AlQuran Dihina GusDur Ustadz Hartono Ahmad Jaiz Pengantar Penerbit BERTANYALAH kepada setiap orang yang mengaku muslim di setiap penjuru bumi ini: bagaimana Al-Qur’an di hati mereka? Jawabannya sudah dapat dipastikan bahwa meskipun mereka belum sepenuhnya dapat mengamalkannya, namun Al-Qur’an tetaplah menjadi sesuatu yang sangat sakral dan mulia di hati mereka. Al-Qur’an adalah tentang kehormatan mereka sebagai seorang muslim. Penghinaan terhadap Al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak bisa ditolerir dan dimaafkan. Dan jika sudah demikian, penghinaan dan pelecehan terhadap Al-Qur’an dengan sangat mudah menjelma menjadi sebuah panggilan jihad bagi para pencintanya. Dalam sejarah Islam, kita sudah banyak menemukan pelecehan dan penghinaan terhadap Al-Qur’an. Dan mungkin saja kita menjadi maklum jika kekejian-kekejian itu dilakukan oleh musuh-musuh di luar Islam. Toh, mereka memang tidak mengaku muslim dan tidak meyakini Islam sebagai the way of life mereka. Namun, hari-hari belakangan ini kita dikejutkan oleh sebuah pernyataan yang sangat menghina Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab paling porno, demikian ungkap pernyataan itu. Bush-kah yang mengatakannya? Blair? Atau Salman Rushdie yang melukai hati umat Islam dengan Ayat-ayat Setan-nya? Bukan seorang pun dari mereka. Yang menyatakan pernyataan itu justru sosok yang bisa disebut mantan tokoh no. 1 RI yang terpaksa dilengserkan karena selalu bikin masalah. Namanya? Ah, Anda pasti sudah kenal orangnya. Lha iya, siapa sih yang tidak kenal KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur? Dan seperti biasa, kali ini kita kembali ‘ditohok’ oleh pernyataannya tentang kepornoan Al-Qur’an. Wal ‘iyadzu billah. Buku ini ditulis sebagai sebuah jihad membela Kitabullah, Al-Qur’an Al-Karim. Di dalamnya juga terdapat penjelasan para ulama tentang hukum orang yang memperolok-olok Al-Qur’an. Semoga ini dapat memberikan pencerahan kepada Anda dalam menyikapi tipologi manusia semacam Gus Dur, yang kata penulis bukuini –Ustadz Hartono Ahmad Jaiz– plintat-plintut. Mudah-mudahan penghinaan dan pelecehan terhadap Islam bisa dihentikan, dan jangan biarkan menjadi ‘penyakit menular’ yang melatah di negeri ini. Selamat Membaca! HUJJAH Press Kata Pengantar ? ? Alhamdulillahi Raobbil ‘alamien. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw, keluarganya, para sahabatnya, dan pengikut-pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman. Pembaca yang budiman, buku ini kami beri judul Al-Qur’an Dihina Gus Dur. Isinya berupa tanggapan atas wawancara Gus Dur yang dimuat di situs JIL (Jaringan Islam Liberal) islamlib.com yang berjudul Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja! (10/04/2006). Dalam wawancara itu Gus Dur menghina Al-Qur’an secara terang-terangan. Di antaranya terdapat dalam tanya jawab sebagai berikut: JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno? (Gus Dur): Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh). JIL: Maksudnya? (Gus Dur): Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’ Kenapa Gus Dur sampai seberani dan sedrastis itu dalam melecehkan Al-Qur’an? Bukankah dia beragama Islam? Untuk apa dia sampai sebegitu beraninya melecehkan Al-Qur’an? Untuk menjawab masalah itu, perlu diketahui latar belakang, kondisi dan situasi dia berbicara. Dan tentunya hanya Allah lah yang tahu persis kenapa Gus Dur sampai sedrastis itu penghinaannya terhadap Al-Qur’an. Namun sekadar jangkauan yang nampak, bisa juga dilacak, ada faktor-faktor yang melingkunginya, yang mengakibatkan Gus Dur seberani itu. Hanya saja itu belum tentu penting dibicarakan. Yang jelas, penghinaannya terhadap Al-Qur’an, kitab suci, wahyu Allah, atau firman Allah swt ini bukan masalah yang kecil. Masyarakat Islam dari berbagai kota pun prihatin terhadap kasus ini. Banyak yang menelpon, kirim pesan singkat (sms), bahkan kirim email (surat elektronik) kepada penulis. Mereka mengemukakan keprihatinannya atas penghinaan yang tidak tanggung-tanggung itu. Masyarakat perkampungan di Betawi (Jakarta) pun sudah prihatin dengan adanya kasus penghinaan terhadap Al-Qur’an ini, setelah mereka mendengarkan guru mengaji yang membeberkannya. Apalagi telah beredar luas sejak pemimpin Perguruan Islam As-Syafi’iyah Jakarta, H Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie, mempidatokannya dengan nada prihatin di depan jama’ah pengajiannya, tidak lama setelah munculnya wawancara di islamlib.com itu. Kemudian diulang lagi dengan nada sangat sedih di depan jama’ahnya, Ahad 1 Rabi’ul Akhir 1427H/ 30 April 2006, dipancarkan pula lewat dua pemancar radio Islam di Jakarta. Hingga masyarakat yang sudah agak lupa akan tingkah heboh Gus Dur, tampaknya ingat kembali dan mengecamnya. Oleh karena itu, penghinaan terhadap Al-Qur’an ini perlu ditanggapi. Sekaligus dalam tanggapan ini mengingatkan, agar Gus Dur dan pendukungnya yang telah menghina Al-Qur’an itu bertaubat sebelum ajal sampai kepada mereka. Buku ini memuat isi yang mencakup: Fokus Persoalan: Al-Qur’an, Porno, dan Ayat tentang Menyusui. Kutipan seutuhnya wawancara Gus Dur di situs JIL, www.islamlib.com. Komentar terhadap wawancara itu, ditampilkan dengan poin per poin. Pembahasan tentang penghinaan Gus Dur terhadap Al-Qur’an dan rangkaian-rangkaiannya. Fatwa-fatwa para ulama tentang penghinaan terhadap Islam; Allah, Rasul-Nya, Al-Qur’an, dan orang yang teguh mengikuti perintah-perintah Allah swt dan Rasul-Nya saw. Perlu diketahui, dalam perpolitikan, akibat ulahnya sendiri, Gus Dur terjungkal-jungkal. Ambil contoh, Gus Dur jadi presiden, baru dalam tempo 19 bulan (1999-2001) –mestinya 5 tahun– sudah langsung diturunkan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pimpinan Amien Rais. Diturunkan itu gara-gara kaitannya dengan uang (bukan karena tuduhan berselingkuh dengan isteri orang, walau beritanya santer secara menasional saat itu). Kasus uang itu dikenal dengan kasus pemberian uang dari Sultan Brunei Darus Salam dan uang Bulog (Badan Urusan Logistik). Maka dikenal dengan kasus Brunei Gate dan Bulog Gate. Dan Amien Rais pun mengucapkan permintaan maaf atas salah pilihnya, yakni memilih Gus Dur sebagai presiden, yang istilah Amien Rais, minta maaf kepada bangsa Indonesia atas kesalahan ‘ijtihad politik’-nya. Bagaimana tidak salah. Gus Dur yang dalam tempo 19 bulan jadi presiden, ternyata sudah jalan-jalan ke 90-an negara, dengan membawa isterinya, Ny Sinta Nuriyah (pakai kursi roda) dan anak perempuannya, Yenni. Semua itu rata-rata hanya membuahkan isu panas, karena Gus Dur hampir setiap di luar negeri melontarkan isu-isu panas yang mengguncang keadaan secara nasional. Babak berikutnya, setelah diturunkan jadi presiden, lalu ada pendaftaran untuk pencalonan presiden, setelah Megawati yang tadinya wakil presiden dan naik menjadi presiden menggantikan Gus Dur sudah hampir habis masa jabatannya. Gus Dur pun ingin mencalonkan diri. Namun dari persyaratan yang ditetapkan, Gus Dur ditolak sebagai bakal calon. Gagalnya Gus Dur untuk jadi bakal calon presiden ini pun penuh dengan polemik, yang menambah terjungkalnya. Di PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) maupun NU (Nahdlatul Ulama), Gus Dur mengalami (menimbulkan?) konflik yang kadang berkepanjangan, bahkan sampai ke pengadilan, dalam kasus PKB. Rupanya pengalaman terjungkal-jungkal seperti itu kadang berbuah tak mengenakkan. Gus Dur yang jelas menjadi orang terkemuka di NU, suaranya tidak begitu didengar lagi, dan tidak dijadikan bahan keputusan di PBNU. Hingga seolah-olah Gus Dur sudah tidak diuwongke (tidak diorangkan). Contoh nyata, dalam masalah RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang akan diundangkan Juni 2006, Gus Dur jelas-jelas di barisan depan menolaknya. Bahkan dia sedang berbaring di rumah sakit pun ketika mendengar RUU APP didukung MUI dan umat Islam, langsung Gus Dur bangkit dan berseru untuk menolaknya. Kalau sampai diundangkan pun mau dia amandemen. Namun suara lantang Gus Dur sampai menerjunkan isterinya (Sinta Nuriyah yang pakai kursi roda) untuk berdemo bersama artis-artis dan lain-lain untuk menolak RUU APP itu tidak digubris oleh PBNU. Bahkan PBNU mendukung RUU APP. Masih pula di hadapan anak muda NU pun Gus Dur dikritik karena mendukung Inul, penjoget yang dikenal memutar (maaf) pantatnya hingga disebut goyang ngebor Inul, dan menolak RUU APP. Padahal Gus Dur sudah sejak lama mengkader anak-anak muda NU untuk jadi liberal. Tetapi kenyataannya muncul juga pengkritik keras terhadap Gus Dur. Dalam keadaan terjungkal-jungkal di kancah politik, dan terseok-seok di habitatnya (NU) seperti itu, lalu Gus Dur bagai teriak sekencang-kencangnya. Sayangnya, yang diteriakkan itu adalah hinaannya terhadap Al-Qur’anul Kariem, Kalamullah, yang dihormati dan jadi pedoman seluruh umat Islam. Bukan sekadar perangkat lunak milik NU. Jurus mabuk Gus Dur ini tentu saja bukan mengurangi derita yang telah dia alami akibat polah tingkahnya sendiri, namun justru menambah derita, menambah masalah. Dalam kasus ini, Gus Dur telah membuat masalah sangat besar. Orang akan mengatakan, “dia jual, maka kita beli! Dia membuat perkara, maka kita layani!” Buku ini adalah salah satu bentuk pelayanan terhadap apa yang telah dia jual. Pelayanan-pelayanan yang lain dengan bentuk lain pula tentu akan dihadapkan kepada Gus Dur dan para pendukungnya. Di samping itu tentu saja Allah swt Yang Firman-Nya telah dihina itu Maha Mengetahuinya dan sangat besar adzabNya. Karena buku ini merupakan pelayanan terhadap bentuk penghinaan yang sangat tinggi yakni menghina Kitab Suci Al-Qur’an, maka tidak bisa diingkari adanya semacam pembelaan yang menggunakan kata-kata tajam. Oleh karena itu, kami mohon maaf apabila ada kata-kata yang sekiranya kurang pada tempatnya. Demikian pula, sangat kami sadari, tulisan ini banyak kekurangannya, maka kami harapkan adanya tegur sapa ataupun kritik yang membangun dari para pembaca yang budiman. Tidak lupa, kami sampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan informasi, dukungan, dorongan, dan aneka sumbangsih yang berharga, sehingga terwujudnya buku ini. Semoga Allah swt mencurahkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin yang senantiasa mengikuti perintah-perintah-Nya dengan ikhlas, dan membela agama-Nya dari celaan dan rongrongan musuh-musuh-Nya. Dan semoga buku ini salah satu sarana ke arah yang diridhoi-Nya. Amien, ya Robbal ‘alamien. Jakarta, Ahad 1 Rabi’ul Akhir 1427H/ 30 April 2006M. Penulis: Hartono Ahmad Jaiz Daftar Isi Pengantar Penerbit ... vii Kata Pengantar ... ix Fokus Persoalan: Al-Qur’an, Porno, dan Ayat tentang Menyusui … 1 A. Apakah Al-Qur’an itu? … 2 B. Apa Itu Porno? ... 8 C. Ayat Tentang Menyusui Anak ... 8 Wawancara Gus Dur di islamlib.com … 13 Komentar terhadap Wawancara Gus Dur … 25 Menolak yang berbau Islam … 26 Aturan Moral pun ditolak … 29 Menganggap Al-Qur’an Kitab Suci Paling Porno ... 32 Gus Dur Bicara Aurat Semaunya ... 33 Gus Dur Ngawur tentang Syi’ah ... 37 Syi’ah menuduh para sahabat sebagai komplotan pencuri ... 40 Bagi Gus Dur, Tuhan itu tidak perlu dibela ... 42 Mengukur Islam dan Kejawen Cukup Dengar Nyanyian … 43 Mengajak Kepada Kebatilan … 45 Gus Dur Menghina Al-Qur’an … 53 Pengertian Istilah Porno … 54 Gus Dur Membela Inul … 57 Benar-benar Plintat-plintut! ... 59 Ragam Membela Kepornoan ... 62 Gus Dur Membela Kepornoan, Menghina Al-Qur’an ... 65 Plintat-plintut dan Sangat Menghina Al-Qur’an ... 68 Perlu Pisau Analisis Khusus ... 68 Analisis Pelecehan Gus Dur terhadap Al-Qur’an ... 71 Peringatan Agar Bertaubat … 94 Fatwa-Fatwa Tentang Mengolok-olok Islam … 97 1. Bercanda yang mengandung olok-olok terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, atau Agama Islam … 97 2. Hukum mengolok-olok Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan Sunnahnya … 99 3. Mengolok-olok Orang yang Teguh dengan Perintah Allah dan Rasul-Nya … 101 4. Perkara-perkara Tauhid, tidak ada Kilah … 104 5. Meremehkan Islam menjadikan Kafir … 106 Daftar Rujukan … 111 Fokus Persoalan: Al-Qur’an, Porno, dan Ayat tentang Menyusui Yang jadi masalah utama dalam kasus ini adalah Gus Dur menganggap bahwa Al-Qur’an itu kitab suci paling porno di dunia. Alasannya, kata Gus Dur: “Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam Injil kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha…” Karena permasalahannya seperti itu, maka perlu difahami lebih dulu tiga perkara: 1. Apa itu Al-Qur’an. 2. Apa itu porno. 3. Mana ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut itu, dan apakah memang itu porno. Untuk itu, mari kita mulai bicarakan satu persatu. A. Apakah Al-Qur’an itu? Qur’an menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr Subhi Al-Salih berarti bacaan, asal kata qara’a. Kata Al-Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca). Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata Qur’an itu dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surat (75) Al-Qiyamah: ? ? ?(17)? ? ?(18) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian dipakai kata Qur’an itu untuk Al-Qur’an yang dikenal sekarang ini. Adapun definisi Al-Qur’an ialah: “Kalam Allah swt yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad saw dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah.” Dengan definisi ini, Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi selain Nabi Muhammad saw, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as, atau Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak pula dinamakan Al-Qur’an. Untuk lebih memperjelas, perlu pula ditampilkan di sini beberapa definisi Al-Qur’an: 1. Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir, dengan perantaraan Al-Amin Jibril as, yang tertulis dalam mushaf, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang dianggap sebagai ibadah membacanya, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas. 2. Al-Qur’an adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada pemimpin kita Muhammad saw yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang dianggap sebagai ibadah membacanya, yang menentang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek daripadanya, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas. 3. Al-Qur’an (dengan nama apapun ia dinamakan) adalah perkataan yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi saw yang tertulis dalam mushaf, yang disampaikan dengan mutawatir, yang dianggap sebagai ibadah, membacanya. Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri dalam Kitab Ushuluddin menjelaskan tentang Al-Qur’an sebagai berikut: Al-Qur’anul Kariem adalah firman Rabbil ‘alamien, yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. ? ? ? ? ? ? ? ?(9) Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu. (QS Al-hadiid/ 57: 9). Al-Qur’anul Kariem itu kitab Allah kepada semua manusia. ? ? ? ? ? ? ?(41) Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka. (QS Az-Zumar/ 39: 41). Al-Qur’anul Kariem membenarkan kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil; dan jadi ukuran benar tidaknya kitab-kitab sebelumnya itu. Firman Allah Ta’ala: ? ? ? Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. (QS Al-Maaidah/ 5: 48). Setelah turunnya Al-Qur’an maka jadilah dia kitab untuk manusia sampai tibanya hari qiyamat. Siapa yang tidak beriman kepadanya maka kafir, akan disiksa dengan adzab di hari qiyamat, sebagaimana firman Allah: ? ? ? ? ? ? ?(49) Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS Al-An’aam/ 6 : 49). Oleh karena agungnya Al-Qur’an dan apa-apa yang ada di dalamnya berupa ayat-ayat, mu’jizat, perumpamaan, ungkapan-ungkapan sampai pada segi kejelasan dan keindahan keterangannya, maka Allah Ta’ala berfirman: ? ? ? ? ? ? ? (21) Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (QS Al-hasyr/ 59 : 21). Allah menantang manusia dan jin untuk mendatangkan yang seperti Al-Qur’an atau satu surat sepertinya atau satu ayat sepertinya, maka tidak dapat dan tidak akan dapat, sebagaimana Allah swt firmankan: ? ? ? ? ? ? ? (88) Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’. (QS Al-Israa’/ 17: 88). Karena Al-Quranul kariem itu kitab samawi (yang turun dari langit) yang paling agung, paling sempurna, dan paling komplit dan paling akhir, maka Allah memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw, untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, dengan firman-Nya: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?(67) Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS Al-Maaidah/ 5: 67). Karena pentingnya Al-Qur’an ini dan adanya kebutuhan umat kepadanya, maka Allah telah memuliakan kita dengan menurunkannya atas kita, dan Dia menjamin dengan menjaganya untuk kita, Dia berfirman: ? (9) Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS Al-Hijr/ 15: 9). Al-Qur’an adalah Kitab Suci satu-satunya yang telah dijamin oleh Allah bebas dari kekurangan dan tambahan, selamat dari perobahan, dan telah dijamin keabadiannya hingga kelak diangkat pada akhir kehidupan ini. ? ? ? ? ? ?(42) Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS Fusshilat/ 41: 42). Itulah pensifatan-pensifatan tentang Al-Qur’anul Kariem, kitab suci umat Islam sedunia, sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai akhir zaman. Apakah ada tanda-tanda bahwa al-Qur’anul Kariem itu porno? Mari kita ketahui dulu apa itu porno. B. Apa Itu Porno? Porno yaitu tindakan, ucapan, atau materi (penampilan) yang bertentangan dengan standar/ ukuran kesusilaan seksual masyarakat. Orang barat pun kenal yang namanya porno. Porno, menurut mereka adalah kecabulan. Kecabulan yaitu tindakan, ucapan, atau materi (terutama penerbitan dan film) yang [dianggap] bertentangan dengan standard kesusilaan seksual publik. Materi cabul sering [disebut] pornografi. Istilah kecabulan dapat juga mengacu pada manapun bahasa atau perilaku yang dipercaya untuk merusak akhlak publik. Istilah pornografi menunjuk terutama untuk tulisan atau material bergambar secara seksual tegas/eksplisit berniat terutama semata untuk menyebabkan rangsangan seksual. Al-Qur’an yang berupa bacaan, ucapan, atau kalimat-kalimat, apakah benar secara eksplisit menyebabkan rangsangan seksual? Mari kita simak yang dijadikan contoh oleh Gus Dur yaitu tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. C. Ayat tentang menyusui anak Dalam Al-Qur’an ada ayat tentang menyusui anak, yaitu: ? ? ? ? Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS Al-Baqarah/ 2: 233). Ada juga ayat tentang ibu susuan, haram dinikahi (oleh anak yang disusuinya): ? Dan (diharamkan atasmu menikahi) ibu-ibumu yang menyusui kamu; (An-Nisaa’: 23). Ayat lain lagi menunjukkan tentang penyapihan anak, dan peringatan agar bersyukur kepada Allah dan kepada dua orang tua: ? ? ? ? ? ? ? (14) dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS Luqman: 14). Tentang hamil dan menyusui, ada ayat yang menjelaskan, lamanya 30 bulan: ? ? Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. (QS Al-Ahqaf: 15). Dalam hal menyusui anak, pembahasan bukannya masalah seksual, tetapi hukum-hukum yang diakibatkan oleh penyusuan. Di antaranya ada hadits Nabi saw: 835 ? ? ? ? : ? ? ? ? ? ? ? Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata: Sesungguhnya pada suatu hari, ketika Rasulullah s.a.w berada di sisi Aisyah r.a tiba-tiba dia mendengar suara seorang lelaki meminta izin di rumah Hafsah r.a. Aisyah berkata: Aku memberitahu kepada Rasulullah s.a.w: Wahai Rasulullah! Di sana ada seorang lelaki sedang meminta izin di rumah anda. Rasulullah s.a.w hanya menjawab: Aku tahu Si Polan ialah bapa saudara sepersusuan Hafsah r.a. Aisyah lantas bertanya: Wahai Rasulullah! Seandainya bapa sepersusuanku masih hidup, tentunya dia boleh menemuiku bukan¿ Rasulullah s.a.w menjawab: Benar! Karena sesungguhnya persusuan itu mengharamkan (yakni menjadikan mahram, haram dinikahi) seperti juga haram karena keturunan (HR Al-Bukhari dan Muslim). Itu sesuai dengan ayat Al-Qur’an: ? ? Dan (diharamkan atas kamu –mengawini--) ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan saudara perempuan sepersusuan. (QS An-Nisaa’: 23). Ibnu Katsir menjelaskan, artinya sebagaimana kamu diharamkan (menikahi) terhadap ibu-ibu yang melahirkanmu, maka begitu juga kamu diharamkan (menikah) dengan ibu-ibu yang menyusuimu. Ayat-ayat tentang menyusui anak itu tidak ada yang bersangkut paut dengan kepornoan. Sampai merujuk kepada definisi dari orang barat sekalipun, tidak ada jurusannya yang mengarah kepada kepornoan. Ayat-ayat tentang menyusui itu bukan memamerkan bagian tubuh untuk merangsang seks kepada orang lain. Tetapi justru mengandung nasihat yang sangat berharga, peringatan agar bersyukur, dan ada hukum-hukum yang penting di dalamnya, yaitu menyangkut keharaman untuk pernikahan (mahram) karena persusuan. Adapun kemudian ada orang yang menganggap bahwa ayat-ayat tentang menyusui anak itu bukti porno yang paling porno, maka perlu dianalisis, kenapa orang itu sampai begitu. Nah, ditulisnya buku ini di antaranya adalah untuk menelusuri, kenapa Gus Dur sampai menganggap bahwa ayat tentang menyusui anak itu adalah bukti porno yang paling porno, hingga Al-Qur’an dia sebut kitab suci paling porno di dunia. Untuk itu, babak selanjutnya mari kita simak seutuhnya kutipan wawancara Gus dur di situs JIL, islamlib.com, berjudul Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja! Dari segi judulnya saja sudah tampak menantang Islam, apalagi isinya. Maka mari kita simak seutuhnya pada lembar berikut ini. Wawancara Gus Dur di islamlib.com Kutipan: Wawancara KH. Abdurrahman Wahid: Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja! 10/04/2006 Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih tetap manjadi ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini. Berikut petikan wawancara M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang (JIL) dengan Gus Dur tentang pelbagai persoalan mutakhir negeri ini pekan lalu. JIL: Gus Dur, akhir-akhir ini ada polemik tentang Perda Tangerang tentang pelacuran dan rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Gus Dur tentang Perda yang melarang pelacuran tanpa pandang bulu itu? KH. ABDURRAHMAN WAHID: Menurut saya, baik Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur itu?! Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur. Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum menetapkan undang-undang. Pertama tentang siapa yang merumuskan. Dan kedua tentang apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukannya adalah Mahkamah Agung. Tapi di luar itu, masih banyak masalah-masalah yang mendera negara kita yang lebih butuh penyelesaian, seperti persoalan ekonomi. Jadi prioritas kita bukan membikin aturan macam-macam. Contohnya, isu pelacuran itu juga sangat terkait dengan soal ekonomi. Meski kita mau bikin seribu peraturan, tapi tidak ada peningkatan taraf kehidupan, pelacuran tidak akan pernah bisa tersentuh, boro-boro bisa dihilangkan. Jika hal ini terjadi, maka aturan tidak akan berfungsi apa-apa, kecuali untuk selalu dilanggar. JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana? Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik. Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan diri pada undang-undang Napoleon dari Perancis, walaupun negara-negara bagian lain menggunakan undang-undang Anglo-Saxon. Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam undang-undang dasar mereka di sana semenjak awal, bukan ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau. JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama? Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar. JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah? Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu di tahun 1935, kakek saya dari ayah, Almarhum KH. Hasyim Asy’ari, sudah ngotot-ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara. Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja. JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan ‘diarabkan’. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu? Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha. JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim? Ya itulah’ Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya itu-itu saja. JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita? Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan. JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus? Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’ Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’ Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam. JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno? Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh). JIL: Maksudnya? Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam InJIL kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’ JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda? Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he. Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya. JIL: Sekarang tentang SKB pendirian rumah ibadah. SKB itu sudah disahkan. Bagaimana tanggapan Gus Dur terhadap revisi SKB itu? Begini, kita harus hati-hati terhadap dua hal yang saling bertentangan. Di satu pihak, ada keinginan mencegah dampak kegiatan beragama yang belum ada aturannya. Karena itu, diperlukan persetujuan dari berbagai pihak soal jumlahnya sekian-sekian (soal quota pengaju pembangunan rumah ibadah, Red). Kedua, soal memberi hak kepada siapapun untuk melakukan ibadah. Di sini terjadi persinggungan. Tapi persoalan sesungguhnya saya lihat ada pada birokrasi. Selama ini, saya menganggap birokrat-birokrat kita pilih kasih. Permintaan agama A akan disetujui oleh birokrat yang beragama A saja. Kalau begini terus, negara kita akan kacau-balau. Karena itu, sebelum menetapkan suatu keputusan, isu-isu perlu dibicarakan bersama secara serius. Kita tahu sendirilah, Departemen Agama itu adalah departemen yang paling brengsek. Hal lain, pemerintah tidak boleh campur terlalu banyak dalam soal-soal agama, karena itu akan menggiring kita menjadi negara agama. JIL: Revisi SKB ini muncul dari ribut-ribut soal pendirian rumah ibadah yang konon serampangan? Pandangan itu muncul dari keadaan yang morat-marit, bukan keadaan yang benar. Memang ada saja orang yang semau-maunya membangun rumah ibadah. Hal itu sebetulnya bersifat teknis dan sumir. Dan soal itu mestinya bisa ditentukan dan dimediasi oleh kepala daerah masing-masing, bukan oleh peraturan. Dan, peraturan yang sudah ada saja yang dijalankan. Kalau ada pelanggaran aturan, bawa ke pengadilan. Jangan diselesaian sendiri-sendiri. Kita ini hidup di negara hukum. JIL: Kalau diserahkan pada kepala daerah, nanti bisa mirip SK Gubernur Jawa Barat yang tidak adil dong, Gus? Kalau seperti itu, gubernurnya yang kita tuntut. Jangan peraturannya yang dikorbankan. Masak jadi gubernur kaya gitu?! JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom dan antar muslim saling berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik Syiah-Sunni? Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syi‘ah. Selanjutnya kata syi‘ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya akan seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib. Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah, penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan problem agama. JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama? Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi seperti yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap berpotensi merebut kekuasaan. Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas. Saya cukup menghormati keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami memiliki tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang menganggapnya sebagai persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak. JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana? Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia, sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlaw’hir walL’h yatawalla al-sar’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela! JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus? Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu! Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot. (Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1028) Komentar Wawancara Gus Dur : a. Menolak yang berbau Islam Berikut ini komentar penulis terhadap wawancara Gus Dur (huruf-huruf tebal dari penulis) dengan cara mengutip wawancara, lalu penulis komentari. Kutipan: JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu (Perda Tangerang tentang pelacuran, pen) adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur bagaimana? Gus Dur: Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau. JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama? Gus Dur: Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar. JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah? Gus Dur: Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Komentar: Menolak yang berbau Islam Ketika aturan dibuat di daerah, dan itu sekiranya dianggap berbau Islam, misalnya tentang melarang pelacuran, maka Gus Dur menolaknya, bahkan menyebutkan akan bisa kacau. Lebih dari itu ketika ditanya tentang otonomi daerah yang hendak mengatur persoalan agama, dan pertanyaan itu masih difahami sebagai agama Islam (karena kaitannya dengan pertanyaan tentang Perda mengenai larangan pelacuran) maka Gus Dur lebih tegas lagi menolaknya: ‘Sikap itu tidak benar.’ Sebaliknya, ketika Gus Dur ditanya tentang daerah-daerah yang mayoritas non-muslim apakah dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing (yang mayoritas itu, Bali Hindu, NTT Nasrani, Papua Nasrani, pen) dengan alasan otonomi daerah? Gus Dur buru-buru menjawab: ‘Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.’ Tampaknya, Gus Dur sangat jeli dalam hal menolak Islam sejauh-jauhnya. Sampai-sampai yang merupakan kemunkaran/keburukan yang sudah dimengerti oleh semua manusia bahwa pelacuran itu tidak baik pun, karena yang lebih peduli bicara tentang keburukan itu adalah umat Islam, maka Gus Dur menolaknya untuk adanya aturan pelarangan pelacuran. Itu bukan karena Gus Dur semata-mata setuju terhadap pelacuran, sebagaimana dia juga mengemukakan bahwa ‘pelacuran memang dilarang agama’; tetapi ketidak setujuan adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pelacuran, karena Gus Dur menganggapnya berkaitan dengan Islam. Pokoknya kalau berbau Islam, dan menurut endusan hidung Gus Dur, kira-kira akan masuk ke jalur aturan formal, maka dia tolak sekeras-kerasnya. Jadi Islam itu ibarat barang najis, jangan sampai menciprat ke aturan formal. Sebaliknya, apa saja yang bukan Islam, tampaknya dia dukung untuk menghadapi Islam. Makanya tanpa malu-malu, dalam wawancara itu, setelah menolak apa-apa yang dianggap berbau Islam, lalu dengan tegasnya mempersilakan daerah-daerah yang non Islam-nya mayoritas untuk menerapkan aturan agama mereka (Bali Hindu, NTT Nasrani, dan Papua Nasrani). Bahkan Gus Dur sebut ‘Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.” Itu pendirian apa? Kalau Islam, dia tolak sekencang-kencangnya. Tetapi kalau non Islam, dia persilakan selebar-lebarnya, bahkan dianggapnya sebagai konsekuensi, dan kita tidak usah ribut-ribut. Menghadapi ungkapan Gus Dur itu, perlu ditanggapi dengan pergaulan pasaran, yang istilahnya : ‘Dia jual, maka kita beli’. Yaitu Gus Dur telah mempersilakan daerah-daerah yang mayoritas non Muslim untuk menerapkan aturan agama mereka, maka Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, (87% dari 220 jutaan penduduk), berarti dipersilakan untuk menerapkan Islam di Indonesia ini. Dan perlu kita pakai ucapan Gus Dur yang untuk mayoritas non Islam itu, di Indonesia ini untuk mayoritas Islam, yaitu ucapan Gus Dur: ‘Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.” Gus Dur biar jadi juru bicara non Muslim, nanti ucapannya tinggal kita balikkan. Dia menuntut ‘hak’ non Muslim, kita menuntut hak Muslimin. Sayangnya, Gus Dur bukan hanya menuntut ‘hak’ non Muslim, tetapi juga menolak adanya kemungkinan hak Muslimin akan diberikan pada mustahiqnya (yang berhak). Sehingga sebagai pemain, Gus Dur bukan sekadar jadi pembela non Muslim (padahal mengaku Islam) tetapi juga menghalangi akan terwujudnya hak-hak Muslimin. Aneh! B. Aturan Moral pun ditolak Kutipan: JIL: Gus, ada yang berpendapat dengan adanya RUU APP dan sejumlah perda-perda syariat, Indonesia akan ‘diarabkan’. Apa Gus Dur setuju dengan pendapat itu? Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal menurut saya, Islam itu beda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu bahwa pesantren itu lembaga Islam, tapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha. JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat non-muslim? Ya itulah’ Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan persoalannya itu-itu saja. Komentar: Aturan Moral pun ditolak Pertanyaan maupun jawaban sama-sama hanya untuk menolak gejala adanya upaya menerapkan syari’at Islam. Tetapi tampaknya pertanyaan maupun jawaban, sama-sama kurang canggih. Sehingga ditutup dengan kata: ‘Dan persoalannya itu-itu saja.’ Ini sebenarnya, sikap JIL maupun Gus Dur ya memang seperti dia katakan itu pula: ‘Dan persoalannya itu-itu saja.’ Yaitu menolak upaya diterapkannya syari’at Islam (kebalikan dari pihak yang menginginkan diterapkannya syari’at Islam). Dengan aneka ungkapan pun ujung-ujungnya juga penolakan itu. Hingga yang menyangkut moral biasa pun, sampai Gus Dur dkk tolak, lantaran dianggap ada kaitannya dengan Islam. C. Anggap Qur’an kitab suci paling porno Kutipan: JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita? Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan. JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus? Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’ Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’ Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita. Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam. JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno? Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh). JIL: Maksudnya? Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam InJIL kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’ Komentar: Anggap Qur’an kitab suci paling porno Gus Dur menganggap Al-Qur’an kitab suci paling porno di dunia, itu sangat keterlaluan. Tidak ada ‘udzur (alasan untuk berkilah) dalam masalah yang sangat prinsip dalam Islam ini. Khusus mengenai pelecehan Gus Dur terhadap Al-Qur’an ini bisa dibaca di bab tersendiri serta fatwa-fatwa para ulama mengenai mengolok-olok Islam dalam buku ini. D. Gus Dur bicara aurat semaunya Kutipan: Gus Dur: Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he. Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual. Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja, apalagi cuma aspek seksualnya. Komentar: D. Gus Dur bicara aurat semaunya Gus Dur dalam perkataannya itu benar-benar mengemukakan jati dirinya yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. Bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi yang jadi makhluk, telah diatur oleh Tuhannya. Sehingga seakan-akan dunia ini, atau Indonesia ini, terlepas sama sekali dari aturan Allah swt, maka tidak perlu merujuk kepada wahyu-wahyu yang telah diturunkan lewat malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw lalu disampaikan kepada seluruh manusia. Sehingga yang jadi rujukan justru aneka orang dengan aneka pekerjaan dan pandangannya. Itu benar-benar cara berfikir yang kacau balau. Padahal, kalau kita mengikuti pendapat orang, walaupun mayoritas, dan meninggalkan aturan Allah swt dan Rasul-Nya saw, maka pasti sesat. Allah swt menegaskan: ? ? ? ? ?(116) Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (QS Al-An’aam/ 6 : 116). Setelah tidak menggubris aturan dari Allah swt dan Rasul-Nya, lalu Gus Dur menampilkan dirinya sebagai penentang aturan Rasulullah saw. Dia katakan: Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha.. Ungkapan Gus Dur itu bertentangan dengan hadits. ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? Sabda Nabi saw dalam pembai’atan para wanita: ‘Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan wanita, dan tidaklah perkataanku kepada satu wanita kecuali seperti ucapanku kepada seratus wanita.’ (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shahih, dan An-Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban). Penentangan terang-terangan Gus Dur terhadap hadits Nabi saw dan bahkan dia katakan: ‘Katanya, perempuan bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman’; itu sangat disayangkan. Apalagi kemudian dengan terang-terangan dia memamerkan lakonnya: ‘Wah’ saya tiap pagi selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha..’ Mestinya, sebagai tokoh Islam, malu dengan lakonnya yang seperti itu. Tetapi ini malahan dijadikan sebagai acuan atau rujukan untuk: 1. Menentang aturan atau tatacara yang disampaikan oleh Rasulullah saw. 2. Menjadikan lakon dan sikap diri Gus Dur yang menyelisihi aturan Rasulullah saw itu sebagai rujukan dalam mengatur masyarakat. Padahal, pewawancara dari JIL itu sendiri telah menyebut Gus Dur sebagai kiai nyentrik. Dari kondisi ini, berarti Gus Dur menawarkan dirinya pada posisi jauh di atas harga yang seharusnya. Sebaliknya, menjatuhkan harga aturan yang dibawa Rasulullah saw serendah-rendahnya, bahkan agar ditentang memakai pola yang Gus Dur lakukan selama ini. Dalam keadaan ini, Gus Dur yang sudah jelas menentang aturan Rasulullah saw itu justru diusung oleh JIL untuk dijadikan rujukan. Antara Gus Dur dan JIL sama-sama memposisikan sebagai penentang aturan Rasulullah saw. Gus Dur dijadikan figure untuk berteriak, sedang JIL yang menyuruh dan menyebarkan teriakannya. Semua yang diupayakan Gus Dur, JIL, dan semacamnya yang menolak sejadi-jadinya apa-apa yang berbau Islam, itu sangat berbahaya. Sebab, masyarakat Indonesia ini, yang mayoritas Islam ini, memerlukan aturan yang sesuai dengan agamanya, Islam. Sebagaimana dalam hal pernikahan, talak, rujuk, waris, hibah, dan sebagainya yang merupakan hukum keluarga juga sudah diatur negara, pakai undang-undang. Di antaranya ada undang-undang perkawinan 1974. Masyarakat bisa terlindungi. Mestinya, mengenai aurat pun demikian. Yang muslim, agar mengikuti aturan agamanya dalam menutup aurat. Dalam pelaksanaannya, perlu ada aturan hukum, sehingga masyarakat jadi tertib. Sebenarnya hanya tinggal melangkah lagi, sudah ada contohnya, yaitu Undang-undang Perkawinan 1974, yang bermanfaat untuk ketertiban masyarakat, dan juga tidak mengganggu siapa-siapa. Tentang aurat pun mestinya seperti itu. Tetapi anehnya, Gus Dur, JIL, dan semacamnya, tidak terima dengan adanya aturan itu. Mereka sudah gerah dengan adanya UU Perkawinan 1974. Mereka berupaya keras untuk memberedelnya. Padahal, dengan adanya Undang-undang Perkawinan 1974, umat Islam terlindungi dari perkawinan-perkawinan yang tidak mengikuti aturan. Demikian pula nantinya, kalau tentang anti pornografi dan pornoaksi itu sudah ada undang-undangnya, dan untuk umat Islam, aturannya sesuai dengan Islam, maka umat Islam terlindungi pula dari aneka macam kepornoan. Bangsa ini pun insya Allah aman dari itu, dan tidak ada yang terganggu. Jadi kalau sekarang Gus Dur, JIL, dan semacamnya menolak RUU APP, sebenarnya maunya apa? Tidak lain, mereka hanya tidak ridho apabila Islam dilaksanakan atau terdukung pelaksanaannya di masyarakat. Itu saja. E. Bagi Gus Dur, Tuhan itu tidak perlu dibela Kutipan: Gus Dur: Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela! Komentar: Bagi Gus Dur, Tuhan itu tidak perlu dibela Ungkapan Gus Dur, ‘Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!’ itu bertentangan dengan ayat: ? ? ? ? ? ?(7) Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad/ 47 : 7). Rupanya kerja penggembosan terhadap partai yang berbau Islam dianggap sudah selesai, maka merambah ke penggembosan Islam itu sendiri. F. Mengukur Islam dan Kejawen cukup dengar nyanyian Kutipan: JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus? Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu! Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot. (Referensi: http://islamlib.com) Komentar: Mengukur Islam dan Kejawen cukup dengar nyanyian Untuk mengukur Islam dan Kejawen (kebatinan, abangan), Gus Dur mencukupkan diri dengan mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Lalu Gus Dur mengaku faham betul, bahkan membuat kesimpulan, dan masalahnya selesai. ‘Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam. Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini: Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.’ Makna perkataan Gus Dur itu, Islam santri biarkan, Kejawen yang bukan Islam santri ya biarkan saja. Soalnya, pertanyaan JIL adalah: ‘Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?’ Gus Dur ditanya tentang Muslim yang tidak salat dan semacamnya harus diapakan, jawab Gus Dur: ‘Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.’ Jawaban Gus Dur ini justru lebih mundur dibanding keputusan-keputusan ataupun anjuran-anjuran selama ini, bahwa aliran-aliran kebatinan, hendaknya kembali kepada agama induknya masing-masing. Artinya, perlu dibina agar sesuai dengan Islam, karena Kejawen itu tadi induk agamanya Islam. Kalau lantas disamakan kedudukannya, justru itu menyalahi kodrat. Ini masalah yang sangat prinsipil, tetapi diucapi, ‘gitu aja kok repot’; artinya menggampangkan persoalan yang prinsip. Tetapi di balik penggampangan itu, sejatinya Gus Dur telah bermain kata, untuk menempuh tujuannya, yaitu memberedel apa saja yang dia anggap berbau pemberlakuan syaria’t Islam secara formal. Dengan mendudukkan Kejawen sebagai sama dengan Islam, hanya bukan Islam santri, berarti Gus Dur telah melegalkan (secara ucapan) satu bentuk Islam yang tidak usah melaksanakan syari’at. Itulah Gus Dur. Dia anti formalisasi syari’at, makanya menyebarkan faham formalisasi yang tak melaksanakan syari’at, yaitu Kejawen, dengan cara mengakuinya sama dengan Islam, hanya beda syari’atnya (yaitu tak melaksanakan syari’at Islam) dan tak berkomentar untuk diapakan. Kalau rujukannya Kitab Allah swt, maka sebenarnya jawabannya sudah jelas. Di antaranya ayat: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? (125) Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-nahl/ : 125). G. Mengajak kepada kebatilan Dari hasil wawancara JIL terhadap Gus Dur itu bisa dilihat bahwa tidak lain hanyalah apa yang dalam istilah Islam disebut ? (mengajak kepada kebatilan). JIL mau menyuarakan kebatilan, lalu mencari tokoh untuk berbicara, setelah ketemu lalu suaranya disebarkan. Kitab Mausu’ah fiqh (ensiklopedi fiqh) terbitan Kuwait, pada juz 20, ada judul ÇáÏøóÚúæóÉõ Åáóì ÇáúÈóÇØöáö (mengajak kepada kebatilan), di sana ditekankan keharamannya, dengan dalil-dalil ayat dan hadits Nabi saw. Bahkan haram pula mendukung serta memudahkan jalannya. Karena Allah swt sudah wanti-wanti, dari ajakan syaitan jin terhadap manusia untuk bermaksiat kepada Allah. Telah Allah khabarkan kepada kita dengan pembicaraan syetan di hari kiamat kepada orang-orang yang sesat dan maksiat yang telah syetan sesatkan. Firman Allah swt: { ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? } Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS Ibrahim/ 14: 22). Demikian pula terhadap syetan-syetan manusia, berkatalah orang-orang yang dulunya diajak kemudian jadi sesat karena ajakan syetan-seytan manusia itu: { ? ? } "(Tidak) sebenarnya tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya". (QS Saba’/ 34: 33). Allah swt telah memperingatkan nasib penyeru kebatilan dan pengikut-pengikut mereka, Dia berfirman mengenai Fir’aun dan keluarganya: Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (QS Al-Qoshosh/ 28: 41). Al-Qur’anul ‘adhiem telah menunjukkan bahwa penyeru kepada kebatilan itu menanggung dosa dirinya sendiri dan masih ditambahi dengan dosa-dosa orang yang disesatkannya (tanpa mengurangi dosa mereka), sebagaimana firman Allah Ta’ala: ? ? ? ? ? ? ? ?(25) (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS An-Nahl/ 16: 25). Ibnu katsir berkata: Penyeru-penyeru (kebatilan) itu menanggung dosa kesesatan diri mereka sendiri dan dosa lainnya, karena apa yang telah mereka sesatkan, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. Ini dari keadilan Allah Ta’ala. Nabi saw bersabda: ? ? ? ? ? ? Siapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia menanggung dosa dia sendiri (ditambah dosa) seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. Dan dalam kitab shahihain, dari Hudzaifah bin al-Yaman berkata: 1095 ? ? ? : ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? * Diriwayatkan dari Huzaifah bin al-Yaman r.a, ia berkata: Manusia sering bertanya kepada Rasulullah s.a.w mengenai amalan-amalan yang baik, tetapi aku telah bertanya tentang amalan-amalan buruk kerana aku takut ia akan menimpa diriku, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah! Dahulu kami berada dalam kejahilan dan kejahatan, kemudian Allah mengaruniakan kepada kami kebaikan (kebenaran), adakah selepas kebenaran ini akan berlaku pula kejahatan¿ Rasulullah menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Adakah akan berlaku pula kebaikan selepas kejahatan itu¿ Rasulullah menjawab: Ya, tetapi ketika itu terdapat kekurangan dan perselisihan. Aku bertanya apakah yang dimaksudkan dengan kekurangan dan perselisihan itu¿ Rasulullah menjawab dengan bersabda: yaitu satu kaum yang tidak beramal dengan sunnahku dan mengikuti selain dari jalanku, di antara mereka itu ada yang kamu kenali dan ada yang kamu tidak mengenalinya. Aku bertanya lagi: Adakah kejahatan akan berlaku lagi selepas itu¿ Rasulullah menjawab: Ya, ketika itu ada orang-orang yang menyeru atau mengajak manusia ke Neraka Jahannam, siapa yang menyahut/ menyambut ajakan mereka, maka orang itu akan dicampakkan ke dalam Neraka itu. Aku berkata lagi: Wahai Rasulullah! Sifatkan mereka kepada kami. Rasulullah menjawab: Baiklah, mereka adalah sebangsa dengan kita dan berbahasa seperti bahasa kita. Aku bertanya lagi: Wahai Rasulullah! Apakah pendapatmu sekiranya aku masih hidup lagi ketika itu¿ Rasulullah menjawab dengan bersabda: Kamu hendaklah bersama dengan jemaah Islam dan pemimpin mereka. Aku bertanya lagi: Bagaimana sekiranya ketika itu umat Islam tidak mempunyai jemaah (kesatuan) juga tidak ada pemimpin¿ Rasulullah menjawab lagi dengan bersabda: Kamu hendaklah memencilkan diri kamu dari kumpulan mereka walaupun kamu terpaksa memakan akar-akar kayu dan tinggallah kamu di sana sehingga kamu mati dalam keadaan yang demikian. (HR Al-Bukhari dan Muslim). Itu semua mewajibkan setiap Muslim untuk menghindar dari ajakan batil dan dari orang yang membawa ajakan itu. (*) * Note Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kuwait, juz 20, halaman 326