diterapkan sesuai keadaan masa dan semacamnya yang tidak termasuk istinbath baru secara mutlak ataupun mengikuti (yang lalu). Imam Nawawi dalam muqaddimah kitab Majmu’nya menyamakan tingkatan mujtahid keempat ini dengan tingkatan yang ketiga dalam satu tingkat. 5. Tingkatan muhafidhin, mereka tidak mentarjih tetapi mengetahui apa yang rajih/ kuat, dan menyusun derajat tarjih sesuai dengan yang telah ditarjih oleh para pentarjih. Mereka ini berhak berfatwa sebagaimana para pendahulu, tetapi skupnya sempit. Abu Zuhrah mengemukakan, tingkatan satu sampai 4 itu adalah mujtahid, sedang tingkatan selanjutnya adalah muqollid dan tidak bisa naik ke tingkat ijtihad. Pada tingkatan yang lalu itu, walaupun satu sampai 4 itu adalah tingkatan mujtahid, tetapi penjelasannya sebagai berikut: Pertama: Tingkatan pertama itu adalah yang memiliki tingkatan ijtihad al-kamil almaufur/ sempurna lagi mumpuni. Kedua; tingkatan ijtihad dalam masalah furu’ mutlaq (hanya masalah-masalah cabang), tidak ada baginya ijtihad dalam masalah ushul (pokok). Ketiga: tingkat ketiga dan termasuk pula yang keempat yaitu yang berhak ijtihad dalam hal mengeluarkan Illat (sebab) dan manath hukum, dan menyatakan manath itu dalam masalah-masalah yang timbul padanya. Ijtihad Tathbiqi Setelah diketahui adanya tingkatan-tingkatan mujtahid, maka bisa disimpulkan, ijtihad isthinbathi adalah yang dilakukan oleh mujtahid muthlaq dan mujtahid muntasib. Yaitu memang mereka mengeluarkan hukum dengan istinbath (penyimpulan), tanpa ada yang mengistinbathkannya sebelumnya. Berbeda dengan itu adalah ijtihad tathbiqi, yaitu mengeluarkan hukum sejenis dari yang telah dikeluarkan oleh para pendahulu, hanya saja kasusnya belum ada di masa pendahulu. Di samping ijtihad tathbiqi itu bermakna seperti itu, masih pula ada yang berkaitan dengan tugas, misalnya sebagai khalifah ataupun qadhi, maka di antara tugasnya adalah menentukan peraturan perundang-undangan atau memutuskan perkara. Kita lihat tugas khalifah, dalam hal ini kita jadikan acuan bahwa mereka bertugas menentukan hal-hal yang sifatnya ijtihadi dan mengikat. Ijtihadi dan sifatnya mengikat itulah tathbiqi. Sedang ijtihad istinbathi sifatnya tidak mengikat, boleh dilaksanakan boleh tidak. Al-Mawardi mengemukakan tugas-tugas khalifah, dan ia menjadikan tugas nomor satu khalifah adalah: Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang telah ditetapkan, dan hal-hal yang disepakati oleh salaful ummah (generasi awal Islam). Apabila muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan, dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan. Di samping tugas utama seperti itu masih ada 9 tugas lagi bagi imam/ khalifah yaitu: 1. Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara. 2. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci. 3. Menegakkan hukum. 4. Melindungi daerah-daerah perbatasan. 5. Memerangi orang yang menentang Islam. 6. Mengambil fai’ dan sedekah (termasuk zakat). 7. Menentukan gaji dan keperluan baitul mal. 8. Mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi keuangan, agar tugas-tugas dikerjakan oleh orang-orang ahli, sedang keuangan oleh orang-orang yang jujur. 9. Terjun langsung menangani aneka persoalan, memeriksa keadaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama. Dari 10 tugas itu ada beberapa tugas yang memerlukan ijtihad yang sifatnya adalah tathbiqi (penerapan). Di antaranya menghukum orang yang sesat. Penentuan hukum dari khalifah tidak cukup hanya ditentukan, namun harus diterapkan; maka penerapan itulah namanya tathbiqi. Kalau hukumnya itu belum ada dan kemudian ia berijtihad, maka ijtihad di sini adalah istinbathi. Kemudian hasil ijtihadnya itu diterapkan ataupun jadi undang-undang maka itu tathbiqi. Menentukan dan menghukumi pendapat orang sebagai pendapat yang sesat itu adalah ijtihad istinbathi bila belum pernah ada mujtahid yang mengistinbathkan sebelumnya. Kalau sudah pernah ada, hanya saja kasusnya berbeda tetapi ‘illatnya sama, lalu dikemukakan ‘illat itu untuk menentukan hukumnya, maka itu adalah ijtihad tathbiqi. Dan juga penerapan hukumnya itu adalah tathbiqi. Contoh ijtihad istinbathi dan langsung tathbiqi/ diterapkan sebagai berikut: Ada dua orang yang sedang berselisih. Lalu kedua orang tadi pergi menghadap Rasulullah saw meminta pengadilan. Rasulullah saw pun menyelesaikan perselisihan kedua orang tadi. Namun salah seorang dari mereka merasa kurang puas terhadap keputusan Rasulullah, kemudian ia mengatakan kepada lawannya: “Kalau begitu kita adukan ke Umar.” Kedua orang tadi menghadap ke Umar dan menceritakan permasalahannya. Seusai mendengarkan masalahnya, Umar bangkit dari tempat duduknya sambil mengatakan: “Diamlah kalian di tempat.” Umar masuk untuk mengambil pedangnya, kemudian keluar dan langsung mengayunkannya ke arah orang yang tidak puas tadi hingga akhirnya orang itu mati. Kemudian peristiwa itu diberitahukan kepada Rasulullah saw. Beliau pun bersabda: “Saya kira tidak mungkin Umar memberanikan diri untuk membunuh seorang mukmin.” Kemudian menurunkan ayat dalam surat An-Nisaa’ ayat 65 sebagai pernyataan untuk mengokohkan kebenaran pendapat Umar: “Maka demi Tuhanmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65). Rasulullah pun menghalalkan darah orang yang terbunuh itu dan Umar terbebas dari segala sanksi hukum. Dalam hal ini Umar beranggapan bahwa perbuatan orang yang dibunuhnya menyebabkannya halal dibunuh. Kesimpulan 1. Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad untuk mengeluarkan hukum mengenai masalah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya tetapi dhanni (tidak bermakna pasti), dan hal yang diijtihadi itu belum ada pendahulu yang mengijtihadinya. 2. Ijtihad tathbiqi adalah ijtihad mengenai hal yang sudah tercakup dalam ijtihad pendahulu, namun kasusnya belum disebut oleh pendahulu sebab belum ada. Seandainya ada maka disebut pula. Maka ijtihad tathbiqi itu hanyalah mengeluarkan illat-illat atau tahqiqul manath disesuaikan dengan ijtihad pendahulu. 3. Ijtihad tathbiqi secara bahasa adalah menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada, sehingga hasil ijtihad yang sifatnya tidak mengikat kalau dijadikan undang-undang maka sifatnya jadi mengikat. Pembuatan undang-undang ataupun penetapan keputusan untuk diekskusikan itu bisa disebut tathbiq. Dalam hal ini kalau baru berupa fatwa (sifatnya tidak mengikat) maka masih berupa istinbathi, tetapi kalau sudah jadi undang-undang atau dipakai oleh hakim untuk memutuskan perkara maka sifatnya mengikat untuk diterapkan, di sinilah bisa disebut tathbiqi. Nurcholish Madjid Cs Memperkosa Ushul Fikih Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agamanya Provokasi Kebencian Terhadap Imam Asy-Syafi’i Kerja Maraton Menggembosi Fikih di Kalangan Kiai-kiai NU Desain Besar: Menghadang Formalisasi Syari’at, Aqidah, dan Jihad Sama dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari’at Islam Nafsu Besar Tenaga Kurang Penyelewengan Terang-terangan Memperkosa Ushul Fikih Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agama Tragis benar. Dalam tulisan maupun ucapan, Nurcholish Madjid cs dari Paramadina sering mengemukakan hajat mereka, “memecahkan problem kekinian”. Fiqih klasik pun dikecam sebagai tidak mampu memecahkan problem kekinian. Dan bukan hanya Fiqih klasik yang dituduh dan dikecam, namun Imam Syafi’I mujtahid mutlak yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar metodologi untuk fiqih yang disebut ushul fiqih pun dikecam-kecam. Kecamannya tak tanggung-tanggung. Ulama yang diakui dunia sepanjang sejarah itu telah dipersalahkan oleh Nurcholish Madjid cs sebagai orang yang mengakibatkan terjeratnya umat Islam selama 12 abad dalam kerangkeng metodologi yang diciptakan Imam Syafi’i. Sebegitu lantangnya dalam melontarkan kecaman dan pemojokan terhadap ulama terkemuka. Namun, di balik kegagahan orang-orang Paramadina dalam polah “kaduk wani kurang dugo” (terlalu berani dan tidak mengukur kemampuan dirinya) itu, apa yang mereka slogankan yakni “memecahkan problem kekinian” tinggal slogan kosong belaka. Pasalnya, mereka sendiri ketika bertarung dengan kelompok kecil di suatu ruangan saja sudah tidak mampu mempertanggung jawabkan perkataan mereka yang baru saja diucapkan, apalagi mempertanggung jawabkan teks yang mereka buat berupa buku yang mereka beri judul Fiqih Lintas Agama (FLA). Itulah peristiwa ketika Paramadina yang diwakili Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi (kedua-duanya alumni Mesir) berhadapan dengan MMI (Majelis Mujahaidin Indonesia) yang diwakili M Tholib dan Halawi Makmun, di UIN (Universitas Islam Negeri, dahulu IAIN) Jakarta, Kamis 15 Januari 2004 dalam debat yang disebut diskusi dan bedah buku FLA yang dihadiri sekitar 150-an orang. Tragis memang. Secara tersirat Paramadina (Nurcholish Madjid cs/ NM cs) mau jadi pahlawan sebagai orang-orang yang mengaku mau memecahkan problem kekinian. Namun, alih-alih mampu memecahkan problem kekinian. Lha wong memecahkan problem yang ditimbulkan dari ucapannya sendiri yang baru saja diucapkan saja tidak bisa, tidak mampu. Contohnya, utusan Paramadina itu dengan gagahnya membuat “fiqih tandingan” seperti itu dengan alasan apa yang mereka sebut ucapan Ibnu Taimiyah: “Antum rijal wa nahnu rijal” (Kalian laki-laki dan kami juga laki-laki). Makanya mereka enteng saja mengecam-ngecam Imam Syafi’I, ulama terkemuka dalam hal fiqih, bahkan peletak dasar motodologi dalam mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum-hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ke dalam fiqih. Lalu kelantangan dan kegagahan orang Paramadina ini bagai kerupuk kena air, ketika Halawi Makmun dari MMI mengatakan, bahwa perkataan “Antum rijal wa nahnu rijal” (kalian laki-laki dan kami juga laki-laki) itu bukan perkataan Ibnu Taimiyah, tetapi perkataan Abu Hanifah, Haulaai rijal wa nahnu rijal (mereka laki-laki dan kami juga laki-laki). Dan persoalannya adalah: Kalau yang berkata itu sahabat Nabi saw maka kami (Abu Hanifah sebagai generasi Tabi’in/ sesudah generasi Sahabat) akan tunduk. Tetapi kalau yang berkata itu sama-sama Tabi’in, maka “Haulaai rijal wa nahnu rijal” (mereka laki-laki dan kami juga laki-laki). Itulah di antara problem yang baru saja dicipta sendiri oleh orang Paramadina. Mereka tak mampu berkelit, walau dalam diskusi itu mengandalkan retorika, logika, dan suara keras yang sengit. Namun itu semua justru menampakkan jati diri orang-orang Paramadina, yang selama ini seakan citranya itu “ilmiyah”, namun justru emosional dan tak ilmiyah, serba kilah dan ngambang, mengalihkan persoalan yang diajukan untuk dijawab, namun tak mereka jawab. Sekali lagi, problem dalam ruangan sempit yang mereka buat sendiri saja tak mampu mereka pecahkan, lha kok sok mau memecahkan problem kekinian sambil mengecam-ngecam ulama salaf, yang tentu saja para ulama terdahulu itu tidak terbebani untuk bertanggung jawab mengenai apa-apa yang terjadi kini. Di samping itu kelompok Paramadina ini masih lebih tidak mampu pula dalam memecahkan problem teks yang mereka buat ramai-ramai dalam buku Fiqih Lintas Agama setebal 274 halaman, namun isinya ada ejekan terhadap fiqih karya-karya para ulama yang disebutnya sebagai sangat sederhana. Padahal dari segi fisik, betapa berjilid-jilidnya kitab fiqih karya para ulama. Itu belum dari segi isi. “Fiqih tandingan”, FLA bikinan Paramadina ini, dari segi fisik maupun bobot tentu tak ada apa-apanya dibanding karya para ulama, walaupun mereka (para ulama) menyusun fiqihnya itu tidak secara beramai-ramai bersamaan atas biaya dari orang kafir. Tidak. Namun kenapa orang-orang Paramadina ini berani mengecam-ngecam, baik lewat FLA-nya maupun langsung dalam diskusi? Justru di situlah perbedaannya dengan sikap para ulama. Adapun karya NM cs yang belum tentu berbobot ini sudah dihiasi dengan sikap yang tidak ilmiyah dan bahkan bisa terkesan suu-ul adab (buruk akhlaq). Dapatkah problem kekinian dipecahkan dengan cara seperti itu? Kata pepatah Arab, faaqidu syai’ laa yu’thi. Orang yang tak punya apa-apa, maka tidak bisa memberi. Ini bisa ditarik pengertian, orang yang sedang dirundung problem sendiri –akibat dia buat-buat sendiri—dan harus dipertanggung jawabkan, maka mesti lebih dulu harus memecahkan dan mempertanggung jawabkan apa yang mereka buat itu. Tidak bisa langsung memecahkan problem di luar diri mereka. Provokasi Kebencian Terhadap Imam Asy-Syafi’i Lakon seperti itu benar-benar diujudkan oleh Nurcholish Madjid cs (NM cs), yaitu mengecam Imam Syafi’I yang telah berjasa besar dalam memberikan khazanah keilmuan Islam, di antaranya metodologi “pembuatan” fiqih, namun justru dikecam oleh Nurcholish Madjid cs sebagai orang yang telah mengakibatkan terkerangkengnya umat Islam selama 12 abad dalam metodologi yang diciptakan Imam Syafi’i. Mestinya, kalau NM cs mau jujur, cukuplah apa-apa yang telah diwariskan oleh Imam Syafi’I itu dirujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu tatkala ditemukan kesalahan atau bahkan penyimpangan maka diluruskan. Itulah yang ilmiyah dan Islami, bukan malah mengecam-ngecam sambil sesumbar: “Mereka laki-laki, kami juga laki-laki”, yang sesumbarnya itu sendiri pengutipan dan kegunaannya salah lagi. Untuk lebih jelasnya, inilah kecaman yang dikemukakan Nurcholish Madjid cs kepada Imam Syafi’i. Kutipan: “Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (Al-Qur’an dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (FLA, halaman 5). Tanggapan: Ungkapan NM cs: “kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’I”, itu bukan ungkapan wajar apalagi ilmiyah. Lebih tepat untuk disebut provokasi kebencian. Namun di balik itu, dalam buku FLA itu sendiri (4 halaman sebelum pengecaman ini sendiri) dikutip pula ungkapan Imam Syafi’I, bahkan dijadikan benner teratas dalam Mukadimah, walau belum tentu yang dimaksud sama dengan yang dituju Paramadina. Yaitu ungkapan Imam Syafi’I yang berbunyi: “Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.” (FLA halaman 1). Pertanyaan yang perlu diajukan kepada NM cs: Kalau memang Imam Syafi’I itu membuat “kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih” apa perlunya Imam Syafi’I mengemukakan kemungkinan pendapat dirinya salah dan kemungkinan pendapat orang lain benar itu? Mestinya, kalau Imam Syafi’i itu seperti yang dituduhkan oleh Nurcholish Madjid cs, ungkapan yang cocok diucapkan Imam Syafi’i adalah: “Jangan diikuti pendapat selain pendapatku, karena selain pendapatku itu salah semua. Dan yang benar hanya pendapatku.” Ternyata tidak ada ungkapan Imam Syafi’i yang sekonyol itu, dan yang ada justru yang telah dikutip oleh Nurcholish Madjid cs itu. Satu kosong untuk Imam Syafi’i. Imam Syafi’i bernilai satu, Nurcholish Madjid cs bernilai kosong. Dari segi penulisan saja, NM cs ini sama dengan membuat kubur untuk dirinya sendiri. Buktinya, itu tadi, kecaman NM cs terhadap Imam Syafi’i cukup dibalikkan dengan tulisan NM cs sendiri yang justru mengutip ucapan Imam Syafi’i yang isinya berbalikan total dengan kecaman. Kemudian tuduhan NM cs: “…karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad….” Sekali lagi, mestinya NM cs menunjuk saja, kalau memang Imam Syafi’i itu salah, tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemukakan itu. Sehingga bukan tuduhan kosong, sampai dibilang jerat segala. Kata-kata kerangkeng, belenggu, dan jerat dinisbatkan kepada perbuatan Imam Syafi’i terhadap Umat Islam. Benarkah itu? Dan apakah benar, umat Islam ini lebih mengagungkan karya Imam Syafi’i dibanding Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya dengan bukti pernyataan bikinan NM cs bahwa: “Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i”. Kepada NM cs perlu dikemukakan, di antara ilmu alat untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah ilmu nahwu-shorof (tatabahasa Arab). Para ulama ahli ilmu nahwu telah merumuskan kaidah-kaidah. Imam Sibawaih dan lainnya terkemuka dalam bidang ilmu nahwu ini dan besar pengaruhnya sampai kini. Para penafsir Al-Qur’an dan pensyarah Hadits pun untuk memahami kedudukan kalimat-kalimat dalam Al-Qur’an dan Hadits itu merujuk kepada ilmu nahwu. Apakah yang seperti itu kemudian Imam Sibawaih dan lainnya bisa dituduh bahwa mereka telah membuat kerangkeng, belenggu, dan jerat dalam keilmuan di kalangan Islam selama berabad-abad? Dan apakah para ahli tafsir, ahli fiqih dan ahli-ahli ilmu Islam yang semuanya mesti merujuk kepada ilmu nahwu ketika memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits itu bisa disebut lebih mengagungkan ilmu nahwu dibanding Al-Qur’an dan Hadits? Tidak! Contoh praktis sehari-hari, kita melaksanakan shalat wajib lima waktu setiap harinya dengan menggunakan patokan jadwal waktu sholat yang dibuat oleh para ahli ilmu falak. Jadwal waktu sholat itu telah dibuat untuk petunjuk waktu sholat sepanjang masa. Umat Islam menggunakan jadwal waktu sholat itu. Dan jadwal waktu itu sudah dicocokkan oleh para ulama ahli falak dengan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga ketika orang membaca Al-Qur’an dan hadits mengenai waktu-waktu sholat, maka dalam prakteknya mengikuti jadwal sholat yang dibuat para ulama ahli falak. Apakah dengan kenyataan itu lalu dengan mudahnya untuk dikecamkan kepada para ulama pembuat jadwal waktu sholat bahwa mereka telah membuat kerangkeng, belenggu, dan jerat, sehingga umat Islam lebih mengagungkan “jadwal waktu sholat” dibanding Al-Qur’an dan Hadits? Demikian pula orang menafsirkan atau lebih tepatnya dalam hal fiqih ini mengistinbatkan (menyimpulkan) hukum (bagi yang telah memenuhi syarat kemampuannya) dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits memakai ushul fiqih, metodologi yang perintisnya adalah Imam Syafi’i. Apakah itu bisa dituduh sebagai lebih mengagungkan dan lebih tunduk kepada karya Imam Syafi’I daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah? Dan apakah pembuat metodologi itu bisa dituduh sebagai pembuat kerangkeng, belenggu dan jerat pemikiran fiqih? Di dalam ilmu umum, misalnya dengan adanya peta dunia, peta negara, peta kota dan sebagainya, maka orang bisa menggunakannya sebagai petunjuk. Apakah pembuat peta itu bisa dituduh sebagai pembuat kerangkeng, belenggu, dan jerat terhadap manusia dalam keilmuan selama berabad-abad? Ini benar-benar sulit untuk dimengerti jalan fikiran NM cs ini. Dari semula nyeleneh sudah berubah menjadi main tuduh sembarangan. Kerja Maraton Menggembosi Fikih di Kalangan Kiai-kiai NU Bolehlah Masdar F Mas’udi berbangga dan menepuk dada, misalnya (tetapi ini hanya misal), karena selama ini sejak tahun 1985-an dengan lembaganya P3M telah aktif mempengaruhi kiai-kiai pesantren terutama dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama) secara intensif dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pesantren ke pesantren lain, dari satu acara ke acara lain secara rutin dan terprogram. Semua itu untuk menyuntikkan pembuyaran ushul fiqih, fiqih, dan kaidah-kaidah yang melingkupinya. Masdar boleh bangga, karena memang kerja keras dan sistematis dengan dibiayai oleh orang luar (kalau orang yang tak suka biasanya menyebutnya: orang kafir) ke sana-sini dengan dipandegani (dimotori) oleh Masdar sendiri serta Muslim Abdurrahman dari Muhammadiyah (kalau sekarang dibantu Zuhairi Misrawi alumni Mesir bergelut di filsafat). Upaya “penggembosan”/ pengempesan fiqih sejak tahun 1985-an telah dirasa membawa hasil. Yaitu di antaranya bisa “mempluralismekan” sebagian kiai-kiai NU (Nahdlatul Ulama). Dengan bukti, sudah tidak menganggap haram adanya do’a bersama antar agama, bahkan langsung mereka menyelenggarakan pula, bahkan pernah diselenggarakan secara nasional di masa pemerintahan Gus Dur/ Abdurrahman Wahid tahun 2000-an. Namun “kesuksesan” dalam menggarap sebagian kiai NU belum merupakan pertanda “sukses” bila “go publik”, walaupun hanya di sebuah ruangan tak begitu luas dan itupun di kandang yang diperkirakan mendukung fahamnya, dan walaupun didukung-dukung secara ramai-ramai dan bergabung di dalam wadah yang namanya Paramadina, serta didukung dana oleh The Asia Foundation yang duitnya, kata Ulil Abshar Abdalla (Kordinator JIL/ Jaringan Islam Liberal), bersumber dari orang-orang kaya di Amerika dan pajak dari Amerika. Bahkan, walaupun Masdar F Mas’udi di jajaran buku FLA terbitan Paramadina itu kemungkinan dianggap sebagai “suhunya” lantaran sudah terbukti pengalamannya dalam menggarap kiai-kiai NU se-Indonesia tingkat local dan nasional secara berlama-lama, dan telah dianggap sebagai orang yang telah mampu menjebol benteng Ushul Fiqih kemudian apalagi Fiqihnya, sekaligus tokoh utamanya yakni Imam As-Syafi’I, namun sekali lagi ketika dihadapkan kepada Umat Islam non NU dan non liberal serta yang tak semodel dengan Paramadina, maka sekalipun diusung oleh dua tokohnya yang kedua duanya lulusan Mesir, tetap saja terpuruk. Pelajaran pahit. Tidak bisa disamakan umat Islam ini secara pukul rata dengan sebagian kiai-kiai NU atau pengikut JIL (Jaringan Islam Liberal), atau murid-murid setia Paramadina, atau orang-orang yang suka mundak-munduk dan mindak-mindik (bergaya sangat santun untuk mencari kesempatan masuk) ke pintu-pintu pejabat ataupun pintu orang asing yang punya dana. Keterpurukan pihak Paramadina di depan publik ketika acara debat/ diskusi dan bedah buku Fiqih Lintas Agama yang diselenggarakan Paramadina di IAIN (UIN Universitas Islam Negeri) Jakarta, Kamis 15 Januari 2004, atas “tantangan” MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) adalah pengalaman pahit bagi Paramadina, Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi utusan Paramadina. Sekalipun Masdar F Mas’udi tidak tampak hadir, demikian pula Nurcholish Madjid yang sebenarnya justru diharapkan hadir oleh M Thalib dan Halawi Makmun (Majelis Mujahidin) yang bertandang di tempat yang semula diusulkan untuk disebut debat publik itu, namun tentu sebenarnya yang harus menangung beban lebih dalam hal keterpurukan itu adalah Masdar F Mas’udi dan Nurcholish Madjid. Kenapa? Karena dari segi pembidangan ilmu, dari kelompok yang tergabung dalam penulisan buku FLA itu yang lebih konsen dan berpengalaman mensosialisasikan “penggembosan” (pengempesan) terhadap Imam As-Syafi’I, Ushul Fiqih, dan Fiqih adalah Masdar F Mas’udi. Dan yang sudah berpengalaman malang melintang dalam menghadapi kiai-kiai NU yang bisa diliberalkan maupun tidak adalah Masdar F Mas’udi. Bahkan yang sudah keterlaluan dalam pembicaraan masalah hukum Islam (fiqih) adalah Masdar F Mas’udi. Sampai-sampai, ulama seniornya sendiri dalam NU, yakni KH Ma’ruf Amin yang juga Ketua Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun dibantah mentah-mentah karena KH Ma’ruf Amin tetap mengharamkan zina secara mutlak. Sedang bantahan Masdar Farid Mas’udi hanya karena mengkategorikan dirinya sendiri sebagai ulama INUL (katanya ulama Ikatan NU Liberal) maka berani mengemukakan, kalau berzina maka pakailah kondom . Astaghfirullahal ‘adhiem. Jadi Masdar lebih mementingkan pemasaran kondom daripada haramnya zina dan dosanya. Seandainya benar dia ulama, sesuai dengan Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya itu hanyalah para ulama”; maka kalimat yang pantas dia ucapkan adalah: “Kalau terlanjur berzina maka bertaubatlah taubatan nasuha, taubat yang benar-benar taubat, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi”. Namun karena dia sendiri menamakan dirinya ulama Inul, ya justru ungkapannya lain. Yo wis, ora karuan! (Ya sudah, tidak keruan!). Sementara itu Nurcholish Madjid adalah orang yang dikenal sebagai sesepuh Paramadina dan rector Universitas Paramadina Mulya, yang memang sempat pula “menggembosi” fiqih. Namun menjadi bumerang bagi Nurcholish, karena bagaimanapun, secara tertulis Nurcholish Madjid mengakui bahwa Imam Syafi’I benar-benar diakui sebagai peletak dasar metodologi dalam hal hukum Islam. Hingga Nurcholish menyebut orang Barat pun mengakuinya. (Lihat Kata Pengantar yang ditulis Nurcholish Madjid dalam buku terjemahan Ar-Risalah, Pustaka Firdaus, Jakarta, cetakan pertama, 1986). Persoalan Nurcholish Madjid “memuji” Imam Syafi’I dalam buku terjemahan Ar-Risalah tetapi di buku FLA yang ditulis NM cs justru mengecam-ngecam keras Imam Syafi’I inilah salah satu yang dipersoalkan M Tholib dari MMI dalam diskusi di UIN Jakarta, dan tiada jawabnya, bahkan NM sendiri tak bersedia hadir. Desain Besar: Menghadang Formalisasi Syari’at, Aqidah, dan Jihad Nurcholish Madjid (kini dengan teman-temannya) punya visi dan missi menghadang apa yang sering mereka kecam yaitu formalisasi syari’ah, sedang formalisasi syari’ah itu perangkat yang dianggap sebagai bahan utamanya adalah fiqih, maka sebelum terlaksana formalisasi syari’at itu lebih dulu dihancurkanlah fiqihnya. Untuk menghancurkan fiqihnya, mesti harus dihancurkan ushul fiqihnya, karena sebagai landasan dan metodologi yang menjadi pijakan kuat pengembangan fiqih. Untuk merobohkan ushul fiqih maka diupayakanlah memburukkan citra perintis utamanya, yaitu Imam As-Syafi’i. Kalau semua itu sudah diporak porandakan, maka formalisasi syari’at akan layu sebelum tumbuh. Itulah kronologi singkatnya. Dan hal itu bisa disimak, bagaimana upaya Nurcholish Madjid dalam menempuh pembendungan penerapan syari’at itu. Buku FLA itu adalah tahap lanjutan dari pengomandoan pembabatan fiqih yang telah Nurcholish tulis dalam buku Charles Kurzman, ed. Wacana Islam Liberal, (terjemahan) yang diterbitkan oleh Paramadina pula, Jakarta, cetakan 1, 2001. Sehubungan dengan diterbitkannya buku FLA oleh Paramadina dan dimotori oleh Nurcholish Madjid cs itu merupakan penjabaran dari tulisan Nurcholish Madjid dalam buku Wacana Islam Liberal yang intinya adalah untuk menghadang penerapan syari’at Islam, maka latar belakang itu perlu kita putar ulang. Saya mohon maaf dan kesabaran para pembaca, berikut ini saya kutipkan tanggapan saya terhadap tulisan Nurcholish Madjid yang ternyata tampak seriusnya setelah munculnya buku FLA. Inilah kutipan dari buku saya, Bahaya Islam Liberal: Selanjutnya, berikut ini saya kutip bagian akhir tulisannya (Nurcholish Madjid) agak panjang. Kutipan: “Faktor kedua adalah legalisme, yang membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam” itu. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi yang serba legalistik kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum. Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikih adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. “Fikihisme” ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakan-gerakan reformasi pun umumnya masih memusatkan sasarannya kepada bidang itu. Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama. Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” itu adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara dengan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain, yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. Memang antara agama dengan negara tidak dapat dipisahkan, sebagaimana telah diterangkan di muka. Melalui individu-individu warga negara, terdapat pertalian yang tidak terpisahkan antara motivasi (sikap batin bernegara) dan aksi (sikap lahir bernegara).” Tanggapan: Bagaimanapun, landasan berpikir Nurcholish Madjid itu telah gugur, yaitu pada butir pertama di atas, yang dia menyalahkan orang namun justru dirinya sendiri hujjahnya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Sebenarnya uraiannya yang terakhir itu tidak usah dikomentari, sudah jelas, landasannya keropos. Tetapi, cara dia bikin istilah penyudutan (?) yaitu apa yang ia sebut fikihisme, lalu dia katakan kehilangan relevansinya walau sudah diperbarui; itu semua adalah penafian realitas. Tentang Negara Islam, sebenarnya adalah realita sejarah, dari zaman Nabi saw sampai Khulafaur Rasyidin dan para khalifah ataupun para sultan yang berlanjut selama berabad-abad; itu adalah satu bentuk pemerintahan Islam. Yang dipakai pun hukum Islam atau syari’at Islam. Itu adalah kenyataan, bukan dongeng. Bahkan adanya pemerintahan Islam atau sekarang bisa disebut negara Islam itu sudah sejak sebelum adanya fiqh. Kenapa Nurcholish Madjid memutar balikkan fakta, sehinga ia katakan: “…legalisme membawa sebagian kaum muslim pada pikiran apologetis “Negara Islam”… Legalisme ini merupakan kelanjutan “Fikihisme” (fikh-eism). Fikh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana-sarjana Islam pada abad-abad kedua dan ketiga Hijrah.” Selama manusia itu jujur, dia akan mengakui, pemerintahan Islam jelas sudah ada sejak sebelum munculnya fiqh yang Nurcholish sebut abad kedua Hijrah, karena pemerintahan Islam sudah berdiri sejak Nabi saw di Madinah. Tetapi kenapa Nurcholish katakan: pemikiran apologetik “Negara Islam” itu akibat pemahaman legalisme, dan legalisme itu merupakan kelanjutan fikihisme? Nurcholish boleh menuduh seperti itu, apabila yang terjadi di dunia ini adalah: Belum pernah ada Pemerintahan/ Negara Islam, tetapi fiqh sudah tumbuh dan berkembang, lalu membawa umat Islam ke arus legalisme, barulah kemudian orang berapologetis “Negara Islam”. Apakah kenyataan di dunia ini seperti itu? Jelas tidak! Pemerintahan Islam sudah berlangsung lebih dulu, baru kemudian disusun fiqh oleh para ulama. Sedang fiqh itu sendiri isinya bukan melulu agar umat Islam mendirikan Negara Islam. Jadi tuduhan Nurcholish itu dari segi realita sejarah dan kenyataan di dunia sudah tidak cocok, sedang dari segi penyudutan kepada fiqh pun tidak kena. Lalu Nurcholish masih pula melontarkan tuduhan. Kutipan: “Susunan hukum ini (maksudnya fiqih, pen) juga kadang-kadang disebut sebagai syari’at. Maka, “Negara Islam” itupun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan syari’at Islam yang lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya.” Tanggapan: Terhadap tuduhan Nurcholish Madjid itu, perlu diketahui, fiqih itu adalah ilmu tentang mempraktekkan Islam, baik dalam beribadah maupun dalam hidup di dunia ini . Jadi persoalannya bukan karena umat Islam berharap menunjukkan bahwa aturan-aturan syari’at Islam itu lebih unggul daripada hukum-hukum lainnya, lalu berapologi dengan “Negara Islam”, tetapi Negara Islam itu adalah realita sejarah dan bahkan ijma’ sahabat. Negara Islam itu menjalankan hukum-hukum Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat. Adapun fiqih itu adalah jalan untuk mempraktekkan Islam, baik itu oleh umat Islam maupun oleh pemerintah. Masing-masing ada aturannya.Hal-hal yang pelaksananya hanya pemerintah, seperti mengadili kasus-kasus, maka harus ditangani oleh pemerintah, bukan dilaksanakan oleh umat secara sendiri-sendiri. Dan hal yang harus dilaksanakan oleh umat secara sendiri-sendiri, baik itu ibadah maupun mu’amalah, maka dilaksanakan oleh umat sendiri. Seperti ibadah sholat, jual beli dan sebagainya, dilaksanakan oleh masing-masing individu. Dan ada juga yang dilaksanakan secara kerjasama pemerintah dan umat, seperti pendidikan, da’wah dan sebagainya. Praktek-praktek itu diatur dengan hukum fiqih, karena memang fiqih adalah tatacara mempraktekkan/ mengamalkan Islam. Maka fiqh menurut istilah adalah hukum-hukum syari’ah amali/ praktis. Jadi, kalau kehidupan modern dianggap tidak bisa dijangkau oleh fiqih, atau fiqih dianggap tidak bisa lagi untuk mengatur kehidupan modern, itu sama dengan mengatakan Islam tidak bisa dipraktekkan dalam kehidupan modern. Kenapa? Karena fiqih itu adalah Islam praktis/ amali. Kalau Islam amali ini harus diganti dengan “Islam Liberal amali” yang dianggap mampu untuk diterapkan di dalam kehidupan modern, maka wadah operasionalnya adalah “Negara Islam Liberal” yaitu negara sekuler yang menolak adanya Negara Islam dan bahkan menolak penerapan syari’at Islam dalam kehidupan. Walaupun diputar-putar, intinya sama, menolak syari’at Islam. Titik. Yang jadi persoalan, untuk menolak syari’at Islam, kenapa harus melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak berlandaskan bukti-bukti? Sama dengan Darmogandul dan Gatoloco dalam Menolak Syari’at Islam Generasi awal penolak syari’at Islam di Jawa telah dipelopori oleh Darmogandul dan Gatoloco. Gatoloco menolak syari’at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai berikut: “Santri berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan, (engkau) tidak takut durhaka. Gatoloco berkata: Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun daging anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik. Bukan anjing curian. Anjing itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku? Daging anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing kalau kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau rusa kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal. Itulah penolakan syari’ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa bermakna mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin analog: Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding kambing hasil mencuri. Ungkapan Gatoloco yang menolak syari’at Islam berupa haramnya babi itu bukan sekadar menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang Islam itu menghalalkan mencuri kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya baru kena, apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun mencuri kambing seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yakni Nur Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing ketika di Makkah hingga diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di kolong tempat tidur. Tetapi zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur Hasan Ubaidah itu. Jadi Gatoloco itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari’ah Islam belakangan) telah melakukan dua hal: 1. Menolak syari’at Islam 2. Menuduh umat Islam sekenanya. Demikianlah latar belakang yang perlu diketahui, sehingga terpaksa saya putar ulang apa yang telah saya persoalkan di tahun 2002. Hanya saja rencana “besar” yang berbahaya bagi Islam itu tampaknya Nurcholish Madjid masih kesulitan dalam menjabarkannya, baik dalam hal tenaga-tenaga yang perlu direkrut maupun produk yang mau disuntikkan kepada masyarakat. Dalam rancangan global yang belum saya tanggapi dalam kutipan di atas, Nurcholish menulis: “Padahal sudah jelas, bahwa fiqih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama.” Nafsu Besar Tenaga Kurang Untuk mengujudkan “cita-cita” (kalau orang yang tak suka lebih mantap menyebut "nafsu") Nurcholish yang seperti itu, ternyata walaupun mungkin dana bisa dinegokan dengan pihak-pihak yang suka (atau justru dana sudah tersedia, tinggal melaksanakannya, saya tak tahu) namun dari segi tenaga yang piawai dari yang Islam saja masih kewalahan. Yang memang sudah biasa menggarap masalah fiqih setahu saya baru ada Masdar F Mas’udi, dan itupun belum sukses dalam mempropagandakan fikiran-fikiran anehnya bahwa zakat sama dengan pajak, berhaji bukan hanya di bulan Dzulhijjah tetapi 3 bulan, jadi wuquf di Arafah tidak hanya di tanggal 9 Dzulhijjah, karena kalau pemahamannya seperti itu (wuquf di Arofah hanya tanggal 9 Dzulhijjah) berarti Al-Qur’an dikorbankan oleh Hadits, kata Masdar. Jago yang satu ini paling banter baru bisa mengotak-atik bahwa “perlindungan terhadap agama” (hifzh al-dien) dan "perlindungan terhadap akal" (hifzh al-aql) dalam ushul fiqih tentang Ad-Dhoruriyatul khomsah (5 hal primer yang harus dilindungi) itu kemudian diplesetkan menjadi kebebasan beragama, dan berpendapat. (Itu ditulis di buku FLA dan di bagian yang awal, lihat FLA halaman 12). Padahal, di dalam ushul fiqih ditegaskan: Yang terjadi dalam tingkat ad-dhoruriyyat (aksiomatik) yaitu apa yang telah dikenal dari perhatian Allah (Syari’) kepadanya, yakni ada lima: - Penjagaan terhadap agama mereka - jiwa-jiwa mereka - akal mereka - nasab mereka - dan harta-harta mereka. Contohnya: - ketentuan hukum syara’ dengan membunuh orang kafir yang menyesatkan dan hukuman atas pembuat bid’ah yang mengajak kepada bid’ah adalah untuk menjaga agama mereka - ketentuan hukum syara’ dengan qishosh (balasan setimpal, bunuh balas bunuh dsb) karena dengan hukum itu untuk menjaga jiwa-jiwa. - Kewajiban dari syara’ berupa had (hukuman yang sudah ditentukan) atas peminum arak/ khamr karena dengan hukum itu untuk menjaga akal. - Kewajiban syara’ berupa had (ketentuan hukuman) atas pelaku zina adalah untuk menjaga keturunan dan nasab. - Kewajiban syara’ mengancam keras pencuri adalah untuk menjaga harta-harta. Melalaikan/ menggugurkan dasar-dasar yang lima ini dan lari darinya adalah mustahil. Penyelewengan Terang-terangan Coba kita bandingkan, teks dalam ushul fiqih seperti itu dengan perlakuan NM cs terhadap istilah ad-dharuriyat: mula-mula dikutip lebih dulu secara benar, lalu diplesetkan arahnya. Itulah yang dilakukan oleh para penulis Paramadina yang dipelopori Nurcholish Madjid. Berikut ini kutipannya: Kutipan: “Yang dimaksud dengan kemaslahatan primer (al-dharuriyyat, pen) yaitu perlunya melindungi agama (hifzh al-din), melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-‘aql), melindungi keturunan (hifzh al-nasab) dan melindungi harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang.” Tanggapan: Betapa jauh berbeda antara yang dimaksud oleh Ushul Fiqih dengan yang dimaksud oleh Masdar F Mas’udi dan kawan-kawannya di Paramadina yang disesepuhi oleh Nurcholish Madjid ini. 1. Ushul Fiqih menegaskan: - Penjagaan terhadap agama mereka dalam bentuk: ketentuan hukum syara’ dengan membunuh orang kafir yang menyesatkan dan hukuman atas pembuat bid’ah yang mengajak kepada bid’ah adalah untuk menjaga agama mereka. - Namun Masdar F Mas’udi cs menyatakan: Perlunya melindungi agama (hifzh al-din); Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain. Komentar saya: Ini istilah ushul fiqih “melindungi agama (hifzh al-din)” masih dipakai, tetapi maksudnya sudah dimainkan ke arah lain. Menjaga atau melindungi agama itu maksud yang benar adalah menjaga Islam agar tidak rusak, maka pelaku perusak agama dihukum bunuh, dalam contoh di atas, orang kafir yang menyesatkan maka dalam ketentuan syara’ dihukum bunuh. 2. Ushul fiqih membuat landasan: Penjagaan terhadap jiwa-jiwa mereka dalam bentuk; ketentuan hukum syara’ dengan qishosh (balasan setimpal, bunuh balas bunuh dsb) karena dengan hukum itu untuk menjaga jiwa-jiwa. Tetapi Masdar F Mas’udi cs menyatakan: melindungi jiwa (hifzh al-nafs); menghormati jiwa. Komentrar saya: Bukan sekadar menghormati, tetapi menjaga dari segala yang merusaknya. Sedang jiwa di situ hanyalah jiwa yang dilindungi oleh Islam. Adapun jiwa orang yang tidak dilindungi Islam, misalnya karena memusuhi Islam, melanggar Islam yang sampai terkena hukum bunuh (misalnya murtad, sudah pernah nikah namun berzina, lari dari medan perang, dan membunuh jiwa secara tidak haq) maka tak ada perlindungan lagi. Jadi yang dijaga jiwanya itu adalah orang muslim yang dilindungi syara’, dan urusannya bukan sekadar hormat menghormati. 3. Ushul Fiqh membuat landasan: Penjagaan terhadap akal. Ujudnya: Kewajiban dari syara’ berupa had (hukuman yang sudah ditentukan) atas peminum arak/ khamr karena dengan hukum itu untuk menjaga akal. Tetapi Masdar cs mengemukakan: melindungi akal (hifzh al-‘aql), menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat. Komentar saya: “Menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat” itu bukan merupakan maksud dari istilah Ushul Fiqih “melindungi akal" (hifzh al-‘aql) . Yang dimaksud oleh Ushul Fiqih tentang melindungi akal itu adalah melindungi dari tingkah yang merusak akal. Maka orang yang meminum minuman keras dikenai hukuman (had) dicambuk 80 kali, karena dengan hukuman itu agar akal terlindungi, yakni manusia tidak membuat tingkah yang merusak akal. Adapun pendapat yang dihasilkan dari akal maka perlu dilihat, ketika pendapat itu berupa kekafiran dan mengajak kepada kesesatan-kekafiran maka berarti merusak agama. Dan itu ada hukumnya tersendiri seperti tercantum dalam hal penjagaan agama, point satu. Bukannya pendapat akal yang menyesatkan itu perlu dihargai, tetapi justru pencetus atau penyerunya perlu dihukum, sebab merusak agama. 4. Penjagaan terhadap nasab/ keturunan (hifzh al-nasab) ujudnya: Kewajiban syara’ berupa had (ketentuan hukuman) atas pelaku zina adalah untuk menjaga keturunan dan nasab. Tetapi Masdar cs mengemukakan: melindungi keturunan (hifzh al-nasab) menjaga keturunan (hak reproduksi). Komentar saya: Dalam Ushul Fiqih, istilah melindungi keturunan atau hifzh al-nasab itu maksudnya adalah Allah membuat syari’at, di antaranya dalam hal untuk menjaga keturunan, maka dilarang berzina. Sehingga ada hukuman bagi pelaku zina, agar keturunan bisa terjaga. 5. Menjaga harta (hifzh al-mal) ujudnya: Kewajiban syara’ mengancam keras pencuri adalah untuk menjaga harta-harta.. Sedang Masdar cs menulis: melindungi harta (hifzh al-mal), menghargai kepemilikan harta setiap orang. Komentar saya: Dalam hal harta, Masdar cs tidak begitu menyelewengkan maksud. Berbeda dengan ketika menyangkut masalah penjagaan agama dan akal. Dalam dua hal (agama dan akal) inilah Masdar cs bermain, memainkan penyelewengan maksud. Dari maksud Ushul Fiqh bahwa Allah melindungi agama (Islam) sehingga menetapkan hukum syara’ untuk menghukum bunuh perusak agama serta menghukum pembuat dan penyeru bid’ah, lalu oleh Masdar cs diubah menjadi “Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain”. Betapa jauh bedanya. Kemudian dalam hal penjagaan akal, Ushul Fiqih memaksudkan, Allah menjaga akal Muslimin, maka siapa yang berbuat pelanggaran yang merusak akal dihukumlah. Misalnya minum minuman keras maka dicambuk 80 kali. Tetapi oleh Masdar cs, istilah penjagaan atau perlindungan terhadap akal itu masih dipakai, sedang maksudnya diselewengkan menjadi: “menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat”. Memperkosa Ushul Fikih Demi Kepuasan Syahwat Pluralisme Agama “Pemerkosaan” terhadap Ushul Fiqih telah dilakukan secara beramai-ramai oleh Nurcholish Madjid, Masdar F Mas’udi dan kawan-kawannya, demi meraih kepuasan syahwat pluralisme agamanya, sehingga mereka bisa berteriak sekencangnya, “Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain”, dan perlunya “menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat”. Dan itu diserukan atas nama hal yang primer, yang wajib dilindungi. Kemudian diatas namakan, itulah maqoshidus syari’ah (tujuan syari’ah). Padahal pembicaraan Ushul Fiqih sama sekali bukan seperti itu. Kenapa mereka ini tega-teganya “memperkosa” Ushul Fiqih untuk kepentingan yang sangat bertentangan dengan Islam, dan menyuarakan suara tidak Islami atas nama ilmu Islam, padahal mereka mengaku dirinya Muslim? Ada apa? Di balik itu semua, sudah sebegitu kerasnya upaya NM cs sampai berani mengadakan “perkosaan” secara ramai-ramai terhadap Ushul Fiqih, namun hasilnya baru sampai taraf memperkosa istilah-istilah untuk diselewengkan maksudnya, tahu-tahu sudah kepergok massa. Sehingga untuk menyalurkan hasrat propaganda pluralisme agama dan penghadangan syari’at Islam itu masih perlu banyak tenaga dan aneka perangkat lagi. Itu belum sampai kepada pekerjaan besar untuk merobohkan fiqih, ushul fiqih, dan Imam Syafi’i peletak dasar Ushul Fiqih. Belum lagi untuk mengais-ngais ayat-ayat atau hadits-hadits yang dianggap sebagai landasan pluralisme agama (faham penyamaan agama-agama). Malahan Zuhairi Misrawi mengaku sedang meneliti dan mengumpulkan ayat-ayat yang bersifat pluralisme agama, sambil mengemukakan bahwa M Thalib yang menganggap ayat-ayat Al-Qur’an itu sifatnya monolitik untuk Islam itu salah. Lalu Zuhairi Misrawi dalam diskusi di UIN Jakarta itupun membaca ayat, namun salah, dan pemahamannya secara serampangan. Maka tidak usah penantang yakni Majelis Mujahidin yang mempersoalkan kesalahan bacaan ayat dari Zuhairi Misrawi dan Zainun Kamal, cukup dipersoalkan oleh peserta diskusi saja sudah klepek-klepek (mungkin bahasa psikologinya nervous/ gugup). Sehingga bersublimasi dengan bersuara lantang, namun isinya sangat mengkhawatirkan, baik bagi pendukung Paramadina maupun apalagi lawannya, karena tanpa referensi/ rujukan dan dalil yang meyakinkan. Belum lagi Nurcholish harus menyiapkan tenaga-tenaga yang piawai dari non Muslim. Dan dalam buku FLA itu tidak satu pun orang yang mengaku dari non Muslim yang diikutkan menulis. Sehingga apa yang jadi judul “Fiqih Lintas Agama” itu adalah satu perwujudan dari rancangan global yang amat besar dengan keharusan melibatkan para pakar dari berbagai agama dan muatan yang besar penuh bobot hingga agar mampu menjebol aneka benteng (terutama benteng yang dianggap akan menjadi perlindungan penegakan syari’ah dan benteng penegakan aqidah serta jihad) namun desain besar itu tinggal desain. Bahasa klisenya adalah “maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai”. Itu masih mending, bahkan setengah dari kenyataannya adalah sebagaimana plesetan orang, “maksud hati memeluk gunung, apa daya gunung meletus”. Itulah resiko dari kerja keras di bawah perintah sponsor orang kafir untuk mengacak-acak Islam dan umatnya. Masa’ Allah merelakan kerja keras model itu. Fikih Paramadina Mengusung “Hak” Kafirin Menghadang Syari’ah Membatalkan Hadits, Membolehkan Kafir Mewaris Harta Muslim Kesalahan Fatal, Mengebiri Hadits Demi Membela Kafirin Membatalkan Hukum Islam dengan Logika Qiyas Sekenanya Dialog Antar Agama Menirukan Kafir Quraisy Mencela Imam Asy-Syafi’i dan Menggugat Fikih Jihad Adab Jihad; Yang Tidak Boleh Dibunuh dan Larangan Melampaui Batas Melandasi Kecaman dengan Celoteh Musuh Agama Maraknya artis dan sebagian orang yang nekad melaksanakan perkawinan silang antar agama dan banyaknya pejabat yang mengaku dirinya Muslim namun menghadiri upacara-upacara (ritual) agama lain serta mengucapkan selamat natal dan sebagainya, menjadikan Paramadina “punya dalih” untuk membuat fiqih yang mereka namai Fiqih Lintas Agama. Bagai pahlawan kesiangan, mereka menyatakan bahwa fiqih klasik tidak memecahkan persoalan masalah-masalah kekinian. Dipecahkanlah pelanggaran-pelanggaran orang-orang yang melanggar agama itu dengan jalan membolehkannya, menjustifikasi pelanggaran mereka sebagai perbuatan yang boleh-boleh saja dan tak dilarang agama. Pintu kebolehan (yang aslinya dilarang) pun dibuka dengan gratis, para pelanggar yang kemudian dibolehkan itu tidak usah setor apa-apa. Barangkali di sinilah bedanya dengan sekte-sekte di agama-agama yang memberikan “jalan keluar” berupa pertobatan, namun dengan cara membayar. Adapun model Paramadina, tidak usah bayar, tidak usah tobat, dan tidak usah merasa berdosa. Para pelanggar tidak usah membatalkan atau mengurungkan pelanggarannya, langsung diterus-teruskan saja, dan cukup dicari-carikan dalihnya bahwa itu boleh-boleh saja, dan sah-sah saja. Membatalkan Hadits, Membolehkan Kafir Mewaris Harta Muslim Para pejabat ataupun orang tua yang sibuk mengurusi dunianya hingga anak-anaknya menjadi kafir pun tidak usah khawatir. Sebab, Islam yang Nabinya, Muhammad saw, telah menegaskan, “Orang Muslim tidak mewaris (harta) orang kafir dan orang kafir tidak mewaris (harta) orang Muslim”, cukup diingkari saja oleh orang-orang Paramadina. Dan keingkarannya itu disiarkan dengan memberi petunjuk kepada umum lewat buku yang mereka klaim sebagai buku Fiqih itu. Sampai-sampai si pejabat atau orang tua yang sibuk hingga tak becus mengurus anaknya, yang akibatnya anak-anak itu diurus oleh orang-orang kafir dan jadi kafir pun dibolehkan untuk mendapat harta warisan dari orang tuanya yang Muslim. Mereka tidak menggubris lagi hadits shohih yang amat kuat yang diriwayatkan dua imam terpercaya Bukhari dan Muslim bahkan lainnya: "Laa yaritsul muslimul kaafiro walaa yaritsul kaafirul muslima.” Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid r.a, ia berkata: Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang Islam.” (Muttafaq 'alaih). Untuk membatalkan hadits yang shohih dan maknanya jelas tegas itu, Paramadina (Nurcholish Madjid cs) cukup dengan ungkapan usangnya. Kutipan: “Sedangkan hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA –Fiqih Lintas Agama, halaman 167). Tanggapan: Memang benar-benar beragama menurut hawa nafsu orang kafir. Ketika berbicara tentang “hak” orang kafir, maka hadits shohih yang maknanya shorih (jelas tegas) pun oleh Nurcholish Madjid cs cukup dibatalkan begitu saja dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu apa yang mereka sebut “keadaan normal”. Sehingga hadits larangan waris mewarisi antara Muslim dengan kafir ini diperlakukan oleh Nurcholish Madjid cs sebagai pengecualian, khusus dalam waktu tertentu, yang mereka sebut “terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”. Sehingga hadits yang sebenarnya umum, tidak dibatasi oleh kekhususan-kekhususan tertentu ataupun pengecualian itu justru diperlakukan oleh NM cs bagai hadits rukhsoh sholat qoshor (keringanan untuk meringkas sholat 4 roka’at jadi 2 roka’at) ketika bepergian. Ketika dalam kondisi normal tidak bepergian lagi maka tak boleh memakai rukhshoh qoshor itu. Padahal, kondisionalnya hadits tentang tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir itu, kalau mau diberi batas-batas maka batasnya pun jelas: Selama masih kafir maka tidak ada kaitan waris dengan Muslim. Begitu sudah masuk Islam, maka punya hak waris sebagaimana muslim-muslim lainnya bila ia sebagai ahli waris. Jadi pembatasan hadits itu hanyalah “selama kafir”, baik yang asal mulanya memang kafir maupun yang kafirnya baru alias murtad dari Islam. Nurcholish Madjid cs berani memberlakukan hadits tersebut secara temporer belaka, padahal di zaman senormal apapun, istilah kafir itu tetap kafir, tidak berubah istilahnya jadi Muslim, kecuali kalau memang dia masuk Islam. Lantas landasan pembatalan hadits itu apa? Kecuali kalau ada kaidah, “bila keadaan telah normal, maka kafir sama dengan Muslim, dan Muslim sama dengan kafir”; maka dalih “normal” itu bisa diberlakukan. Tetapi apakah ada kaidah gila seperti itu? Di zaman normal ataupun tidak normal, yang namanya kafir ya kafir, Muslim ya Muslim. Jadi hadits tentang tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir itu berlaku di zaman apapun. Hadits tidak waris mewarisi antara Muslim dengan kafir itu mutlak, sebagaimana dalam hadits yang lain diriwayatkan: Riwayat dari Jabir, dari Nabi saw bersabda, “Tidak saling mewarisi pengikut dua agama.” (HR At-Tirmidzi, para perowinya shoduq/ jujur, sanadnya marfu’ muttasil –sampai kepada Nabi saw secara bersambung). Pengikut dua agama (antara agama satu dengan agama lainnya) tidak saling mewarisi. Di hadits yang terdahulu sudah lebih dijelaskan bahwa Nabi s.a.w bersabda: “Orang Islam tidak boleh mewaris harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewaris harta orang Islam.” (Muttafaq 'alaih). Hadits itu sudah jelas maknanya, tidak ada pengecualian apa-apa, berarti sifatnya mutlak, tidak bisa diinterupsi oleh pendapat bahwa itu hanya berlaku di saat “terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”. Dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir ini memang ada pengecualian, tetapi sebenarnya hanya semacam penjelasan, dan yang menjelaskan itu Nabi Muhammad saw. Bukan orang Paramadina yang tidak punya hak apa-apa dalam membuat syari’at dalam Islam. Pengecualian yang sebenarnya merupakan penjelasan itu adalah: Kalau seorang lelaki (Muslim) memiliki budak (yang ahli kitab/ Yahudi atau Nasrani), maka tuannya (Muslim) boleh mewaris harta budaknya itu (tentu saja ketika si budak meninggal dunia, karena pembicaraan waris adalah berkaitan dengan harta peninggalan mayit). Ini karena budak itu memang dalam Islam adalah hak penuh tuannya. Jadi sifat pengecualian itu sebenarnya hanya penegasan penjelasan, dan yang menegaskan itu adalah Rasulullah saw yang memang utusan Allah swt. Riwayat dari Jabir, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kami tidak mewaris (harta) Ahli Kitab dan mereka tidak mewaris (harta) kami, kecuali laki-laki mewaris (harta) budaknya (laki-laki) atau amatnya (budaknya perempuan).” (HR Ad-Darimi dan At-Thobroni, para perowinya tsiqot/ terpercaya). Hadits tersebut, di samping mengandung makna pengecualian yang berisi penegasan penjelasan, masih pula mengandung penjelasan yang lebih jelas tegas lagi. Nabi saw dalam hadits itu menyebut “ahli kitab”, itu justru lebih tegas lagi dibanding lafal “kafir”. Karena tidak waris mewarisi antara Muslim dengan ahli kitab itu maknanya lebih jelas lagi; dengan ahli kitab saja Muslimin tidak waris mewarisi apalagi dengan kafir secara umum. Sebenarnya hadits-hadits tersebut sudah sangat jelas. Ada tiga macam ungkapan untuk menegaskan tidak waris mewarisi itu. 1. Ungkapan “Muslim- kafir” dalam Hadits Muttafaq ‘alaih. 2. Ungkapan “ahlu millatain” (antara pengikut dua agama) dalam Hadits At-Tirmidzi. 3. Ungkapan “Kami (Muslim) dan Ahli Kitab” dalam Hadits Ad-Darimi dan At-Thobroni. Sehingga dengan adanya tiga model ungkapan, dan sudah dilengkapi dengan yang harus dikecualikan, maka semuanya sudah tidak ada kesamaran lagi. Jadi dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir ini mutlak, dan hanya ada pengecualian: Lelaki mewaris harta budaknya. Sebegitu jelas hukum-hukumnya di dalam hal tidak waris mewarisi antara Muslim dan kafir. Tidak ada pengecualian, selain tuan mewaris harta budaknya. Lalu Nurcholish Madjid cs membalik 180 derajat, hingga hadits yang berlaku secara umum (tanpa kecuali, dan hanya ada pengecualian tentang harta budak itu) dibalik menjadi bersifat khusus, yakni khusus di masa permusuhan atau yang oleh NM cs disebut saat tertentu yang “terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir)”.. Sedang di masa normal, maka hadits itu tidak berlaku. Kesalahan Fatal, Mengebiri Hadits Demi Membela Kafirin Keberanian mengebiri Hadits demi kepentingan kafirin dan tanpa dasar ini mengandung beberapa kesalahan sangat fatal: 1. Membuat syari’at baru, yang hal itu sangat dilarang oleh Allah swt. Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS As-Syuuro/ 42: 21). 2. Tidak rela dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw, yang hal itu Allah telah memberikan peringatan keras. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An-Nisaa’/ 4: 65). 3. Mengubah pengertian hadits-hadits yang sifatnya mutlak (tidak terikat) dijadikan muqoyyad (terikat) tanpa alasan yang benar. 4. Kalau dalam hal waris NM cs melakukan “pencekalan” terhadap hadits-hadits yang sifatnya mutlak dijadikan muqoyyad (terikat) sebaliknya NM cs tidak malu-malu pula untuk melakukan hal yang sebaliknya. Yaitu dalam hal “mengesahkan” agama-agama Yahudi dan Nasrani, Nurcholish Madjid cs terhadap ayat (QS Al-Baqarah: 62 dan Al-Maaidah: 69) justru berbalik pula, ayat yang sebenarnya mengandung pengertian diterimanya pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Shobi’in secara terbatas di waktu agama mereka masih murni belum diganti dan belum dinasakh/ dihapus oleh Rasul yang baru, malahan dianggap oleh Nurcholish Madjid cs sebagai masih selamat sampai kini, sama dengan Islam. Padahal di dalam al-Qur’an, orang-orang Ahli Kitab itu adalah termasuk orang-orang kafir (lihat QS Al-Bayyinah: 6, dan bahkan Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk memerangi mereka, lihat QS At-Taubah: 29). Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah/ 98: 6). Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29). Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mengimani Nabi Muhammad saw (dengan segala ajarannya) menurut Al-Qur’an adalah kafir, masuk neraka Jahannam selama-lamanya, dan seburuk-buruk makhluk (lihat QS 98: 6) dan agar diperangi (lihat QS At-taubah: 29). Sedang menurut Hadits Nabi Riwayat Muslim adalah (calon-calon) penghuni neraka (bukan sekadar masuk neraka, tetapi min ash-haabin naar, termasuk penghuni-penghuni neraka, tetap abadi). Riwayat dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik ia Yahudi ataupun Nasrani yang mendengar kepadaku kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim). Maka jelaslah Nurcholish Mad jid cs itu hanya membalik-balikkan pengertian dengan menyembunyikan ayat-ayat dan hadits-hadits, bahkan memutar balikkan pengertian ayat-ayat dan hadits semaunya. Ya Allah, lindungilah kami dan umat Islam dari bahaya perancuan yang sangat menyesatkan ini, ya Allah! Membatalkan Hukum Islam dengan Logika Qiyas Sekenanya Kutipan: “Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.” (FLA, hal 167). Tanggapan: Dalih itu tidak kalah rancu dan sesatnya. Lafal “mempersilahkan pernikahan dengan agama lain” itu perlu dijelaskan, tidak persis seperti itu. Yang ada adalah kebolehan lelaki Muslim menikahi wanita-wanita muhshonat (yang menjaga diri) dari Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani). Jadi tidak pukul rata seperti itu. Hal itu berdasarkan ayat: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS Al-Maaidah: 5). Kemudian logika seperti itu (“Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.”), namanya menggebyah uyah (menyama ratakan, menggeneralisir) secara logika awur-awuran. Pengqiyasan (analogi) tentang nikah dengan waris bahkan disebut “otomatis” seperti yang dilakukan Nurcholish Madjid cs itu adalah bentuk qiyas batil yang sangat nyata. Karena hukum nikah ada terinci sendiri, sedangkan hukum waris terinci sendiri. Ambil contoh, hukum Islam melarang menikahi ibu, anak dan seterusnya, yang hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an . Apakah terus bisa dilogika-logikakan: Karena hukum Islam melarang menikahi ibu, anak dst, berarti otomatis ibu, anak dst itu dilarang mendapatkan waris. Betapa rusaknya main logika-logikaan seperti itu. Paramadina di Jakarta yang ditokohi oleh Dr Nurcholish Madjid dan kini diketuai oleh Prof Dr Azzumardi Azra (yang juga rector UIN –Universitas Islam Negeri – dahulu IAIN Jakarta) menggantikan Dr Komaruddin Hidayat, menerbitkan buku model “penghalalan apa-apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya” ini dengan mengerahkan orang-orangnya, yaitu Tim Penulis Paramadina. Mereka yang dikerahkan sebagai tim penulis Fiqih Lintas Agama itu adalah: Nurchlish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, ZainunKamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rahman, Ahmad Gaus AF, dan editornya: Mun’im A. Sirry. Mereka ini menulis buku berjudul Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2003. Dialog Antar Agama Menirukan Kafir Quraisy Kerja keras Paramadina ini kalau ditilik dari sejarah Islam, maka tidak lebih dari kerja keras kaum kafir Quraisy yang menentang da’wah Nabi Muhammad saw dengan aneka cara, dan di antara caranya adalah mengadakan dialog antar agama. Penawaran-penawaran dari kalangan kafir Quraisy bermacam-macam, di antaranya meminta agar Nabi Muhammad saw menghentikan dakwahnya, dengan imbalan akan diberi kedudukan, wanita sebagai isteri, dan kekayaan. Langsung Nabi Muhammad saw menolaknya, walaupun misalnya sampai mereka memberi matahari dan bulan pun, Nabi saw takkan mau menuruti kemauan mereka untuk menghentikan da’wahnya. Penawaran yang tampaknya kerjasama dalam agama (kalau sekarang ya do’a bersama antar berbagai agama, kira-kira), agar Nabi Muhammad saw bersikap toleran, kerjasama dalam agama, maka mereka (kafirin) akan mau menyembah Tuhan --yang Muhammad saw sembah-- selama waktu tertentu, dan sebagai rasa toleran dan kerjasama maka Nabi saw diminta menyembah pula Tuhan yang mereka sembah (berhala-berhala), selama tempo tertentu. Penawaran itu pun langsung mendapatkan tanggapan keras dari Allah SWT: Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (Al-Kaafiruun: 1-6). Kemudian penawaran yang lebih lunak lagi disampaikan pula oleh kaum kafir. Nabi Muhammad saw diharapkan mengelus atau sekadar mengusap berhala sesembahan mereka. Imbalannya pun mereka akan mengikuti Nabi Muhammad saw. Namun Nabi Muhammad saw langsung mendapatkan ancaman dari Allah swt. Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (Al-Israa’: 73-75). Ancaman seberat itu penyebabnya adalah bujukan orang kafir yang menginginkan Nabi saw menyentuh berhala mereka. Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, “Mereka (orang-orang musyrikin) berkata kepadanya (Nabi saw), datangilah tuhan-tuhan kami dan sentuhlah mereka, maka demikian itulah Firman-Nya (“sesuatu yang sedikit”) –ayat 74. Penawaran jenis yang agak lunak pula, Nabi saw agar mengajar mereka kaum kafir dari kalangan tingkat menengah (kelas sosial lebih tinggi dari orang umum) di tempat tertentu, dibedakan tempatnya dengan orang umum biasa. Maka Allah swt memperingatkan pula kepada Nabi Muhammad saw. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28). Dalam Tafsir Ath-Thabari diriwayatkan, Ibnu Zaid berkata mengenai firman-Nya: …….. dan seterusnya, ia katakan, satu kaum berkata kepada Nabi saw, kami malu kalau kami duduk bersama Fulan, Fulan, dan Fulan; maka jauhkanlah mereka wahai Muhammad dan duduklah bersama orang-orang mulia Arab. Maka turunlah Al-Qur’an: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini….” Semua upaya itu tujuan akhirnya sama dengan orang-orang kafir di setiap masa, dari zaman nabi-nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad saw dan sepanjang zaman, yaitu menghalangi sekeras-kerasnya akan tegaknya hukum Allah di bumi. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An-Nisaa’: 61). Mencela Imam Asy-Syafi’i dan Menggugat Fikih Jihad Dalam buku FLA pada sub judul “Menuju Fiqih yang Peka terhadap Pluralisme”, ditulis Kutipan: “Fiqih klasik sepertinya tak mampu menjawab tantangan zaman. Dalam fiqih hubungan antar agama, sangat terlihat adanya kegagapan dalam melihat agama lain. Kritik yang sangat menonjol terutama mesti ditujukan kepada fiqih Mazhab Syafi’I, karena saking kuatnya paradigma teosentris yang dipedomani Imam al-Syafi’I, terutama dalam konsep ahl-al-dzimmah, maka terlihat sangat mendiskriminasikan agama lain. Syafi’I seakan-akan ingin menjadikan agama lain sebagai sapi perahan yang dituntut dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak yang setimpal. Bukan hanya itu, seruling jihad pun ditiupkan kepada kelompok non Muslim. Hampir dalam seluruh kitab fiqih ada bab tersendiri yang membahas masalah jihad.” (FLA, halaman 167-168). Tanggapan: Tulisan orang Paramadina itu bisa lebih punya tata krama dan etika bila dikemukakan kutipan dari pernyataan Imam Al-Syafi’I secara seutuhnya, baru kemudian ditanggapi secara ilmiah. Bukan sekadar hanya berupa kecaman kasar, tuduhan tanpa bukti ilmiyah, bahkan penuh kebencian seperti itu. Kalau yang menulis itu memang orang anti Islam semacam Gato Loco –Darmo Gandul, maka masih agak bisa dimaklumi. Namun, ternyata kecaman dari Paramadina ini bisa dibandingkan dengan celoteh Darmogandul: “…Bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu merasa pahit dan asin.” Kelompok Paramadina ini saking membabi butanya, pembahasan tentang jihad di hampir setiap kitab fiqih pun dipersoalkan. Padahal, fiqih itu artinya adalah faham atau pemahaman, yang memang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di Al-Qur’an terdapat berbagai ayat tentang jihad. Di As-Sunnah terdapat berbagai hadits tentang jihad, dan bukan sekadar diucapkan Nabi saw, tetapi Nabi sendiri memimpin berjihad 27 kali, di samping jihad-jihad yang tidak langsung beliau pimpin. Apakah ulama pewaris para Nabi tidak boleh membahas tentang jihad itu dalam kitab-kitab fiqih? Dan kalau ulamanya sudah tidak berbicara tentang jihad lagi, apakah kemudian berarti Islam ini menjadi jaya akibat tidak adanya pembahasan jihad lagi itu? Bukankah itu justru sebaliknya, Muslimin dibantai oleh kafirin, sedang munafiqin bersorak sorai menyemangati “jihad”nya kafirin terhadap Muslimin? Setiap muslim mestinya berniat jihad, kecuali orang munafiq. Karena Nabi saw bersabda: “Man maata walam yaghzu walam yuhaddits nafsuhu bil ghozwi maata ‘alaa syu’batim minan nifaaqi.” “Barangsiapa yang mati dan tidak pernah berperang, dan tidak pernah berniat pada dirinya untuk berperang, maka dia mati di atas satu cabang dari kemunafikan.” (HR Muslim). Adab Jihad; Yang Tidak Boleh Dibunuh dan Larangan Melampaui Batas Perlu difahami, para ulama menampilkan Jihad dalam kitab-kitab fiqih itu bukan sekadar seperti yang dibilang Paramadina meniup apa yang mereka sebut seruling jihad. Tetapi akhlaq berjihad pun dibeberkan dengan terang. Di antaranya: Dalam perang jihad, Allah SWT mengharamkan tindak melampaui batas dalam firman-Nya: “ ...dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190). Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuni menjelaskan pendapat mengenai larangan melampaui batas itu: Termasuk dalam kategori “melampaui batas” ialah melanggar larangan, sebagaimana dikatakan Hasan al-Basri, seperti: mencincang, berkhianat, membunuh perempuan, anak-anak dan orang tua, orang yang tidak memiliki kemampuan berperang, membunuh pendeta-pendeta, memusnahkan tanaman dan membinasakan binatang tanpa ada mashlahatnya. Semuanya itu termasuk larangan dalam firman Allah “... dan janganlah kamu melampaui batas...” Nabi SAW bersabda: “Ukhrujuu bismillaahi, tuqootiluuna fii sabiilillaahi man kafaro billaahi, laa taghdiruu walaa taghluu, walaa tumatstsiluu, walaa taqtulul wildaan, walaa ash-haabash showaami’i. (Ahmad) “Keluarlah kalian dengan atas nama Allah, kalian berperang di jalan Allah, terhadap orang yang kufur kepada Allah, jangan berkhianat, jangan berlebih-lebihan, jangan mencincang, jangan membunuh anak-anak, dan penghuni-penghuni gereja-gereja.” (HR Ahmad dan Muslim, lihat juga Tafsir Ibnu Katsir 1: 226 seperti dikutip As-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, buku I, 1 hal 184/ terjemahan Rowai’ul Bayan). Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada riwayat dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata: “Ditemukan seorang perempuan terbunuh dalam salah satu pertempuran yang dipimpin Nabi SAW, maka Nabi SAW tidak membenarkan pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak.” (HR Bukhari-Muslim, lihat juga tafsir al-Qurthubi, 2:327 seperti dikutip As-Shobuni, ibid 1: 184). Perintah Rasulullah SAW itu dilanjutkan pula oleh Khulafaur Rasyidin. Seperti wasiat Abu Bakar ash-Shiddiq ra kepada Usamah bin Zaid tatkala mengutusnya (untuk berperang) ke Syam (Suriyah): “Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang dan jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua dan jangan membunuh perempuan, dan janganlah menebang pohon-pohon kurma dan jangan pula membakarnya, janganlah kamu menebang pohon yang berbuah dan janganlah menyembelih kambing, lembu atau onta kecuali untuk dimakan! Nanti kamu akan melewati kaum-kaum yang mengabdikan diri di gereja-gereja yaitu para pendeta maka biarkanlah mereka beserta pengabdian mereka itu!” (Ash-Shobuni, ibid, 3: 93). Dari sini ada 6 gambaran yang dirumuskan para ulama: 1. Bahwa perempuan, jika memerangi maka boleh diperangi. Ini berdasarkan keumuman firman Allah: Dan perangilah di jalan Allah, orang-orang yang memerangi kamu.. 2. Anak-anak tidak boleh dibunuh sebab ada larangan yang tegas an karena mereka belum mukallaf (terbebani hukum). 3. Pendeta-pendeta tidak boleh dibunuh sebagaimana pernah dipesankan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu. 4. Orang-orang cacat (tak boleh dibunuh) kecualikalau dipandang membahayakan. 5. Orang-orang tua tidak boleh dibunuh. Begitulah pendapat jumhur fuqaha (sebagian besar ahli tafsir). 6. Para pekerja dan petani (juga tidak boleh dibunuh). Dalamhal ini Umar bin Khathab pernah berkata: Takutlah kamu kepada Allah terhadap keluarga-keluarga, dan petani-petani yang tidak menjadi lawanmu dalamperang. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 2:237; Ahkamul Quran oleh Ibnul Arabi 1:105, dan Ahkamul Quran oleh Al-Jashash 1:302, seperti dikutip Ash-Shabuni, ibid, 1:185). Demikianlah di antara adab berjihad mengenai hal-hal yang harus dihindari. Bukan seperti kecaman membabi buta dari kelompok Paramadina. Melandasi Kecaman dengan Celoteh Musuh Agama Ulama fiqih klasik yang telah sangat berjasa menuntun umat Islam agar memahami agama, tahu-tahu mendapat kecaman sebegitu pedasnya dari orang-orang Paramadina. Sementara itu, pengecam ini untuk melandasi kecamannya terhadap Imam As-Syafi’I dalam buku FLA halaman 167-168 itu begitu tidak risihnya menampilkan dan mengutip-kutip musuh-musuh agama dengan celoteh usangnya. Kutipan: “Karl Marx dalam sebuah kritiknya menyebut agama sebagai candu. Nitzche dalam refleksi filsafatnya menyebut, Tuhan telah mati. Jacques Derrida menyebut, kebenaran makna selalu tertunda. Huston Smith dalam Why Religion Matters: The Fate of the Human Spirit in an Age of Disbelief mempertanyakan apakah agama telah menemukan ajalnya? (!) Dan dalam banyak buku, para orientalis menyebut Islam sebagai agama yang tak mengakomodasi agama lain.” (FLA, halaman 168). Tanggapan: Perkara Karl Marx mengecam agama, apakah memang ada kaitannya dengan Imam Al-Syafi’i? Dan agama yang dikatakan Karl Marx itu maksudnya langsung Islam, atau justru Kristen? Demikian pula Nitzche, Jacques Derrida, dan Huston Smith. Tentu tidak ada kaitan-kaitannya dengan Imam Al-Syafi’i. Bahkan para orientalis yang mengecam langsung terhadap Islam pun tidak mengkhususkan kepada Imam Al-Syafi’i. Aneh orang-orang Paramadina ini. Meminjam mulut orang-orang kafir untuk landasan mengecam ulama Islam, sedangkan orang kafir itu sendiri memaksudkan kecamannya itu kepada obyek yang mereka hadapi belaka. Dan kecaman itupun adalah subyektivitas kebencian mereka yang memang anti agama dan anti Islam. Barangkali masih ada sedikit bobotnya bila Paramadina mengutip kecaman orang ahli dzimmah (ahli kitab/ Yahudi atau Nasrani yang tunduk dalam perlindungan kekuasaan Islam) atas kedhaliman kekuasaan Islam akibat ajaran Imam Syafi’I dalam Fiqihnya (yang sampai disebut oleh FLA: Syafi’I seakan-akan ingin menjadikan agama lain sebagai sapi perahan yang dituntut dengan kewajiban-kewajiban, namun di sisi lain, mereka tidak diberikan hak yang setimpal.). Walaupun misalnya kutipan dari ahli dzimmah yang pembohong pun masih ada nilainya, karena ada korelasi antara ajaran fiqih Imam Syafi’I dengan ucapan/ pengakuan (walau bohong) dari orang yang terkena akibat. Lebih aneh lagi, umat Islam sedunia ini sekarang sedang dilindas oleh ajaran bahkan hukum sekuler yang sangat mendiskriminasikan bahkan tidak membolehkan berlakunya hukum Islam, hatta untuk masyarakat muslim sendiri pun; namun tidak ada secuil ungkapan dari orang Paramadina –selaku orang yang masih mengaku diri mereka muslim— keberatan atas sikap menekannya hukum sekuler itu. Kenapa yang dikecam justru Imam Syafi’I yang hukum fiqih produknya tidak dalam kondisi diterapkan (sampai hanya khusus di kalangan Muslimin bermadzhab Syafi’I pun tidak) masih pula dikecam-kecam, hanya untuk membela kaum kafir? Padahal kondisi sekarang, kaum kafir bukannya jadi dzimmi tetapi justru di dunia ini jadi penguasa dhalim. Jadi kalau bicara kontekstual dengan keadaan, apakah Paramadina ini bicaranya kontekstual? Ya, kontekstual, yaitu dalam hal menyuarakan suara kafirin!!! Hanya saja terbalik. Kalau slogan yang lumrah, biasanya adalah membela yang tertindas, tetapi ini justru sebaliknya, membela yang menindas. Ada apa? Kafir Ada Tiga Jenis Kepercayaan inklusif dan pluralisme agama yang menyamakan semua agama, Islam disamakan dengan agama-agama lain, yang diusung oleh firqah liberal dan diberi panduan berupa buku Fiqih Lintas Agama; perlu dibantah kebatilan yang mereka usung itu di antaranya dengan mendudukkan siapa sebenarnya orang-orang kafir itu. Kenapa harus didudukkan? Karena buku FLA itu punya trik-trik yang mengelabui masyarakat, di antaranya: 1. Menyamakan semua agama, Islam di samakan dengan agama-agama lain, semuanya dianggap selamat. 2. Menganggap Ahli Kitab itu direkomendasi oleh Al-Qur’an untuk tetap mengamalkan ajaran mereka. 3. Mengangkat Majusi sebagai Ahli Kitab. 4. Mengangkat agama-agama selain Majusi sebagai Ahli Kitab juga. 5. Membolehkan pernikahan antara Islam dengan wanita Ahli Kitab, artinya juga agama-agama yang telah Paramadina angkat sebagai Ahli Kitab. 6. Membolehkan wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, selanjutnya juga lelaki dari agama-agama yang mereka angkat sebagai Ahli Kitab. 7. Membolehkan Ahli Kitab dan agama-agama kafirin lainnya untuk mewaris harta Muslim. Dari trik-trik yang Paramadina tempuh itu maka sudah tidak ada bedanya lagi antara Muslim dan kafir. Ini adalah kebatilan yang sangat nyata, dan merupakan jalan mulus proyek-proyek pemurtadan. Oleh karena itu pembahasan tentang kafir ini perlu dikemukakan. Garis besarnya bahwa orang kafir itu ada tiga jenis Berikut ini uraian Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni juz 9. Masalah “Ahli Kitab dan Majusi itu diperangi sehingga mereka masuk Islam atau memberikan jizyah dari tangan mereka dalam keadaan hina, dan diperangi pula orang-orang selainnya, yaitu orang-orang kafir, sehingga mereka masuk Islam.” Garis besarnya bahwa orang kafir itu ada tiga jenis. (Pertama) Kafir jenis ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang-orang yang menjadikan Taurat dan Injil sebagai kitab sucinya, seperti orang Samirah (Sameria) dan orang-orang Eropa dan semacamnya. Mereka itu diterima jizyahnya apabila mereka menyerahkannya dan mereka tetap dalam agamanya. Karena Allah Ta’ala berfirman,: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29). (Kedua) kafir jenis yang memiliki serupa Kitab (syubhatu kitab) yaitu Majusi, mereka itu hukumnya seperti hukum Ahli Kitab dalam hal diterimanya jizyah dari mereka dan penetapan mereka dengan jizyah itu. Karena Nabi saw bersabda, “Perlakukanlah pada mereka seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab.” Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ahli ilmu dalam hal dua jenis kafir ini (Ahli Kitab dan Majusi). (Ketiga) kafir jenis yang tidak memiliki kitab dan tidak memiliki serupa Kitab, yaitu orang-orang selain dua jenis itu (bukan Ahli Kitab dan bukan Majusi), mereka itu adalah para penyembah berhala dan orang yang menyembah apa yang dianggapnya baik, dan orang-orang kafir lainnya; maka mereka tidak diterima jizyahnya dan tidak diterima dari mereka selain keislamannya. Inilah dhohirul madzhab (madzhab yang dhahir/ menonjol), dan itulah madzhab Syafi’i. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa jizyah diterima dari semua kafirin kecuali penyembah berhala dari Arab. Dan itulah Madzhab Abu Hanifah, karena mereka (kafirin) ditetapkan atas agama mereka dengan mau menjadi budak maka mereka (kafirin) itu ditetapkan dengan menyerahkan jizyah seperti Majusi. Dan diceritakan dari Imam Malik bahwa jizyah itu diterima dari seluruh orang kafir kecuali kafir Quraisy karena (berdasarkan) Hadits Buraidah dan itu umum, dan karena mereka adalah orang-orang kafir maka menyerupai Majusi. Bagi kami (Ibnu Qudamah, ulama bermadzhab Hanbali) adalah keumuman firman Allah Ta’ala, Perangilah orang-orang musyrikin, dan sabda Nabi saw, Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan “Tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah.” (Lalu) ada pengkhususan dari Allah dan Rasul-Nya mengenai Ahli Kitab, dengan firman Allah Ta’ala. “… dari orang-orang yang telah diberikan kitab sehingga mereka memberikan jizyah dari tangan mereka dalam keadaan hina (QS At-Taubah: 29). Dan (dikhususkan juga) Majusi dengan sabda Nabi saw: perlakukanlah pada mereka seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab. Maka orang (kafirin) selain mereka (Ahli Kitab dan Majusi) tetap atas pengertian umum (ayat), dan karena Sahabat ra berhenti (tidak bertindak) mengambil jizyah dari orang Majusi, dan Umar tidak mengambil jizyah dari mereka sehingga Abdur Rahman bin Auf meriwayatkan kepada Umar bahwa Nabi saw bersabda, perlakukanlah pada mereka seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab. Dan ada riwayat yang kuat di sisi mereka bahwa Nabi saw mengambil jizyah dari Majusi Hajar. Ini menunjukan bahwa mereka (sahabat) tidak menerima jizyah dari selainnya (Ahli Kitab dan Majusi). Maka para sahabat itu ketika mereka berhenti bertindak terhadap orang yang memiliki serupa kitab (syubhatu Kitab), maka terhadap orang yang tidak menyerupai Ahli Kitab lebih utama (untuk berhenti bertindak). Kemudian pengambilan jizyah dari Majusi adalah karena ada khabar yang mengkhususkannya. Itu menunjukkan bahwa para sahabat tidak mengambil jizyah dari selain mereka (Ahli Kitab). Dan karena sabda Nabi saw: Perlakukanlah pada mereka seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab, itu menunjukkan atas kekhususan Ahli Kitab dengan menyerahkan jizyah. Karena kalau itu umum untuk seluruh kafirin maka tidak dikhususkan pada Ahli Kitab ditambah dengan Majusi itu kepada mereka. Dan karena kafirin (selain Ahli Kitab dan Majusi) itu kekafiran mereka berat, karena mereka kafir kepada Allah dan seluruh kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, sedang mereka tidak memiliki serupa kitab; maka mereka tidak ditetapkan untuk membayar jizyah, seperti kafir Quraisy dan penyembah berhala dari Arab. Dan juga karena beratnya kekafiran mereka itu memiliki pengaruh dalam ketetapan perang, dan keadaannya tidak ditetapkan dengan jizyah, dengan dalil orang murtad (diperangi tanpa harus ada perdamaian dan bayar jizyah). Adapun orang Majusi maka mereka memiliki syubhatu kitab (serupa kitab). Dan syubhatu kitab itu menduduki kedudukan kitab yang sebenarnya dalam hal yang dibangun atas ihtiyat (kehati-hatian), maka diharamkan darah mereka (dilarang dibunuh) karena memiliki syubhatu kitab itu. Tetapi tidak ada ketetapan tentang halalnya wanita-wanita mereka (Majusi) dan sembelihan mereka, karena kehalalan itu tidak ditetapkan dengan syubhat.. Kesimpulan: Dari penjelasan Imam Ibnu Qudamah itu bisa disimpulkan bahwa orang kafir itu ada tiga macam: 1. Kafir Ahli Kitab, yaitu Yahudi, Nasrani, dan orang-orang yang menjadikan Taurat dan Injil sebagai kitab sucinya seperti orang Sameria dan Eropa. 2. Kafir yang memiliki serupa kitab (mirip Taurat atau Injil), yaitu orang Majusi. 3. Kafir yang tidak punya kitab dan tidak punya serupa kitab, mereka adalah para penyembah berhala dan lain-lainnya. Tiga jenis kafir itu ada hukum-hukumnya masing-masing. 1. Kafir Ahli Kitab, diperangi sampai tunduk membayar jizyah. Sembelihan mereka halal, wanita-wanita muhshonat (yang ‘iffah/ menjaga diri) halal dinikahi. Namun laki-lakinya tetap haram menikahi wanita muslimah, karena mereka adalah kafir. Haramnya menikahi wanita muslimah itu berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah/ 60 ayat 10. 2. Kafir Majusi, diperangi sampai tunduk dan membayar jizyah, sedang wanitanya haram dinikahi (apalagi lelakinya haram menikahi wanita muslimah), dan sembelihannya pun haram dimakan. Larangan menikah dengan mereka itu berdasarkan QS Al-Mumtahanah/ 60 ayat 10 dan Al-Baqarah ayat 221. 3. Kafir yang bukan Ahli Kitab dan bukan Majusi, diperangi sampai mau menerima Islam (Madzhab Hanafi dan Maliki). Kafir musyrik ini sembelihannya haram dimakan, dan wanitanya haram dinikahi, serta lelakinya haram menikahi wanita muslimah. Larangan itu berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah/ 2 ayat 221, dan Al-Mumtahanah/ 60 ayat 10. Mereka itu adalah orang-orang kafir musyrikin, ada yang beragama Hindu, Budha, Sinto, Animisme, Dinamisme, Kejawen yang menentang Islam, Perdukunan, penyembah kokolot, aliran-aliran kepercayaan kemusyrikan –baik local maupun nasional bahkan internasional, spiritualism, pemuja roh nenek moyang, penyembah kuburan, tepekong, patung/ berhala, Konghucu, penyembah matahari, bulan, bintang, kerbau, dan mereka yang percaya/ menyembah benda-benda keramat dan aneka kepercayan yang tidak sesuai dengan Islam, dan para penyembah hak asasi manusia. Ketiga jenis kafir itu (Ahli Kitab, Majusi, dan musyrikin) semuanya ditegaskan akan kekal selama-lamanya di neraka jahannam dan seburuk-buruk manusia. Ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Bayyinah: 6. Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah: 6). Orang-orang kafir yaitu Yahudi, Nasrani, dan musyrikin itu sebagai penghuni-penghuni neraka selama-lamanya. Itu jelas berbeda dengan orang Mukmin/ Muslim penghuni surga. Allah swt berfirman: Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr: 20). Kenapa ada model propaganda yang kini menyamakan antara kafirin dengan mukminin? Padahal Al-Qur’an sudah jelas membedakannya. Dan kenapa mereka berani mempropagandakan keselamatan terhadap kafirin itu? Betapa beratnya tanggung jawab mereka di akherat kelak, untuk menghadapi tuntutan keselematan dari kafirin yang tak sedikit jumlahnya itu di depan neraka. Na’udzubillahi min dzalik! Agama Islam dan Syir’ah Setiap Umat Di sini akan dibahas tentang agama yang satu, yaitu Islam, dan setiap umat punya syir’ah (syari’at), minhaj (jalan), dan mansak (tatacara ibadah). Tentang agama yang satu, Islam, sejak nabi pertama sampai nabi terakhir Muhammad saw agamanya tetap Islam, walaupun syari’atnya berbeda-beda. Tentang syari’at atau syir’atnya berbeda-beda ini bahkan dalam Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu sendiri ada juga perbedaan-perbedaan antara syari’at yang pertama dan kemudian dihapus dengan syari’at yang kedua (baru), misalnya kiblat yang semula Baitul Maqdis kemudian dihapus dan diganti dengan Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, namun agamanya tetap Islam. Jadi agama dari Allah tetap satu, Islam, walau syari’atnya bermacam-macam, diganti-ganti dengan syari’at yang baru. Agama yang lama yang dibawa oleh nabi terdahulu diganti dengan agama yang baru yang dibawa nabi berikutnya, walaupun masih sama-sama Islam, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang baru. Syari’at yang lama diganti dengan yang baru, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang baru. Sehingga dengan datangnya Nabi Muhammad saw yang diutus membawa agama Islam sebagai nabi terakhir, nabi yang paling utama, dan tidak ada nabi sesudahnya, wajib diikuti oleh seluruh manusia sejak zamannya sampai kelak. Diutusnya Nabi Muhammad saw ini berbeda dengan nabi-nabi lain, karena nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw itu masing-masing hanya untuk kaumnya. Sedang Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia sejak saat diutusnya (610M) sampai hari kiamat kelak. Siapa yang tidak mengikutinya maka kafir, walaupun tadinya beragama dengan agama nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Sedangkan orang yang mengikuti Nabi Muhammad saw pun kalau sudah ada syari’at baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pula, lalu pengikut itu menolak dan ingkar, maka menjadi kafir pula. Misalnya, orang Muslim yang mengikuti agama Nabi Muhammad saw, sudah mendapat penjelasan bahwa kiblat yang baru adalah Ka’bah, sedang sebelumnya kiblatnya adalah Baitul Maqdis; lalu si Muslim itu menolak kiblat yang baru (Ka’bah), maka kafir pula, sebab menolak ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Apalagi yang mengikuti agama nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw, begitu datang Nabi Muhammad saw sebagai utusan dengan Islam yang baru, maka wajib mengikuti Nabi Muhammad saw. Bila tidak, maka kafir. Kelompok liberal dan juga tim penulis Fiqih Lintas Agama dari Paramadina Jakarta mencari-cari jalan untuk mempropagandakan faham yang melawan ketentuan Islam yaitu pluralisme agama, menganggap semua agama sama, sejajar, parallel, dan menuju kepada keselamatan semua, hanya beda teknis. Mereka mencari kilah-kilah, dan kadang sampai membawa-bawa ulama terkemuka seperti Ibnu Taimiyah dikesankan membela faham pluralisme agama itu. Untuk lebih jelasnya, kami kutip bagian-bagian yang mereka cantumkan dalam buku mereka, Fiqih Lintas Agama. Kutipan: “Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar, dan hukum-hukum atau syari’atnya masih berlaku untuk kaum Muslim, sepanjang tidak dengan jelas dinyatakan telah di-nasakh atau diganti oleh al-Qur’an.” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama). Dan atas dasar persamaan tersebut, al-Qur’an memuat perintah Allah kepada Nabi saw agar berseru kepada semua penganut kitab suci untuk berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (QS. 3: 64). Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum Nasrani pun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak menjalankan ajaran yang diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang zalim (dialamatkan kepada kaum Yahudi), dan mereka itu orang-orang fasik (dialamatkan kepada kaum Nasrani) (QS. 5: 44-47). (FLA, halaman 56-57). Tanggapan: Ungkapan FLA: “…al-Qur’an memuat perintah Allah… Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum Nasrani pun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka,…” ini adalah kata penutup dan sebagai kunci dari “aqidah kaum pluralis” yang mereka sebut dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama. Kalimat itu adalah ungkapan bikinan orang-orang berfaham liberal, berkeyakinan semua agama sama, yang tergabung dalam kelompok penulis FLA di Paramadina. Di situ mereka telah mengadakan pemlintiran dan pengecohan yang sangat menyesatkan, sehingga al-Qur’an mereka tuduh terang-terangan sebagai yang memuat perintah Allah swt agar orang-orang Yahudi dan Nasrani (sekarang pun cukup) mentaati kitab-kitab mereka, (tanpa masuk Islam, sudah sah keimanan mereka, dan sama dengan agama-agama lain, sama juga dengan Islam). Secara susunan kalimat, memang kalimat bikinan FLA Paramadina itu tidak salah. Tetapi secara isi dan kontek kalimat-kalimat yang mereka kemukakan itu adalah sangat bertentangan dengan Islam, sebab mereka telah menyembunyikan hal yang prinsip yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, ketika menafsiri ayat 47 surat Al-Maaidah/5 itu menegaskan: “Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya.” Maksudnya, agar mereka beriman kepada semua yang dikandungnya dan menjalankan semua yang Allah perintahkan kepada mereka. Dan di antara yang terdapat dalam Injil adalah berita gembira akan diutusnya Muhammad sebagai rasul, serta perintah untuk mengikuti dan membenarkannya jika dia telah ada. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS Al-Maaidah: 68). Dan firman Allah Ta’ala: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-A’raaf: 157). Oleh karena itu Allah berfirman di sini: Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS Al-Maaidah/ 5: 47). Yaitu orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Rabb mereka, dan cenderung kepada kebatilan serta meninggalkan kebenaran, dan telah berlalu bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Nasrani dan itulah yang tampak dari redaksionalnya. Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir itu bisa dibandingkan betapa jauhnya arah Al-Qur’anul Kariem dari faham pluralisme agama yang menyamakan semua agama yang diusung oleh firqah liberal dan Fiqih Lintas Agama produk Paramadina. Ternyata Yahudi dan Nasrani yang tidak mengikuti Nabi Muhammad saw setelah beliau diutus, dan tidak mengikuti Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad saw maka mereka adalah kafir, tidak dipandang beragama sedikitpun. Memlintir Ibnu Taimiyah Sebelum memlintir Al-Qur’an, kelompok FLA Paramadina itu juga memlintir Ibnu Taimiyah sebagaimana tertera dalam kutipan di atas. Untuk membuktikan apakah Ibnu Taimiyah seperti yang diklaim secara plintiran oleh Tim FLA Paramadina itu atau tidak, maka berikut ini kami kutip penjelasan Imam Ibnu Taimiyah. Masalah agama yang satu (Islam) dan berbeda-bedanya syir’ah, minhaj, dan mansak bagi setiap umat ini dijelaskan secara deteil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya As-Shofadiyah. (As-Shofadiyah, Ibnu Taimiyyah 661-728H, , 2 juz, 1406 cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2, halaman 307 -313). Penjelasannya sebagai berikut: Allah Ta’ala berfirman: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah: 213). Ibnu Abbas berkata, Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun, semuanya di atas Islam. Firman-Nya kaanan naasu ummatan wahidah (“Manusia itu adalah umat yang satu) artinya di atas kebenaran yaitu agama Islam. Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu dalam Surat Yunus , inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang betul. Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu termasuk (pendapat) yang batil. Karena agama Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa awalin dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu baginya. Dan itulah agama Islam. Sedang bermacam-macamnya syari’at itu seperti bermacam-macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw adalah penutup nabi-nabi dan seutama-utamanya para utusan, tidak ada nabi sesudahnya. Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya, sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan (kiblat baru, pen) menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun bermacam-macam syari’atnya. Maka demikian pula firman Allah Ta’ala: “…maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48). Apa yang telah Allah jadikan bagi setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang-orang yang dulu berpegang dengan Taurat dan Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama Islam, walaupun syari’at untuk mereka itu hanya khusus bagi mereka. Demikian pula orang-orang yang berpegang pada Injil sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam, walaupun Al-Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan menghalalkan untuk mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka. Demikian pula Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang Dia hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina kemudian Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah, pen). Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt). Oleh karerna itu ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran 85), lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman, “…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97). Dan telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa memiliki bekal atau unta/ kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau sebagai Nasrani.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya). Allah Ta’ala berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran: 18). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran: 19). Kemudian jika mereka mendebat kamu (Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20). Maka Allah Swt telah mengabarkan bahwa agama di sisinya itu adalah al-Islam awal dan akhir, dan dia itu agama yang satu. Kemudian Dia menjelaskan bahwa Ahli Kitab sesungguhnya mereka berselisih hanyalah setelah ilmu datang kepada mereka lalu kedengkian ada di antara mereka dari sebagian atas sebagian mereka, bukan karena mencari kebenaran. Dan ini seperti Firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al-Bayyinah: 4). Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS Al-Bayyinah: 5). Dan Allah berfirman dalam ayat-ayat yang lain: Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 16). Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya. (QS 45: 17). Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS 45: 18). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 19). Perbedaan mutlak yang dicela Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an adalah kalau setiap golongan menciptakan perkataan baru yang di dalamnya tercampur haq dan batil, maka setiap golongan/ kelompok saling berbeda dengan kelompok lain dan saling bermusuhan, dan masing-masing menyelisihi agama Islam yang Allah utus para utusan dengannya. Seperti Yahudi dan Nasrani saling berbeda mengenai Al-Masih dan lainnya. Dan para pengikut hawa nafsu dari umat ini berbeda pula (dengan kemurnian agama Islam, pen). Maka sesungguhnya Islam adalah tengah-tengah di dalam (kalangan) agama-agama. Antara “ujung-ujung yang saling tarik menarik” dan “sunnah dalam Islam” seperti Islam dalam agama-agama. Maka orang-orang Muslim dalam hal (sikapnya tentang) sifat Allah Ta’ala adalah tengah-tengah antara Yahudi dan Nasrani. Yahudi menyerupakan Pencipta dengan makhluk, maka mereka (Yahudi) menyifati Maha Pencipta dengan sifat-sifat tertentu pada makhluk yaitu sifat kurang (tak sempurna). Mereka berkata, sesungguhnya Allah itu fakir, dan sesungguhnya Allah itu bakhil, dan Allah itu lelah ketika menciptakan alam maka Dia beristirahat. Dan (lain lagi) Nasrani, mereka menyerupakan makhluk dengan Khaliq, maka mereka menyifati makhluk dengan sifat-sifat tertentu pada Khaliq. Mereka mengatakan, dia (Isa bin Maryam, pen) adalah Allah. Sedangkan orang-orang Muslim menyifati Khaliq dengan sifat-sifat yang sempurna dan mensucikannya dari sifat-sifat kurang. Dan Muslimin mensucikanNya dari adanya tandingan bagiNya dalam hal sifat-sifat kesempurnaan, maka Dia terbebas dari sifat-sifat kurang secara mutlak. Dan makhluk-makhluk pun dibersihkan dari sifat-sifat kesempurnaan yang menyamai-Nya. Demikian pula dalam hal nabi-nabi, kaum Muslimin bersikap tengah-tengah. Orang Yahudi sebagaimana Allah firmankan mengenai mereka: “Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS AlBaqarah: 87). Demikian pula mereka (Yahudi) membunuh nabi-nabi dan membunuh orang yang memerintahkan keadilan di antara manusia. Dan orang-orang nasrani bersikap ghuluw (ekstrim), maka mereka menyekutukan Allah dengan mereka dan orang-orang selain mereka. Allah berfirman mengenai mereka: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At-Taubah: 31). Orang-orang Muslim beriman kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan dan tidak membeda-bedakan antara salah satu dari mereka, karena mengimani seluruh nabi-nabi itu adalah fardhu lagi wajib, dan barangsiapa kafir/ mengingkari satu nabi (saja) dari mereka (para nabi itu) maka sungguh dia telah kafir kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan. Dan barangsiapa mencaci seorang nabi dari para nabi maka dia telah kafir, wajib dibunuh dengan kesepakatan para ulama, dan mengenai diminta tobatnya ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama). Firman Allah Ta’ala: Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS Al-Baqarah: 136). Dan Firman Allah Ta’ala: “…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …” (QS Al-Baqarah: 177). Dan FirmanNya: Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (QS Al-Baqarah: 285). Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS Al_Baqarah: 286). Inti dari uraian Imam Ibnu Taimiyah itu adalah kalimat beliau: “Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).” Maka pengutipan tim penulis FLA dari Paramadina terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tanpa merujuk sumbernya dengan kalimat: “Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar,…” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan Agama-agama) itu jelas-jelas satu pengelabuhan, entah itu dengan cara memotong-motong sebagian dari kalimat-kalimat Imam Ibnu Taimiyah hingga konteksnya jadi lain, atau dengan cara lainnya. Yang jelas, Imam Ibnu Taimiyah justru mengkafirkan siapa saja yang tidak masuk Islam setelah sampai kepada mereka da’wah Nabi Muhammad saw. Dan itu satu bukti nyata, bahwa faham pluralisme agama (menyamakan semua agama) sama sekali tidak bisa dikait-kaitkan dengan Imam Ibnu Taimiyah. Adapun orang-orang yang melandasi propagandanya tentang pluralisme agama dengan mengutip-ngutip pernyataan Ibnu Taimiyah itu boleh dipertanyakan keilmiyahan mereka secara metodologis, dan bahkan kejujurannya dalam pembahasan secara akademis. Pengutipan secara panjang dari pendapat Ibnu Taimiyah yang saya lakukan ini memang dari segi metodologi yang biasa dipakai dipandang kurang kena. Tetapi saya mohon maaf, hal ini saya lakukan karena untuk mencari kejelasan, seperti apa pendapat Ibnu Taimiyah dalam hal Islam dan agama-agama terutama Yahudi dan Nasrani. Sehingga terjawablah secara tuntas apabila dengan mengutip secara runtut walaupun panjang dari uraian Ibnu Taimiyah yang sebenarnya, bukan hanya dicomot-comot secara semaunya model para penulis FLA, untuk kepentingan yang bertentangan dengan Ibnu Taimiyah itu sendiri. Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengemukakan: Islam sesungguhnya hanyalah penyembahan kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Dia disembah hanya dengan apa yang Dia perintahkan. Maka setiap yang Dia perintahkan, yaitu ketika sesuatu itu diperintahkanNya maka termasuk bagian dari agama Islam, dan ketika (perintah itu tadi) telah Dia larang maka tidak termasuk lagi dari bagian agama Islam. Seperti dahulu shokhroh (batu di Baitul Maqdis sebagai kiblat) pertama dulunya adalah termasuk dari bagian agama Islam, kemudian Dia larang (berkiblat lagi) terhadapnya maka tidak tersisa lagi bagiannya dari Islam. Oleh karena itu yang berpegang pada Hari Sabat (hari upacara Yahudi) dan lainnya dari syari’at-syari’at yang telah dinasakh (dihapus) maka bukan termasuk agama Islam, lalu bagaimana lagi dengan yang telah diganti. Allah Ta’ala sama sekali tidak rela terhadap agama selain Islam, dan tidak satupun dari para rasulNya, lebih-lebih Nabi Muhammad penutup para nabi, beliau tidak rela terhadap seorangpun kecuali dengan agama Islam, tidak terhadap orang-orang musyrikin dan tidak pula terhadap orang-orang yang telah diberi al-kitab (Ahli Kitab). Para Filosuf dan Teolog Setelah jelas paparan Imam Ibnu Taimiyah tentang siapa saja yang telah kedatangan seruan Islam namun tidak masuk Islam maka kafir, pada bagian selanjutnya diuraikan pula kekafiran para filosuf yang tidak mengikuti agama Rasul. Lalu dikemukakan pula jauhnya kesesatan filosuf yang berdalih Islam namun jauh dari Islam, dan juga kesesatan para teolog/ ahli kalam. Buku Fiqih Lintas Agama adalah ditulis oleh tim Paramadina yang rata-rata menggeluti filsafat, dan juga ilmu kalam. Bahkan di antara mereka tidak menggeluti ilmu fiqih secara spesialistis. Ada yang tadinya belajar fiqih, namun akhirnya “lari” pula ke filsafat. Oleh karena itu, sorotan Ibnu Taimiyah tentang para filosuf dan teolog ini perlu kami kutip sebagai berikut: Apabila demikian, maka para filosuf Yunani, filosuf Arab, Parsi, India dan semua bangsa yang tidak memiliki kitab suci maka mereka dalam hal perkara-perkara ketuhanan bukanlah dalam kedudukan ulama Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka adalah lebih tahu daripada mereka mengenai perkara-perkara ketuhanan. Kemudian mereka semuanya itu di kala seorang rasul datang kepada mereka lalu mereka mendusktakannya maka mereka kafir. Dan apabila mereka berada di atas syari’at rasul dengan mengerjakan syari’at itu dengan tidak ada penggantian maka mereka mukmin muslim termasuk ahli surga. Dan apabila mereka tidak berada di atas syari’at dan tidak datang kepada mereka seorang rasul maka mereka ahli jahiliyah seperti ahli fatrat (masa jeda tidak ada rasul). Dan telah luas pembicaraan mengenai mereka di lain tempat. Para filosuf yang telah kedatangan da’wah Nabi Muhammad saw sebagian mereka ada yang berpura-pura/ berdalih dengan Islam, sebagian ada yang dari Yahudi, dan sebagian mereka dari Nasrani. Dan setiap orang yang menyelisihi apa (wahyu) yang dibawa oleh para rasul maka dia sesat, dari golongan manapun dia berada. Karena Allah telah mengutus para rasul itu dengan kebenaran, dan akal yang jelas senantiasa menyepakati apa yang dibawa oleh para rasul, tidaklah akal yang jelas itu menyelisihi sedikitpun dari apa yang dibawa oleh para rasul. Ini telah dibentangkan dalam kitab Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wan-Naql. Para filosof yang berdalih dengan Islam, mereka berkata bahwa mereka mengikuti Rasul, tetapi apabila disingkap hakekat apa yang mereka katakan mengenai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka jelas bedanya bagi orang yang mengetahui apa yang dibawa oleh Rasul dan apa yang mereka katakan, dalam perkara yang sama, bahwa perkataan mereka bukanlah perkataan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bukan perkataan Muslimin tetapi di dalamnya ada perkataan-perkataan dari orang-orang kafir dan munafiqin serba banyak. Dan firqoh-firqoh ahli Kalam (Teologi) beserta bid’ah dan kesesatan mereka lebih dekat kepada Rasul dan kepada agama Islam (dibanding para filosuf tadi) baik firqoh Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah maupun Karamiyah. Tetapi tokoh-tokoh mereka (firqoh-firqoh ahli Kalam/ Teologi) bergumul dalam perdebatan yang rusak secara (dalil) sam’i dan akali. Mereka tidak tahu agama Islam dalam banyak masalah yang mereka perselisihkan, bahkan mereka menyandarkan kepada Islam apa-apa yang bukan dari Islam, dan mereka tidak berkata dalam berdalil dan menjawab terhadap lawan mereka dengan hal yang benar, tetapi mereka menolak kebatilan dengan kebatilan pula dan menghadapi bid’ah dengan bid’ah pula. Tetapi kebatilan para filosuf lebih banyak dan mereka lebih besar penyelisihannya terhadap kebenaran yang diketahui dengan dalil-dalil syar’I dan akali dalam perkara-perkara ketuhanan dan agama dibanding para mubtadi’in (ahli bid’ah) dari ahli Kalam (Teologi). Tetapi kelemahan pengetahuan para Mutakallimin (Teolog) terhadap kebenaran dan dalil-dalilnya telah menutupi mereka, sebagaimana tentara-tentara fasik (tidak taat aturan Islam) apabila berperang melawan tentara kafir dalam suatu peperangan, mereka tidak jadi orang sholehnya orang-orang taqwa dan bukan orang jahatnya orang-orang kuat (yang membela Islam). Hal itu termasuk yang menyebabkan orang-orang kafir menguasai mereka, dan kalau kafirin mengalahkan mereka dengan kedurjanaan dan kedhaliman pun mereka (tentara fasik itu) merasa memperoleh kemenangan, karena perbuatan jahat itu tempat bergumulnya adalah kejahatan pula. Demikianlah uraian Ibnu Taimiyah, bukan hanya menegaskan kekafiran orang Yahudi dan Nasrani setelah kedatangan Islam lalu mereka tidak mau masuk Islam, namun juga kekafiran para filosuf yang tidak mau mengikuti Rasul. Lalu diuraikan pula posisi filosuf yang berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dari Islam, dibandingkan dengan para ahli bid’ah dari ahli Kalam/ Teologi. Para filosuf yang berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dengan Islam itu kebatilannya lebih jauh dibanding firqoh-firqoh ahli kalam, baik itu Khawarij, Mu’tazlah, Syi’ah, dan Karamiyah. Meskipun demikian, firqoh-firqoh itu ternyata mudah sekali dikalahkan oleh orang-orang kafir, bahkan sudah dikalahkan pun masih merasa diri mereka menang. Setelah melihat uraian Ibnu Taimiyah yang semacam itu, dan kini tampak jelas gejala bahwa orang-orang yang menggeluti filsafat dan Ilmu Kalam itu menyusunya kepada kafirin orientalis di Barat, atau menetek kepada murid dari kafirin orientalis Barat, maka bisa diperbandingkan. Kini pemandangannya jadi aneh. Bukannya berperang melawan kafirin, namun mencari dana dari kafirin, lalu untuk merusak Islam lewat karya-karya yang diatas-namakan ilmu Islam. Betapa jauhnya antara generasi yang dibahas Imam Ibnu Taimiyah dengan generasi sekarang. Padahal, generasi yang dibahas Ibnu Taimiyah itu saja dalam menghadapi orang kafir dan menegakkan Islam sudah tidak ada sumbangan yang menguntungkan bagi Islam, bahkan merugikan. Apalagi generasi yang sudah nyadong catu (minta jatah) kepada kafirin sekarang ini. # Wijhah, Kiblat Masing-masing Umat Titik Pusat Ajaran Pluralitas dalam Al-Qur’an? Setelah kami tanggapi tentang dien (agama), syir’ah, dan minhaj yang dikemukakan orang-orang Paramadina, kini akan kami tanggapi tentang wijhah yang mereka angap sebagai arahan dari Allah SWT dan mereka jadikan bukti pluralitas agama, bahkan mereka sebut Titik Pusat Ajaran Pluralitas dalam Al-Qur’an dan All-Inclucive (lihat FLA, halaman 21). Padahal sama sekali tidak demikian. Berikut ini kutipan dari teks buku FLA terbitan Paramadina, selanjutnya tanggapan kami dengan mengemukakan ayat-ayat dan penjelasan Imam Ibnul Qoyyim. Kutipan: “Bagi masing-masing mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya; maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Di manapun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya.” (Al-Baqarah: 148). “Dan Kami turunkan Kitab yang membawa kebenaran, memperkuat Kitab yang sudah ada sebelumnya dan menjaganya. Maka putuskanlah perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah ikuti nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang datang kepadamu. Untuk kamu masing-masing Kami tentukan suatu undang-undang dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya Ia menjadikan kamu satu umat, tetapi Ia hendak menguji kamu atas pemberian-Nya. Maka berlombalah kami dalam kebaikan. Kepada Allah tempat kamu kembali, lalu ditunjukkan kepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (An-Nisaa’ : 48) Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam Al-Qur’an, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama lain. Oleh karena ajaran yang all-inclucive itu, Al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam (dan melalui beliau kepada seluruh umat manusia); “Mereka, para nabi itu, adalah orang-orang yang telah dibimbing Allah. Maka dengan bimbingan mereka itulah engkau, Muhammad, harus meneladani. Katakanlah, hai Muhammad, ‘Aku tidak meminta bayaran kepada kamu atas petunjuk itu. Semua itu adalah semata-mata peringatan bagi seluruh alam.” (Al-An’am:90) (FLA, halaman 21). Tanggapan: Untuk lebih runtutnya, perlu kami kemukakan lebih dulu ayat-ayat dan terjemahannya agar konteks pemahaman bisa lebih jelas. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berplaing ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144). “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akanmengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 145). “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 147). “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam beruat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 148). Penjelasan Ibnul Qayyim tentang Wijhah Berikut ini penjelasan Ibnul Qayyim tentang wijhah dalam ayat tersebut: Allah berfirman: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147). Artinya, yaitu orang-orang yang ragu-ragu dan bimbang. Dan arti “al-haq dari Tuhanmu” adalah hal yang telah Aku perintahkan kepadamu yaitu menghadapkan wajah ke Baitul Haram, ia itulah al-haq/kebenaran yang nabi-nabi sebelummu berada di atasnya, maka kamu jangan ragu-ragu mengenai hal itu. Lalu Dia berfirman, “Dan sesungguhnya orang-orang yang telah diberi Al-Kitab pasti mereka mengerti bahwasanya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka”, dan Dia berfirman, “Dan sesungguhnya segolongan dari mereka pasti menyembunyikan kebenaran itu sedangkan mereka mengetahui”, artinya mereka menyembunyikan apa yang mereka ketahui bahwa ka’bah itulah dia kiblat para Nabi. Kemudian datang keterangan dari jalan Abu Dawud dalam Kitab Nasikh dan Mansukh, ia berkata, diriwayatkan dan Ibnu Syihab ia berkata, dulu Sulaiman bin Abdul Malik tidak mengagungkan Eliya seperti diagungkannya oleh ahli baitnya (keluarga Sulaiman). Dia (Ibnu Syyihab) berkata, lalu aku berjalan bersamanya (Sulaiman) dan dia adalah Wali Ahdi (Putra Mahkota). Dia (Ibnu Syihab) berkata, Sulaiman itu beserta Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah. Lalu Sulaiman berkata, seang dia duduk padanya, “Wallahi, sesungguhnya dalam kiblat ini yang orang-orang Muslim telah shalat (menghadap) kepadanya dan orang-orang Nasrani pastilah keduanya mengherankan, demikianlah pendapatku.” Dan yang benar (bukan Nasrani tetapi) orang-orang Yahudi. Kata Khalid bin Yazid, “Wallahi sesungguhnya aku telah membaca kitab yang diturunkan Allah atas Muhammad, maka orang-orang Yahudi tidak mendapatkannya (kiblat) di dalam Al-Kitab yang telah Allah turunkan atas mereka tetapi Tabut as-sakinah (peti yang anggun) dulunya ada di atas Shakhrah (batu karang), maka ketika Allah Azza wa Jalla marah atas Bani Israel maka Dia mengangkatnya, maka sholatnya Bani Israel ke arah Shakhrah (theRock, di Baitul Maqdis, pen) adalah dari musyawarah di antara mereka (Bani Israel). Dan Abu Daud meriwayatkan juga bahwa seorang Yahudi bertengkar dengan Abu Al-Aliyah mengenai kiblat. Abu Al-Aliyah berkata, sesungguhnya Musa dulu sholat di sisi Shakhrah dan menghadap Baitul Haram (di Makkah, pen) maka Ka’bah itu adalah kiblatnya (Musa) dan Shakhrah ada di depannya (Musa). Orang Yahudi itu berkata, di antara aku dan kamu ada masjid Nabi Shalih. Abu Al-Aliyah berkata, maka aku telah shalat di Masjid Shalih dan kiblatnya adalah Ka’bah. Selesai. Aku (Ibnul Qayyim) katakan, fasal ini mengandung faedah yang besar yaitu bahwa Ahli Kitab menghadap ke kiblat mereka itu tidak ada landasan dari segi wahyu dan ketetapan dari Allah, tetapi dari musyawarah dan ijtihad di antara mereka. Adapun orang-orang Nasrani maka tidak ada keraguan bahwa Allah tidak menyuruh mereka di dalam Injil dan lainnya untuk menghadap ke timur selama-lamanya, sedangkan mereka menetapkan hal itu dan mereka tetapkan bahwa kiblat Al-Masih adalah kiblat Bani Israel yaitu As-Shakhrah. Dan itu sesungguhnya hanyalah buatan syaikh-syaikh (orang-orangtua/ tokoh-tokoh agama) dan pendahulu mereka (Yahudi) kiblat ini, sedang mereka (Nasrani) beralasan bahwa Al-Masih mempersilakan kepada syaikh-syaikh untuk menghalalkan dan mengharamkan dan membuat hukum-hukum. Dan apa-apa yang mereka halalkan dan haramkan maka dia (Al-Masih) halalkan dan haramkan di langit, maka mereka (Orang-orang Nasrani) itu bersepakat dengan Yahudi bahwa Allah tidak mensyariatkan menghadap (kiblat) ke timur atas lisan rasul-Nya selama-lamanya, dan orang Muslimin adalah saksi-saksi atas yang demikian itu. Adapun kiblat orang Yahudi maka tidak ada perintah di dalam Taurat sama sekali untuk menghadap ke Shakhrah. Sesungguhnya mereka hanyalah meletakkan Tabut (peti) dan mereka shalat (menghadap) kepadanya dari arah mana mereka keluar, lalu ketika mereka datang maka mereka meletakkan Tabut (peti) itu di atas Shakhrah dan mereka shalat (menghadap) kepadanya. Lalu ketika Tabut itu diangkat, mereka sholat ke arah tempatnya yaitu Shakhrah. Adapun As-Samirah (orang Sameria) maka mereka shalat (menghadap) ke Thur, tempat milik mereka di bumi Syam. Mereka mengangungkannya dan berhaji ke sana, dan saya (Ibnul Qayyim) telah melihatnya yaitu di negeri Nablus. Dan aku (Ibnul Qayyim) bertukar pikiran dengan orang-orang terhormat mereka (Sameria) mengenai kiblatnya dan aku katakan, itu kiblat yang batil lagi bid’ah yang diada-adakan. Lalu seorang penasihat agama mereka berkata, ini adalah kiblat yang benar, sedangkan orang Yahudi itu salah, karena Allah Ta’ala telah memerintahkan dalam At-Taurat untuk menghadap padanya secara nyata. Kemudian dia menyebutkan nash (teks) yang dia kira dari Taurat mengenai kiblat itu. Lalu aku katakan padanya, ini salah teak terhadap Taurat, karena Taurat itu hanyalah diturunkan atas Bani Israil, maka merekalah yang jadi mukhatab (lawan bicara) dengannya sedangkan kalian adalah cabang dari mereka dalam hal Taurat ini. Kalian hanyalah menirukannya dari mereka. Nash (Teks) ini tidak ada di dalam Taurat yang di tangan mereka, dan aku telah melihatnya, dan ini tidak ada di dalamnya. Maka dia berkata padaku, “Benarlah kamu, ini hanyalah ada di Taurat kami saja.” Aku katakan padanya, “Hal yang mustahil kalau pemilik-pemilik Taurat yang jadi mukhathab (lawan bicara) dengannya, sedangkan mereka mentransfernya dari Al-Kalim (Nabi Musa Alaihissalam) dan mereka itu bertebaran di berbagai tempat di bumi telahmenyembunyikan nash ini danmenghilangkannya dan mengganti kiblat yang telah diperintahkan kepada mereka dengannya (yaitu kiblatmu), dan kamulah yang menyimpannya dan menjaga nash itu.” Lalu dia tidak menjawab lagi. Aku (Ibnul Qayyim) katakan, ini semua termasuk hal yang menguatkan bahwa dhamir (kata ganti) dalam firman-Nya ….. adalah kembali kepada lafal kull (masing-masing umat). Artinya, dia (masing-masing umat)-lah yang mengarahkan wajahnya, yang dimaksud bukannya bahwa Allah telah mengarahkan kepada masing-masing umat untuk menghadap ke arah-arah (masing-masing). Ini (alasan) pertama. Yang kedua, dalam ayat itu tidak didahului penyebutan nama Allah Ta’ala yang untuk kembalinya dhamir(kata ganti) pada-Nya. Dan kalau ada disebutkan sebelumnya maka dalam hal pengembalian dhamir kepada Allah Ta’ala tidak kepada kull itu adalah mengembalikan dhamir kepada selain yang lebih berhak padanya, dan telah ditolak oleh yang berdekatan dengannya, yang bergandengan dengannya. Ketiga, bahwasanya kalau dhamir itu kembali kepada Allah Ta’ala pastilah Dia berkata …….., Dia mengarahkanmasing-masing kepadanya (kiblat). Ini arah pembicaraan sebagaimana Allah Ta’ala berfirman ……, Kami palingkan ke arah mana ia berpaling, maka arah pembicaraan hendaknya dikatakan Dia mengarahkannya ke kiblat, tidak dikatakan, dia mengarahkan kiblat kepdanya. Maka camkanlah. Pada bagian selanjutnya, Ibnul Qayyim menjelaskan, Penyebutan Masjidil Haram pertama kali adalah awalan untuk hukum dan sebagai nasakh/penghapus dan pengganti bagi kiblat yang pertama (Shakhrah di Masjidil Aqsha, Baitul Maqdis Palestina, pen). Maka Dia berfirman, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” Kemudian Dia sebutkan bahwa Ahli Kitab mengetahui bahwa ini adalah benar dari Tuhan mereka dimana mereka mendapatinya di kitab-kitab mereka yang demikian itu. “Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 144) Kemudian Allah mengabarkan tentang peribadahan mereka dan kekafiran mereka (Ahli Kitab), seandainya didatangkan kepada mereka seluruh ayat pasti mereka tidak mengikuti kiblatnya (Muhammad) dan dia juga tidak mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka tidak mengikuti kiblat sebagian lainnya. Kemudian Dia memperingatkannya agar tidak mengikuti hawa nafsu mereka. Kemudian Dia mengulangi, kenalnya Ahli Kitab terhadapnya itu seperti kenalnya mereka terhadap anak-anak mereka, dan mereka pasti menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahui. Kemudian Dia mengabarkan bahwa ini adalah kebenaran dari Tuhannya maka janganlah ia terkena keraguan. Kemudian Dia mengabarkan bahwa setiap umat memiliki wijhah (kiblat) yang ia menghadap dan mengarahkan padanya sebagai wijhah (kiblat). Maka berlombalah kalian wahai orang-orang Mukmin dalam kebaikan. Kemudian Dia mengulangi perintah untuk menghadap ke kiblat dari segi dikeluarkannya itu untuk cakupan redaksional tambahan atas semata-mata penghapusan (kiblat pertama di Baitul Maqdis diganti Masjidil Haram Makkah, pen). Kemudian Dia mengulangi perintah dengannya (lagi) bukanlah murni pengulangan tetapi kandungannya adalah perintah kepada mereka untuk menghadap Kiblat (yang baru, pen) di mana saja mereka berada sebagaimana dulu pernah Dia memerintah mereka untuk menghadap ke Kiblat yang pertama. Di mana mereka berada itu adalah ketika nasakh (penghapusan kiblat pertama diganti dengan yang baru, pen) dan permulaan dimulainya hukum, maka Dia memerintahkan mereka (mukminin) untuk menghadap ke Ka’bah di mana saja mereka berada ketika hukum itu mulai disyariatkan, dan setelah adanya bantahan dan pertengkaran (dari Ahli Kitab, pen), dan ketetapan hukum pada mereka, dan keterangan tentang penentangan dan penyelisihan mereka (Ahli Kitab, pen) padahal mereka mengetahuinya. Maka penuturan perintah yang demikian itu kepada setiap warga (di berbagai tempat) adalah karena adanya tuntutan redaksional bagi perintah itu. Maka camkanlah. Wallahu’alam. Kesimpulan: 1. Orang-orang Yahudi menghadap ke kiblat mereka itu tidak ada landasan dari segi wahyu dan ketetapan dari Allah, tetapi dari musyawarah dan ijtihad di antara mereka. 2. Adapun orang-orang Nasrani maka tidak ada keraguan bahwa Allah tidak menyuruh mereka di dalam Injil dan lainnya untuk menghadap ke timur selama-lamanya. 3. Kiblat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam yang pertama Masjidil Aqsha di Baitul Maqdis Palestina, dinasakh (dihapus dan diganti) dengan Ka’bah, yang sebenarnya adalah kiblat para nabi. 4. Lafal ….. “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya” itu dhamir / kata ganti huwa (dia) kembali ke kull (tiap-tiap) umat. Bukan kepada Allah. Karena disamping dari segi bahasa memang demikian, dari segi kenyataan agama memang orang Yahudi dan Nasrani mereka mencipta kiblatnya masing-masing. Adapun Kiblat Umat Islam, jelas ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an seperti tersebut di atas. 5. Menyamakan kedudukan kiblat antara Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan Muslimin adalah satu pemahaman yang keliru, karena berbeda jauh. Kiblat Ahli Kitab tidak ada dalam kitab mereka, hanya buatan mereka sendiri, sedang kiblat Muslimin ada di dalam Al-Qur’an. 6. Gugurlah faham pluralitas yang ingin dicantolkan dengan kiblat masing-masing itu, karena memang sifatnya sangat bebeda: Kiblat Islam ketentuan dari Allah, kiblat Ahli Kitab rekaan mereka sendiri. Wallahua’lam. Teologi Pluralis Propaganda Kekafiran Berkedok Al-Qur’an dan As-Sunnah Kutipan/ ringkasan: Fiqih yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keimanan yang pluralis pula. Dalam upaya membangun fiqih pluralis tersebut, dalam bagian ini kita mencoba mengembangkan pijakan teologi pluralis dengan mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan. (Fiqih Lintah Agama/ FLA, hal 18). Sub judul: Nabi sebagai Petunjuk Jalan Menuju Kebenaran (FLA, hal 18). Dalilnya QS 16:36; QS 35:24, Hadits riwayat Ahmad tentang jumlah nabi 124.000, sedang rasul di antara mereka 315 orang. Lalu dikemukakan sifat-sifat para rasul, manusia biasa yang mendapat wahyu dari Tuhan tentang jalan hidup yang benar (QS 12:109; 16:43). Mereka manusia wajar sebagaimana manusia biasa, berumah tangga dan berketurunan (QS 13:38). Mereka menyantap makanan, ke pasar untuk berdagang (QS 25:20). Ada yang dituturkan di Al-Qur’an dan ada yang tidak (QS 4:164; 40:78). (FLA, hal 19). Para rasul diutus dengan bahasa kaumnya masing-masing (QS 14:4), namun semuanya dengan tujuan sama, yaitu mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban menghambakan diri (beribadat, berbakti) hanya kepada-Nya (QS 21:25). Juga menyerukan perlawanan kepada thaghut, yakni kekuatan jahat dan zalim (QS 16:36). Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam) kepada Tuhan (QS 2:136 dan 285; 3:84). (FLA, 19-20). Tanggapan: Orang-orang Paramadina ini mau membangun teologi pluralis yang mereka sebut “dengan mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan”. (FLA, hal 18). Dalam membangun teologi pluralis itu Nurcholish Madjid cs (NM cs) menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Namun karena teologinya memang berbeda antara Paramadina dan Al-Qur’an, sehingga apa yang dibangun Paramadina yakni teologi pluralis dengan mencomot-comot ayat-ayat Al-Qur’an itu diruntuhkan sendiri oleh pernyataan sendiri yang disimpulkan dari ayat yang mereka comot yaitu: Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul, tanpa membeda-bedakan seorang pun dari lainnya, dengan sikap berserah diri (islam) kepada Tuhan (QS 2:136 dan 285; 3:84). (FLA, 19-20). Runtuhlah teologi pluralis yang mereka bangun itu oleh pernyataan mereka sendiri: “Kaum beriman harus percaya kepada seluruh nabi dan rasul.” Karena konsekuensinya, dengan datangnya Rasul terakhir, Muhammad saw yang membawa risalah Islamiyah dengan wahyu dari Allah berupa kitab suci Al-Qur’an, maka yang mampu melaksanakan keimanan seperti yang dikemukakan dalam kalimat terakhir itu hanyalah orang-orang yang mengikuti agama Muhammad Rasulullah saw, yaitu orang Muslim. Hanya orang Muslim yakni pengikut agama Muhammad saw lah yang keimanannya mencakup beriman kepada Rasulullah Muhammad saw dan beriman pula kepada seluruh rasul-rasul yang diutus Allah swt, dan beriman kepada kitab suci dari Allah, yakni Al-Qur’an dan seluruh kitab-kitab-Nya. Untuk bisa beriman seperti ini tidak ada jalan lain kecuali masuk Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Muhammad saw sebagai Rasul, dan tidak beriman kepada Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan kepada Muhammad saw untuk seluruh manusia, maka namanya kafir. Pengikut Nabi Musa as yakni orang-orang Yahudi, dan pengikut Nabi Isa as yaitu Nasrani (kedua-duanya itu disebut Ahli Kitab) yang tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad saw dan tak beriman kepada Al-Qur’an, maka mereka kafir. Resiko mengimani Nabi Muhammad saw dan kitab suci Al-Qur’an itu adalah mesti menjadi seorang Muslim, pemeluk agama Nabi Muhammad saw. Tanpa itu maka kafir namanya. Kalau mereka itu Yahudi atau Nasrani maka disebut kafir kitabi karena mereka adalah Ahli Kitab. Sedang orang-orang yang tidak memiliki kitab suci dari Allah dan tak mau beriman kepada Muhammad Rasulullah, dan Al-Qur’an kitab Allah; maka mereka kafir, sedang jenisnya adalah bukan Ahli Kitab, yakni jenis musyrik. Kenapa disebut dari jenis musyrik, karena mereka beragama dengan syari’at yang datangnya dari selain Allah. Itulah yang namanya penyembahan dengan memakai syari’at yang datangnya dari tandingan Allah, makanya disebut musyrik (orang yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya). Yang menciptakan syari’at ataupun system penyembahan bukan dari Allah itulah thaghut. Sehingga orang beriman wajib berlepas diri dari ketundukan pada system/ syari’at thaghut, karena syari’at thaghut itu adalah tandingan syari’at Allah. Hingga orang yang mengikuti, tunduk atau memakai syari’at thaghut itu disebut musyrik, karena tunduk pada tandingan Allah, bukan hanya kepada Allah swt. Walaupun dalam rangka tunduk kepada Allah, namun kalau yang dipakai adalah syari’at thaghut maka hukumnya musyrik juga. Allah swt berfirman: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS As-Syuura: 21). Mereka yang tak mau mengimani Muhammad saw sebagai Rasulullah dan Al-Qur’an sebagai kitab suci dari Allah (baik yang ingkar ini memiliki kitab suci yaitu Ahli Kitab –hingga disebut kafir kitabi/ kafir dari jenis orang-orang Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani, maupun yang tak memiliki kitab suci dan hanya mengikuti system thaghut hingga disebut kafir dari jenis orang-orang musyrik) ditegaskan dalam Al-Qur’an akan masuk ke neraka Jahannam kekal selama-lamanya di dalamnya dan status mereka adalah seburuk-buruk makhluk. “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6). Orang Ahli Kitab sudah diberi tahu dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa akan datang utusan Allah namanya Ahmad. Bahkan mereka mengenal bagai mengenal anaknya. Namun kemudian mereka mengingkari, dan kedatangan Al-Qur’an yang menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran justru menambah durhaka dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Itulah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut: Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". (QS As-Shaff: 6). “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Fath: 29). “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS Al-baqarah: 146). Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS Al-Maaidah: 68). Telah runtuhlah teologi pluralis yang dibangun oleh Nurcholish Madjid cs. Bagai “kuda patah pinggang”. Sudah tidak bisa dijadikan kendaraan untuk menuju ke tempat tujuan lagi. Jadi teologi pluralis Nurcholish Madjid cs ini terbukti ibarat “kuda patah pinggang”. Lebih baik pulang kembali ke aqidah Tauhid yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj/ metodologi pemahaman yang telah ditempuh oleh para sahabat Nabi saw diikuti para tabi’in dan tabi’it tabi’in serta para ulama yang bermanhaj salafus sholih. Aman. Daripada menunggang teologi pluralis yang sudah patah pinggang, sengsaranya sudah terbayang, sedang tujuan yang akan dicapai tak kesampaian. Merangkul Teman dari Agama Lain, Membuat Musuh di Agama Sendiri Komentar sesama rekan penulis buku Fiqih Lintas Agama itu sendiri dalam hal ini pantas disimak laporan Majalah Gatra: Sesama penulis juga mengkritik penulis lain. Zainun Kamal mempertanyakan bagian pertama yang hanya mengupas ayat-ayat pendukung pluralisme agama, tapi tidak membahas ayat lain yang cenderung keras pada agama lain. "Jangan sampai buku ini hanya merangkul teman dari agama lain, tapi membuat musuh di agama sendiri," kata Zainun. (Majalah Gatra) Meskipun ungkapan Zainun Kamal itu sendiri masih mengakui adanya ayat-ayat pendukung pluralisme agama padahal sebenarnya seperti dibuktikan di atas, teologi pluralis itu sudah terbantah sendiri dengan pengutipan-pengutipan ayat-ayat yang mereka sendiri kemukakan; namun kritik Zainun Kamal itu menunjukkan betapa sebenarnya di tubuh para penulis itu sendiri ada rasa kekhawatiran dan keraguan. Jadi mereka sendiri ketika membuat keraguan untuk orang lain (kaum Muslimin) ternyata menimpa diri mereka sendiri. Kalau sudah begitu, tingkah NM cs yang dikhawatirkan “membuat musuh di agama sendiri” itu akan ada kemungkinan reaksi yang tinggal mengutip ayat yang mirip dengan nasib tragis itu, misalnya ayat tentang apa yang menimpa kaum munafik yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqoroh: 9). Bahkan nasib orang-orang Paramadina itu kemungkinan bisa lebih tragis apabila sampai orang-orang non Muslim yang dirangkul justru curiga karena ternyata walaupun tampaknya mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap mendukung teologi pluralis namun pada ujungnya juga tidak, (sebagaimana telah terbukti); sedang di balik itu terhadap umat Islam, konsekuensi dari ini semua sudah tergambar yakni “membuat musuh di agama sendiri (di kalangan Muslimin)”. Sebenarnya ada pelajaran yang berharga dari Al-Qur’an. Siapapun yang mengikuti pelajaran berharga itu insya Allah selamat. Di antaranya ada peringatan Allah swt tentang nasib tragis, sedang umat Islam mesti menghindari, karena merupakan daya upaya yang mengenaskan, yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Allah swt berfirman: Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" (QS Al-Kahfi: 103). Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(QS Al-Kahfi: 104). Kutipan/Ringkasan: Inti agama (Arab: din) dari seluruh rasul adalah sama (QS42:13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah tunggal (QS 21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi juga ditegaskan oleh Nabi saw sambil digambarkan bahwa para nabi itu adalah satu saudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama. Salah satunya adalah hadis Bukhari, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akherat. Para nabi adalah satu ayah dari ibu yang berbeda-beda dan agama mereka adalah satu.” (FLA, 20). Lalu dikemukakan, Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah, yakni jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda. Ulasan ini dilandasi QS 5:48. Kemudian dikemukakan, upacara-upacara keagamaan atau mansak setiap agama, dilandasi QS 22:34 dan 68. Dan setiap umat punya wijhah (titik “orientasi”, tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjid Haram dan Ka’bahnya untuk kaum Muslim. (FLA, 20). “Penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antaragama yang dapat diturunkan dari al-Qur’an, yang menegaskan adanya pluralitas agama. Bahkan al-Qur’an (2: 148 dan 4:48) menegaskan pluralitas itu dalam “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, koeksistensi damai, dan keadilan, serta perlakuan yang sama.” (FLA, 21). Lalu dikutip terjemah ayat QS 2: 148 dan QS 4:48. kemudian diberi komentar: “Itulah titik pusat ajaran pluralitas dalam al-Qur’an, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama lain. Oleh karena ajaran yang all-inclusive itu, al-Qur’an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw (dan melalui beliau kepada seluruh umat manusia), Mereka, para nabi itu, adalah orang-orang yang telah dibimbing Allah. Maka dengan bimbingan mereka itulah engkau, Muhammad, harus meneladani. Katakanlah, hai Muhammad, ‘Aku tidak meminta bayaran kepada kamu atas petunjuk itu. Semua itu adalah semata-mata peringatan bagi seluruh alam.” (QS 6:90). Tanggapan: Tidak masuk Islam setelah mendengar seruan Nabi Muhammad saw adalah kafir. Sebagaimana tabiat dari Al-Qur’an itu memang menegakkan Tauhid dan mengutus Nabi Muhammad saw itu untuk seluruh alam, semua manusia dan jin, maka ketika NM cs mengutip-kutip ayat Al-Qur’an dan memaksudkan untuk menegakkan teologi pluralis yang sejatinya bertentangan dengan Al-Qur’an, tentu ayat yang dikutip itu sendiri membantah pemahaman NM cs. Ayat yang dikutip NM cs dalam kutipan terakhir itu adalah: Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat. (QS Al-An’aam/ 6: 90). Imam As-Syaukani menjelaskan, “Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat” artinya sebagai nasehat dan peringatan bagi seluruh makhluq yang ada ketika turunnya Al-Qur’an itu dan bagi siapa saja yang akan ada setelahnya. Kemudian ayat itu diteruskan dengan ayat 91 Surat Al-An’am: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (Qs Al-An’aam: 91). Tafsir Al-Baidhowi menjelaskan, perkataan mereka, "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia", itu adalah perkataan orang-orang Yahudi dalam keadaan mengingkari Al-Qur’an yang diturunkan Allah. Kalau pemahamannya model NM cs, maka apa perlunya Allah membantah orang Yahudi, dan agar Nabi Muhammad saw menyampaikan bantahan itu kepada mereka seperti dalam ayat 91 Surat Al-An’aam itu? Setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan bantahan lewat ayat Al-Qur’an kepada orang-orang Yahudi, masih Allah pesankan: “Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” Disampaikannya Al-Qur’an itupun bukan sekadar untuk membantah, namun agar diimani. Sehingga tidak cukup hanya mengimani Taurat dan Injil. Hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maaidah: 68. “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (TQS Al-Maaidah: 68). Imam Ibnu Katsir menjelaskan lafal hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, maksudnya hingga kalian beriman kepada seluruh kitab-kitab yang berada di tangan kalian yang diturunkan dari sisi Allah Ta’ala kepada para nabi, serta mengamalkan kandungannya. Di antara kandungannya tersebut adalah beriman kepada Nabi Muhammad saw, perintah untuk mengikutinya, beriman kepada kenabiannya, dan menaati ketentuan syari’atnya. Oleh karena itu Laits bin Abu Sulaim mengatakan dari Mujahid mengenai firman-Nya, (apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian) yaitu Al-Qur’anul ‘Azhim. Imam Ibnu Katsir pada bagian lanjutnya mengaitkan ayat itu dengan ayat: Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20). Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur'an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur'an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud: 17). Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw: Riwayat dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw bahwasanya beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik ia Yahudi ataupun Nasrani yang mendengarku kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali dia termasuk penghuni-penghuni neraka.” (HR Muslim). Imam An-Nawawi menjelaskan: Adapun hadits itu maka di dalamnya adalah nasakh (penghapusan/ pembatalan/ penggantian) agama-agama semuanya dengan risalah nabi kita saw. Dan di dalam pengertiannya adalah petunjuk bahwasanya orang yang belum sampai padanya da’wah Islam, maka dia ma’dzur (diberi udzur/ tidak dituntut). Ini berjalan di atas apa yang datang dalam prinsip-prinsip bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara’ menurut yang shahih, wallahu a’lam. Dan sabda Nabi saw: “Tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku” itu artinya dari orang yang dia ada di zamanku dan sesudahku sampai hari qiyamat maka masing-masing mereka wajib masuk dalam ketaatan pada Nabi Muhammad saw. Beliau menyebutkan Yahudi dan Nasrani itu hanyalah sebagai perhatian atas orang selain keduanya. Hal itu karena Yahudi dan Nasrani memiliki kitab (suci). Kalau keadaan mereka ini saja jadi (wajib taat kepada Nabi Muhhammad saw) padahal mereka memiliki kitab suci maka apalagi selain mereka yaitu orang-orang yang tidak punya kitab suci. Wallahu a’lam. Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits Nabi saw tersebut maka teologi pluralis jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi saw, bahkan merupakan propaganda kepada kekafiran, namun berkedok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam prakteknya, teologi pluralis itu diberi panduan praktis berupa buku Fiqih Lintas Agama. Karena teologi pluralisnya itu sendiri sudah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka fiqih pluralisnya tentu saja berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga pada dasarnya adalah menyerang Islam memakai baju ilmu Islam.# Memainkan Ayat, Menirukan Nasrani Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah/ 2: 62). Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29). Dua ayat tersebut di atas (QS Al-Baqarah: 62 dan QS At-Taubah: 29) menjadi pembahasan yang saling dikaitkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam fasal khusus tentang tuduhan orang-orang Nasrani bahwa Al-Qur’an menyamakan di antara agama-agama. (Ibnu Taimiyyah, Daqoiqut Tafsir, juz 2, halaman 70). Ibnu Taimiyah yang hidup pada masa 700 tahun yang lalu (1263-1328M) Telah membantah tuduhan orang-orang Nasrani yang menganggap Al-Qur’an menyamakan agama-agama. Tuduhan kaum Nasrani 700 tahun yang lalu itu kini anehnya diusung oleh orang-orang yang mengaku dirinya Muslim, dan mengambil alih tuduhan tersebut dengan label baru yaitu teologi pluralis atau pluralisme agama. Lalu oleh tim penulis Paramadina di Jakarta dibuatkan tuntunan praktisnya dalam bentuk buku yang mereka namai Fiqih Lintas Agama. Yang dijadikan landasan teologi pluralis itu juga yang jadi landasan kaum Nasrani di zaman Imam Ibnu Taimiyah, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 62 dan QS Al-Maaidah: 69. Ayat itu di berbagai tempat dibawa-bawa oleh Nurcholish Madjid untuk mempropagandakan teologi pluralisnya, hingga dalam buku FLA itu sendiri pun dijadikan landasan, dengan ungkapan yang sangat mencolok mata, kami kutip dari FLA seperlunya: Kutipan: Ayat yang lebih tegas tentang keselamatan agama-agama lain adalah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah/ 2: 62). (FLA, halaman 214). Di samping itu, ayat tersebut diplintir pula ke arah Majusi, seperti yang dicantumkan dalam FLA halaman 49: “Al-Qur’an sendiri menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang jelas-jelas Ahli Kitab. Akan tetapi al-Qur’an juga menyebutkan beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum Majusi dan Shabi’in, yang dalam konteksnya mengesankan seperti tergolong Ahli Kitab (lihat, Q. 22: 17; 2:62). (FLA, halaman 49). Tanggapan: Keselamatan agama-agama lain yang mereka kilahi dengan ayat 62 surat 2 itulah inti teologi pluralis, yang menyamakan semua agama. Lalu ayat 62 surat 2 itu juga diplintir untuk memasukkan Majusi ke Ahli Kitab. Namun sebenarnya pengertian Surat Al-Baqarah ayat 62 itu seperti apa, mari kita simak uraian Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Daqoiqut Tafsir (6 juz) pada juz 2 sebagai berikut: Fasal mengenai tuduhan orang-orang Nasrani bahwa Al-Qur’an menyamakan di antara agama-agama Mereka (orang-orang Nasrani) berkata mengenai Surat Al-Maidah, Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Maaidah: 69) ; maka dengan perkataan ini telah samalah antara semua manusia Yahudi dan Muslim serta lainnya. Jawaban untuk itu, hendaklah dikatakan, Pertama, tidak ada alasan/hujjah bagi kalian dalam ayat ini atas tuntutan kalian bahwa hal itu menyamakan antara kalian (Nasrani) dan antara Yahudi dan Shobi’in. Sedangkan kalian (Nasrani) beserta Muslimin sepakat bahwa orang-orang Yahudi itu adalah kafir terhadap diutusnya Isa Al-Masih kepada mereka lalu mereka membohongkannya. Dan demikian pula orang-orang shobi’un (sabean) dari segi diutusnya rasul kepada mereka lalu mereka membohongkannya, maka mereka kafir. Kalau di dalam ayat itu (kalian anggap) ada pujian kepada agama kalian yang kalian ada di atas agama itu setelah diutusnya Muhammad saw, maka (berarti) dalam ayat itu ada pujian terhadap agama Yahudi juga, dan ini adalah batil menurut kalian dan menurut Muslimin. Demikian pula (yang harus) dikatakan kepada orang-orang Yahudi apabila beralasan/ berhujjah dengan ayat ini atas sahnya agama mereka. Dan juga sesungguhnya orang-orang Nasrani mengkafirkan orang-orang Yahudi. Maka kalau agama mereka (Nasrani) benar, wajiblah kekafiran Yahudi, dan kalau batil wajiblah batilnya agama mereka, otomatis batillah salah satu dari dua agama itu, maka tercegahlah ayat itu (dari) memuji kedua agama tersebut, sedangkan ayat itu telah menyamakan antara keduanya. Sudah diketahui bahwa ayat ini tidak memuji salah satu dari kedua agama itu setelah nasakh dan tabdil (pembatalan/ penghapusan dan penggantian). Sesungguhnya makna ayat ini hanyalah: Bahwa orang-orang yang beriman kepada Muhammad saw, dan orang-orang Hadu (yang bertobat, Yahudi) yang mengikuti Musa as yaitu mereka yang berada di atas syari’at sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, dan orang-orang Nasrani yang mengikuti Al-Masih as yaitu orang-orang yang berada di atas syari’at sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti; dan orang-orang shobi’un (sabean) yaitu shobi’un hunafaa’ (yang cenderung/ mengikuti kebenaran) seperti orang-orang dulu yaitu orang-orang Arab dan lainnya di atas agama Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq sebelum diganti dan dinasakh (dihapus). Sesungguhnya orang-orang Arab dari anak Isma’il dan lainnya yang menjadi tetangga Baitul ‘Atiq (Ka’bah) yang dibangun Ibrahim dan Isma’il, mereka dulu adalah orang-orang hunafa’ (cenderung/ mengikuti kebenaran) di atas agama Ibrahim sampai pada diubahnya agama Ibrahim itu oleh sebagian pemimpin Bani Khuza’ah yaitu Amru bi Luhai, dan dialah orang pertama yang mengubah agama Ibarahim dengan kemusyrikan dan mengharamkan apa-apa yang tidak diharamkan Allah. Oleh karena itu Nabi saw bersabda: Saya lihat Amru bin Amir bin Luhai Al-Huza’i menarik ususnya artinya perut besarnya di neraka, dan dialah orang pertama yang membuat saibah-saibah (binatang persembahan berhala tidak boleh untuk membawa beban). (HR Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Dan dialah orang yang pertama membuat bahirah (binatang untuk berhala, tidak seorangpun memeras susunya) dan membuat saibah-saibah dan mengubah agama Ibrahim. Demikian pula Bani Ishaq yang dulu sebelum diutusnya Musa, mereka memegangi agama Ibrahim, mereka termasuk orang-orang yang berbahagia dan terpuji. Maka mereka yang dulu berada di atas agama Musa, Al-Masih, Ibrahim dan semacamnya itulah yang dipuji Allah Ta’ala: Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS Al-Baqarah/ 2: 62). Maka ahli kitab setelah (syari’at agama mereka) dinasakh (dihapus) dan diganti, mereka bukanlah termasuk orang yang beriman kepada Allah dan tidak beriman pula kepada Hari Akhir, dan beramal shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At-Taubah: 29). Jihad Melawan Nasrani Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw mengumumkan secara langsung untuk berangkat perang Tabuk untuk menghadapi kekuatan Nasrani Romawi, tahun 9 H. Nabi Muhammad saw biasanya tidak mengumumkan secara luas seperti itu. Namun dalam menghadapi kekuatan Nasrani Romawi, pengumuman pun dikumandangkan. Hingga pasukan Islam yang berangkat ke Tabuk berjumlah 30.000 orang, sedang para sahabat Nabi saw untuk membekali para pasukan Islam itu sampai ada yang menyerahkan hartanya seluruhnya, yaitu Abu Bakar ra. Utsman bin Affan yang dikenal sebagai orang kaya yang dermawan menyerahkan 900 unta dan seratus kuda serta uang kontan. Mereka yang hanya mampu menyerahkan kurma sekadarnya lantaran hanya itu milik mereka pun mereka serahkan untuk berjihad di jalan Allah melawan Nasrani. Meskipun harta-harta dan kendaraan telah diserahkan oleh para sahabat Nabi saw secara berlomba-lomba untuk meraih kebajikan, namun karena banyaknya jumlah pasukan Islam, maka setiap 18 orang hanya kebagian 1 kendaraan unta. Dan itupun di antara rombongan itu dalam perjalanan terpaksa menyembelih unta mereka untuk diambil airnya untuk diminum dan dagingnya untuk dimakan. Bahkan kadang mereka hanya makan daun. Saat itu panas terik. Selain jumlah 30.000 pasukan Islam itu masih ada orang-orang Islam yang menangis tidak bisa ikut memerangi Nasrani Romawi karena tidak punya bekal. Maka Allah menurunkan ayat, menjelaskan keadaan mereka: Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS At-Taubah: 92). Melihat jumlah besar tentara Islam itu maka pasukan Romawi kocar-kacir, dan tidak terjadi peperangan, sedang sebagian pemimpin kabilah di bawah Romawi pilih mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad saw dengan membayar jizyah. (Lihat Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakafuri, Ar-Rahiqul Makhtum, bab Perang Tabuk). Ayat-ayat Al-Qur’an dan pelaksanaannya di zaman Nabi Muhammad saw sejelas itu, dalam kaitannya dengan Ahli Kitab, bahkan tidak ikut berperang melawan Nasrani Romawi adalah berdosa. Lha kok sekarang ada orang-orang yang justru sebaliknya, mengusung faham Nasrani, menyamakan Nasrani dengan Islam, menafikan kekafiran Nasrani dan kafirin lainnya, membolehkan Nasrani menikahi muslimah dan waris mewarisi dengan Muslim, membolehkan mendatangi upacara-upacara ibadah Nasrani dan lain-lain. Kalau itu yang bersuara masih beragama Nasrani sebagaimana di masa Imam Ibnu Taimiyah maka masih bisa dimaklumi secara perasaan, karena memang secara hawa nafsu perlu membela diri, walau sudah jelas-jelas salah. Lha ini sekarang yang menyuara model Nasrani tu justru orang-orang yang mengaku dirinya Muslim bahkan berlabel cendekiawan Muslim. Ini lakon apa? Dalam bahasa Arabnya adalah Dajjal, yaitu pendusta. Telah mendustakan ayat-ayat Allah swt, masih pula mempropagandakan kedustaannya dengan biaya dari kafirin. Sekarang saya baru bisa memahami, di tahun 1990-an terbit buku yang menghajar kelompok ini dengan judul Anatomi Budak Kufar tulisan Muhammad Yaqzan di Jakarta yang artinya adalah uraian tentang jaringan dan pemikiran busuk para budak orang kafir. Kakak kelas saya yang dulunya di Fakultas Adab IAIN Jogjakarta itu telah mampu membedah kebusukan pemikiran yang mengantek ke kafirin yang jaringannya Jogjakarta-Jakarta. Adian Husaini menyebut buku itu sebagai buku yang dibaca luas di kalangan harakah, maka sebenarnya kebusukan pemikiran tersebut sudah diketahui celanya oleh sebagian banyak aktivis. Kini justru lebih jelas lagi, karena mereka bukan sekadar melontarkan ucapan-ucapan aneh di sana-sini, namun secara beramai-ramai menulis sebuah buku, FLA, hingga lebih kentara lagi. Tanpa tedeng aling-aling, mereka membuka sendiri bahwa yang membiayai adalah lembaga yang diketauhi umum sebagai lembaga orang kafir. Sunnu Bihim Sunnata Ahlil Kitab FLA Memlintir Pernyataan Ibnu Taimiyah “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29). Ayat itu merupakan perintah untuk memerangi Ahli Kitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan hina. Dalam prakteknya, Nabi Muhammad saw memungut jizyah pula kepada orang-orang Majusi dan bersabda: “Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap Ahli Kitab.” Dari celah-celah ini firqah liberal dalam hal ini tim penulis Paramadina yang menulis buku Fiqih Lintas Agama mengambil kesempatan untuk memasukkan orang Majusi sebagai Ahli Kitab. Dalam mengangkat Majusi menjadi Ahli Kitab itu di antaranya mereka menempuh jalan memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah. Langkah-langkah untuk menyamakan semua agama dan praktrek fiqihnya Sebelum kami uraikan plintiran tim Paramadina dalam FLA-nya terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah, perlu kami gambarkan cara-cara licik mereka untuk memlintir-mlintir Islam disamakan dengan agama lain. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: 1. Mensahkan agama-agama lain selain Islam sebagai agama-agama yang selamat, sehingga kedudukannya sejajar dengan Islam, dan selamat semuanya. Ini mereka namai teologi inklusif pluralis. Ayat yang mereka plintir di antaranya QS Al-Baqarah/ 2: 62. (lihat FLA 249, atau kutipan di buku kami ini dalam judul Memainkan Ayat, Menirukan Nasrani). 2. Setelah mereka mendudukkan Ahli Kitab sejajar dengan Islam dan agamanya sah juga, selamat juga, (padahal menurut Al-Qur’an QS Ali Imran ayat 85, selain Islam maka tidak diterima Allah, dan di akherat termasuk orang-orang yang merugi); lalu mereka mendudukkan orang Majusi sebagai Ahli Kitab juga, dengan cara memlintir QS 2; 62 itu pula. (Lihat FLA halaman 49), dan juga memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah yang akan dibicarakan di sini. 3. Setelah Majusi dinaikkan sebagai Ahli Kitab, lalu agama-agama lain dinaikkan pula sebagai Ahli Kitab dengan dalih ungkapan-ungkapan Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar (lihat FLA, halaman 51-52).. Padahal Rasyid Ridha yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab dengan landasan hadits dari Ali bin Abi Thalib itu riwayatnya dipersoalkan keshahihannya dalam kitab-kitab, dan dinilai tidak shahih. 4. Kemudian dalam hal pernikahan antara muslimah dengan lelaki Ahli Kitab mereka copoti keharamannya dengan cara menganggapnya “tidak ada larangan yang sharih”. Lalu mereka simpulkan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.” (FLA, halaman 164). Penulis FLA itu jelas telah menyembunyikan QS Al-Mumtahanah/60: 10: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 60:10). Orang-orang Ahli Kitab itu adalah termasuk orang-orang kafir, karena dalam Al-Qur’an yang disebut kafir itu adalah orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Itu ditegaskan dalam QS Al-Bayyinah: 6: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6). 5. Setelah pernikahan muslimah dengan lelaki Ahli Kitab bahkan agama-agama lain yang telah mereka angkat sebagai Ahli kitab mereka perbolehkan dengan cara menyembunyikan ayat dan memlintir dalil, lalu mereka bolehkan pula waris mewarisi antara Muslim dengan kafirin. Di antaranya ada dua dalih yang mereka bikin-bikin: a. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. (FLA, halaman 167). Sanggahan terhadap pernyataan ini ada di bagian lain di buku kami ini, yang intinya bahwa ungkapan “Islam mempersilahkan pernikahan dengan agama lain” itu ungkapan bikin-bikinan yang rancu. Lalu dijadikan landasan untuk waris beda agama dengan disebut otomatis dibolehkan. Pertanyaan yang perlu diajukan kepada mereka: Islam melarang ayah menikahi anak perempuannya. Apakah otomatis anak perempuan dilarang mewaris harta ayahnya, lantaran Islam melarang menikah? Rusaklah kalau cara berfikirnya seperti itu. b. Sedangkan hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan. (FLA halaman 167). Sanggahan: Hadits yang dimaksud adalah shahih, bahkan Muttafaq ‘alaih. Mereka tidak membantah keshahihannya, namun langsung membatalkannya, hanya beralasan semangat zamannya. Kalau kondusif otomatis matan hadits tersebut tidak bisa digunakan. Apakah ada larangan yang sudah jelas dan tegas, kemudian cukup dibatalkan dengan alasan “kondusif” seperti itu? Nanti orang akan berkata, larangan zina itu ketika suasananya tidak kondusif. Kalau kondusif maka larangan itu tidak bisa digunakan. Rusaklah agamanya, kalau model Paramadina ini. Tahap-tahap yang mereka tempuh tu semuanya keropos. Dan marilah kita buktikan bahwa mereka itu memlintir pernyataan Ibnu Taimiyah, sebagai berikut. Menaikkan Majusi Jadi Ahli Kitab dengan Memlintir Ibnu Taimiyah Kutipan: “… penggunaan perkataan : “Ahli Kitab” untuk merujuk pada Yahudi dan Nasrani dikarenakan adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka; dan tambahan sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka.” (FLA halaman 50). (Kemudian untuk menguatkan pernyataan mereka ini mereka comot pernyataan Imam Ibnu Taimiyah sebagai landasan yang dikesankan seakan mendukung pernyataan kelompok Paramadinah liberal ini. Mereka nyatakan): “Sehubungan dengan ini, Ibnu Taimiyah dalam Minhaj al-Sunnah menuturkan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk memperlakukan kaum Majusi seperti kaum Ahli Kitab. … Karena itulah Nabi bersabda tentang kaum Majusi, “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab”, dan beliau pun membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain yang di kalangan mereka ada kaum Majusi, dan para khalifah serta para ulama Islam semuanya sepakat dalam hal ini.” (FLA, halaman 50, mengutip Minhaj al-Sunnah). Tanggapan: Pengutipan pernyataan Ibnu Taimiyah itu berbeda dengan maksud yang dimaui oleh Ibnu Taimiyah. Sama sekali Ibnu Taimiyah tidak memaksudkan bahwa Majusi itu termasuk Ahli Kitab. Kelompok Paramadina dengan FLA-nya ini telah mengadakan kebohongan publik dengan cara memlintir pernyataan Imam Ibnu Taimiyah. Oleh karena itu, berikut ini kami kutip seperlunya, agar bisa dibedakan antara maksud Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah itu, dan agar terlihat betapa tidak jujurnya secara keilmuan apa yang dilaukan oleh kelompok Paramadina. Ungkapan Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Minhajus Sunnah juz 8 halaman 514 dan selanjutnya sebagai berikut: Setelah Allah memerintahkan untuk memerangi ahli kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk, maka Nabi saw memungut jizyah dari orang Majusi. Orang-orang Muslim bersepakat atas pemungutan jizyah dari Ahli Kitab dan Majusi. Para ulama berselisih mengenai kafir-kafir lainnya dalam 3 pendapat. 1. Dikatakan, semua mereka (kafirin) diperangi setelah (turunnya ayat) itu sehingga mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk apabila mereka tidak masuk Islam, inilah pendapat Imam Malik. 2. Dikatakan, musyrikin Arab dikecualikan dari yang demikian itu, ini pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat. 3. Dikatakan hal itu khusus pada ahli kitab, dan orang yang memiliki semacam kitab (syubhatu kitab), ini pendapat Syafi’i dan Ahmad dalam riwayat yang lain. Pendapat pertama dan kedua itu bersesuaian dalam makna, karena ayat jizyah belum turun kecuali setelah usai Nabi saw dari perang dengan musyrikin Arab. Akhir peperangannya dengan Arab adalah Perang Thaif, dan itu adalah setelah perang Hunain, sedang Perang Hunain adalah setelah Fathu Makkah, dan semua itu terjadi tahun 8 Hijriyah. Pada tahun kesembilan, beliau memerangi Nashrani pada Tahun (Perang) Tabuk, dan dalam tahun (kesembilan Hijriyah) itulah turun surat Baro’ah (at-Taubah), dan di dalamnya ada perintah untuk memerangi (Nasrani) sehingga mereka memberikan jizyah dan dalam keadaan tunduk. Dan Nabi saw ketika mengutus amir atas tentara atau peperangan maka beliau memerintahkannya agar memerangi mereka sehingga mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya. Dan Nabi saw berdamai dengan Nasrani Najran di atas (pembayaran) jizyah sedang mereka adalah orang yang membayar jizyah, dan mengenai mereka (Nasrani Najran) lah Allah menurunkan permulaan surat Ali Imran. Ketika tahun 9 Hijriyah, Nabi saw meniadakan musyrikin dari Masjidil Haram, menyingkirkan ikatan-ikatan/ janji kepada mereka, dan Allah Ta’ala memerintahkannya untuk memerangi mereka, dan orang-orang musyrikin Arab masuk Islam semuanya, maka tidak tersisa seorang musyrik mu’ahid (di bawah janji) pun, tidak karena jizyah dan tidak karena lainnya. Sebelum itu beliau mengadakan perjanjian dengan mereka (musyrikin Arab) tanpa jizyah. Lalu (persoalannya), tidak adanya pemungutan jizyah atas mereka (musyrikin Arab) itu apakah karena tidak tersisa lagi dari mereka orang yang (harus) diperangi hingga memberikan jizyah lantaran mereka telah masuk Islam semua ---karena mereka melihat bagusnya Islam, dan kemenangannya, dan (melihat) kotornya kemusyrikan yang dulu ada pada mereka, dan mencabut (kewajiban) memberikan jizyah dari mereka dalam keadaan hina--, atau karena jizyah tidak boleh dipungut dari mereka (musyrikin Arab) tetapi wajib menyerang mereka sampai (masuk) Islam. Maka berdasarkan pendapat pertama dipungut (jizyah itu) dari seluruh orang kafir sebagaimana dikatakan oleh mayoritas fuqoha’ dan mereka berkata, ketika diperintahkan untuk memerangi Ahli Kitab sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan tunduk, dan Allah melarang untuk mengadakan perjanjian dengan mereka (ahli kitab) tetapi (wajib dengan) jizyah --sebagaimana hukum (jizyah) yang berlaku sejak semula--, dan ini adalah penegasan bahwa orang-orang yang lebih rendah dari mereka (ahli kitab) yaitu orang-orang musyrikin lebih utama untuk tidak diadakan hudnah (perjanjian damai) tanpa jizyah, tetapi diperangi sampai mereka memberikan jizyah dalam keadaan hina. Oleh karena itu Nabi saw bersabda mengenai Majusi: “Perlakukanlah mereka sebagaimana perlakuan terhadap ahli kitab” Dan beliau mengadakan perdamaian dengan penduduk Bahrain di atas jizyah di dalam mereka itu ada orang Majusinya. Para khalifahnya (Nabi saw) dan seluruh ulama Muslimin sepakat dalam hal itu. Perkara itu pada awal Islam bahwa beliau memerangi kafirin dan mengadakan perjanjian damai dengan mereka tanpa jizyah sebagaimana Nabi saw melaksanakannya sebelum turunnya surat Baro’ah (At-Taubah). Lalu ketika turun Surat Baro’ah, Allah memerintahkan dalam surat itu untuk menyingkirkan perjanjian-perjanjian (antara muslim dan kafir) yang mutlak ini dan memerintahkannya untuk memerangi ahli kitab sehingga mereka memberikan jizyah, maka (orang-orang kafir) selain mereka lebih utama untuk diperangi dan tidak diadakan janji perdamaian. Uraian Ibnu Taimiyah itu sama sekali tidak menggolongkan Majusi sebagai Ahli Kitab. Justru menggolongkan Majusi sebagai orang-orang musyrikin yang lebih rendah daripada Ahli Kitab, maka lebih layak untuk diperangi sampai tunduk dan harus membayar jizyah. Ibnu Taimiyah: Majusi Jelas Bukan Ahli Kitab Lebih tegas lagi adalah pernyataan Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah: Umar bin Khatthab ra bertawaqquf (berhenti, tidak berbuat) mengenai pengambilan jizyah dari Majusi sehingga Abdur Rahman bin Auf bersaksi bahwa Rasulullah mengambil jizyah dari Majusi Hajar, (riwayat itu) disebutkan oleh Al-Bukhari. As-Syafi’I menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab menyebutkan Majusi, lalu dia berkata, aku tidak tahu bagaimana aku perbuat mengenai perkara mereka. Lalu Abdur Rahman bin Auf berkata kepadanya, saya bersaksi, sungguh saya telah mendengar Rasulullah berkata: Perlakukanlah kepada mereka (Majusi) seperti perlakuan terhadap Ahli Kitab. (Komentar Ibnu Taimiyah) ini jelas bahwa mereka (Majusi) bukanlah termasuk Ahli Kitab dan yang menunjukkan atasnya itu adalah firman Allah Ta’ala: (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca." (QS Al-An’aam: 156). Lalu Ibnu Taimiyah dalam lembar berikutnya (halaman 83-84 kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah juz 1) menyebutkan bahwa riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab (tercantum dalam Kitab Musnad As-Syafi’I dan Sa’id bin Manshur dan selain keduanya), tetapi telah dilemahkan/ didho’ifkan oleh jama’ah huffadz ahli hadits. Persoalan dalam pembicaraan ini, riwayat dari Ali yang dha’if itu telah dijadikan landasan oleh FLA Paramadina dalam mengangkat Majusi sebagai Ahli Kitab dengan merujuk Rasyid Ridha dalam Al-Manar. Nah, di situlah curangnya orang Paramadina. Riwayat dari Ali dan telah didho’ifkan oleh jama’ah huffadz ahli hadits saja kalau sesuai dengan seleranya maka dikutip dan dijadikan landasan. Namun yang jelas-jelas hadits Nabi saw yang derajatnya shahih, muttafaq ‘alaih, tentang larangan waris mewarisi antara kafirin dan muslim, ketika tidak cocok dengan kemauan liberal mereka maka mereka tolak dengan dalih yang dibuat-buat. (lihat FLA, halaman 167). Sekali lagi kejujuran ilmiyah mereka telah mereka pertaruhkan untuk kepentingan nafsu liar liberal mereka demi membela kafirin. Dalam hal Majusi itu bukan Ahli Kitab, dan diperlakukan sebagai Ahli Kitab khusus hanya dalam hal Jizyah itu justru Imam Syafi’I yang memuat riwayat Ali itu pun pendapatnya tidak seperti model Paramadina yang memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab. Kutipan pendapat Imam Syafi’I sebagai berikut: Imam Syafi’i rahimahullah berkata, Ahli Kitab yang wanita-wanita merdekanya halal dinikahi adalah penerima dua kitab yang terkenal, Taurat dan Injil, yaitu Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel bukan Majusi. Syaikh rahimahullah itu berkata, dan atsar yang masyhur ini dari Abdur Rahman bin Auf dari Nabi saw; Perlakukanlah mereka (Majusi) sebagaimana perlakuan terhadap ahli kitab, maka ahli ilmu memahmulkan (menafsirkan)nya beserta dalil dengan riwayat pada keadaan di atas jizyah, maka Majusi itu diikutkan pada ahli kitab dalam hal jaminan (keamanan) darah dengan jizyah, bukan dalam hal lainnya. Wallahu a’lam. Demikianlah pendapat Imam Syafi’i. Dan pendapat Ibnu Taimiyah pun jelas. Kedua-dua ulama itu tidak memasukkan Majusi sebagai Ahli Kitab. Persoalannya sekarang, ketidak jujuran secara ilmiyah, ketika dilakukan oleh satu orang saja pun orang itu sudah tidak terpercaya lagi. Dalam kasus ini, ketidak jujuran dalam pengutipan dan penyampaian maksud dari ulama yang dikutip ternyata dilakukan secara beramai-ramai, dan atas nama apa yang mereka beri label “fiqih” lagi. Maka betapa tidak terpercayanya mereka itu. Masalah Nikah Beda Agama Tim Penulis FLA Paramadina Membatalkan Syari’at Allah Pada bagian ketiga dari buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina yang bekerjasama dengan The Asia Foundation dipampangkan judul Fiqih “Menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-agama. Dari judul itu saja saya membacanya merinding. Sebab yang dibangun di situ adalah sinergi agama-agama, yang hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Yang ada, perintah Allah swt di antaranya dalam Surat Al-Kafirun. Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS Al-Kafirun: 1-6). Imam Ibnu Katsir mengaitkan ayat itu dengan perkataan Nabi Ibrahim as dan pengikut-pengikutnya kepada kaumnya yang musyrik: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 4). Al-Qur’an wahyu Allah swt telah menegaskan sejelas-jelasnya seperti itu, namun orang-orang Paramadina yang bekerjasama dengan lembaga kafirin ini menentang Al-Qur’an dengan membuat “jalan baru” yang justru bertentangan langsung dengan ayat-ayat tersebut. Dalam membuat “jalan baru” itu dibuatlah syari’at baru pula, yaitu: 1. Membolehkan wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan, “karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). (FLA, halaman 163). 2. “…Amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa al-Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. (QS 2: 62) (FLA, halaman 164). 3. Membolehkan orang kafir mewaris harta orang Muslim. Alasannya, “Dan ligikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim dalam keadaan normal dan kondusif, secara otomatis matan hadis tersebut tidak bisa digunakan.” (FLA, halaman 167). Tanggapan: Wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) itu haram. Sebab Ahli Kitab itu adalah kafir. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al-Bayyinah: 6). Orang kafir itu tidak halal bagi wanita Muslimah. Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10). Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang isteri telah masuk Islam berarti sejak ia masuk Islam itu telah bercerai dengan suaminya yang kafir, karena itu ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang wanita muslimat kawin dengan laki-laki kafir. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyyah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membuat konsep perjanjian itu, maka Ali pun menulisnya: “Dengan menyebut nama Engkau, wahai Tuhan kami, ini adalah perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Mereka telah menyatakan perdamaian dengan menghentikan peperangan selama 10 tahun, saling berusaha menjaga keamanan dan menahan serta menjaga terjadinya perselisihan. Barangsiapa di antara orang-orang Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, hendaklah orang itu dikembalikan sedangkan kaum muslimin yang datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan,…” dan seterusnya. Demikianlah Rasulullah saw mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada orang-orang Quraisy dan tidak ada seorangpun yang ditahan bel.iau, walaupun ia seorang mukmin. Maka datanglah kepada Rasulullah, seorang wanita mukminah dari daerah kafir yang bernama Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith. Maka datanglah kepada Rasulullah dua orang saudara dari perempuan itu yang bernama ‘Ammar dan Walid yang meminta agar wanita itu dikembalikan. Maka turunlah ayat ini yang melarang Rasulullah mengembalikannya. Kemudian wanita itu dikawini oleh Zaid bin Haritsah. Dari tindakan Rasulullah ini nyatalah bahwa yang wajib dikembalikan menurut perjanjian itu hanyalah laki-laki saja, sedangkan wanita tidak dikembalikan. Menurut riwayat Bukhari dan Muslim dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Hakam diterangkan bahwa setelah Rasulullah menandatangani perjanjian Hudaibiyyah dengan orang-orang kafir Quraisy, banyaklah wanita-wanita mukminat berdatangan dari Makkah ke Madinah. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan agar Rasulullah menguji mereka lebih dahulu dan melarang beliau mengembalikan wanita-wanita yang benar-benar mukminat ke Makkah. Dalam pada itu kepada kaum muslimin dibolehkan mengawini wanita-wanita mukminat yang berhijrah itu dengan membayar maskawin. Hal ini berarti bahwa wanita itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah swt menganjurkan kaum muslimin mengawini mereka itu agar diri mereka terpelihara. Jika mereka tidak dikawini, mereka akan sendirian karena mereka telah bercerai dari suami mereka itu dengan masuk islamnya mereka itu. Allah menerangkan sebab larangan melanjutkan perkawinan isteri mukminat dengan suami yang kafir itu, karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara orang-orang yang sudah beriman dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir. Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak isteri masuk Islam. Lelaki Ahli Kitab (Yahudi ataupun Nasrani) Haram Menikahi Muslimah Mengenai lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi wanita Muslimah tidak ada kesamaran lagi. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah/ 60: 10 dan Al-Baqarah/ 2: 221. Maka Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menegaskan: “Dan tidak halal bagi Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaannya kafir kitabi (Ahli Kitab) ataupun bukan Kitabi. Karena Allah Ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. (QS Al-Baqarah: 221). Dan firmanNya: “… Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10). Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan. Ia mendasarkan pada firman Allah QS Al-Mumtahanah/ 60: 10. Para ulama mengemukakan larangan Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab atau non Muslim itu sebagian cukup menyebutnya dengan lafal musyrik atau kafir, karena maknanya sudah jelas: kafir itu mencakup Ahli Kitab dan musyrik. Di samping itu tidak ada ayat atau hadits yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah setelah turun ayat 10 Surat Al-Mumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walaupun hanya disebut kafir sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir musyrik. Bahkan lafal musyrik saja, para ulama sudah memasukkan seluruh non Muslim dalam hal lelaki musyrik dilarang dinikahkan dengan wanitra Muslimah. “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (QS Al-Baqarah/ 2: 221). Muhammad Ali As-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah swt melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembah berhala, majusi, yahudi, Nasrani dan orang yang murtad dari Islam. Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Janganlah menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mu’minah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan penghinaan terhadap Islam. Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi isteri orang kafir. Syaikh Shalih Al-fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: ” Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (QS Al-Baqarah/ 2: 221). Mencari Celah dengan Memlintir Imam At-Thabari Meskipun hukum tentang haramnya wanita muslimah dinikahi lelaki kafir secara mutlak, baik kafir Ahli Kitab maupun musyrik itu sudah jelas dan tegas, namun karena firqah liberal punya misi tertentu di antaranya mengusung kepentingan orang kafir, maka diteroboslah apa-apa yang mereka anggap ada celah-celahnya. Dalam hal pernikahan antara muslimah dengan lelaki Ahli Kitab mereka copoti keharamannya dengan cara menganggapnya “tidak ada larangan yang sharih”. Lalu mereka simpulkan: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.” (FLA, halaman 164). Firqah liberal itu terang-terangan membolehkan wanita Muslimah dinikahi oleh lelaki Ahli Kitab, dengan alasan, “karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). (FLA, halaman 163). Dalam catatan kaki (FLA, halaman 191) hadits yang mereka sebut tidak begitu jelas kedudukannya itu dikutip dari Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an ta’wi Ay al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 2001, halaman 465. Benarkah Imam At-Thabari mengemukakan hadits itu untuk dijadikan landasan dalam hal tidak sharih (tidak jelas)nya larangan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah, karena hadits itu kedudukannya masih ada masalah? Sama sekali tidak. Pembicaraan Imam At-Thabari bukan mengenai larangan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah (karena sudah jelas haramnya), namun adalah pembicaraan tentang riwayat-riwayat mengenai wanita muhshonat (wanita merdeka yang menjaga diri dan kehormatannya) dari kalangan Ahli Kitab. Ini berkaitan dengan ada perbedaan di kalangan Ahli Tafsir dalam hal wanita musyrikat dalam QS 2: 221, haram dinikahi, maka apakah di dalamnya termasuk wanita Ahli Kitab. Dan karena ada riwayat, Umar bin Khatthab menyuruh talak beberapa orang sahabat ( Hudzaifah dan Thalhah) yang menikahi wanita Ahli Kitab. Berikut ini uraian Imam At-Thabari, kami kutip dengan diringkas dari Fathul Qadir-nya Imam As-Syaukani (yang sudah dibuat lebih komunikatif), dan bisa dirujuk ke Tafsir At-Thabari juz 2 halaman : 378. Abu Ja’far Ibnu Jarir At-Thabari berkata, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini (QS 2: 221): Apakah ayat itu diturunkan dengan maksud setiap musyrikah (dilarang dinikahi) atau maksud hukumnya mengenai sebagian musyrikah saja bukan yang lainnya? Dan apakah ada sesuatu yang dinasakh (dihapus) setelah adanya kewajiban hukum padanya itu atau tidak? Sebagian Ahli Tafsir berpendapat: Diturunkan ayat itu dimaksudkan pengharaman atas setiap muslim nikah dengan setiap wanita musyrikat dari jenis manapun kesyirikannya, baik itu wanita penyembah berhala, ataupun wanita Yahudi, Nasrani, Majusi, atau lainnya dari macam-macam kemusyrikan. Kemudian pengharaman menikahi wanita Ahli Kitab dinasakh (dihapus) dengan Firman-Nya: QS Al-Maaidah: 4-5). (Ada juga yang mengecualikan wanita Ahli Kitab) riwayat dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, Firman-Nya (QS 2:221) itu kemudian Dia mengecualikan wanita-wanita Ahli Ktab, maka Dia berfirman QS Al-Maaidah: 5. Ahli Tafsir yang lain berkata: Bahkan ayat ini (QS 2:221) diturunkan dengan maksud hukumnya mengenai wanita musyrikat Arab, tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan tidak dikecualikan. Ayat itu hanyalah umum secara lahiriyahnya tetapi khusus maknanya. Riwayat dari Qatadah, QS 2:221, Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikat sehingga mereka beriman, artinya wanita musyrikat Arab yang tidak memiliki kitab (suci) yang mereka baca. Sa’id bin Jubair berkata, maksudnya wanita musyrikat ahlil autsan (penyembah berhala). Ahli tafsir yang lain berkata: Bahkan ayat ini QS 2: 221 diturunkan dimaksukan mengenai setiap wanita musyrikat dari jenis apa saja dia, tidak dikhususkan satu jenis musyrikat saja, baik itu wanita berhalais atau wanita Majusi, atau wanita Ahli Kitab, dan tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya). Abu Ja’far At-Thabari berkata: yang paling utama dari pendapat-pendapat penafsiran ayat ini adalah pendapat Qatadah: bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrikat sehingga mereka beriman” adalah orang yang bukan Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrikat. Ayat itu umum secara lahiriyahnya, khusus secara batiniyahnya, tidak ada sesuatu yang menasakhnya (menghapusnya), dan wanita-wanita Ahli Kitab tidak termasuk di dalamnya. Dan hal yang demikian itu karena Allah Ta’ala menyebutkan halal dengan firman-Nya QS Al-Maaidah: 5 Dan wanita-wanita muhshonat dari kalangan orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu— bagi laki-laki mukmin untuk menikahi wanita-wanita muhshonat (menjaga diri dan kehormatan) dari mereka, seperti yang dibolehkan kepada lelaki mukminin untuk menikahi wanita-wanita mukminat. Adapun perkataan yang diriwayatkan dari Syahr bin Husyib, dari Ibnu Abbas, dari Umar ra: tentang pemisahannya antara Thalhah dan Hudzaifah dengan isteri mereka yang kedua isteri itu wanita kitabiyah, maka adalah perkataan yang tidak ada maknanya, karena menyelisihi apa yang disepakati umat atas kehalalannya berdasarkan Kitab Allah Ta’ala yang telah menyebutkannya, dan Hadits rasul-Nya saw. Dan telah diriwayatkan dari Umar bin Khatthab ra dari perkatan yang berbeda dengan itu, dengan sanad yang lebih shahih, yaitu apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata, Umar berkata: Lelaki Muslim menikahi wanita Nasrani, dan lelaki Nasrani tidak menikahi wanita Muslimah. Umar membenci Thalhah dan Hudzaifah ra menikahi wanita Yahudi dan Nasrani hanyalah khawatir kalau orang-orang mengikuti keduanya dalam hal itu, lalu mereka tidak membutuhkan wanita Muslimat, atau makna-makna selainnya. Maka Umar memerintahkan keduanya untuk menceraikan dua wanita kitabiyah itu. Sebagaimana riwayat dari Syaqiq, ia berkata: Hudzaifah beristerikan wanita Yahudi, lalu Umar menulis surat kepadanya: “Lepaskanlah dia.” Lalu Hudzaifah membalas surat kepada Umar: Apakah kamu kira bahwa ia haram maka aku (harus) melepaskannya? Lalu Umar menjawab: Aku tidak mengira bahwa dia haram, tetapi aku takut kalau kalian mendapatkan al-muumisaat (wanita-wanita lacur) dari kalangan mereka (Ahli Kitab). Dan riwayat dari al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan mereka tidak menikahi wanita-wanita kami.” Hadits ini –walaupun dalam sanadnya ada sesuatu—maka berpendapat dengannya, karena kesepakatan keseluruhan atas benarnya perkataan dengannya, itu lebih utama daripada khabar dari Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Husyib (tentang Umar memisahkan Thalhah dan Hudzaifah dengan isteri mereka yang kedua isteri itu wanita kitabiyah). Maka arti pembicaraan itu, jadinya: “ Wahai orang-orang Mukmin, janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat, selain wanita Ahli Kitab, sehingga mereka beriman lalu membenarkan Allah, Rasul-Nya, dan apa yang diturunkan kepadanya. Para pembaca, kami mohon maaf, pengutipan ini panjang pula, karena untuk membuktikan, sebenarnya Imam At-Thabari apakah meriwayatkan hadits yang kedudukannya masih ada masalah itu untuk membahas masih diragukannya keharaman lelaki non Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kafirin lainnya) ataukah membahas tentang wanita muhshonat Ahli Kitab. Ternyata Imam At-Thabari hanyalah membicarakan wanita muhshonat Ahli Kitab, sama sekali tidak membicarakan lelaki Ahli Kitab dalam hal periwayatan hadits tersebut. Bagaimana tim penulis Paramadina ini mau dipercaya? Zuhairi Misrawi salah seorang tim penulis FLA ketika jadi utusan Paramadina dalam berdebat dengan Majelis Mujahidin Indonesia 15 Januari 2004 di UIN (Universitas Islam Negeri, dahulu IAIN) Jakarta mengatakan, Landasan penulisan FLA di antaranya adalah Tafsir At-Thabari. Ternyata Tafsir At-Thabari yang jadi landasan itu mereka plintir pula. Tafsir At-Thabari bicara tentang wanita muhshonat Ahli Kitab, sedang FLA menjadikannya sebagai alasan untuk membolehkan lelaki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah. Ini cara penulisan fiqih model apa? Dalam hal lelaki non Islam haram menikahi wanita Muslimah sudah jelas berdasarkan Al-Qran 2:221 dan 60: 10. Sebagai tambahan bisa dikemukakan hadits dan atsar (perkataan) sahabat Nabi saw. Riwayat dari Hasan, dari Jabir ditanyakan kepadanya, disebutkan Nabi saw bersabda, ya, beliau bersabda: Kami tidak mewaris (harta) Ahli Kitab dan mereka tidak mewaris (harta) kami kecuali apabila lelaki mewaris hambanya atau amatnya (budak wanitanya), dan kami menikahi wanita-wanita mereka (ahli kitab) dan mereka tidak menikahi wanita-wanita kami. (HR At-Thabrani dalam Al-Awsath, dan rijal –tokoh periwayat-periwayatnya tsiqot, terpercaya). Bagi Abdur Razaq dan Ibnu jarir, dari Umar bin Khatthab, ia berkata: “Lelaki Muslim menikahi wanita Nasrani, dan lelaki Nasrani tidak menikahi Muslimah”. Dan bagi Abd bin Humaid dari Qatadah berkata: “Allah menghalalkan untuk kita (Muslimin) muhshonatain (dua macam wanita muhshonah/ yang menjaga diri): Muhshonah mu’minah dan muhshonah dari Ahli Kitab. Wanita-wanita kami (Muslimah) haram atas mereka (lelaki Ahli Kitab), dan wanita-wanita mereka (Ahli Kitab) bagi kami (Muslimin) halal. Tidak diragukan lagi, wanita Muslimah haram dinikahi oleh lelaki non Muslim secara mutlak, baik mereka itu Yahudi, Nasrani, Majusi, Konghucu, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , Sikh, dukun/ paranormal penyembah jin- syetan atau kafirin lainnya. Isteri masuk Islam Setelah terbukti ngawurnya tim penulis FLA Paramadina, di sini perlu dikemukakan, yang jadi bahan pembahasan para ulama adalah apabila isteri masuk Islam di bawah suami yang musyrik, Nasrani, Yahudi, ataupun Majusi dan agama-agama selain Islam. Ini perlu ditambahkan di sini untuk lebih memantapkan bahwa lelaki non Islam (baik Yahudi, Nasrani, Majusi, maupun agama-agama selain Islam) haram bagi wanita Muslimah, walau ketika sebelum itu si wanita itu kafir juga. Namun ketika si wanita masuk Islam maka suaminya yang kafir itu jadi haram atasnya. Di dalam Kitab Shahih Bukhari dikemukakan: Bab: Apabila wanita musyrikah atau Nasrani masuk Islam di bawah (suami) kafir dzimmi atau kafir harbi (musuh). Abdul Warits berkata, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: “Apabila wanita Nasrani masuk Islam satu saat sebelum suaminya, maka dia haram atas suaminya.” Imam Ibnu Hajar menjelaskan atsar yang dikutip Imam Bukhari tersebut, dalam Kitab Fathul Bari, di antaranya: At-Thahawi mengeluarkan/ mentakhrij dari jalan Ayub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengenai wanita Yahudi atau Nasrani yang berada di bawah (suami) Yahudi atau Nasrani lalu wanita itu masuk Islam, maka dia (Ibnu Abbas) berkata, “Dipisahkan antara keduanya (suami isteri) oleh Islam, dan Islam itu tinggi dan tidak diungguli atasnya.” Sanadnya shahih. (Itulah teks dalam Kitab Shahih Bukhari dan sebagian penjelasan di Kitab Fathul Bari). Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni menjelaskan: Fasal kelima: Apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama. Ibnu Abdil Barr berkata, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini, kecuali sedikit yang diriwayatkan dari An-Nakho’I, ada keanehan menurut jama’ah ulama, maka tidak diikuti oleh seorang pun. (An-Nakho’I) mengira bahwa (isteri yang telah habis iddahnya) dikembalikan kepada suaminya, walaupun telah lama waktunya, karena apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw mengembalikan Zainab kepada suaminya, Abil Ash, dengan nikahnya yang awal, driwayatkan oleh Abu Daud. Dan Imam Ahmad mengajukan alasan padanya. Ia ditanya, tidakkah diriwayatkan bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) dengan nikah lanjutan? Dia (Ahmad) menjawab: Itu tidak ada sumbernya. Dan dikatakan, antara keislaman Zainab dan dikembalikannya kepada suaminya (Abil Ash yang tadinya kafir kemudian masuk Islam) itu 8 tahun. Dan bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta’ala: Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10). Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10). Dan (juga adanya) kesepakatan yang kental (ijma’ mun’aqod) atas pengharaman perkawinan Muslimat dengan lelaki kafir. Adapun kisah Abil Ash dengan isterinya (Zainab. puteri Nabi saw), maka Ibnu Abdil Barr berkata, tidak sunyi dari bahwa kejadiannya sebelum turunnya pangharaman nikah Muslimat dengan lelaki kafir, lalu dinasakh (dihapus) dengan (ayat) yang datang setelahnya, atau isteri itu hamil yang berlangsung kehamilannya sampai suaminya masuk Islam, atau istri sakit tidak haidh 3 kali haidh sehinga lelakinya masuk Islam, atau iseri itu dikembalikan kepada suaminya dengan nikah yang baru. Sungguh telah meriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Sunannya dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi saw mengembalikannya (Zainab) kepada Abil Ash dengan nikah yang baru. (HR At-Tirmidzi, dan ia berkata, Aku mendengar Abd bin Humaid berkata, aku dengar Yazid bin Harun berkata: Hadits Ibnu Abbas adalah sebaik-baik sanad, dan pengamalannya itu atas hadits Amru bin Syuaib). Demikian pembahasan tentang apabila salah satu dari suami isteri masuk Islam, dan yang lainnya (masuk Islam) belakangan sehingga habis ‘iddah si isteri itu, maka fasakh (rusak) lah pernikahannya, menurut pendapat umumnya para ulama, apabila isteri yang tadinya kafir kemudian masuk Islam lebih dulu dari suaminya. Pembahasan itu lebih menguatkan bahwa lelaki kafir jenis apapun (Yahudi, Kristen, katolik, Majusi, Hindu, Budha, Sinto, Baha’I, , dan musyrikin lainnya) haram menikahi wanita Muslimah. Masalah Menikahi Wanita Muhshonat dari Kalangan Ahli Kitab Masalah menikahi wanita muhshonat (merdeka dan menjaga diri serta kehormatannya) yang berasal dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka pembicaraan ulama di antaranya sebagai berikut: Masalah Perkataan, “ wanita-wanita Ahli Kitab yang merdeka dan sembelihan mereka halal bagi Muslimin” tidak ada perbedaan pendapat di antara ahli ilmu, alhamdulillah, mengenai halalnya wanita Ahli Kitab yang merdeka. Di antara yang diriwayatkan mengenai hal itu di antaranya Umar, Utsman, Thalhah, Hudzaifah, salman, jabir dan lainnya. Ibnu Mundzir berkata: Tidak sah dari seorang pun dari generasi awal-awal yang mengharamkan itu. Al-Khalal meriwayatkan dengan snadnya, bahwa Khudzaifah, Thalhah, al-Jarud bin al-Mu’alla, dan Udzainah bin al-‘abdi beristerikan wanita-wanita ahli Kitab. Para ahli ilmu berpendapat dengan khabar itu. Syi’ah Imamiyah mengharamkannya (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firmanNya Ta’ala, dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman (QS 2: 221), dan ayat, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah: 10). Bagi kami firman Allah Ta’ala: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (QS Al-Maaidah: 5). Ketika hal itu sudah tsabat (kuat), lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (ahli kitab), karena Umar berkata kepada para sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, "talaklah mereka", maka mereka pun menalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar berkata kepadanya (Hudzaifah), "talaklah". Dia (Hudzaifah) berkata, " Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?" Umar berkata, "dia itu jamrah (batu bara aktif), talaklah dia". (Hudzaifah) berkata, " Anda bersaksi bahwa dia (wanita Kitabiyah) itu haram?" Umar berkata, dia itu jamrah. Hudzaifah berkata, saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal. Maka setelah itu ketika Hudzaifah menalaknya (wanita Kitabiyah) ia ditanya (orang), kenapa kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh Umar? Hudzaifah mengatakan, aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan karena barangkali hati Umar cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu) lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah/ menguji Umar, dan barangkali di antara keduanya ada anak maka cenderung kepadanya (wanita kitabiyah). Wanita Kitabiyah Hanya Yahudi dan Nasrani Fasal: Ahli Kitab yang mereka hukumnya seperti ini (boleh menikahi wanitanya yang muhshonat tetapi yang lebih utama adalah tidak usah menikahinya) adalah ahli kitab Taurat dan Injil. Allah Ta'ala berfirman, (Kami turunkan Al Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, (QS Al-An'aam: 156). Maka pengikut Taurat adalah Yahudi dan As-Samirah (Orang Sameria), dan pengikut Injil adalah Nasrani dan orang-orang yang berdiri dengan mereka dalam agama asli mereka yaitu Ifrinji (orang Eropa), Arman (Roman) dan lainnya. Adapun Shobi’un maka kaum salaf banyak berbeda pendapat mengenainya. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa mereka (shobi'un) adalah dari jenis Nasrani. Adapun orang kafir selain mereka (ahli kitab) seperti yang mengikuti (berpedoman) dengan shuhuf Ibrahim dan Syit, dan (berpedoman dengan) zabur Daud maka mereka bukanlah ahli kitab. Tidak halal menikahi mereka, dan tidak pula sembelihannya. Ini pendapat Syafi'i. Pada bagian selanjutnya dijelaskan: Bagi kami (Ibnu Qudamah) firman Allah Ta'ala, Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrikat (QS Al-Baqarah/ 2: 221), dan firmanNya, Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10) lalu Dia memberi rukhshoh (keringanan) dari (larangan) yang demikian itu mengenai ahli kitab. Maka orang-orang kafir selain ahli kitab tetap di atas keumuman (ayat larangan itu). Dan tidak ada dalil kuat (lam yatsbut) bahwa Majusi memiliki ktab. Imam Ahmad ditanya, apakah benar riwayat dari Ali bahwa Majusi itu memiliki kitab. Lalu dia menjawab, ini batil, dan dibesar-besarkan sekali. Seandainya ada riwayat kuat (tsabat) bahwa mereka memiliki kitab, maka sungguh telah kami jelaskan bahwa hukum ahli kitab tidak kuat (laa yatsbut) untuk selain dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani, pen). Dan sabda Nabi saw, perlakukanlah pada mereka (Majusi) (sebagaimana) perlakuan terhadap ahli kitab itu adalah dalil bahwasanya Majusi tidak memiliki kitab. Nabi saw hanya lah menginginkan perlakuannya itu dalam penahanan darah mereka dan pengakuan mereka dengan jizyah (upeti), tidak ada lain. Pasal: Seluruh orang kafir selain ahli kitab, seperti orang yang menyembah apa yang dianggap bagus yaitu berhala-berhala, batu-batu, pohon-pohon, dan hewan-hewan, maka tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ahli ilmu dalam mengharamkan (nikah dengan) perempuan-perempuan mereka dan (haram makan) sembelihan mereka. Hal itu berdasarkan dua ayat yang telah kami sebutkan , dan tidak ada yang bertentangan dengan keduanya. Puncak Pembatalan Syari’at Allah Swt Telah tuntas pembahasan tentang nikah beda agama. Telah terkuak kesembronoan FLA yang sangat menyesatkan umat Islam dan bermuatan pemurtadan itu. Namun masih ada pernyataan yang lebih gawat lagi dari FLA, dan merupakan puncak pembatalan Syari’at Allah swt. Yaitu ungkapan FLA: “…amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. (FLA, halaman 164). Ungkapan “pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya” (FLA, halaman 164) itu adalah pembatalan syari’at Allah swt yang jelas tercantum di dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Mumtahanah/ 60: 10). Juga ayat Al-Qur’an: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah/ 2: 221). Karena tim penulis FLA sudah terbukti ungkapannya yang menggugurkan dan membatalkan syari’at Allah dengan tulisannya seperti itu, maka pembicaraan mereka mengenai pembatalan-pembatalan syari’at Allah yang ada di dalam Hadits di antaranya tentang tidak saling mewarisi antara Muslim dan kafir, sudah kami cukupkan dengan apa yang telah kami singgung di bab lain. Astaghfirullahalazhiem PENUTUP Rekadaya dan rekayasa panjang yang melelahkan yang dilakukan dengan susah payah oleh orang-orang kafir orientalis untuk merusak dan memperburuk citra Islam sekaligus menipu umat Islam, mereka rasakan sudah sangat melelahkan. Dari abad 16 hingga menjelang akhir abad 20, mereka kerja siang malam tak henti-hentinya, namun Islam belum bisa mereka robohkan, dan umat Islam belum bisa mereka tipu sejadi-jadinya. Sementara itu penyerangan terhadap umat Islam lewat fisik, senjata yang dimuntahkan dari udara dan daratan serta lautan untuk memusnahkan umat Islam di berbagai belahan dunia ini kadang justru membuat para pengangkat senjata itu sendiri berbalik masuk Islam. Maka pihak kafirin yang tak henti-hentinya untuk menghancurkan umat Islam ini menemukan kembali pepatah lama, “Memotong kayu harus dengan kayu.” Maksudnya, memotong kayu adalah pakai kapak, tetapi kapak itu tidak efektif bila tanpa tangkai kayu. Demikian pula, untuk menghancurkan Islam dan umat Islam tidak cukup efektif bila hanya tenaga-tenaga kafirin belaka. Mesti perlu pakai pula tenaga-tenaga dari umat Islam. Maka dicarilah orang dari dalam Islam itu sendiri yang kira-kira rakus dunia dan tidak begitu sayang kepada Islamnya. Ketemulah. Singkat cerita, bermunculanlah orang-orang sewaan kafirin/ orientalis yang sudah diberi materi dan senjata untuk meracuni Islam dan dibekali secukupnya untuk bertandang menghadapi Islam dan umatnya. Ada yang sudah berlama-lama mengabdi kepada orientalis dan memang didikan/ asuhan langsung para orientalis di negeri-negeri kafir Barat atas nama belajar Islam di Barat. Ada juga yang dikader oleh anak buah orientalis, jadi statusnya sebagai generasi cucu orientalis, bukan langsung generasi anak orientalis. Bahkan ada pendatang baru yang baru kemarin sore, namun kadang lebih lantang dibanding anak dan cucu orientalis itu sendiri. Mereka maju bersama dengan senjata, materi, bekal dan sangu untuk bertandang sesuai apa yang pernah dilakukan para orientalis atau sesuai perintah kafirin yang membekalinya. “Dododdeet… dombreng….! Deng gedombreng…., deng gedombreng…., deng gedombreng, breng, breng!!!” Genderang pun dimainkan oleh para anak cucu orientalis namun berbaju Islam ini, mereka tabuh beramai-ramai bertalu-talu. Riuh rendah. Ramai banget. Lalu ada yang maju ke panggung dengan ucapan-ucapan enehnya. Disusul oleh yang lain dengan celoteh-celoteh model orientalis tapi tidak diakui bahwa itu dari kafirin orientalis. Ada yang tak segan-segan menyakiti hati umat Islam. Ada yang dengan gagahnya tampil dengan berteriak siap mengganjal syari’at Islam. Langkahi mayit saya dulu kalau mau menegakkan syari’at Islam. Itu konon di negara tetangga ada yang sampai seperti itu perkataannya. Masyarakat Islam ribut, bingung, dan campur heran. Para pemain pesanan ini kemudian berkumpul, kongkow-kongkow. Mengevaluasi tingkah polah dan permainan yang telah mereka lakukan. Sesuai pesanan atau tidak. Efektif atau tidak. Peningkatannnya harus dengan jalan apa. Di tengah-tengah orang ramai yang lagi sedang-sedangnya tercengang karena ada permainan pesanan yang aneh-aneh itu tiba-tiba ada pemain pesanan (yakni Ulil Abshar Abdalla, kordinator JIL –Jaringan Islam Liberal) yang teriak sekencang-kencangnya, melebihi batas. “Saya tidak percaya adanya hukum Tuhan!” Pemain yang satu ini pilih berteriak lewat Koran Katolik, Kompas, di Jakarta, 18 Nopember 2002, karena dipandang sebagai koran terbesar di Indonesia. Dan tentu saja karena sudah dimaklumi bahwa itu sama-sama kepentingan orang kafir, maka bagai tumbu (wadah) mendapatkan tutup alias klop. Ributlah di masyarakat. Pemain pesanan yang teriaknya melampaui batas kewajaran itu lalu diancam mati orang. Takutlah dia, hingga minta perlindungan ke mana-mana. Bukan hanya dia yang ketakutan. Namun para pemain pesanan lainnya pun demikian. Mereka resah. Hingga untuk sementara waktu mereka tidak berteriak-teriak dulu, cukup menyuara soal pembelaan terhadap pemain pesanan yang sedang terancam itu. Setelah kira-kira reda, barulah nanti main lontar-lontaran yang aneh-aneh lagi. Ternyata pemain yang terancam itu selamat. Maka mereka mulai bertandang lagi bahkan secara ramai-ramai, lebih dikompakkan lagi. Bila digambarkan sebagai drama, maka ibaratnya para pemain pesanan itu kemudian kumpul-kumpul membicarakan apa yang akan dimainkan dan lebih dahsyat lagi. Perkenankanlah kami menggambarkannya secara dramatis, agar lebih mudah dicerna. Kira-kira saja sebagai berikut. “Rekan kita yang tadinya terancam, toh akhirnya selamat, tidak apa-apa. Jadi kondisi dan situasi sebenarnya sudah kondusif bagi kita untuk bermain sesuai pesanan.” Ucap seorang pemain pesanan dalam rapat terbatas tentang rancangan permainan, dengan mengelus-elus dagunya yang tanpa jenggot, karena kelompok liberal ini anti jenggot dan anti orang yang berjenggot. “Kalau memang kenyataannya sudah kondusif, kenapa kita tidak bersuara secara bersama-sama? Selama ini kan kita hanya bersuara sendiri-sendiri. Tampaknya akan lebih efektif kalau kita menyuara itu bareng-bareng,” ucap pemain pesanan yang sejak tadi sering membetulkan letak kacamatanya, yang biasanya hanya bekerja di belakang meja dan mejanya rapat dengan meja pekerja perempuan, karena orang model liberal begini tidak mempermasalahkan tentang ikhtilath (campur aduk) laki perempuan. Dari rapat itu maka ditentukan rapat berikutnya untuk membagi tugas dan merancang apa yang akan mereka mainkan lebih lanjut. Dalam rapat berikutnya, diputuskanlah bahwa mereka sudah harus mengejawantahkan alias menjabarkan hal-hal yang praktis dari keyakinan mereka yang bernama pluralisme agama, menyamakan dan menyejajarkan semua agama itu. Mereka memutuskan bahwa perlu panduan praktis untuk pengamalan akidah pluralis itu, yaitu harus ada fiqih pluralis. Dibuatlah fiqih pluralis, dengan nama Fiqih Lintasa Agama, ditulis 9 orang, tim penulis Paramadina. Ada yang bagian menulis bahwa semua agama itu sama. Ada yang bagian menjelaskan bahwa Ahli Kitab itu bukan hanya Yahudi dan Nasrani. Lalu ada yang melanjutkan bahwa menikahi wanita Ahli Kitab itu boleh, maka menikahi wanita selain Yahudi dan Nasrani juga boleh, karena Ahli Kitab bukan hanya Yahudi Nasrani. Dan Paramadina telah menyelenggarakannya, di antaranya menikahkan lelaki Muslim dengan wanita Konghucu, pertengahan tahun 2003. Setelah itu ada yang bagian menulis bahwa menikah dengan lelaki Ahli Kitab juga boleh. Lalu diperluas lagi, selain Ahli Kitab juga boleh. Bahkan sampai ditegaskan bahwa menikah dengan orang dari agama dan aliran kepercayaan apapun ya boleh. Di situlah puncak penghujatan dan pembatalan hukum Allah swt. “Okey, saudara-saudara?” ucap orang yang berkacamata, tampak sudah puas dengan rancangan itu, ketika rapat di satu tempat yang cukup memadai di Jakarta, ketika draf-draf buku Fiqih Lintas Agama sudah mau dimasukkan ke percetakan. “Okey ya okey. Tapi itu bagian yang depan dari naskah calon buku ini, kenapa hanya dalil-dalil yang pro pluralisme dan tidak menampilkan dalil-dalil yang sebaliknya. Apakah itu nanti tidak malah kita ini terlalu merangkul teman dari agama lain, namun justru mencari musuh dari kalangan Islam sendiri?” ucap seorang yang termasuk penulis FLA (dialog ini meskipun pakai tanda kutip, namun ini hanya untuk mempermudah pemahaman. Sekali lagi, ini dramatisasi untuk mempermudah belaka. Tetapi juga bukan berarti ini bohong-bohongan). Benar. Dikeluarkanlah buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina Jakarta, bekerjasama dengan The Asia Foundation, satu yayasan berpusat di Amerika, dan duitnya dari orang Amerika. Isi buku itulah yang kini disoroti dalam buku yang kami tulis ini, di samping lontaran-lontaran “liar” yang telah mereka mainkan di mana-mana. Tidak lain hanyalah materi pesanan yang dimainkan oleh para pemain pesanan. Apakah kita mau mempercayai mereka? Allah swt telah memperingatkan dengan tegas: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS Al-A’raf: 175-176). Dalam catatan kaki Mukhtashar (ringkasan) Tafsir At-Thabari disebutkan: Dulu ada lelaki (tokoh) di kalangan Bani Israil bernama Bal’am bin Ba’ura’ yang telah diberi ilmu dan hikmah oleh Allah SWT, lalu ia cenderung kepada dunia dan ingin terus menerus menikmatinya. Ia menjual agamanya untuk harta dunia yang sedikit. Bal’am itu lah suatu perumpamaan (matsal) bagi ulama’ suu’ (jahat) yang membuat tipuan dunia dengan (menjual) agama, berjalan bersama orang-orang pemerintah (para pejabat) dengan rayuan/ sanjungan yang licin menggelincirkan. Maka betapa buruknya nasib akhir mereka, dan betapa buruknya keadaan mereka ketika Al-Qur’an menggambarkan mereka dengan bentuk anjing yang melet-melet, menjulurkan lidahnya: “maka perumpamaannya seperti anjing.....”!! Perumpamaan itu dalam ilmu balaghah (sastra Arab) disebut Tasybih Tamtsili, yaitu perumpamaan dalam hal puncak kehina dinaan. Perumpamaan orang yang meninggalkan agamanya untuk tujuan dunianya, dan merelakan hancurnya keni’matan abadi (di akherat) demi meraih kehidupan fana’ (di dunia sementara) ini adalah seperti anjing yang melet-melet. Ia tetap akan melet-melet, baik itu kamu usir atau kamu biarkan, dia keadaannya tetap begitu (melet-melet), karena hal itu sudah tabiatnya. Perumpamaan ini jelas cantik dan nyata-nyata membuat tak berdayanya lawan. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya, Tafsir Al-Qayyim, mengulas ayat-ayat tersebut sebagai berikut: Orang yang diberi Al-Kitab oleh Allah dan yang diberi-Nya ilmu, padahal orang lain tidak diberi-Nya, namun dia tidak mau mengamalkannya dan lebih suka mengikuti hawa nafsunya, lebih suka memilih kemurkaan Allah daripada ridha-Nya, lebih menyukai dunianya daripada akhiratnya, lebih menyukai makhluk daripada Khaliq, diserupakan Allah dengan anjing, binatang yang paling hina dan rendah,yang ambisinya tidak lebih sekedar urusan perut. yang paling lahap dan rakus. Di antara gambaran kerakusannya, dia tidak berjalan melainkan merunduk ke tanah sambil mengendus-endus untuk mengumbar kerakusan dan kelahapannya. Bahkan anus (bol)nya sendiri diendus-endus, sementara bagian tubuh yang lain tidak diendusnya. Jika engkau melemparkan sekepal batu di dekatnya, maka dia akan menghampirinya, karena kerakusannya yang kelewat batas. Dia adalah binatang yang paling hina dan paling patut untuk dihinakan. Dia adalah binatang yang paling suka dengan hal-hal yang hina, kotor dan busuk. Barang-barang ini lebih dia sukai daripada daging yang segar. Makanan yang kotor lebih dia sukai daripada manisan yang bersih. Jika ada satu bangkai, maka itu cukup untuk seratus anjing. Tak seekor anjing yang ketinggalan mencicipi bagian dari bangkai itu. Jika sudah mendapatkan sebagian, maka dia akan mendekap dan menguasainya, sekedar gambaran tentang kerakusan, kekikiran dan kelahapannya. Yang lebih mengherankan lagi tentang kerakusannya, bahwa jika ia melihat sesuatu yang sudah usang dan kain yang kotor, maka dia pun mengonggong sambil mengeluarkan taringnya untuk mengigitnya, lalu dia menghampirinya, seakan-akan dia menghampirinya, seakan-akan dia menggambarkan bahwa kain yang kotor itu hendak menjadi sekutu baginya dan menantang kekuatannya. Tapi jika dia melihat bentuk yang baik dan kain yang bersih, maka dia meletakkan moncongnya ke tanah, tunduk di hadapannya dan tidak berani mengangkat kepala. Orang yang lebih mementingkan dunia daripada Allah dan akhirat, padahal ilmu sudah banyak diberikan Allah kepadanya, diserupakan dengan anjing saat menjulurkan lidahnya, merupakan rahasia yang sangat mengagumkan. Keadaan yang disebut Allah ini, merupakan gambaran keberpalingannya dari ayat-ayat-Nya dan tindakannya yang mengikuti hawa nafsu. Itu terjadi hanya karena keinginan yang besar dan kerakusannya kepada dunia, karena hatinya terputus dari Allah dan hari akhirat. Dia rakus pada dunia seperti kerakusan anjing yang tak pernah putus, saat dia dalam keadaan terguncang atau saat dibiarkan. Al-Lahfu wa al-lahtsu (kerakusan dan menjulurkan lidah) merupakan pasangan kembar dan mirip dalam lafadz dan maknanya. Menurut Ibnu Juraij, anjing tidak memiliki qalbu dan perasaan. Jika engkau menghalaunya, maka dia menjulurkan lidah, dan jika engkau membiarkannya dia juga menjulurkan lidahnya. Dia seperti orang yang meninggalkan petunjuk, yang tidak memiliki qalbu, karena qalbunya terputus. Apapun keadaannya, anjing adalah binatang yang paling rakus, selalu menjulurkan lidah ketika dalam keadaan berdiri, duduk, berjalan, dan diam. Hal ini merupakan gambaran tentang kerakusannya yang selalu bergolak dalam qalbunya, mengharuskan dia untuk selalu menjulurkan lidah. Begitulah perumpamaan tentang kerakusan yang tak terbendung dan syahwat yang selalu menghangat di dalam hatinya, yang mengharuskan dia selalu menjulurkan lidah. Jika engkau menghardiknya dengan peringatan dan nasihat, maka dia menjulurkan lidah. Jika engkau membiarkannya, diapun tetap menjulurkan lidah. Menurut Mujahid, begitulah perumpamaan orang yang diberi Al-Kitab, namun dia tidak mengamalkannya. Menurut Ibnu Abbas, jika engkau membebankan al-hikmah kepadanya, maka dia tidak mau memikulnya, dan jika engkau membiarkannya, maka dia tidak tertuntun kepada kebaikan. Keadaan ini mirip dengan anjing. Jika dia disodori makanan, dia menjulurkan lidah, dan jika diusir, diapun menjulurkan lidah. Menurut Al-Hasan (Al-Basri), itu adalah gambaran orang munafik yang tidak memiliki keteguhan hati pada kebenaran, baik dia diseru maupun tidak diseru, diberi peringatan maupun tidak diberi peringatan, seperti anjing yang menjulurkan lidah ketika dia diusir atau ketika dibiarkan. Gejala menjual agama demi kepentingan dunia kini sangat mencolok mata dan secara ramai-ramai, tanpa malu-malu lagi. Walaupun sudah ada peringatan nyata dari ayat Allah, yang kisahnya adalah Bal’am bin Ba’uro’ seorang ulama yang mengikuti hawa nafsu pejabat untuk mendo’akan buruk terhadap Nabi Musa as, sehingga akhirnya lidah Bal’am menjulur keluar dan tak dapat ditarik lagi --akibat menjual agama demi dunia itu-- namun sebagian orang tidak memperdulikan peringatan itu. Mudah-mudahan umat Islam terhindar dari tingkah sangat buruk yang amat berbahaya dan telah dikecam langsung oleh Allah swt itu. Hanya Allah lah tempat kita berlindung dan meminta pertolongan. Jauhkanlah kami ya Allah dari segala keburukan, yang lahir maupun yang batin. Amien. Tiada daya dan upaya untuk menghindari aneka keburukan yang mereka sebar-sebarkan itu kecuali dengan pertolongan-Mu, ya Allah. DAFTAR PUSAKA (buku Menangkal Islib dan FLA) Al-Qur’an dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 28. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Qalam, Kuwait, cetakan 14, 1401H/ 1981M. Abu Bakar Al-Jazairy, Minhajul Muslim. Abu Zuhroh, Ushul Fiqh, Darul Fkr Al-‘Araby, tt. Ahmad bin Abdul Rahman bin Utsman Al-Qadhi, Dr, Da’watu Al-Taqrib bainal Adyan, Daru Ibnul Jauzi, Damam Saudi Arabia, cetakan 1, 1422H, juz 4. Al-Ghazali, al-Musytasyfa, juz 2. Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Al-Haramain, Jeddah tt. Ali Al-Haitsami (W 807H), Majma’ Az-Zawaaid, juz 1. --------------------------------------------, Majma’ Az-Zawaaid, juz 4. Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. As-Syaukani, Fathul Qodir, juz 2. ---------------, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haqq min ‘Ilmil Ushul, Darul Fikr, Beirut, tt, hal 250. Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud, juz 8. Buletin Dakwah An-Nur, Jakarta, Jumadil Ula 1423H/ 12 Juli 2002M. Charles Kurzman, ed. Wacana Islam Liberal, (terjemahan) yang diterbitkan oleh Paramadina pula, Jakarta, cetakan 1, 2001. Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994/ 1415H. ------------------------, Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agma, terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2004. -----------------------------, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002. ------------------------, Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid sebagai Presiden, Darul Falah, Jakarta, 2003. -----------------------------, Bahaya Islam Liberal, pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002. Ibnu Abdil Barr, Al-Ijma’. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, Fathul Bari, juz 6. -----------------------------, Fat-hul Bari, juz 13. -----------------------------, Lisanul Mizan, juz 2. Ibnu Taimiyyah 661-728H, Daqoiqut Tafsir, juz 2 -------------------, Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 8. -----------------------, Ahkamu Ahlidz Dzimmah, juz 1. -------------------, As-Shofadiyah, 1406H, cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad Salim, juz 2. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, As-Showa’iqul Mursalah, juz 4 ---------------------, Zaadul Ma’aad fii Hudaa Khairil ‘Ibaad, 2. ---------------------, At-Tafsir Al-Qayyim, Darul Fikr, Beirut, 1408H/ 1988M. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9. ------------------, Al-Mughni, juz 7. ------------------, Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal, Juz 3. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Raudhotun Nadhir, Jami’ah Al-Imam, Riyadh, cetakan 2, 1399H, juz 1. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, Darul Fikr, Beirut, cetakan baru, 1992M/ 1412H, jilid 1. -------------, Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhiem, Darul Fikr, Beirut, cetakan baru, 1992M/ 1412H, jilid 2. Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 3.. Imam An-Nawawawi, Syarah Shahih Muslim. Jawaban Tuntas untuk Dr. Nurcholish Madjid tentang Ibnu Arabi dan Setan Masuk Surga, Yayasan Islam Al-Qalam, Jakarta, 1407 H. Muhammad Ali As-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, buku I, terjemahan Rowai’ul Bayan, Bina Ilmu, Surabaya. ---------------------------------, Mukhtashar Tafsir At-Thabari, Darus Shabuni, Kairo, 1402H, juz 1. ---------------------------------, Rowai’ul Bayan, juz 1. Muhammad bin Abi Bakr Ayyub Az-Zar’I Abu Abdillah, 691-751H, Badai’ul Fawaaid libnil Qoyyim Al-Jauziyah, 4 juz, Maktabah Nazar Mushthofa Al-Baz, Makkah, cetakan I, 1416H/ 1996M. Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqh (terjemahan Zaid Al-Hamid), Raja Murah, Pekalongan, jilid 1-2, tt. Nurcholish Madjid cs, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif –Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, Jakarta, 2003. Rasjidi, Prof Dr HM, Islam & Kebatinan, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan 7, 1992 Ruway’i Ar-Ruhaily, Dr, Fikih Umar, terjemahan Abbas MB, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 1, 1994. Shalih Al-Fauzan, Al-Mulakkhash Al-Fiqhiy, juz 2. Sunan Al-Baihaqi al-Kubro, juz 7. Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakafuri, Ar-Rahiqul Makhtum, terjemahan Kathur Suhardi: Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cet 1, 1997. Tafsir At-Thabari, juz 2 Tafsir At-Thabari juz 15 Tafsir At-Thabari, juz 30. Tafsir Al-Baidhowi juz 2. Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal), Harian Kompas, Jakarta, 18 November 2002 / Ramadhan 1423H, berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Yusuf Al-Qaradhawi, Ijtihad dalam Masyarakat Islam, terjemahan Drs Achmad Syatori, Bulan Bintang Jakarta. Media Massa: Jawa Pos, Minggu, 18 Januari 2004). Kompas 18/11 2002. Kompas, 14 Maret 2003. Media Indonesia, Selasa, 3 Februari 2004. Majalah Gatra, edisi 14, tgl 20 Februari 2004. Majalah Gatra, Nomor 05, 21 Desember 2002. Majalah Al-Khairiyah Kuwait no 48/ 1414H. Majalah Panjimas Nomor 07, tanggal 26 Desember 2002. Majalah Tabligh terbitan PP Muhammadiyah Jakarta edisi 01/ No 06/ Januari 2003. Majalah Suara Hidayatullah : April 2001. Majalah Tempo, 19 Desember 2002. Media Dakwah, Jakarta, Maret 2004. Metro TV, Senin malam (23/12 2002). Pikiran Rakyat, Bandung, 20 Maret 2003. BUKU BUKU KARYA PENULIS 01. Solidaritas Islam, Jakarta: Darul Haq, 1993 M/1414 H, ditulis bersama Farid Achmad Okbah. 02. Bila Hak Muslimin Dirampas, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994. 03. Ragam Berkeluarga --Serasi tapi Sesat, ditulis bersama isteri, Mulyawati Yasin, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1994. 04. Meluruskan Da'wah dan Fikrah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996. 05. Rukun Iman Digoncang, Jakarta: Azmy Press, 1997. 06. Kematian Lady Diana Menggoncang Akidah Umat, ditulis bersama Ainul Haris Umar Thayib Lc dan Al-Chaidar, Jakarta: Darul Falah, 1418 H. 07. Kekeliruan Logika Amien Rais, Jakarta: Darul Falah, 1998. 08. Polemik Presiden Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Desember1998. 09. Bahaya Islam Jama'ah-Lemkari-LDII, (sebagai editor), Jakarta: LPPI, Syawal 1419 H/Januari 1999 M. 10. Di Bawah Bayang-bayang Soekarno-Soeharto: Tragedi Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Darul Falah, Dzulqa'dah 1419 H. 11. Bahaya Pemikiran Gus Dur, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, April 1999. 12. Ambon Bersimbah Darah: Ekspresi Ketakutan Ekstrimis Nasrani, Jakarta: Dea Press, Jakarta, 1999. 13. Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali? Jakarta: Darul Falah, Ramadhan 1420 H/Desember 1999M. 14. Bahaya Pemikiran Gus Dur II: Menyakiti Hati Umat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Mei 2000 M. 15. Rukun Iman Diguncang, Edisi kedua (revisi), diperbaiki dengan berbagai penambahan pada cetakan kedua, Jakarta: Pustaka An-Naba’, 1421 H/ 2000 M. 16. Tasawuf Belitan Iblis, (cetakan ke-3 edisi revisi dari “Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali?”) Jakarta: Darul Falah, April 2001. 17. Bila Kyai Dipertuhankan: Membedah Sikap Beragama NU, ditulis bersama Abduh Zulfidar Akaha, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001 M. 18. Bahaya Islam Liberal, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002 M. 19. Aliran dan Faham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002 M/1422 H.. 20. Gus Dur Menjual Bapaknya: Bantahan Pengantar Buku Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta: Darul Falah, 2002. 21. Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid sebagai Presiden, Darul Falah, Jakarta, 2003. 22. Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Maret 2004. 23. Apaitu Salafi, Darul Falah, Jakarta, Mei 2004. RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama: Drs. H. Hartono bin Ahmad Jaiz. Lahir: di Tari Wetan, Sumber, Simo-Boyolali, Kamis 1 April 1953. Pendidikan: Tamat Fakultas Adab/Sastra Arab di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta 1980/1981. Sebelumnya, belajar di PGA (Pendidikan Guru Agama) Negeri di Solo, Jawa Tengah, 1968-1973. Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) II di Tinawas Nogosari, Boyolali 1966-1968, SD Sumber-Simo Boyolali, 1959-1965. Selama belajar di PGAN Solo, mondok di Pesantren Jenengan (tempat Pak Munawir Sjadzali mantan Menteri Agama mondok dulu), di bawah pimpinan K.H. Ma'ruf, dulunya guru di Madrasah Mamba'ul 'Ulum (kini pesantren itu telah tiada). Dan beberapa tahun setiap Ramadhan ikut mengaji kitab-kitab agama di Pesantren Kacangan Andong, Boyolali. Namun yang terkesan justru ketika sekolah madrasah ikut seorang janda tua di Tinawas, Nogosari, Ny. H. Abdul Wahid, yang setiap pukul 02 malam sudah bangun untuk shalat tahajjud lalu berdzikir, kemudian ia membangunkan murid madrasah ini waktu shubuh. Dia berjalan ke masjid yang jaraknya 200 meter, kemudian murid ini mengikuti dari kejauhan dalam keremangan. Di Yogyakarta 1974-1981, bersama teman-teman menghidupkan Jama'ah Masjid Sapen (Safinatur Rahmah) dekat rel. Di Jakarta sejak 1981, Mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren As-Syafi'iyah (1981-1986). Menjadi Redaktur Majalah Remaja Islam Salam terbitan As-Syafi'iyah, 1981-1982. Menjadi wartawan Pelita, 1982 sampai 1996, kemudian dialihkan menjadi Kepala Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi sampai 1997. Pernah diinterogasi 2 hari dalam kasus pemberitaan 62 jenis makanan diduga mengandung lemak babi, 1989, dan dinyatakan tidak bersalah oleh para penginterogasi di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta. Diutus oleh harian Pelita dan DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) untuk meliput kondisi umat Islam Bosnia-Herzegovina yang diserbu dan dibantai Serbia. Tugas meliput itu dilaksanakan sampai di Mostar, Bosnia-Herzegovina dan di kamp-kamp pengungsi di Zagreb, Croatia, dan Nagyatad, Hongaria, serta meliput masyarakat muslim di Buddapes, ibukota Hongaria, Desember 1992. Menghadiri undangan Sidang VIII Akademi Fiqh Islam (Mujamma' Al-Fiqh Al-Islami) suatu lembaga di bawah OKI (Organisasi Konferensi Islam/ OIC) di Brunei Darussalam, selama seminggu Juni 1993 M/awal tahun 1414 H. Dari Indonesia pesertanya hanya almarhum K.H. Ahmad Azhar Basyir, Ketua Muhammadiyah, dan lembaga lainnya hanya harian Pelita. Termasuk anggota pendiri LepHI (Lembaga Pengkajian Hadits Indonesia) yang diketuai H. Ali Mustafa Ya'qub, MA di Jakarta, 1995. Mengikuti Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan ketiga yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta, 1996-1997. Termasuk anggota tim KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dalam melacak daging olahan (sosis, bulatan bakso, dan sebagainya) PT Aroma di Denpasar, Bali yang ternyata penggilingannya campur antara daging sapi dan daging babi, Agustus 1997. Menjadi pengasuh rubrik Islamika di Majalah Media Dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak 1998. Menjadi anggota tim editor terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Yayasan Imam Syafi'i di Bogor, 1999. Menjadi Ketua Lajnah Ilmiah LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta sejak 1998. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt