MUSLIM ONDONESIA - SUATU KRITIK DIRI mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Kata Pengantar Redaksi Swaramuslim Kami percaya bahwa bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam, mempunyai berbagai aspirasi yang seharusnya mendapat wadah penampungan yang memadaia. Namun sayangnya berbagai media yang ada, suratkabar, majalah, tabloid, meskipun berbendera Islam, tetap saja tidak bisa menjadi wadah yang diinginkan bagi ummat untuk menyalurkan aspirasinya. Swaramuslim, sesuai dengan namanya (SWARA), menyadari hal ini dan berusaha menjadikan situs ini sebagai sebuah penampungan bagi aspirasi ummat, apakah itu berupa opini, laporan, artikel, bahkan elektronic book, untuk ditayangkan sekaligus untuk dikritisi. Tulisan karya akh Indra Ganie ini, merupakan proyek pertama kami menerbitkan elektronic book, yang secara khusus hanya terdapat di Swaramuslim. Segala isi yang terkandung di dalam e-book ini, tentu saja merupakan tanggung jawab moral dan intelektual penulisnya, karena kami hanya sekedar menampungnya. Buku berjudul Muslim Indonesia: Suatu Kritik Diri hanyalah salah satu dari empat karya akh Indra Ganie yang sudah kami terima, dan masih dalam proses editing seperlunya. Insya Allah akan ditayangkan satu per satu dengan jangka waktu yang cukup antar satu judul dengan judul lainnya. Perlu diketahui, akh Indra Ganie adalah karyawan swasta di Jakarta, bukan aktivis Islam dan berbagai status lainnya yang berlabelkan Islam, namun ia punya ghirah, punya kepedulian terhadap aspek tertentu Islam (dalam hal ini aspek sejarah). Semua tulisannya dikerjakan di sela-sela kesibukannya sebagai seorang profesional di bidangnya. Pembaca, antum pun dapat menuruti jejak akh Indra Ganie ini. Tidak semua tulisan harus terbit dalam bentuk buku dan dipajang di berbagai toko buku, apalagi bila mengingat betapa panjangnya sebuah perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang penulis, untuk bisa sampai ke toko buku. Setelah terbit pun, penghargaan (honor) yang bisa dinikmati belum tentu memadai dibanding dengan jerih payah menulis. Begitulah ironinya. Maka, bagi antum yang punya bahan tulisan, namun karena satu dan lain hal tidak juga sampai ke toko buku, kirimkanlah ke swaramuslim, semoga saja pemikiran yang mencuat dari karya tulis itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi saudara-saudara kita, dan menjadi amal shalih yang menolong kita di akhirat kelak. Jakarta, September 2005 KATA PENGANTAR PENULIS MINIMAL sejak abad ke-16 penduduk yang mukim di kepulauan yang disebut dengan Nusantara –terutama kaum Muslim yang notabene kini dikenal mayoritas– mendapat musibah yang hingga kini masih berdampak, bahkan ada kecenderungan dilestarikan oleh para elitnya. Musibah dimaksud adalah kehadiran imperialisme Barat dengan berakibat keterbelakangan bangsa ini, serta konflik intern yang sudah ada sejak pra kolonial atau juga sebagai akibat taktik devide et impera kolonial yang menyisakan sosok-sosok anteknya. Musibah tersebut mungkin merupakan “peringatan keras” dari tuhan sebagai balasan tidak atau kurang amanahnya bangsa ini, dengan beban tanggung jawab terberat adalah kaum Muslim. Indonesia dengan wilayah luas, alam kaya dan letak strategis telah diperlakukan dengan ceroboh oleh penghuninya. Kaum Muslim cenderung lebih menyikapi jumlah mayoritas dengan sikap mentang-mentang dan kurang menilai sebagai amanat dan tanggung jawab, padahal proses pemurtadan kaum Muslim terus berlangsung namun tidak disadari. Konflik sesama, praktek korupsi, pelanggaran hak asasi, pencemaran lingkungan dan pengerukan sumber alam secara rakus adalah contohnya. Kitab dan sunnah begitu jelas mengecam dan mengancam kemunkaran tersebut di atas. Akibatnya, bangsa ini layak mendapat berbagai musibah karena “syarat-syarat” yang mengundang musibah tersebut telah terpenuhi. Berbagai usaha keluar dari krisis lebih cenderung hanya menghasilkan debat pro dan kontra. Seakan bangsa ini tidak mendapat pencerahan: berputar-putar dari masalah ke masalah. Ketika masuk abad ke-16 penduduk Nusantara terpecah-pecah dengan berbagai perbedaan semisal suku bahkan marga. Belum ada “bangsa Indonesia”, namun yang ada adalah “bangsa Jawa”, “bangsa Sunda”, “bangsa Dayak”, “bangsa Bugis, “bangsa Aceh, “bangsa Minang” dan sebagainya. Perpecahan tersebut telah dimanfaatkan dengan cerdik oleh kolonialis. Kesepakatan untuk membentuk bangsa baru tercapai setelah seantero Nusantara dicengkeram kolonial Barat –yaitu Belanda– tepatnya oleh suatu peristiwa yang disebut “Soempah Pemoeda 1928”. Suatu langkah yang minimal sebagian sesuai atau bermanfaat bagi ukhuwwah Islamiyyah, namun perlakuan yang ceroboh terhadap keragaman tersebut berakibat bangsa berjumlah yang berjumlah sekitar 210 juta jiwa (tahun 2000) –terbesar nomor 5 di dunia– terancam pecah lagi. Aspirasi rakyat untuk mendapat peran besar mengatur kampung halamannya di Aceh, Timor Lorosae dan Papua disikapi dengan pelanggaran hak asasi melalui penetapan status daerah operasi militer, berakibat tuntutan “cerai” dari Indonesia sedemikian bergaung. Bahkan Timor betul-betul “cerai” dan membentuk negara sendiri pada 2002 – dengan dukungan “pemain lama” imperialis yang berselubung PBB supaya terkesan sah menurut hukum internasional. Kaum Muslim –yang merupakan wujud yang mewakili bangsa ini– menjadi bahan pelecehan bangsa atau umat lain: ditekan untuk melaksanakan agenda non Muslim atau mendapat resiko dituduh “teroris” atau “ekstremis”. Layak diketahui bahwa dari sekitar satu milyar Muslim sedunia terdapat sekitar sekitar 168 juta Muslim Indonesia, artinya jelas bahwa Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di kolong langit ini. Walaupun kaum Muslim bukan mayoritas di dunia namun mereka berjumlah sekitar 1/6 atau 16%, suatu jumlah yang relatif signifikan. Layak jika kaum Muslim dituntut memberi persentasi sumbangsih bagi kemanusiaan minimal sejumlah itu. Fakta yang ada justru memilukan dan memalukan, sumbangsih kaum Muslim sebesar itu konon hanya 1% saja! Jika sumbangsih kaum Muslim sedunia cuma sebegitu, bagaimana dengan sumbangsih Muslim Indonesia? Menyimak fakta tersebut, penulis sebagai bagian dari kaum Muslim, tergerak untuk mencoba melakukan kritik diri. Penulis menilai bahwa kaum Muslim menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mencari kesalahan orang lain sebagai penyebab buruknya nasib umat, padahal kekurangan diri tak kurang pula jumlahnya. Bahwa penjajahan non Muslim sebagai penyebab memang betul, tetapi hal tersebut dapat terjadi karena –selain dari nafsu serakah imperialis– juga dari kelalaian umat sendiri yang memberi peluang semisal perpecahan dan kejumudan. Contoh lain kebobrokan umat, faham materialisme dan hedonisme yang disusupkan Barat sukses mempengaruhi cara kaum Muslim memperlakukan alam: dikeruk sebanyak mungkin untuk keuntungan sesaat tapi sadar tidak sadar dianggap sebagai keuntungan jangka panjang, sering tanpa perbaikan kembali mutu lingkungan. Polusi disebabkan antara lain karena penggunaan kendaraan pribadi yang sulit dihitung. Orang tergerak memilikinya lebih cenderung karena gengsi –suatu perasaan yang muncul dari godaan materialisme– ketimbang kebutuhan. Mungkin suatu kritik diri harus mendapat perhatian terlebih dahulu. Kepada beberapa fihak yang telah membantu penulis menyusun karya ini, semoga tuhan membalasnya sebagai amal shalih. Mohon maaf kepada mereka karena penulis tidak menyebut nama-nama. Penulis sadar, bahwa karya ini masih belum sempurna. Semoga dengan masukan dari pembaca akan tampil perbaikan. Harapan penulis semoga karya ini memberi pencerahan kepada umat dan menjadi amal shalih bagi penulis. Amiin ya rabbal ‘alamiin. Jakarta, Desember 2004 Dzulqaidah 1425 I N D R A G A N I E BAB I PENDAHULUAN A. Sekilas Asal Muasal Bangsa Indonesia BERDASARKAN penelitian arkeologis, bangsa Indonesia –kecuali sebagian besar bagian timur– adalah termasuk rumpun Melayu sebagaimana penduduk Asia Tenggara lainnya yaitu Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Laos, Thai dan Myanmar (dulu Burma). Adapun bagian timur Indonesia termasuk rumpun Melanesia atau ras Pasifik. Rumpun adalah keluarga bangsa atau bentuk kumpulan beberapa bangsa. Rumpun Melayu berasal dari wilayah yang kini masuk Provinsi Yunnan, bagian selatan Republik Rakyat Cina. Dalam istilah lama dikenal pula dengan nama “India Belakang”. Mereka mulai tersebar ke seantero Asia Tenggara sekitar 3000-2000 tahun sebelum Masehi karena didesak oleh rumpun lain yaitu Mongoloid. Rumpun Mongoloid mencakup beberapa bangsa yang kita kenal dengan Cina, Korea, Jepang, Tibet, Manchu dan Mongolia. Suku-suku dari Rumpun Melayu yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia pindah ke gugusan pulau yang tersebar luas di selatan daratan Asia Tenggara, yaitu Nusantara. Diperkirakan mereka pindah karena konflik intern serumpun atau langsung setelah terdesak oleh Rumpun Mongoloid. Dengan demikian mungkin dapat dinilai bahwa bangsa Indonesia dasarnya adalah bangsa pecundang. Jarang menang jika ada pertarungan atau persaingan dengan bangsa lain karena moyangnya demikian. Perpindahan massal tersebut dikelompokkan dengan istilah Melayu Tua. Maka, citra bangsa ini sebagai pelaut atau minimal keturunan pelaut agaknya perlu ditinjau ulang –termasuk kalimat lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut– karena mereka mengarungi lautan bukan karena jiwa pelaut tetapi terusir dari kampung halamannya di benua Asia dan berlayar ke gugusan Nusantara. Sekitar 300 tahun sebelum Masehi terjadi gelombang kedua yang dikenal dengan sebutan Melayu Muda. Mereka telah mengenal logam untuk kebutuhan perkakas, setingkat lebih tinggi dari para migran gelombang pertama yang masih menggunakan batu. Bagi penduduk Nusantara, periode 3000 tahun sebelum Masehi hingga 500 tahun sesudah Masehi lazim disebut pra sejarah karena belum mengenal tulisan. Maka, pembagian periode pra sejarah atau mencari nama-nama pribadi jauh lebih sulit. Peninggalan yang sampai kepada kita hanyalah fosil, perkakas dan perhiasan yang tersebar dalam beberapa situs arkeologi. Istilah pra sejarah mungkin terkesan membingungkan atau janggal karena ilmu yang mempelajari periode tersebut adalah juga sejarah, mengingat sejarah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan masa lalu, terlepas dari soal terdapat warisan tertulis atau belum. Kalau boleh usul, istilah pra sejarah diganti dengan istilah “pra tulisan”. Pelan tapi pasti, penduduk kuno tersebut menata hidup di tempat yang baru. Kehidupan berkelompok mengharuskan mereka untuk memilih minimal 1 orang untuk memimpin demi keteraturan masyarakat. Dengan demikian mereka mengenal dasar-dasar demokrasi. Masalah bersama dibahas bersama –lazim disebut musyawarah– dan pemimpin melaksanakan hasil musyawarah tersebut. Hasil pembahasan yang telah disetujui bersama atau mayoritas peserta, lazim disebut mufakat. Dengan memiliki pemimpin, suatu kelompok mengenal dasar-dasar pemerintahan atau tata negara karena seorang pemimpin mustahil mampu bekerja sendiri. Dia perlu bantuan beberapa orang untuk diberi tugas, dengan demikian bangsa ini boleh dinilai telah mengenal apa yang kini lazim disebut kabinet. B. Hubungan Awal Dengan Bangsa Asing Asal muasal peradaban adalah dunia Timur, sekitar 5000-3000 tahun sebelum Masehi muncul peradaban di Mesir, Mesopotamia (kini mencakup ‘Iraq, Kuwait dan sedikit Turki), Arabia, India dan Cina. Melalui proses waktu yang relatif lama peradaban tersebut tersebar dan ada yang terhubung satu sama lain, secara langsung maupun dengan perantara. Barat menerima pengaruh Timur antara lain dari bangsa-bangsa Mesir, Asyur, Funisia, Arab, Akkadia, Israel dan Babilonia. Awalnya tumbuh di wilayah yang kini masuk Yunani, kemudian diwarisi oleh Romawi. Pada abad ke-4 sebelum Masehi, Alexander yang Agung mencoba mempersatukan Barat dan Timur –termasuk peradabannya– dengan peperangan dan penaklukan. Pada awalnya, dia mengikuti pendapat umum di dunia Yunani bahwa bangsa Yunani adalah bangsa beradab dan non Yunani adalah bangsa biadab. Ketika dia menaklukkan dunia Timur dari Mesir hingga India, dia sadar bahwa umumnya bangsa-bangsa yang sukses ditaklukan adalah bangsa yang telah memiliki peradaban canggih jauh sebelum ada peradaban Yunani. Bahkan Yunani mengambil dari Timur. Ambisi mempersatukan dua dunia tersebut menghasilkan peradaban baru yang lazim disebut Hellenisme, suatu peradaban yang berumur panjang dengan Romawi dan Byzantium sebagai pengawalnya. Wilayah bekas taklukan Yunani di Asia Barat sempat dikuasai kedua negara tersebut. Romawi mencapai puncak kejayaan pada periode Kaisar Augustus (36 tahun sebelum Masewhi hingga 14 tahun sesudah Masehi). Sementara itu Cina terkesan “kekar” untuk ditaklukan, bahkan bangsa tersebut berambisi memperluas kekuasaan. Antara abad ke-3 sebelum Masehi hingga abad ke-3 sesudah Masehi, Cina dikuasai oleh Dinasti Han. Periode tersebut termasuk masa kejayaan Cina, penaklukan yang dilaksanakan oleh dinasti tersebut sebagian besar kini masih menjadi wilayah Cina. Sebagaimana halnya Alexander, Cina juga sadar bahwa penaklukan ke arah barat mempertemukannya dengan bangsa-bangsa beradab. Di Asia Tengah – yang lazim disebut Turkistan– bertemulah jalur penaklukan Yunani dengan jalur penaklukan Cina. Mungkin dari peristiwa tersebut muncul cikal bakal jalur darat legendaris yang dikenal dengan sebutan silkroad (jalan sutra), jalur penghubung Barat-Timur via darat yang dipakai mungkin hingga abad-19, dan kini sedang diusahakan menghidupkannya kembali. Hubungan Cina-Romawi diperkirakan bermula sekitar awal Masehi, ketika Dinasti Han berkuasa di Cina dan Kaisar Augustus berkuasa di Romawi. Sementara jalur sutera makin terkenal, berangsur-angsur hubungan Barat-Timur via laut melalui Asia Tenggara dirambah. Yunani dan Romawi telah mengenal jalur laut ke India, dari orang India mereka samar-samar mengetahui bahwa wilayah lebih jauh ke timur terdapat gugusan kepulauan yang luas –mengingat pelayaran orang India telah menjangkau Cina. Berdasar info dari mereka pakar geografi Ptolemy di Mesir membuat peta yang samar-samar pula tentang Nusantara. Selain musafir India, para musafir dari Arab dan Persia juga berlayar sejauh Cina. Dalam perjalanan mereka singgah di Asia Tenggara, termasuk kepulauan Nusantara. Kepulauan tersebut juga menyediakan beberapa barang dagangan semisal kapur barus, kemenyan, kulit harimau dan kayu. Mereka tertarik singgah, bahkan bermukim, karena kesuburan tanah dan kekayaan alam Asia Tenggara. Para musafir Cina merantau sejauh pesisir timur Afrika dan Laut Merah, dengan demikian mereka bertemu langsung dengan orang Barat. Penduduk Nusantara sempat dikenal sebagai perantau, sejak zaman pra tulisan (pra sejarah), wilayah jelajah mereka terbentang dari pantai timur Afrika hingga gugusan pulau Pasifik Barat. Kemungkinan besar ada pertemuan dengan orang Barat, ketika itu imperialisme Barat mencakup Asia Barat dan Afrika Utara. Pertemuan dengan berbagai bangsa asing memperkenalkan penduduk Nusantara yang masih primitif dengan arus besar peradaban Timur. Berangsur-angsur mereka mengenal pembuatan busana, aneka menu, bahasa, huruf dan berbagai seni. Namun yang terpenting adalah mereka mengenal agama, norma yang disampaikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi. Kelak mayoritas bangsa ini menganut agama “impor”, penganut agama “asli” atau agama “suku” cenderung bermukim lebih ke pedalaman. Munculnya kerajaan di Nusantara mungkin dapat menjadi ukuran seberapa banyak peradaban yang diterima bangsa ini. Sejauh yang diketahui, kerajaan tertua adalah Kutai di Kalimantan sekitar abad 4-5. Minimnya peninggalan yang sampai kepada kita mungkin dapat menjadi ukuran bahwa peradaban impor yang diterima juga minim. Berbeda dengan Kerajaan Majapahit misalnya, warisannya relatif lebih banyak sehingga dapat dinilai bahwa peradaban impor yang diterima juga banyak. Layak diketahui bahwa Majapahit berlangsung antara abad 13-16. Pada periode itu bangsa ini telah 1000 tahun mengenal peradaban. Walaupun peradaban telah hadir di sebagian besar Nusantara, sifat asli bangsa ini yaitu barbarisme masih belum hilang. Praktek korupsi dan pelanggaran hak asasi adalah contoh nyata yang masih hadir hingga kini. Sesungguhnya kedua perilaku tersebut merupakan “pengembangan” dari praktek kanibalisme dan vandalisme yang dilaksanakan oleh moyang bangsa ini saat pra sejarah. Kanibalisme yang berciri dasar memakan manusia dalam arti sebenarnya –seperti layaknya menyantap hewan– dikembangkan menjadi praktek korupsi, yaitu “menyantap” yang bukan haknya semisal uang negara atau perusahaaan. Adapun vandalisme yang memiliki ciri dasar merusak benda dikembangkan menjadi praktek kekerasan semisal pertumpahan darah dan perusakan aset, dengan berbagai istilah semisal “perang”, “rusuh” atau minimal corat-coret di tempat umum. Riwayat bangsa ini penuh dengan kekerasan yang berakibat “banjir darah” dan menciptakan “killing field” di negeri ini. Dengan demikian agama atau perkara ruhani lain hanya diperlakukan –yaitu difahami dan diamalkan– sebatas ritual semisal shalat, puasa dan haji. Namun keshalihan ritual tersebut tidak atau hanya sedikit berdampak pada keshalihan sosial. Berbagai perselingkuhan seperti menipu atau mencuri seakan menjadi “amal wajib” sehari-hari disamping shalat 5 waktu setiap hari. Ingat kepada Tuhan hanya terbatas di tempat ibadat semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Adapun di tempat usaha –apalagi di tempat hiburan– Tuhan terlupakan. Seakan-akan keberadaan Tuhan hanya di tempat ibadat, selah-olah Tuhan tidak hadir atau tidak “kontrol” ke mana-mana. Orang cenderung lupa, bahwa Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu. C. Sekilas Tentang Imperialisme Barat dan Dampaknya Sifat dasar barbarisme tersebut –yang mungkin sempat berkurang akibat pengaruh Timur– kembali bertambah dengan kehadiran imperialisme Barat pada abad ke-16. Imperialisme berakibat capaian prestasi –yaitu kemakmuran dan kecerdasan– yang pernah diraih semisal Sriwijaya dan Majapahit menjadi rusak atau hilang. Keterbelakangan –berupa kemiskinan dan kebodohan– menjadi ciri bangsa ini dan kelak cenderung dilestarikan –ketika kemerdekaan telah diraih– oleh para elite sendiri yang tidak amanah terhadap jabatan. Mungkin layak dikatakan bahwa abad ke-16 adalah periode “jahiliyah” bagi Asia Tenggara. Khusus Indonesia, saat proklamasi kemerdekaan 1945 sekitar 90% rakyatnya buta huruf. Bangsa ini kembali ke titik nadir. Imperialisme Barat semakin memeriahkan negeri ini dengan pertumpahan darah, perlawanan terhadap imperialisme berbuah perang dengan segala keburukannya –di samping berbagai kisah heroik dan patriotik. Bangsa ini makin akrab dengan kekerasan, pelanggaran hak asasi tidak berkurang. Imperialisme Barat juga sempat memperkenalkan bentuk perselingkuhan yang lebih canggih, misalnya yang lazim disebut korupsi. Praktek ini adalah bentuk pencurian atau ketidak-jujuran yang lebih berat. Sebelum hadir imperialisme, mungkin bangsa ini hanya mengenal jenis pencurian yang relatif sederhana yang tentu berakibat kehilangan yang relatif kecil, misalnya maling jemuran atau maling sandal. Tetapi korupsi berakibat hilangnya uang negara atau perusahaan yang kadang mampu menuntun pada pengeroposan, bahkan kebangkrutan. Perusakan mental bangsa ini sangat sukses dilaksanakan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dari Belanda yang dibentuk pada 1602 dan tamat pada 1799. VOC dikenal dengan perusahaan raksasa yang penuh dengan praktek KKN dan pelanggaran HAM, kedua hal itulah yang dipelajari dan dipraktekkan oleh bangsa ini. Ketika kolonialisme Belanda berpindah dari swasta ke negara –yaitu kepada Hindia Belanda, praktek korupsi berangsur-angsur berkurang namun pelanggaran hak asasi masih berlangsung– bahkan lebih kejam. Gabungan antara sifat dasar bangsa ini yang memang barbar dengan dampak penjajahan berakibat bangsa ini lebih jahiliyah dibanding sebelumnya. Walaupun Belanda paling lama menjajah Nusantara tetapi bukan yang pertama hadir, sebelumnya ada bangsa Portugis. Bangsa tersebut hadir pertama kali pada 1509 di Asia tenggara, tepatnya Kesultanan Malaka. Malaka ketika itu pusat kegiatan internasional terbesar di wilayah tersebut. Kegiatan mencakup antara lain da’wah, dagang dan diplomatik. Namun negara tersebut mengalami proses pembusukan dengan ciri perpecahan intern keluarga istana, Sultan Mahmud Syah berselisih dengan putra dan bendaharanya. Hukuman mati terhadap bendahara berakibat negara tersebut kehilangan seorang pejabat yang sedemikian handal. Akibatnya, walaupun Malaka sempat melawan dengan gigih serbuan pasukan Portugis namun akhirnya tamat juga riwayatnya. Tahun 1511 –saat peristiwa tersebut terjadi– bolehlah dinilai sebagai awal periode jahiliyah Asia Tenggara, karena sejak itu “penampakan” imperialisme Barat tidak dapat dicegah lagi. Bangsa-bangsa Barat lain beramai-ramai berebut rezeki berupa tanah jajahan. Ketika Perang Pasifik mulai pada tanggal 7 Desember 1941, hanya Muangthai yang masih merdeka, selebihnya dicengkeram imperialis dengan berbagai istilah: colony, commonwealth, overseas atau protectorate. Usaha perbaikan bukan tak ada, sebagaimana telah disebut terdapat berbagai kisah heroik dan patriotik di seantero Nusantara. Perang Jawa (1825-1830), Perang Paderi (1821-1837), Kebangkitan Nasional pada awal abad-20, Revolusi 1945 (1945-1950) dan “Revolusi Darul Islam” (1949-1965) adalah beberapa contoh upaya lepas dari imperialisme Barat sekaligus menata ulang kehidupan bangsa ke arah yang lebih beradab dari sebelumnya, minimal meraih capaian kemanusiaan yang pernah dimiliki pada pra kolonial, yaitu kemakmuran dan kecerdasan. Namun kesuksesan masih jauh dari bangsa ini, bukan jarang usaha-usaha demikian mendapat tantangan dari dalam, dengan dukungan dari luar. Insya Allah, dalam tulisan berikut penulis coba membahas beberapa kebobrokan bangsa ini, yang mungkin sekitar separuhnya adalah warisan kolonial. BAB II TAYANGAN STASIUN TELEVISI KITA SEKITAR 15-20 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 2000) kita mungkin tak dapat membayangkan bahwa suatu saat negeri ini akan dihiasi oleh berbagai stasiun televisi swasta. Pertelevisian nasional didominasi oleh stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI, yang bernaung di bawah Departemen Penerangan. Program-programnya, tidaklah mengherankan, berisi hal-hal yang sesuai dengan selera pemerintah. Dalam suasana pemerintah Orde Baru yang kurang atau mungkin bahkan tidak demokratis, praktis rakyat tidak memiliki banyak pilihan menonton acara televisi yang sesuai dengan seleranya. Hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati tayangan alternatif (televisi asing) melalui parabola, mengingat untuk memilikinya relatif mahal. Program-program TVRI periode Orde Baru mungkin juga dapat disaksikan pada negara-negara yang memiliki pemerintahan yang relatif otoriter: cenderung monoton. Mungkin begitulah ciri pertelevisian nasional di negara-negara yang tidak demokratis. Sekitar tahun 1989 kita mengenal televisi swasta pertama yaitu RCTI, stasiun televisi swasta yang dikenal luas dimiliki oleh anggota Keluarga Cendana. Demikian pula sekitar tahun 1990, muncul SCTV, tahun 1991 muncul TPI dan terus bermunculan Indosiar dan ANTV. Kehadiran mereka sedikit banyak menyajikan tayangan alternatif yang sesuai dengan selera masyarakat. Namun pembatasan mengenai apa yang boleh dan yang tak boleh ditayangkan masih terasa. Program diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah masih sangat kurang –untuk tidak mengatakan tidak ada. Revolusi 1998 yang melengserkan simbol Orde Baru yaitu Soeharto (lahir tahun 1921) dari jabatannya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia, mengubah banyak hal. Berbagai hal-hal yang sekian lama dinilai tabu dibahas pada periode kekuasaannya begitu cepat diungkap atau disebar luas, semisal berbagai praktek pelanggaran HAM dan praktek KKN. Gairah masyarakat untuk lebih berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara –yang tentu terkait dengan nasib mereka sendiri– seakan mendapat “angin surga”. Para pejabat dan aparat –baik sipil dan militer– yang sekian lama cenderung dinilai sewenang-wenang sempat terpojok dan menjadi obyek sikap kritis masyarakat, terutama LSM. Angin surga kebebasan tersebut merambah pula ke dalam dunia pertelevisian kita. Program-program yang disajikan lebih bervariasi dan “berani”. Beberapa stasiun televisi baru muncul. Namun perkara berani atau bervariasi agaknya makin lama makin melampaui batas, kian jauh dan menyimpang dari ukuran yang patut. Penulis menilai bahwa betapapun variatifnya acara televisi, program-program yang disajikan agaknya dapat dibagi dalam beberapa kelompok semisal telenovela, film India, sinetron, musik dangdut dan tayangan misteri. Acara-acara demikian nyaris ada pada setiap stasiun. Seiring perjalanan waktu, mulai ada yang mengkritisi hal demikian. Sebagai contoh, kita simak tayangan musik dangdut dan misteri. Jika kita mencermatinya, nyatalah bahwa penampilan para artis dangdut makin lama makin berani dalam arti pamer aurat dan gerak-geriknya cenderung erotis. Pada umumnya mereka adalah generasi muda. Penampilan tersebut sempat menimbulkan keprihatinan para seniornya. Para senior merasa telah bersusah payah mengangkat martabat musik dangdut dari musik yang dinilai pinggiran atau kampungan menuju level terhormat di pentas nasional, bahkan internasional. Penampilan seronok para artis muda tersebut dinilai dapat menjerumuskan musik dangdut hingga menjadi musik comberan. Mengenai tayangan misteri, ini tak terlepas dari peradaban kita (Timur) yang meyakini sesuatu yang ghaib. Ini mungkin dapat difahami, bahwa perkara ghaib sangat terkait dengan agama yang memang lahir di Timur semisal Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani dan Islam. Bahkan sebelum ada agama, manusia –terutama di Timur– meyakini bahwa di balik segala yang tertangkap panca indera juga terdapat alam yang misteri, yaitu alam yang terdapat kekuatan atau kuasa besar mengatur segala yang ada –yang lazim disebut Tuhan atau Dewa/i, ruh, setan atau hantu. Kepercayaan itulah yang agaknya dieksploitasi habis-habisan oleh (setiap) stasiun TV. Bahkan untuk pembuktian alam ghaib, beberapa orang bersedia menjadi peserta “survey” dengan istilah seperti “uji nyali” dan “uka-uka”. Si peserta ditinggal sendirian di tempat yang dinilai angker pada malam hari, umumnya berakhir jam 05.00. Dalam konteks Indonesia yang notabene mayoritas Muslim, tak pelak bahwa tayangan tersebut merusak mental masyarakat. Masyarakat seakan dituntun untuk percaya alam ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan agama Islam –lazim disebut syirik– dan umbar aurat. Tayangan tersebut boleh dibilang menguntungkan stasiun bersangkutan ditinjau dari banyak iklan yang menghiasi acara tersebut, perkara dampak terhadap masyarakat itu soal lain. Serahkan saja pada diri masing-masing penonton. Bagi yang cermat menyimak, tayangan yang dinilai merusak mental masyarakat adalah hasil dari peradaban kapitalisasi global yang berfokus mencari untung (materi) belaka tanpa peduli dampak moralnya. Jika menyebut kapitalis, hampir pasti bahwa yang teringat adalah dunia Barat. Bahkan ada yang menilai bahwa tayangan yang disajikan kepada masyarakat Indonesia bukan sekadar mencari untung, tapi terselip suatu misi tertentu yaitu penjajahan budaya atau norma atau pernah penulis baca dengan istilah penetrasi budaya. Memang penetrasi di bidang budaya merupakan bagian dari imperialisme Barat selain dominasi di bidang politik dan eksploitasi di bidang ekonomi. Walaupun cara dan wujudnya mungkin berbeda sesuai dengan perjalanan zaman namun dasarnya tetap sama. Untuk menghadapi penjajahan model itu, bukanlah dengan cara militer yang didukung persenjataan paling canggih, karena norma adalah sesuatu yang abstrak tetapi hidup atau ada di masyarakat. Maka harus dihadapi dengan cara yang abstrak pula. Sejauh ini agama adalah cara yang tepat untuk menangkal dampak merusak dari tayangan TV, baik diberikan di rumah/keluarga –dan ini yang paling dasar– juga diberikan di lembaga pendidikan. Dinilai sebagai cara yang tepat karena agama memiliki serangkaian hukum atau moral yang bila dilanggar akan menemui akibat yang lazim disebut dosa, semacam noda atau cacat yang harus dibereskan oleh hukuman dalam tempat yang sering digambarkan secara mengerikan yang lazim disebut neraka. Dalam ghaib, Tuhan menjelaskan bahwa yang pertama dan utama ghaib adalah Tuhan itu sendiri. Manusia dituntut percaya ghaib dengan mendahulukan percaya kepada Tuhan, Dzat yang Maha Ghaib. Dengan kepercayaan dasar demikian manusia diarahkan percaya bahwa Tuhan mampu menciptakan makhluk ghaib. Untuk menutup kemungkinan manusia memperlakukan perkara ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan-Nya, Tuhan menjelaskan bahwa makhluk ghaib juga dibebani kewajiban mengabdi kepada Tuhan dan segala perilakunya juga dimintai pertanggung jawaban, sama halnya dengan manusia. Setahu penulis, antara makhluk ghaib dan manusia diizinkan saling berhubungan dalam lingkup tauhid, bukan syirik. Mengenai seni, agama menjelaskan bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta. Tentu saja mampu menciptakan yang indah-indah semisal hutan hijau, langit cerah serta sungai yang bagai berlenggak-lenggok. Manusia hanya meniru ciptaan tersebut dengan menyimak alam sekitar. Manusia diizinkan mengungkapkan rasa indahnya dengan tujuan makin mencintai sumber keindahan yaitu Tuhan sendiri. Mengumbar gerakan dan pakaian seronok tentunya tidak termasuk yang mendapat izin Tuhan. Tetapi maksud akhir agama bukanlah untuk menuntun orang menggembirakan dengan surga dan menakuti dengan neraka, tetapi menuntun manusia untuk hidup dan mati sesuai kehendak Tuhan sebagai rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan kepada kita, termasuk nikmat hiburan. Dan hal tersebut memiliki peluang berguna menyikapi berbagai tayangan TV yang telah merambah ruang privat kita yaitu kamar tidur atau (mungkin) WC kita. Kaum Muslim jelas mendapat tanggung jawab berat menyelamatkan Indonesia dari dekadensi moral karena mayoritas penonton adalah kaum Muslim pula. Sikap kritis terhadap tayangan TV perlu ditampilkan, bagaimanapun orang membuat stasiun TV dan menyusun acaranya tidak terlepas dari perhitungan dagang, jika bicara soal dagang orang cenderung lebih mengutamakan untung –tentu dalam arti materi– tanpa atau sedikit mempedulikan dampak moral. Sadar atau tidak sadar para pemilik modal melaksanakan agenda imperialis. Gerakan imperialis menetapkan bahwa penjajahan dapat dilaksanakan melalui media elektronik –hampir pasti menjadikan kaum Muslim sebagai target utama, di Indonesia telah tersedia para anteknya yang siap melaksanakan program tersebut. Kegagalan imperialis Barat dalam perang salib (1095-1291) disimak dengan cermat. Kaum Muslim sulit dijajah kalau imannya belum diperlemah atau moralnya belum dirusak. Media elektronik dapat berperan ampuh menyebarkan faham yang mengagungkan nikmat lahir atau duniawi, yang lazim disebut hedonisme. Tepat peringatan Muhammad menjelang akhir hayat bahwa kaum Muslim akan takluk karena cinta dunia dan takut mati. Dua perasaan itulah yang menjadi target bidik untuk di tumbuh-kembangkan oleh imperialis Barat. BAB III PRAKTEK KORUPSI, KOLUSI dan NEPOTISME KETIKA gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa bergulir menuntut perbaikan, satu di antara yang menjadi sorotan adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada juga yang menambah dengan kroniisme. Penulis cenderung menempatkan kroniisme ke dalam nepotisme karena nepotisme memiliki cakupan yang lebih luas. Nepotisme mungkin dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar rasa keterikatan tertentu yang menjadi dasar utama pemberian dan penerimaan jabatan tertentu. Jenis keterikatan tersebut beragam semisal karena satu daerah, satu suku, satu almamater dan satu keluarga. Kroniisme adalah bentuk nepotisme berdasar rasa keterikatan sebagai kawan. Kolusi dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar persamaan kepentingan tertentu, antara fihak yang memiliki jabatan publik dengan fihak anggota masyarakat tertentu, yang ingin mendapat keuntungan dengan imbalan membagi hasil keuntungan tersebut kepada yang memiliki jabatan tersebut. Bentuk hubungan ini dapat tercampur dengan motif nepotisme atau juga tidak. Korupsi dapat didefinisikan dengan bentuk perselingkuhan berdasar pemanfaatan wewenang yang dipercayakan padanya untuk hal-hal yang tak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang tersebut. Sejauh ini penulis belum mengetahui kapan dan siapa-siapa yang pertama kali berbuat hal-hal tersebut di atas. Untuk konteks Indonesia, setahu penulis adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang mempraktekkan tersebut. VOC dibentuk berdasarkan pertimbangan untuk menghilangkan persaingan antara para pedagang Belanda sebagai akibat diketahuinya jalur laut menuju Nusantara, yang merupakan sumber rempah-rempah yang sangat dicari di Eropa. Jalur tersebut dirambah pertama kali oleh Belanda berdasar data-data yang didapat dari kegiatan spionase terhadap Spanyol-Portugis. Untuk waktu yang lama Belanda bermusuhan dengan kedua bangsa tersebut. Cornelis de Houtman –seorang taruna angkatan laut– mendapat kehormatan memimpin suatu rombongan menempuh jalur yang terbilang sulit tersebut. Dia tiba di pelabuhan Banten pada 1596, yang kelak merupakan peristiwa besar bagi Belanda maupun Indonesia. Kehadiran dia merupakan awal hubungan Belanda-Indonesia. Ketika itu Banten termasuk kerajaan penting di Nusantara, negara tersebut menguasai selat strategis, yaitu Selat Sunda, terlebih lagi setelah para musafir dari berbagai bangsa menghindari Selat Malaka karena penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis. Banten juga menguasai Lampung, wilayah penghasil rempah-rempah walaupun mungkin tidak semelimpah sebagaimana di Maluku. Namun kelak Banten –sebagai akibat penjajahan asing yang lama– dikenal sebagai daerah terbelakang: penuh kemiskinan dan kebodohan. Padahal Banten termasuk memiliki jasa besar dalam membangun peradaban sekaligus dalam berjuang melawan penjajahan, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Dengan segala keterbatasan atau penderitaannya, Banten sanggup menampilkan tokoh-tokoh terbaiknya, umumnya ulama sekaligus pahlawan. Sejak perjalanan pertama yang dinilai sukses itu, berlomba-lombalah warga Belanda menghimpun dana dan mengirim ekspedisi ke Nusantara –dikenal dengan istilah wilde vaart– muncul persaingan tak sehat karena nafsu besar meraih untung dengan cara apapun. Pemerintah Belanda –dikenal dengan Republik 7 Negeri Belanda Bersatu– mencoba menghimpun mereka ke dalam satu wadah tunggal yaitu VOC dengan hak monopoli, hak yang sesungguhnya hanya berlaku untuk 21 tahun tetapi kemudian dengan licik menjadi berkepanjangan hingga perusahaan tersebut bangkrut. Hak lain yang luar biasa adalah VOC boleh membuat perjanjian, membangun benteng, membentuk tentara dan menyatakan perang. Dengan demikian VOC memiliki posisi bermuka dua, yaitu pedagang dan pemerintah –suatu hak yang kemudian justru mempersulit VOC sendiri. Dengan kehadiran VOC, maka praktis tertutup peluang untuk membentuk perusahaan lain, karena VOC memegang monopoli di Belanda maupun seberang lautan. Dengan mudah VOC hidup tanpa saingan dengan sesama orang Belanda, suara-suara protes dengan relatif mudah dibungkam mengingat orang-orang yang ada di perusahaan memiliki hubungan –semisal keluarga– dengan orang-orang yang ada di pemerintahan. Ini memang kolusi dan nepotisme asli! Ada pepatah bijak power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup) dan VOC mengamalkannya dengan murni dan konsekuen – meminjam istilah rezim Soeharto. Wewenang luar biasa tersebut membuka lebar berbagai bentuk perselingkuhan: berbohong ke atas berdusta ke bawah. Ketika VOC bangkrut, segala aset dan hutang piutang diambil alih oleh pemerintah. Untuk memulihkan kebangkrutan tersebut dari mana lagi kalau bukan dari Moii Indie –sebutan lain untuk surga tropis Nusantara. Maka dikenallah berbagai praktek eksploitasi ekonomi yang lebih kejam, karena dilaksanakan oleh pemerintah melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan bukan lagi oleh swasta yang nota bene memang bertujuan cari untung, antara lain yang dikenal dengan istilah cultuurstelsel yang pada prakteknya dikenal dengan istilah Indonesia tanam paksa. Para petani dipaksa menanam beberapa jenis tumbuhan bernilai komoditi yang ketika itu laku di Eropa. Mudarat akibat praktek KKN telah disimak dengan cermat oleh orang Belanda, mereka bertekad tidak mengulangi kesalahan melalui VOC. Arus uang dan barang diperiksa seteliti mungkin, jika ada penyimpangan sedikit saja maka si pelaku mendapat hukuman. Sepengetahuan penulis tidak ada surat peringatan pertama, kedua hingga ketiga. Peringatan sudah diberikan ketika mulai diterima masuk kerja. Ketika bangsa Belanda say goodbye kepada praktek KKN, bangsa Indonesia justru melaksanakannya setelah menyadari bahwa perilaku tersebut dinilai menarik. Tertarik karena bangsa ini memang memiliki “fitrah” selingkuh: mencuri atau berbohong. Agaknya bangsa ini jika ingin sesuatu menempuh cara mencuri, sampai punya bahasapun agaknya dari hasil curian bahasa asing. Betapa banyak istilah-istilah asing yang menghiasi kosakata bahasa Indonesia! Suka tak suka agaknya kita dituntut mengakui hal ini sebagai bagian dari kritik diri bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang dicuri bangsa Indonesia. Kembali ke soal KKN, seiring berjalan waktu, praktek tersebut menjadi budaya, suatu tata nilai yang jauh lebih sulit diubah dibanding dengan kebiasaan, karena telah menjadi aset kolektif, yaitu bangsa, dan bukan oknum. Bagaimana posisi kaum Muslim terkait dengan ini? Tak pelak lagi bahwa umumnya para koruptor adalah kaum Muslim –sebagai konsekuensi atau resiko kaum mayoritas di negeri ini. Dengan “sukses” kaum Muslim sebagai mantan murid VOC mengamalkan KKN. Hampir dari level terbawah hingga teratas adalah maling atau neo-kanibalis. Pesan-pesan dalam kitab dan sunnah yang mengingatkan bahwa jabatan adalah amanat dengan pertanggung jawaban yang mengerikan kelak di akhirat cenderung kurang disimak. Maka coba periksa apa yang tidak dikorup, bahkan bantuan untuk korban bencana pun tidak dilewatkan untuk dikorup. Tak heran begitu banyak yang tidak sampai kepada yang berhak. Jika kita ingat pencuri, kemungkinan besar yang teringat adalah bahwa pelakunya adalah orang miskin. Karena tak punya pilihan lain untuk mengisi perut, dia menempuh langkah itu. Tetapi Indonesia menyajikan suatu keanehan yang parah, para koruptor hampir semua adalah bukan orang miskin: mereka punya jabatan, dapat gaji layak dan disediakan fasilitas, tetapi justru mereka lebih maling dari pada maling! Seakan belum cukup keanehan itu, dengan uang haram mereka menunaikan ibadah haji atau ‘umrah. Mungkin mereka sanggup berulangkali bolak-balik ke tanah suci dengan uang tersebut. Atau jika mereka tersangkut hukum karena itu, pergi haji atau ‘umrah menjadi dalil yang cukup jitu menghindar dari jerat hukum. Penulis mendapat info dari satu anggota keluarga, yang karena satu dan lain hal harus berurusan dengan aparat. Sang oknum terkesan berusaha mempersulit urusan tersebut yang ternyata –sudah menjadi rahasia umum– dia berusaha mengamalkan “UUD secara murni dan konsekuen”, yang agaknya sesuai dengan apa yang dia terima dalam penataran P4 ala rezim Soeharto. Yaitu tentu saja yang dimaksud bukan Undang Undang Dasar tetapi “Ujung Ujungnya Duit”. Mereka diperas dengan berbagai macam dalih. Salah satu dalihnya adalah karena si oknum aparat tadi perlu uang untuk biaya ‘umrah. Coba renungkan, beribadat dengan uang hasil perbuatan mungkar! Sesuatu hal yang mungkin tidak masuk akal bagi bangsa lain, sekafir apapun ia, tetapi masuk akal bagi bangsa Indonesia. Runtuhnya rezim Soeharto akibat gerakan reformasi sempat menumbuhkan harapan bagi pendamba keadilan di negeri ini, tetapi untuk kesekian kali agaknya harapan harus pupus untuk beberapa lama karena penguasa berikutnya –termasuk ketika dipimpin seorang kiyai– hanyut dengan gaya rezim sebelumnya. Praktek KKN makin menjadi-jadi. Ada lagi pemahaman keliru yang menjangkiti umat, bulan Ramadhan mestinya untuk latihan kendali diri, untuk diterapkan pada 11 bulan lainnya. Istilah muluknya “11 bulan dijadikan Ramadhan” yaitu berarti perilaku shalih selama Ramadhan dipraktekkan pula pada bulan-bulan yang lain. Namun yang difahami (dan dipraktekkan) adalah 11 bulan untuk “suka-suka” –termasuk mencari rezeki haram– dan 1 bulan dalam Ramadhan untuk “bersih-bersih”. Setelah itu selama 11 bulan ke depan kembali semau gue. Tak heran jika bangsa ini sulit mendapat rahmat dan barokah. Masih terkait dengan harta, zakat yang mestinya diambil dari harta halal untuk “membersihkan” harta dan pemiliknya –karena sekian persen dari harta tersebut merupakan hak orang lain yang dititipkan Allah kepada insan yang mendapatnya– ternyata dipahami secara keliru pula. Tahu bahwa dia meraih rezeki haram dengan cara bathil, dia pakai untuk ibadat sosial semisal zakat, infaq dan shadaqah dengan harapan dosa-dosa dari rezeki haram tersebut berkurang atau hapus sama sekali. Mungkin terfikir, disamping dosa karena korupsi tentu ada pahala karena memberi. Yah, sejelek-jeleknya dapat nilai 50-50. Jika harus masuk neraka, minimal dia sempat menikmati dunia. Untuk memberantas KKN memang tidak mudah karena dari ‘kebiasaan’ menjadi budaya. Budaya adalah jenis perilaku yang lebih sulit karena telah menyebar dalam level nasional. Tetapi perlu ada usaha memberantasnya walaupun perlu perjuangan ekstra keras dalam jangka waktu amat panjang. Misalnya, pertama, dapat dimulai dengan tidak menshalatkan mayat orang yang terkait dengan kasus korupsi. Langsung saja mayatnya dimasukkan ke kubur! Kedua, berbagai organisasi sosial hendaknya memiliki nyali untuk menolak sumbangan dari orang yang terkait dengan kasus KKN, hingga kasus tersebut jelas dengan hasil dia dinyatakan tidak bersalah. Ketiga, mengumumkan nama-nama yang terkait kasus tersebut –semisal di tempat-tempat umum– dapat dijadikan upaya lain memberantas kasus korupsi. Tanpa bermaksud mengabaikan asas “praduga tak bersalah”, sosialisasikan nama-nama tersebut dengan judul atau keterangan “para tersangka” atau “nama-nama bermasalah”. Istilah tersangka atau bermasalah mengandung pengakuan bahwa nama-nama tersebut belum tentu bersalah. Namanya juga tersangka, mungkin ya mungkin tidak bersalah. Namun hal tersebut dapat menjadi peringatan awal bagi warga untuk memberi sanksi sosial semisal menjaga jarak atau tidak memberi jabatan apapun hingga mereka terbukti secara hukum tidak bersalah. Dengan demikian diharapkan para tersangka tersebut tergerak untuk berusaha menjernihkan kasusnya karena merasa “gerah” dengan sanksi sosial tersebut jika didiamkan saja. Para tersangka tersebut hendaknya juga mencakup para hamba hukum, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa antara hamba hukum dengan tersangka terjadi kolusi. Begitu muncul SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan), segera usut sebab-sebabnya. Seseorang yang sejak mencalonkan atau dicalonkan menempati jabatan tertentu perlu diperiksa hartanya dan diumumkan. Begitu pula ketika dia selesai masa jabatannya. Dari situ dapat diperbandingkan berapa hartanya ketika mulai mencalonkan/dicalonkan dengan jumlah harta saat dia berhenti. BAB IV KEKERASAN / PELANGGARAN HAM MENJELANG rezim Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi, bangsa ini harus membayar mahal demi jatuhnya rezim tersebut dengan kerusuhan di beberapa kota yang menewaskan sekitar 2.000 orang. Awalnya dipicu oleh tewasnya beberapa mahasiswa akibat tembakan aparat ketika mereka berdemo, bahkan aparat menyerbu masuk kampus dan melakukan kekerasan. Entah siapa yang memanfaatkan peristiwa tersebut, kerusuhan tersebut berkobar dengan sasaran warga keturunan Cina walaupun jumlah pribumi yang menjadi korban masih lebih banyak. Dalam waktu singkat citra Indonesia sebagai “etalase” masyarakat majemuk yang harmonis atau ramah jatuh ke titik nadir di dalam maupun di luar negeri. Kaum Muslim untuk kesekian kalinya mendapat citra buruk sebagai “doyan kekerasan” oleh massa media tertentu – dalam maupun luar negeri – ketika beredar info bahwa para pelaku kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa konon berteriak “Allahu Akbar” saat beraksi. Masyarakat terkejut, mereka heran kenapa bangsa yang dikenal ramah berubah cepat menjadi garang, gemar dengan kekerasan. Maka berlomba-lomba para intelek, pengamat atau apalah istilahnya memberi pendapat ini-itu tentang penyebab kekerasan. Bukan jarang pendapat mereka tidak menjernihkan masalah namun justru mengeruhkan masalah. Terlepas dari masalah siapa yang umat mayoritas di negeri ini, sesungguhnya penjelasan asal-muasal kekerasan tersebut tidak sulit dicari. Kekerasan atau pelanggaran HAM memang sudah lama akrab dalam riwayat bangsa ini, atau memang sudah fitrahnya. Riwayat bangsa ini penuh dengan kekerasan hingga berdarah-darah, jadi bukan perkara baru. Dalam sejarah bangsa ini banyak terdapat kisah peperangan yang bukan hanya melawan penjajah tetapi juga sesama saudara. Perang antar pangeran dan antar kerajaan lazim terjadi, perebutan kekuasaan putra mahkota sepeninggal ayahanda begitu meriah menghiasi sejarah Indonesia. Ini berakibat tanah Indonesia tidak ada yang bersih dari tumpahan darah, termasuk yang sehari-hari kita pijak kini. Agaknya hal ini perlu disimak oleh masyarakat –termasuk orang-orang yang disebut pakar atau kaum intelektual– supaya tidak menghasilkan pendapat yang terkesan pandir. Sejak lama telah jelas bagi penulis, bahwa apa yang dinamakan ramah-tamah, sopan santun, budi luhur yang dilekatkan atau dipromosikan bangsa ini sesungguhnya hanya mitos, kedok atau kosmetik belaka, supaya terkesan cantik. Rezim Soekarno dan Soeharto dengan cerdik menampilkan citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang santun untuk melanggengkan kekuasaannya. Untuk memastikan bahwa bangsa Indonesia hidup penuh harmoni atau adem ayem, mereka menggunakan sikap represif, hingga menyentuh hal yang sedemikian pribadi yaitu kebebasan berfikir atau berpendapat –yang hampir pasti jika dilonggarkan akan menimbulkan peluang beda pendapat atau polemik. Polemik dinilai mengganggu harmoni atau ketertiban umum. Harmoni adalah konsep yang konon sangat dijunjung tinggi dalam budaya yang melatari kedua tokoh tersebut yaitu budaya Jawa. Berbeda pendapat cenderung dinilai tidak praktis. Harmoni palsu tersebut terbongkar ketika mereka digulingkan, terjadi kekerasan yang mengerikan. Konon peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru meminta tumbal sekitar 1.500.000 orang. Peralihan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi konon mengorbankan nyawa sekitar 2.000 orang. Tampillah sifat asli bangsa ini yang jauh dari beradab. Sesungguhnya dalam riwayat bangsa ini, di Jawa justru lebih sering terjadi pertumpahan darah dan pelakunya tentu umumnya dari suku Jawa –yang dikenal sebagai suku paling santun di Indonesia. Tambahan pula, sedikit yang tahu bahwa selama perioda Orde Baru ada sekitar 3.200.000 orang yang tewas dalam berbagai pelanggaran HAM. Kasus Timor Timur, Aceh, Papua, Lampung, Tanjung Priok hanya sedikit contoh! Harap simak kembali sejarah, apakah Indonesia –atau Asia Tenggara– tempat lahir peradaban semisal agama, seni atau filsafat? Penelitian yang telah dilaksanakan sejak lama membuktikan bahwa wilayah tersebut bukan tempat lahir peradaban tetapi impor peradaban. Hubungan dengan bangsa asing semisal Cina, India, Persia, Arab dan bangsa-bangsa Eropa berakibat bangsa-bangsa Asia Tenggara mengenal peradaban. Bangunan masjid dikenal dari Arab, bangun candi dikenal dari India, bangun klenteng dikenal dari Cina dan bangun gereja dikenal dari Eropa. Adapun bangsa-bangsa Asia Tenggara hanya mampu menumpuk batu-batu dengan susunan tak berketentuan bentuknya untuk tempat pemujaan, hidup di gua atau di atas pohon karena tidak tahu teknik bangun rumah. Bahkan huruf pun juga harus impor karena tak mampu mencipta sendiri semisal Sansekerta –Pallawa dari India– yang kelak menjadi huruf Jawa. Kalau boleh penulis sebut contoh, sekitar 100-150 tahun lalu terhitung dari tahun 2000 masih ada di Indonesia praktek kanibal yaitu di pedalaman Sumatera Utara dan Irian Jaya. Di pedalaman Kalimantan terdapat tradisi mengayau (penggal kepala). Ini adalah contoh bahwa bangsa ini memang akrab dengan kekerasan atau kekejaman. Kehadiran para misionaris asing berangsur-angsur mengurangi tradisi tersebut. Setelah tahu latar belakangnya, peluang untuk mencari “obatnya” mungkin relatif lebih mudah. Bangsa ini harus berani jujur dengan mengakui sifat barbarnya –terutama para inteleknya. Masyarakat jangan lagi dibohongi dengan berbagai sanjungan diri sendiri, jangan lagi waktu dan tenaga dihabiskan untuk mencari kekurangan bangsa lain –nyata maupun khayal. Usut segala pelanggaran HAM yang pernah terjadi dan umumkan kepada masyarakat. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik dalam sejarah nasional perlu ditinjau kembali, apakah terdapat unsur pelanggaran HAM. Jangan cuma pelanggaran HAM oleh penjajah yang ditampilkan tetapi juga pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan, yang lazim disebut “pejuang” atau “pahlawan” tersebut. Karena para pejuang adalah manusia pula dan bukan malaikat, perjuangan mereka tak lepas dari kesalahan bahkan kekejaman. Jika masyarakat telah sadar siapa dirinya, barulah sajikan pelajaran nilai-nilai adab semisal agama. Ini memang suatu proses yang panjang, mahal dan sulit tetapi sudah mendesak untuk segera dilaksanakan. Bangsa ini sudah menghabiskan waktunya demi kebohongan dan para intelek perlu bertanggung jawab membongkar atau mengakhirinya. Jangan ragu mengungkap pelanggaran HAM yang dilaksanakan oleh orang-orang yang diakui pahlawan atau pejuang. Jika yang bersangkutan masih hidup upayakan untuk diadili, masalah apakah akan ada pertimbangan kemanusian yang akan meringankan hukuman itu soal lain. Jika yang bersangkutan sudah tiada, tetap diusut dan dipublikasikan. Sekadar membuka wacana, penulis ambil perioda Revolusi 1945 –periode yang diagungkan atau dikeramatkan sebagai titik puncak perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan. Beberapa peristiwa yang dinilai heroik-patriotik diduga terdapat pelanggaran HAM. Begitu kekuasaan Jepang menyusut dan proklamasi diumumkan, di Aceh, Sumatera Timur, Banten dan pantura Jawa Tengah berkobar peristiwa yang disebut “revolusi sosial”. Intinya, mengganti para pejabat-aparat lama –yang dinilai antek atau minimal dekat dengan rezim asing baik Barat maupun Jepang– dengan orang-orang yang revolusioner. Dalam praktek, pergantian tersebut sering disertai pertumpahan darah atau tindak main hakim sendiri. Peristiwa yang mendahului dan menyertai Hari Pahlawan tidak terlepas dari pelanggaran HAM fihak-fihak yang terlibat. Pada hemat penulis, kita tak perlu lagi membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh penjajah karena sejak kecil kita sudah ditanamkan bahwa penjajah yang pernah bercokol di Indonesia adalah kejam. Maka tiba waktu membahas pelanggaran yang dilaksanakan oleh para aktivis kemerdekaan. Penulis mendapat info dari sumber Barat, bahwa pernah terjadi pembantaian terhadap sekitar 100 warga Barat mantan tawanan Jepang. Truk yang mengangkut mereka dicegat aktivis dan kemudian dibakar. Sumber lain mengatakan ada upacara minum darah para warga Barat sebelum pergi berperang. Tersebut pula peristiwa yang mendahului dan menyertai Palagan Ambarawa, para aktivis menerobos kamp kemudian menembaki warga Barat mantan tawanan Jepang. Demikian pula nasib para penghuni kamp di Depok, sekitar 30 km selatan Jakarta, mereka digiring keluar dan dibunuh. Di Bandung, peristiwa Bandung Lautan Api 1946 mungkin mirip dengan peristiwa bumi hangus di Dili pasca jajak pendapat pada 1999. Banyak aset sipil –bahkan sebagian besar– dibakar. Pada bulan Agustus 1946, terjadi pembantaian terhadap 18 warga Barat di desa Balapulang. Mereka disuruh menghormat bendera Merah Putih kemudian dipukul dan ditusuk hingga tewas. Kalau boleh penulis usul, perlu dibentuk tim pencari fakta kasus pelanggaran HAM selama perioda 1945-2005, diawali sejak tahun 1945 karena ketika itu bangsa ini memiliki negara atau pemerintahan sendiri yang notabene bertanggung jawab terhadap penghargaan HAM. Tetapkan kriteria bahwa pelakunya adalah orang Indonesia dan korbannya adalah orang Indonesia maupun non Indonesia. Suatu pekerjaan yang tidak mudah namun perlu dilaksanakan supaya menjadi pelajaran berharga –tepatnya kritik diri– untuk bangsa ini, agar tidak mengulangi hal yang sama di masa depan. BAB V PERUSAKAN ALAM AGAKNYA mayoritas orang tidak keberatan jika Indonesia dinilai sebagai firdaus tropis atau sepotong surga yang dipindah ke bumi. Seabrek dalil diajukan untuk meyakinkan siapapun: tanah yang subur, hutan ijo royo-royo, hanya kenal dua musim, wilayah luas, letak strategis, sumber alam kaya dan aduhai masih banyak lagi pujian lainnya. Memang sulit untuk dibantah, kehadiran beberapa bangsa asing untuk berdagang, bermukim bahkan ada juga yang menjajah membuktikan kedua ungkapan tersebut di atas. Mestinya atau idealnya, bangsa ini menjadi makmur. Namun di dunia ini ternyata banyak terjadi hal yang tak ideal, tak logis atau tak semestinya. Dan Indonesia menjadi contoh sempurna betapa kejanggalan tersebut hadir dan setia mendampingi negeri dan tentu saja bangsa ini. Bangsa ini terbelakang: miskin dan bodoh menaunginya, bahkan diperparah oleh berbagai perusakan alam. Sulit dijelaskan dari mana berawal seperti sulit menjelaskan duluan ayam apa telur. Apakah keterbelakangan tersebut menggoda orang merusak alam ataukah perusakan alam tersebut berakibat keterbelakangan, terutama kemiskinan? Bagi orang yang percaya ada Tuhan, semua sepakat bahwa alam adalah ciptaan-Nya. Dalam kitab suci, Tuhan mencipta alam baik adanya untuk jenis makhluq yang dimuliakan-Nya: insan. Tuhan karena kasihnya berbagi wewenang –meski terbatas– pada manusia untuk hadir, menikmati, dan jangan lupa, melestarikan. Tujuannya supaya nikmat tersebut dapat hadir berkesinambungan. Tuhan menetapkan norma-norma untuk dipatuhi manusia berikut hukuman untuk memperkecil peluang manusia selingkuh. Ia menetapkan jika mematuhi norma-Nya, selamatlah manusia, namun jika melawan maka otomatis hukum Tuhan yang bekerja dalam alam –lazim disebut Sunnatullah– akan menggilasnya, bahkan gilasannya dapat menimbulkan kematian. Contoh sederhana, hukum Tuhan menetapkan bahwa jika hutan ditebang seenaknya maka banjir dan tandus akan terjadi. Jika membuang limbah seenaknya, pencemaranlah yang terjadi. Dapat terjadi di udara, di darat maupun di laut. Bahkan hal tersebut telah disebut dalam kitab suci “telah terjadi kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia…” Artinya perusakan alam telah terjadi sejak zaman nabi dan turun wahyu, sudah terjadi sejak ribuan tahun dari zaman kita. Tuhan menjelaskan bahwa ada ayat tertulis dan tak tertulis, yang tertulis lazim terhimpun dalam kitab suci. Bagaimana ayat yang tak tertulis? Ya, alam itulah. Alam banyak menyajikan ayat-ayat bukti kesempurnaan Tuhan. Ayat bisa bermakna pertanda. Manusia diperintah untuk berfikir bahwa alam adalah fasilitas yang diberi Tuhan supaya hidup menjadi mudah, nyaman atau praktis. Ujung-ujungnya adalah dengan demikian bangkit rasa syukur yang diwujudkan antara lain dengan terus membina hubungan dengan Tuhan –semisal dengan menyembahnya– serta melestarikan alam hingga akhir zaman. Hanya Tuhanlah yang berhak membinasakan alam ini –antara lain dengan gempa atau kiamat sekalian– dan perbuatan Tuhan tidaklah ditanya, tetapi perbuatan insan yang akan ditanya Tuhan kelak. Inilah yang nyaris tidak pernah dibahas dalam berbagai pendidikan agama: di sekolah, di masjid, di majlis ta’lim, tabligh akbar atau di mana saja. Maka kaum Muslim Indonesia termasuklah menjadi “terdakwa merusak alam” sebagaimana disindir dalam kitab suci tersebut di atas. Perusakan alam Indonesia nyaris merambah segala segi: pencemaran darat, udara, air; penggundulan hutan, pemboman ikan dengan akibat merusak terumbu karang, penggalian pasir yang berakibat menggelamkan pulau atau longsor dan pembangunan di wilayah resapan air. Pelakunya bukan hanya orang yang menengah ke bawah yang umumnya karena desakan kebutuhan hidup namun juga –yang justru lebih berakibat parah– pelakunya adalah orang menengah ke atas, yang nota bene berpendidikan tinggi dan bermodal besar. Kadang terjadi semacam kerja sama antara kedua kelompok tersebut: si miskin mendapat imbalan untuk merusak alam demi mengeruk untung untuk si kaya, si kaya cenderung terlindung si miskin jika bisnisnya terancam oleh pengusutan hamba hukum. Umumnya para hamba hukum hanya mampu menciduk para pelaksana di lapangan yang umumnya si miskin, adapun si kaya cenderung tak tersentuh. Bahkan untuk memastikan untuk aman, si pelaku bisnis bersekongkol dengan para hamba hukum, tentunya dengan imbalan yang menggiurkan, dan sukses! Para hamba hukum di Indonesia umumnya bergaji pas-pasan atau memang dasarnya serakah, walaupun bergaji cukup, dia ingin dapat lebih! Lagi-lagi terkait korupsi, kolusi dan nepotisme! Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 dapatlah dinilai sebagai memorandum keras dari Tuhan terhadap insan. Peringatan bahwa manusia adalah penghuni atau tegasnya bagian dari alam walau statusnya khalifah, bukan penguasa alam. Begitu mudah gelombang tersebut menyapu daratan karena wilayah pesisir tidak terlindung oleh hutan bakau, padahal konon hutan bakau mampu meredam gelombang tersebut hingga sekitar 40 persen. Bukan rahasia lagi jika banyak wilayah hutan bakau di Indonesia rusak (atau sengaja dirusak) lagi-lagi karena motif ekonomi: perut atau duit! Ada yang digusur untuk pemukiman mewah, pertambakan atau diambil kayunya. Dan untuk Indonesia, sebagian besar korban adalah kaum Muslim. Tidak peduli apa yang bersangkutan tekun shalat, tahan puasa, bolak-balik ke tanah suci, khusyu’ doa dan zikir berjam-jam. Tuhan tetap marah jika ciptaan-Nya dirusak! Namun, dari balik musibah tersebut ternyata terselip kekuasaan Tuhan yang lain: beberapa masjid relatif masih utuh. Dapatlah ditafsirkan –walaupun mungkin terkesan dangkal– bahwa Tuhan masih memberi kesempatan bagi yang masih hidup untuk taubat dan bangkit dari musibah berawal dari masjid. Adapun yang tewas, semoga tuhan mengampuni mereka. Amiin. BAB VI FANATIK TAPI MUNAFIK SATU di antara perilaku luhur yang konon dimiliki bangsa Indonesia adalah beragama atau religius. Seabrek contoh dicoba diajukan untuk membuat percaya dalam dan luar negeri bahwa bangsa ini shalih dengan agama yang dianutnya, antara lain rajin ke tempat ibadah semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Kaum Muslim –dengan rasa berat hati penulis jadikan contoh mengingat mayoritas di Indonesia– seakan terkesan begitu shalih. Umat begitu antusias ke Masjid untuk shalat atau menyimak ceramah, berpuasa sunnah selain wajib di bulan Ramadhan, kadang ada yang bolak-balik ke tanah suci untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah. Namun apa output segala ibadat atau keshalihan ritual terhadap kehidupan sosial, atau apakah keshalihan ritual menjamin terbentuk keshalihan sosial seperti jujur, rajin, tepat waktu, sopan atau berbagai disiplin lainnya? Kasus Indonesia jelas membuktikan bahwa keshalihan ritual belum tentu sejalan dengan keshalihan sosial. Kedua hal tersebut seakan sulit menyatu bagai sulitnya air berlarut dengan minyak. Bahkan mungkin Indonesia dapat menjadi wakil dari keadaan tersebut di dunia Muslim. Korupsi menempati nomor 6 di dunia dan pornografi menempati urutan kedua, jelas membuktikan bahwa kehidupan ritual dan sosial seakan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia tetap atau masih dikenal sebagai negara korup, preman, mistik atau segala jenis kebobrokan hukum/moral lainnya. Bangsa Indonesia mengalami masalah kepribadian ganda dalam soal adab. Dasar atau fitrah yang memang barbar ditambah penjajahan yang demikian lama agaknya menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang (mungkin) paling bejad. Kebejadan paling dasar bangsa ini dapat disimak dari mental syiriknya. Sebelum bangsa ini mengenal agama dari luar, berbagai pemujaan terhadap berbagai sosok yang dinilai besar, indah, mengagumkan atau menakutkan semisal pohon besar, batu besar, gunung, matahari atau petir telah berlangsung lama. Hal tersebut masih bertahan walau secara formal telah menganut agama tertentu. Ziarah kubur yang dimaksudkan untuk mengingat mati dan akhirat diselewengkan menjadi ‘ritual’ untuk memohon berkah atau selamat kepada orang yang telah menjadi bangkai atau tulang belulang, karena dinilai sebagai sosok keramat atau suci. Kebejadan lain yang menyertainya adalah bahwa berkah atau selamat yang dimaksud lebih cenderung bercorak duniawi ketimbang ukhrawi semisal minta harta, jodoh, anak, disukai lawan jenis atau disayang atasan. Coba tengok ke tempat ziarah di seantero Nusantara semisal Banten, Cirebon, Demak, Imogiri bahkan di kota-kota besar semisal Jakarta. Para pengemis –asli maupun palsu– dengan sigap memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk minta-minta sedekah kepada peziarah, ditambah tukang copet yang tanpa segan-segan beraksi di tempat yang dinilai keramat tersebut. Faham pra Islam lain yang masih bertahan adalah ritual seperti selamatan sekian hari untuk yang mati: 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Pada mulanya para ulama pada awal masa da’wah Islam di Jawa membiarkan tersebut untuk sementara. Pertimbangannya, masyarakat Jawa yang baru mengenal Islam tidak kaget karena terbiasa dengan ritual tersebut sebagai dampak pengaruh Hindu-Budha sekitar 1500 tahun lamanya. Sebagai awal perubahan, pelan-pelan mereka mengubah mantra dengan do’a. Permainan wayang –yang akrab dengan masyarakat Jawa– diselipkan dengan pesan-pesan Islami. Namun kebiasaan tersebut menjadi berkepanjangan karena da’wah terhambat oleh konflik dengan imperialis Barat. Kekuatan asing tersebut bahkan bergabung dengan kekuatan yang masih berfaham pra Islam untuk menghambat da’wah Islam yang murni sesuai dengan kitab dan sunnah. Konflik berkepanjangan dengan konspirasi anti Islam tersebut berakibat banyak aset umat semisal masjid dan pesantren rusak, para ulama banyak yang tewas, hilang atau ditangkap. Dampaknya, rakyat yang waktu itu masih mengenal Islam sebatas kulit, menjadi kehilangan tuntunan. Rakyat kembali melaksanakan ritual pra Islam dicampur dengan Islam, hal yang berlangsung hingga kini. Potensi umat terkuras oleh perang sehingga da’wah menjadi terbelakang. Terpeliharalah “penyakit” umat yang terangkum dalam singkatan TBC (Tahyul, Bid’ah, Churafat) hingga kini. Kaum Muslim cenderung menerima apa saja yang dikatakan ulama atau kiyahi tanpa mencoba mengolah dengan logika (taqlid), umumnya banyak terdapat di pesantren. Berbagai ritual yang tak jelas sumbernya atau sulit dipertanggung jawabkan secara ‘aqliyyah maupun naqliyyah bermunculan di tengah umat (bid’ah), jika ada yang menyangkal langsung ditanggapi dengan emosional, bukan rasional. Faham yang bukan-bukan semisal sekian hari setelah kematian arwah si mati akan mengunjungi rumah keluarganya juga masih belum lenyap. Padahal dalam ‘aqidah Islam jika seseorang telah mati maka arwahnya berada di alam barzakh, bukan gentayangan di dunia. Praktek mistik semisal santet, adalah bentuk praktek pra Islam yang masih lestari bahkan di daerah-daerah yang dikenal dengan kental nuansa Islami semisal Banten dan Jawa Timur. Hal tersebut diperparah karena praktek tersebut tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat al-Qur-an atau do’a-do’a Islam lainnya, semisal untuk memikat lawan jenis, mencelakakan orang yang dibenci atau disayang atasan. Ada yang mempelajari dan mengamalkannya sendiri, ada pula yang minta bantuan kepada orang-orang yang ahli tentang itu, lazim disebut dukun. Memang, pada hakekatnya kejahatan adalah kebaikan yang diselewengkan. Tuhan telah menciptakan alam semesta –termasuk dunia– dalam keadaan baik, tetapi dirusak, diselewengkan oleh manusia sehingga dunia betul-betul menjadi rusak. Namun ironisnya, dunia yang kelak disalahkan sebagai penyebab “kerusakan” manusia, padahal dunia adalah ciptaan Tuhan jua sebagai bentuk kasih-Nya kepada insan. Penyelewengan sesuatu kebaikan berlaku juga untuk al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang dipakai untuk yang bertentangan dengan hakekat ayat itu sendiri. Contoh yang sederhana mungkin begini, jika al-Qur’an dibaca dari kanan ke kiri insya Allah akan menjadi rahmat atau berkah, namun jika dibaca dari kiri ke kanan atau dibolak-balik begitu rupa bukan mustahil menjadi santet atau sihir. Penulis pernah menemukan kitab-kitab yang menggunakan huruf atau bacaan berbahasa Arab untuk tujuan sihir atau apalah istilahnya, lazim dikenal dengan sebutan mujarabat. Isinya antara lain tolak bala terima laba. Inilah tantangan berat atau kerja besar bagi para intelek Muslim –atau apapun istilahnya– untuk melanjutkan da’wah yang tertunda akibat penjajahan yang lama, kembali pada pemurnian dan juga pembaharuan pemahaman agama. Namun, da’wah yang mungkin begitu giat dilaksanakan agaknya mendapat hambatan –sadar maupun tidak– justru dari para intelek itu sendiri, ‘kegagalan’ para ahli agama adalah menyampaikan pesan-pesan agama yang membumi atau terkait langsung dengan corak hidup sehari-hari, sehingga secara sadar tidak sadar turut melestarikan kesenjangan antara hidup ritual dengan sosial. Mereka cenderung membahas perkara yang kurang memiliki kejelasan kaitan antara agama dengan dunia semisal cerita-cerita seputar suasana surga dan neraka, atau mereka menyampaikan pesan-pesan agama yang masih bersifat umum, cenderung kurang memberi contoh konkrit dalam hidup sehari-hari. Memang, surga dan neraka atau tegasnya akhirat itu ada, namun bagaimana cara menyikapi akhirat selama hidup di dunia? Jika hal tersebut dibahas, penulis ulangi, masih bersifat umum semisal ajakan “mari beriman atau bertakwa kepada tuhan”. Tetapi apakah contoh konkrit iman atau takwa dalam hidup sehari-hari? Akibat kegagalan tersebut, tidak heran jika kita mungkin pernah menyaksikan atau bahkan diri sendiri merasakan hasil “masuk masjid tobat keluar masjid kumat”, yaitu kumat selingkuhnya atau maksiatnya semisal bohong atau korupsi. Cenderung terabaikan bahwa kesempatan beragama justru ketika masih hidup di dunia, bukan di akhirat. Di akhirat, kita mendapat balasan berdasar perilaku hidup di dunia. Dengan demikian, faham sekuler tidak mendapat tempat dalam Islam. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan dunia semisal politik dan ekonomi. Namun justru kita tanpa sadar atau kadang sadar membuat pemisahan antara kedua hal tersebut. Kita rajin shalat misalnya, namun juga rajin korupsi. Kebejadan berikut adalah kecenderungan bangsa ini menggunakan agama sebagai kedok, atau membawa-bawa ayat dan hadits jika berbicara padahal perilakunya diketahui menyimpang dari perkataannya. Mengenai ini penulis sering bertemu dengan orang-orang demikian. Contohnya dalam hal perkawinan, penulis sering dipertanyakan status lajangnya: mengapa belum juga menikah. Ketika penulis memberi beberapa alasan intelek, mereka dengan sigap berdalih, “Menikah itu sunnah rasul, lho…” Penulis yakin bahwa bangsa ini pasti tetap berkeinginan dan melaksanakan pernikahan, walaupun tidak ada sunnah rasul. Coba kita tinjau sejarah, bangsa ini mengenal ‘budaya kawin’ jauh sebelum mereka mengenal sunnah rasul, atau tegasnya jauh sebelum kenal agama. Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 sesudah Masehi, padahal penduduk Nusantara sudah ada sejak sekitar 3000-2000 sebelum Masehi. Ketika mereka mengenal agama (Islam), mereka agaknya mendapat peluang menjadikan agama sebagai kosmetik untuk urusan syahwat tersebut supaya terkesan elegan. Padahal, bangsa ini pada dasarnya adalah bangsa terbelakang, fikirannya tak jauh dari selangkangan. Karena itu sulit mendapat pencerahan yang akan menuntun kepada kemajuan atau capaian kemanusiaan. Tambahan pula, jika ingin bersunnah rasul kenapa cuma menikah yang disebut-sebut? Padahal, yang namanya sunnah rasul tidak hanya menikah. Kedisiplinan, rajin, teliti, jujur mencari rezeki atau seluruh perbuatan yang tergolong amar ma’ruf nahyi munkar, adalah sunnah rasul. Bukankah rasul banyak memberi contoh perilaku demikian? Inilah suatu bukti bahwa betapa dangkal kaum Muslim Indonesia memahami agama Islam. Pada hakikatnya bangsa ini tidak beragama, mereka sibuk mencari dunia: yang kaya menambah kekayaannya dan mengamankan asetnya, sedangkan si miskin jungkir balik demi sesuap nasi, sehingga tidak sempat membaca buku agama. Namun konyolnya, jika ada kasus yang sedikit terkait dengan agama, mereka beramai-ramai berebut omong agama, semua ingin didengar pendapatnya. Mendadak semua menjadi “pakar” agama. Langkah untuk memperbaiki umat di Indonesia adalah terus menerus memberi pemahaman agama sesuai sumber aslinya. Jangan buru-buru menyatakan secara resmi negara ini menjadi negara Islam, apa gunanya syari’at Islam secara formal tercantum dalam konstitusi atau hukum tertulis lainnya jika umatnya belum faham atau siap? Islam mengutamakan isi, bukan kulit. Jika rakyat dengan sadar atau faham agama, tanpa mencantumkan syari’at pun dalam berbagai produk hukum, otomatis Indonesia akan menjadi Islami. Pembentukan berbagai partai berasaskan Islam atau beramai-ramai ulama masuk partai politik atau menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, belum dapat menjadi ukuran bahwa Indonesia menjadi Islami. Begitu banyak parpol Islam justru menunjukan bahwa kaum Muslim terpecah-belah, padahal agama menyuruh umat bersatu. Ulama masuk parpol atau berpolitik praktis berakibat ulama punya musuh politik, padahal ulama justru harus berada di atas semua golongan. Ulama menjadi anggota dewan perwakilan rakyat justru membuat asyik mengurus jabatan atau mempertahankan jabatan, bukan mengurus atau membela umat. Bahkan ada kecenderungan ulama menjadi selebritis selain para artis, politisi atau atlit, ini mengandung resiko bahwa mereka akan berjarak dengan umat, yang mayoritas justru menengah ke bawah. Padahal ulama harus “merangkul” semua golongan. Serahkan politik, hukum atau ekonomi kepada ahlinya, namun ulama mesti menjadikan yang bersangkutan sadar atau faham untuk berperilaku agamis, semisal menjaga batas halal dan haram dalam bidang yang dijalaninya, bukan mesti menjadikannya hafal ayat dan hadits. Ini sedikit contoh saja. Masih ada lagi kebejadan yang tak disadari padahal telah menempatkan Indonesia dalam peringkat 2 di dunia, yaitu pornografi, mencakup pula prostitusi. Praktek korupsi –yang lebih banyak bikin heboh– ternyata menempatkan Indonesia “hanya” pada peringkat 6 dunia. Di beberapa negeri yang kita nilai bejad, ternyata berlaku pembatasan terhadap pornografi. Di Indonesia, bacaan dan tontonan porno begitu mudah dijangkau oleh yang mereka yang berusia “di bawah umur” semisal terang-terangan digelar di tepi jalan atau minimal disamarkan dengan bacaan atau tontonan “halal” yang didapat dengan bisik-bisik. Belum lagi termasuk situs internet mudah ditemukan asal tahu alamatnya, cukup diawali dengan membuka search engine Google. Dengan demikian pornografi merambah ke dalam rumah, dapat diintip tanpa perlu keluar rumah. Keajaiban Indonesia dalam urusan syahwat tersebut adalah, betapa ada daerah-daerah yang dikenal begitu agamis ternyata banyak menghasilkan pelacur dengan berbagai istilah. Mengenai ini kalau boleh penulis sebut antara lain adalah Cirebon. Daerah ini dikenal dengan kebiasaan nikah muda –umumnya ketika panen– mengingat daerah tersebut terdapat lahan pertanian yang begitu luas, atau para orangtua menjodohkan anak pada usia muda untuk lekas bebas dari tanggung jawab. Pasangan muda tersebut cenderung boros, uang hasil panen tersebut dipakai untuk membeli perabotan dan perhiasan. Ketika masa paceklik, mulailah barang-barang tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hingga habis. Kurang nafkah berakibat muncul cekcok suami-istri hingga cerai, jadilah perempuan tersebut menjadi ”janda kembang” atau “janda muda”. Ada juga yang bercerai karena perkawinannya tidak didasarkan cinta, melainkan karena menuruti kehendak orangtua. Untuk bertahan hidup mereka memilih prostitusi di dalam maupun di luar daerahnya, bahkan dengan dukungan orangtua. Tidak jarang ada orangtua yang menjual putrinya kepada sindikat prostitusi. Konon hal tersebut telah berlangsung turun temurun, faktornya karena kemiskinan atau memiliki budaya materialistis atau konsumtif, yaitu ingin hidup enak dengan jalan pintas. Penulis pernah melakukan semacam survey di lokasi prostitusi di dekat Merak, Banten. Dari beberapa orang yang penulis tanya ternyata mereka berasal dari satu kampung yang sama di daerah Cirebon. Sebelumnya, penulis pernah dengar dari seorang teman yang berasal dari Cirebon, bahwa desa tersebut memang gudangnya pelacur. Motif yang mereka ajukan cenderung klasik: masalah ekonomi. Daerah tersebut juga dikenal sebagai gudang kekerasan, sejak lama tawuran antar kampung terjadi. Agaknya, jalur Pantura (pantai utara) merupakan daerah Latinnya Indonesia: berdarah panas, emosional, fanatik namun munafik. Getol beribadat (ritual) namun getol pula bermaksiat! Ini pekerjaam serius bagi para intelek yang mendambakan suasana agamis di negeri ini. Cara yang dapat ditempuh untuk maksud tersebut di atas adalah bahwa selain da’wah dengan mulut (da’wah bil lisan), juga da’wah dengan praktek (da’wah bil haal). Jangan umat hanya diceramahi agama, padahal perutnya lapar atau bajunya kurang bahan. Tetapi, perbaiki juga kehidupan sehari-hari mereka. Islam tidak mengenal pemisahan urusan dunia dengan akhirat, ritual dengan sosial atau pemisahan antara material dengan spiritual. Semua terkait erat karena dunia atau materiel juga anugerah Tuhan, maka didapat dan dipakai juga sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian memberantas kemiskinan dan kebodohan harus disadari sebagai bagian dari ibadah, bukan cuma shalat, puasa, doa-doa atau ngaji-ngaji! Jelaslah bahwa bersekolah, berdagang, berpolitik juga dapat bernilai ibadah. Jelaslah bahwa hal ini bukan cuma tugas ulama, kiyai, ajengan tetapi juga presiden, menteri, gubernur, jenderal dan sebagainya. Da’wah dengan perbuatan lazim dikenal dengan istilah “da’wah bil haal”. Sungguh tepat sabda rasul, “kefakiran dapat menyebabkan kekafiran”. Miskin dapat menggoda orang menjadi penipu, pencuri, perampok, pembunuh atau pindah agama! BAB VII PERPECAHAN DAN KELALAIAN ADA akibat sampingan –dalam arti buruk– dari jumlah mayoritas. Kaum Muslim Indonesia agaknya memenuhi ramalan Muhammad tentang nasib kaum Muslim sepeninggalnya. Menjelang wafat, beliau bersabda, “Kelak kalian akan jatuh hina, berpecah-belah dan menjadi rebutan umat lain bagai sajian yang terhidang di meja.” Beberapa sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit ya rasul?” Jawab nabi, “Tidak! Jumlah kamu banyak bagai buih di lautan, tetapi kamu terjangkit penyakit ‘al-wahnu’, yaitu cinta dunia takut mati. Tuhan kelak akan mencabut rasa takut dari musuh kalian dan memberikan pada kalian”. Dari riwayat tersebut dapat diambil pelajaran yaitu: 1. Berpecah belah dapat menciptakan kelemahan karena musuh dapat memukul satu demi satu. Terbukti bahwa kaum Muslim terpecah dalam berbagai faham, ideologi, madzhab, sekte atau entah apalagi istilahnya –yang memberi peluang terjadinya cekcok yang berdarah-darah. Sebagai contoh adalah Libanon, negeri sekecil itu terdapat kaum Muslim yang terpecah antara Suni, Syi’ah dan Duruz sehingga justru non Muslim yang terkesan mayoritas. Demikian pula dengan ‘Iraq, kaum Muslim terpecah berdasar agama dan bangsa. Kaum Suni terpecah antara Arab, Kurdi dan Turki. Selain itu ada pula bangsa Arab yang menganut Syi’ah. 2. Kaum Muslim menjadi rebutan bagai hidangan di meja sesuai dengan fakta bahwa sebagian besar kaum Muslim menempati bumi yang kaya, luas dan strategis. Indonesia adalah contoh yang jitu, sejak abad-16 menjadi rebutan imperialis Barat karena negerinya menggiurkan dan penduduknya terpecah-belah. Adapun dunia Arab kaya dengan minyak bumi dan terbagi menjadi sekitar 20 negara. Turkistan atau dikenal juga dengan Asia Tengah, kaya dengan gas bumi namun terbagi menjadi 5 negara bekas pecahan Uni Soviet dan diincar oleh AS, Rusia, Cina dan Israel. Adapun Turkistan Timur, lazim disebut “Sinkiang” atau “Xinjiang” dikuasai RRC, konon daerah tersebut kaya dengan uranium (bahan pembuat nuklir). 3. Jumlah bagai buih di lautan, sindiran terhadap jumlah banyak tapi ringan bagai buih. Artinya kaum Muslim tidak bermutu, mudah terombang-ambing oleh berbagai permainan musuhnya. Ada yang pro salibis, ada yang pro komunis dan ada yang pro paganis. Walaupun kaum Muslim bukan mayoritas di kolong langit, namun jumlah sekitar 16 persen di dunia bukanlah sedikit. Dan di Indonesia, walaupun ummat Islamnya merupakan mayoritas namun belum pernah parpol berasas Islam meraih suara mayoritas. Kaum Muslim cenderung memilih parpol yang berasas lain walaupun anggotanya mayoritas Muslim namun menentang penerapan syari’at Islam di Indonesia. Banyaknya parpol berasas Islam bukan menunjukkan kekuatan namun justru menunjukkan perpecahan, mestinya parpol berasas Islam cukup satu. Jumlah bagai buih menunjukkan mayoritas kaum Muslim –lagi-lagi Indonesia adalah contoh yang tepat– masih terperangkap dalam keterbelakangan. Kemiskinan dan kebodohan nyata atau mudah dijumpai di negeri yang kaya sumber alam dan luas ini. Indonesia terbelit hutang dari fihak non Muslim –yang berpotensi sebagai musuh dan memang ada yang menjadi musuh– yang justru memiliki sumber alam yang jauh lebih miskin dan wilayahnya jauh lebih sempit. 4. Kelalaian karena memiliki jumlah mayoritas di beberapa negeri berakibat kaum Muslim tidak sadar bahwa jika warga dunia –yang sekitar 6.000.000.000 (tahun 2000) – dibagi antara Muslim dan non Muslim, maka nyatalah bahwa kaum Muslim hanya sekitar 1/6 jumlah penduduk dunia. Selebihnya berpotensi sebagai musuh, dan memang banyak yang menjadi musuh. Ada salibis, zionis, komunis, paganis dan sebagainya. Belum termasuk kaum Muslim yang menjadi antek, semacam “musang berbulu ayam” atau “musuh dalam selimut”. Mereka telah disebut dalam point 3, mereka menentang niat mewujudkan Indonesia yang Islami. Ada kelalaian lain yang juga penulis temukan di Indonesia, tanpa disadari kaum Muslim terjadi pemurtadan yang disokong dari luar. Kaum Muslim Indonesia merasa masih berjumlah sekitar 85%. Perpecahan dan kelalaian tersebut memenuhi syarat untuk mengundang musibah bagi kaum Muslim. Kedua hal tersebut bahkan cenderung dilestarikan oleh elit bangsa sendiri yang tidak amanah terhadap kekuasaan dan kekayaan. Penumpasan gerakan Darul Islam, kasus Tanjung Priok, Lampung dan Aceh hingga kini tidak jelas pengusutannya. Cap sebagai “teroris” dan “ekstremis” terhadap para aktivis Muslim justru lebih banyak diberikan oleh orang-orang yang beridentitas Muslim pula –umumnya para elit. Sadar tak sadar mereka melaksanakan agenda para musuh Islam baik luar maupun dalam, supaya dipuji antara lain sebagai “moderat”, “demokratis”, “menjunjung hak asasi manusia” atau “modern”. Sesungguhnya, gerakan anti Islam telah ada sejak pra Islam. Dalam al-Qur’an, tuhan memberi info bahwa kehadiran Islam dan Muhammad telah diberitakan kepada para nabi sebelum beliau. Tuhan telah membuat perjanjian kepada seluruh nabi bahwa mereka akan saling membenarkan, mengakui dan menyampaikan info tentang nabi terakhir dan agama terakhir. Dalam suatu hadits, tersebutlah bahwa Adam telah diberi tahu. Inti pesan para nabi tersebut, “Jika kamu ketemu dia, ikuti dia.” Dalam beberapa kitab suci terdapat –walaupun mungkin tidak sejelas yang diharapkan– info agama dan nabi terakhir yang mengarah pada Islam dan Muhammad. Namun, sepeninggal para nabi tersebut, umat yang bersangkutan “menyensor” sebanyak mungkin ayat yang terkait dengan itu, sehingga perlu suatu keahlian tertentu untuk menemukan info yang “lolos” dari penyensoran tersebut. Gerakan tersebut terbukti ada ketika menjelang Muhammad lahir. Kerajaan Persia misalnya, mengirim agen rahasia untuk mencarinya. Juga ketika terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan Muslim di Madinah pasca Muhammad, dua negara super power yaitu Persia dan Bizantium diam-diam bersepakat meredakan permusuhan lama untuk membantu kaum pemberontak, walaupun agama resmi yang mereka anut memiliki dasar yang berbeda. Persekongkolan anti Islam terulang kembali ketika perang salib (1095-1291), Hulagu Khan, cucu kaisar Mongolia yaitu Jenghis Khan, menghancur-leburkan peradaban Muslim di Baghdad pada 1258 adalah dalam rangka kerja sama dengan imperialis Barat mengepung dunia Muslim dari dua front. Di Indonesia, persekongkolan anti Islam juga terjadi. Majapahit dan Pajajaran mencoba menjalin hubungan dengan imperialis Barat yaitu Portugis, bahkan Pajajaran melangkah lebih jauh yaitu saling mengirim utusan dan membuat perjanjian. Ketika itu 2 negara tersebut menuju proses keruntuhan akibat perselisihan intern. Kaum Muslim tampil sebagai kekuatan baru untuk mencegah krisis multi dimensi di Jawa, yang dipimpin oleh Demak. Demak sadar bahaya imperialis tersebut dan bertekad membendungnya mengingat Portugis sudah bercokol di Malaka dan Pasai –bekas kesultanan– serta mengincar Jawa yang merupakan “jantung” Nusantara. Usaha Portugis menguasai Jawa dengan Sunda Kelapa sebagai titik awal dapat digagalkan oleh Demak. Usaha imperialis Barat menjajah Jawa “tertunda “ sekitar 100 tahun. Beberapa kisah yang diberikan penulis menunjukkan bukti tak terbantahkan bahwa non Muslim mungkin saja berpecah belah sejauh tidak terkait dengan Islam, namun begitu terkait maka mereka satu suara, satu bahasa, satu cara, satu gaya dan satu kerja melawan Islam. Hal tersebut masih berlangsung, Peristiwa “11 September 2001” kembali membuktikan. Walaupun hinga kini pelaku sesungguhnya masih samar –dan itu diakui oleh beberapa kalangan di AS– namun sudah terbentuk “paduan suara internasional” melawan Islam dengan berkedok melawan terorisme. Layak diprihatinkan bahwa kaum Muslim ada yang ikut paduan tersebut. Ini sekaligus membuktikan ramalan nabi tersebut di atas. Perpecahan berupa madzhab dan sekte menambah kelemahan umat, umat terkesan lupa bahwa Muhammad membawa Islam tanpa madzhab! Tegasnya hanya ada 1 Islam! Tidak ada madzhab ini, itu, anu! Madzhab muncul sekitar 150 tahun sepeninggal nabi dan apa yang disebut “imam madzhab” tidaklah bermaksud mencipta madzhab. Mereka hanya bersikap, “Pendapat saya begini….., mungkin salah mungkin benar…..” Mereka melarang untuk terpaku pada 1 pendapat saja, antara mereka juga saling menghargai. Celakanya, umat di kemudian hari mempersempit agama dengan bermadzhab-madzhab. Penulis berpendapat –berdasar riwayat tersebut di atas– bahwa madzhab adalah bid’ah dan terbukti bahwa hal tersebut tidak membawa manfaat, kaum Muslim terpecah-belah. Perlu ada suatu gerakan berkesinambungan menghapus madzhab, kembalilah kepada kitab dan sunnah. BAB VIII BEBERAPA USAHA PERBAIKAN SETELAH pembaca “disuguhi” info tentang kejahiliyahan bangsa ini, khususnya kaum Muslim, mengingat mayoritasnya, rasanya kurang adil jika tidak dijelaskan bahwa ada beberapa usaha perbaikan. Manusia tidak ada 100% jahat dan juga tidak ada 100% baik, hal tersebut berlaku juga untuk bangsa Indonesia. Layak diketahui bahwa riwayat bangsa ini juga terdapat sosok-sosok terbaiknya, terlepas apakah usaha mereka sukses atau gagal. Manusia mungkin wajib usaha, tapi tidak wajib hasil. Sesungguhnya begitu banyak usaha perbaikan dalam rangka meraih kembali capaian prestasi kemanusiaan bangsa ini sejak abad ke-16, awal perioda jahiliyah akibat kehadiran imperialis Barat. Tegasnya usaha perbaikan tersebut muncul nyaris bersamaan dengan usaha merusak bangsa ini oleh imperialis dan anteknya. Setelah memikirkan sematang mungkin, penulis hanya menjelaskan lima peristiwa atau usaha perbaikan, terlepas dari soal sukses atau gagal. Kelima peristiwa tersebut memiliki bobot pembaharuan yang relatif sangat jelas, bukan sekadar perjuangan anti imperialis untuk mempertahankan tatanan yang ada. Walaupun Perang Aceh adalah perjuangan anti kolonial yang terlama di Nusantara atau mungkin terlama di Asia Tenggara, dengan korban sedemikian mengerikan, namun perjuangan tersebut tidak memiliki bobot pembaharuan. Para aktivis anti kolonial hanya membela tatanan yang ada selama berabad-abad dari pengaruh yang dinilai buruk yang dibawa kolonial. Tidak nampak usaha atau unsur perubahan dengan niat menuju tatanan yang lebih baik, apapun istilahnya, ke zaman depan. Kesultanan Aceh tidak melaksanakan pembaharuan padahal ancaman perluasan kolonial, walau secara samar, sudah ada sejak akhir Perang Napoleon. Berdasar ketetapan para pemenang, wilayah jajahan Belanda yang sempat direbut Inggris harus dikembalikan kepada Belanda. Dan berdasar pengalaman yang lalu, Belanda pasti melanjutkan usaha perluasan wilayah jajahan, yang sempat tertunda akibat VOC bangkrut dan Revolusi Perancis I (1789-1815). Revolusi tersebut sempat menempatkan Belanda di bawah kekuasaan Perancis. Kelak niat tersebut terbukti dari beberapa manuver politik dan militer Belanda di Sumatera yang makin mendekati wilayah taklukan Aceh, namun entah kenapa Aceh tidak segera melaksanakan modernisasi. Berbeda hal dengan Jepang. Begitu diketahui nafsu imperialis Barat ingin menempatkan Jepang di bawah kuasa mereka sebagai dampak “Perjanjian Shimoda” 1854, sekelompok samurai menyadari betapa penting melaksanakan modernisasi. Rezim Shogun (1192-1868) yang dinilai sebagai penghalang pembaharuan, ditumbangkan melalui revolusi yang tanpa diduga berkepanjangan hingga 1945, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II (tanggal 1 September 1939 hingga 2 September). Revolusi tersebut mencakup pembangunan dan peperangan, walau akhirnya Jepang kalah perang namun pembaharuan yang dilaksanakan pada abad ke-19 tersebut menjadi dasar atau ilham kebangkitan Jepang pasca Perang Dunia II. Pembaharuan yang ditempuh Jepang ketika itu agaknya memakai konsep “mengalah untuk menang”. Untuk meredam nafsu imperialis Barat, dengan cerdik Barat dirangkul dengan cara meniru kemajuan mereka. Para intelek Barat diundang untuk membangun Jepang, hasilnya “oke punya”: pada awal abad-20 Jepang boleh dianggap canggih setaraf Barat dan terhindar dari penaklukan oleh Barat hingga 1945. Berikut penulis coba jelaskan 5 peristiwa atau usaha perbaikan tersebut di atas. A. Perang Paderi (1821-1837) Perang ini boleh dinilai sebagai revolusi karena bobot pembaharuan yang berawal dari Arabia, walau hanya sebatas bidang agama. Di Arabia, muncul suatu revolusi yang dikobarkan oleh gerakan yang disebut “Muwahhid” namun lebih dikenal sebagai “Wahhabi” sejak 1744. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab (1703-92) adalah seorang ulama asal Najad (kini nama provinsi dalam Kerajaan Arab Saudi) yang merindukan kehidupan Islami yang murni sesuai kitab dan sunnah. Dia menyaksikan bahwa di kampung halaman maupun dalam perantauannya, dalam rangka belajar agama, nampak pemahaman dan pengalaman Islam yang menyimpang. Faham taqlid, bid’ah dan khurafat merajalela, suasana yang menguasai sebagian besar dunia Muslim bahkan hingga kini. Dia menulis buku berjudul “Kitab al-Tauhid” yang berisi pemikirannya tentang pemurnian dalam keagamaan, yang segera mendapat tantangan dari masyarakatnya sendiri. Namun dia cukup beruntung, seorang kepala suku bernama Muhammad bin Sa’ud mendukung da’wahnya. Persekutuan erat “2M” tersebut mengawali “Revolusi Wahhabi I” (1744-1818). Walaupun revolusi ini gagal akibat ditumpas Kerajaan Turki, gerakan tersebut sempat bangkit beberapa kali dan sukses meraih kekuasaan di Arabia, “jantung” dunia Muslim, dan membentuk Kerajaan Arab Saudi pada 23/9/1932. Sebelum dipukul mundur, kaum Wahhabi sempat merebut Hijaz, termasuk wilayah “Haramayn” (Makkah-Madinah dan sekitarnya). Mereka merusak atau menjaga beberapa situs sejarah Islam yang dinilai rawan pengeramatan semisal rumah tempat lahir Muhammad di Makkah. Di makam beliau di Madinah, mereka melarang peziarah mencium, mengusap atau menangisi makam. Mereka menilai hal tersebut adalah bid’ah dan syirik. Faham Wahhabi diperkirakan masuk ke Nusantara pada abad ke-18. Beberapa orang Arab konon masuk ke Banten dan Jawa Tengah, namun rezim kolonial Belanda menangkap dan mengusir mereka. Faham Wahhabi sempat menancap kuat pengaruhnya di Minangkabau. Konon faham tersebut masuk tahun 1803 dengan kedatangan kembali beberapa ulama dari ibadah haji. Kemungkinan mereka berada di Haramayn ketika wilayah tersebut sempat direbut gerakan tersebut. Mereka terkesan dengan faham tersebut dan berniat menyebarkannya di kampung halaman. Ketika itu keadaan Minangkabau tak jauh beda dengan Arabia, walau Islam hadir sejak abad ke-16, dari gerakan penaklukan oleh Aceh, namun perilaku masyarakat begitu jauh dengan agama. Adu ayam, isap candu dan minum tuak merajalela, tentu saja faham syirik semisal keramat kubur juga tak ketinggalan ikut menghiasi. Imperialisme Barat turut menyumbang kebobrokan tersebut, Belanda bercokol di Padang sejak 1660. Sejak itu muncul banyak penindasan yang berbuah perlawanan pribumi dengan akibat keterbelakangan. Setiba di kampung halaman, mereka segera bergerak membenahi masyarakat. Da’wah tidak hanya dilaksanakan dengan ceramah tetapi juga dengan bakti sosial, kelak terbukti di mana pun bahwa da’wah memang tak cukup hanya dengan bicara. Amal sosial yang menjawab kebutuhan setempat justru sering menentukan sukses atau gagal da’wah tersebut. Sebagai hasil kekalahan Kaisar Napoleon Bonaparte, telah disebut bahwa jajahan Belanda yang sempat direbut Inggris harus dikembalikan kepada Belanda. Minangkabau sempat mengalami apa yang disebut “interregnum Inggris” (1795-1819). Sir Thomas Stanford Raffles sempat menjelajah pedalaman Minangkabau sejauh Danau Singkarak bahkan mencoba berhubungan dengan gerakan “Paderi”, yaitu sebutan bagi gerakan berfaham Wahhabi tersebut di atas, namun tak berlanjut lebih jauh karena keburu Belanda datang. Belanda menerima kota Padang pada 1819 dan pos Inggris di pesisir barat Sumatera, dari Natal hingga Bengkulu, tuntas diserahkan kepada Belanda pada 1825. Ketika Raffles mencoba berhubungan dengan gerakan Paderi, gerakan tersebut terlibat konflik dengan tokoh adat yang konon bahkan berakibat pembunuhan massal anggota istana Pagaruyung. Dengan sedikit pengecualian, boleh dibilang sebagian besar pedalaman Minangkabau telah dikuasai mereka. Mengenai nama “Paderi” ada perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa nama tersebut berasal dari Pedir, nama pelabuhan di Aceh tempat singgah jama’ah haji. Pendapat lain menyebut bahwa nama tersebut berasal dari terjemahan bahasa Belanda “priester” yang sesungguhnya adalah untuk pendeta Nashrani. Mengingat ketika itu belum ada terjemahan tepat dalam bahasa Belanda untuk ulama, maka istilah ulama diterjemahkan saja dengan priester, yang bermakna pendeta atau paderi. Gerakan Paderi kelak dipimpin oleh seorang ulama yang dikenal dengan nama “Tuanku Imam Bonjol” (1775-1864). Nama Bonjol berasal dari desa yang tepat dilintasi garis khatulistiwa, nama aslinya adalah Peto Syarif. Bonjol kelak menjadi pusat, atau semacam ibu kota gerakan tersebut. Begitu Padang dikembalikan kepada Belanda, James Du Puy melihat peluang bagus untuk menguasai pedalaman Minangkabau dengan cara merangkul kaum adat. Kaum adat semisal penghulu atau datuk merasa keberatan menghapus praktek maksiat semisal main judi dan minum tuak, demikian pula ada ulama yang menolak faham Wahhabi karena faham TBC (Tahyul, Bid’ah dan Churafat) sangat menguntungkan mereka, mereka tak suka jika umat mampu bersikap kritis terhadap mereka. Mereka menilai Belanda akan melindungi mereka dan kepentingan mereka. Dengan “pancingan” berupa serangan oleh pasukan Belanda ke desa Sulitair pada 1821, berkobarlah Perang Paderi –dengan sempat diselingi gencatan senjata– hingga Imam Bonjol ditangkap pada 1837 dalam perundingan, mirip dengan kasus penangkapan Pangeran Diponegoro yang mengakhiri Perang Jawa atau “Perang Diponegoro”. Ada kesan Perang Paderi kurang dikenal, mungkin tenggelam oleh nama besar Perang Diponegoro yang berkobar bersamaan dan juga oleh Perang Aceh kemudian. Padahal perang ini memiliki corak yang berbeda dengan perang-perang sebelumnya yaitu bobot pembaharuan yang terkandung dalam gerakan tersebut. Gerakan Paderi adalah gerakan reformis –bahkan revolusioner– pertama di Nusantara, yang menjadi cikal bakal gerakan berbobot serupa kelak. Walaupun rezim kolonial sukses menumpasnya, faham yang dibawanya tetap hidup, bahkan menyebar walau dengan nama lain. Faham Wahhabi muncul di Jawa dengan wujud organisasi Muhammadiyah yang berdiri pada 1912, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Jogjakarta. Juga, Persatuan Islam (Persis) oleh Ustadz Ahmad Hassan di Bandung. Kedua organisasi tersebut masih ada saat ini. Di Minangkabau dikenal antara lain “Kaum Muda”, “Sumatera Thawalib” dan “Persatuan Muslim Indonesia”. Muhammadiyah juga berkembang pesat di Minangkabau. Hasil lain perang tersebut adalah masyarakat Minangkabau menempatkan agama di atas budaya –minimal teoritis– dengan rumusan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. Praktek maksiat menurun begitu drastis setidaknya beberapa tahun pasca perang. B. Perang Jawa (1825-1830) Perang ini adalah hasil dari kumpulan kekecewaan yang meluas di Jawa Tengah namun merambat ke sebagian besar Jawa Timur dan sedikit Jawa Barat. Artinya jelas, perang tersebut mencakup sebagian besar Jawa, karena itu Belanda menyebut dengan Perang Jawa dan Indonesia mengenalnya dengan Perang Diponegoro karena dipimpin oleh seorang pangeran dari Kesultanan JogJa yaitu Diponegoro (1785-1855), yang bernama asli Ontowiryo anak Sultan Hamengkubuwono III dari selir. Tempat di mana imperialis Barat mendapat pijakan kuat pertama di Jawa adalah Jayakarta, setelah membakar kota tersebut dan membangun ulang dengan nama Batavia pada 1619. Kota tersebut terletak di antara dua kerajaan yang berhasrat “menelannya” yaitu Banten dan Mataram. Mataram pernah mencoba menyerbu dua kali dan berakhir gagal, Banten sering menyerang aset Barat di daerah pinggiran kota. Waktu berjalan terus, kuasa Belanda makin kuat dan pesat. Namun pembusukan akibat praktek KKN di tubuh VOC dan perlawanan pribumi berakibat kebangkrutan dan lemah terhadap serbuan luar, yaitu Inggris. Pada 1799 VOC tutup dan segala aset dan hutang diambil alih oleh pemerintah. Suasana Eropa yang gawat akibat Revolusi Perancis juga berdampak ke seluruh jajahan Barat di seberang laut. Belanda seakan terbelah: ada yang pro Perancis dan ada yang anti, adapun keluarga monarki mengungsi ke Inggris. Inggris merasa mendapat mandat merebut jajahan Belanda sekaligus cemas jika wilayah tersebut menjadi pangkalan Perancis, suatu hal yang kelak terbukti. Pasukan Perancis tiba di Jawa untuk memperkuat pulau tersebut dari serbuan pasukan Inggris. Napoleon memilih tokoh yang dinilai kuat untuk menjaga Jawa yaitu Marsekal Hermann Willem Daendels. Dia tiba di Anyer pada 1808 dan segera bertindak. Untuk mempertahankan Jawa dia memerintahkan kerja rodi membangun jalan raya lintas Jawa dari Anyer ke Panarukan, sekitar 1.000 km. Pembangunan tersebut meminta tumbal besar nyawa warga, hingga kini jalur tersebut masih dipakai. Dia juga membuat beberapa peraturan yang melukai perasaan beberapa elit di Jawa semisal pangeran, bahkan sultan. Daendels diganti dengan Jenderal Janssen pada 1811, yang hanya berkuasa singkat karena pasukan Inggris menyerbu Jawa. Perioda kekuasaan Inggris di Jawa juga menampilkan Raffles. Secara menyeluruh perioda kekuasaan Inggris di Jawa tidak nyaman bagi pribumi walaupun konon relatif sedikit lebih manusiawi dibanding Belanda. Perkembangan, atau lebih tepat keresahan perioda ini kelak makin mengarah kepada suatu perang berikut di Jawa, yaitu perang yang dinilai sebagai peristiwa penting bagi sejarah Jawa karena beberapa hal: Perang terbesar di Jawa terakhir pada perioda pra 1945 dengan korban sekitar 200.000 orang termasuk sekitar 15.000 orang yang berdinas militer Belanda serta menguras kas negara Belanda sekitar 20.000.000 gulden. Peristiwa yang memisahkan dua zaman yaitu zaman “ancient regime” para raja Jawa dengan zaman kolonial Barat yang penuh. Hasil perang tersebut memperjelas kedudukan para raja Jawa sebagai bawahan Barat. Sebelumnya – minimal teoritis – status para raja Jawa selevel dengan kolonial Barat. Bagi pribumi, perang tersebut merupakan revolusi karena untuk pertama kali terjadi perlawanan dari satu di antara beberapa keraton di Jawa Tengah yang memiliki bobot faktor sosio-religi dan bukan sekadar perselisihan keluarga keraton. Seorang pangeran mampu memiliki kharisma besar terhadap rakyat luas karena mampu “mengelola” kebencian terhadap rezim kolonial, dia seakan membawa semacam harapan baru yaitu kehidupan yang lebih baik berdasar agama atau “membersihkan tanah Jawa” melalui proses perang sabil untuk mengusir kolonial. Boleh dibilang dia sosok “ratu adil” atau “Imam Mahdi” menurut alam fikiran orang Jawa –suku mayoritas di Nusantara. Walaupun Diponegoro dinilai oleh sebagian orang masih jauh dari “potongan” Muslim ideal dalam arti berfaham Islam murni, karena masih terkait dengan faham mistik Jawa, sulit dibantah bahwa dia serius melaksanakan ajaran agama sejauh yang dia tahu dan dia mampu. Dia menilai dirinya sebagai “alat kehendak tuhan” konon berdasar pertemuannya dengan penampakan Nyi Roro Kidul, nama siluman penguasa laut selatan Jawa. Sang ratu konon berkata, “… ini kehendak Tuhan, nasib Jawa telah ditakdirkan. Kamu yang melaksanakan tugas karena tak ada orang lain…” Dalam korespondensi selama perang, dia memakai gelar “Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah” dan berulang-ulang menyatakan maksudnya yaitu “membentuk negara berdasar Islam di tanah Jawa”. Tak ada beda tujuannya dengan gerakan Paderi di Minangkabau. Perang ini dimulai dari proyek pembangunan jalan raya oleh pemerintah kolonial melalui tanah milik pangeran tanpa izin, dan berakhir dengan penangkapan pangeran ketika berunding di Magelang. Usai perang, rezim kolonial mencoba mencegah kebangkitan pribumi, terlebih yang berbasis agama. Pemerintah segera mengundang para misionaris dan zending untuk menyebar pengaruh Barat lebih giat. Beberapa markas dibangun semisal di Magelang, Salatiga dan Ambarawa. Persis di jantung Jawa! Perbedaan antara Muslim “mutih” dan “abangan” diperbesar untuk memecah belah umat. Umumnya kelompok abangan cenderung kepada Belanda, atau Barat pada umumnya. Sejak dulu mereka menentang corak Indonesia yang Islami, sadar tak sadar mereka menjadi antek imperialis Barat walau di antara mereka aktif melawan rezim kolonial. Namun mereka tidak menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan. Inilah yang turut menyebabkan kelak Revolusi 1945 gagal lepas dari pengaruh Barat dan makin menjauhkan Indonesia dari tujuan kemerdekaan. C. Kebangkitan Nasional (awal abad 20) Perjuangan melawan imperialis Barat sejak 1511 praktis memakai apa yang disebut dengan “sistek” (sistem senjata teknologi), hal tersebut berlangsung hingga awal abad ke-20, dan gagal mengusir mereka. Mengenai teknologi militer, bangsa ini boleh dinilai setaraf dengan Barat hingga sekitar setengah pertama abad ke-19. Berkat “Revolusi Industri” terlebih dahulu dikenal Barat pada pertengahan abad ke-18, untuk pertama kalinya Barat mengungguli Timur dalam banyak bidang, termasuk teknologi. Penduduk Nusantara turut merasakan dampak keunggulan Barat akibat revolusi tersebut, Barat mampu menambah jumlah dan mutu hasil teknologinya karena sebagian tenaga manusia dapat diganti dengan tenaga mesin. Selain itu Barat memiliki keunggulan dalam konsep yang disebut “sissos” (sistem senjata sosial), mereka –khususnya Belanda– boleh dibilang masyarakat yang lebih seragam dibanding Timur, khususnya Nusantara. Belanda telah membentuk diri menjadi satu bangsa sejak abad-16, ketika menyatakan lepas dari Spanyol dan membentuk “Republik Tujuh Negeri Belanda Bersatu”. Jelas, bahwa Belanda lebih dahulu menyadari betapa penting persatuan dan kesatuan bangsa dibanding penduduk Nusantara. Ketika imperialisme Barat hadir, Nusantara terbagi-bagi dalam beberapa suku atau kerajaan. Belum ada bangsa Indonesia, yang ada ialah bangsa Jawa, bangsa Sunda, bangsa Minang, bangsa Aceh, bangsa Bugis, bangsa Ambon dan lain-lain. Pembagian tersebut adalah peluang untuk perpecahan dan Belanda memanfaatkannya dengan cerdik. Bukan jarang pecah belah dapat tercipta antara satu keluarga monarki semisal perselisihan antara Sultan ‘Abdul Fattah Ageng Tirtayasa dengan anaknya yaitu Sultan ‘Abdul Qahhar di Banten, yang berakibat Banten kalah melawan Belanda. Konsep pecah belah dan jajah tersebut dikenal dengan “devide et impera”. Perpecahan di bidang sosial dan ketertinggalan di bidang teknologi berpadu menuntun pribumi menuju kekalahan berturut-turut. Pada awal abad ke-20 tampil suasana baru dalam percaturan dunia, yang sedikit banyak berdampak ke Nusantara atau lazim dikenal ketika itu dengan “Hindia Belanda” (Nederlands Oost Indische). Sejak pertengahan abad ke-19 muncul gerakan humanisme di Belanda yang mengkritik kezhaliman rezim kolonial. Dipelopori antara lain Van Deventer dan Douwes Dekker, gerakan tersebut mencapai hasil pada awal abad ke-20 dengan perubahan sikap pemerintah Belanda untuk menciptakan hubungan saling menguntungkan antara Belanda dengan rakyat Hindia Belanda namun dalam lingkup kekuasaan Belanda. Sikap tersebut dikenal dengan istilah eereschuld atau de etische politiek yang sering diterjemahkan dengan politik balas budi. Konsep ini berdasar pemikiran bahwa Belanda telah sangat berhutang budi kepada bangsa Hindia: banyak mengambil namun nyaris tak memberi sedikit pun. Singkatnya, “menjajah boleh saja tapi yang manusiawi dong”. Berbagai perangkat kemudian mengalir dari Eropa ke Hindia, pembangunan jalur rel, jalur aspal, sekolah, irigasi dan sebagainya dilaksanakan untuk mensejahterakan rakyat. Pendidikan dilaksanakan walau terkesan pilih kasih dan materi pendidikan diarahkan untuk melayani Belanda, bukan memimpin Hindia Belanda. Kelak dari pendidikan tersebut muncul lapisan intelek pribumi, suatu hal yang tidak diinginkan oleh rezim karena mereka akan membangkitkan kesadaran rakyat untuk faham hak dan kewajibannya, dan kecemasan itu terbukti nanti. Namun Belanda harus menempuh resiko itu supaya tidak terus menerus dikecam sebagai pelit, rakus atau biadab. Boleh dibilang bersamaan waktunya, dunia Timur mulai bangkit. Gerakan tersebut muncul antara lain di Cina, India dan Mesir. Kebangkitan Timur yang spektakuler saat itu adalah Perang Rusia-Jepang (1904-1905) yang berakhir dengan kemenangan Jepang. Peristiwa itu membangkitkan rasa percaya diri Timur dan menggoyang mitos keunggulan ras Barat. Agaknya awal abad ke-20 adalah awal Renaissance Timur. Versi sejarah yang resmi menyebut bahwa Indonesia mengalami apa yang disebut dengan Hari Kebangkitan Nasional adalah dengan lahir organisasi bernama Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908. Agaknya hal tersebut perlu penelitian ulang mengingat organisasi tersebut tidak mencerminkan kebangsaan dan kerakyatan namun kesukuan dan keelitan. Budi Outomo hanya menerima suku Jawa dan Madura serta elit pula. Penulis cenderung berpendapat bahwa kebangkitan nasional dimulai dari pembentukan Jamiyyatul Khairiyyah pada 1901. Walaupun dibentuk oleh keturunan Arab namun terbuka bagi Muslim lain, umat mayoritas di Indonesia sehingga dapat mewakili bangsa Indonesia. Ada pula yang berpendapat bahwa Kebangkitan Nasional dimulai dari pembentukan Serikat Dagang Islam pada 1905. Seiring berjalan waktu, muncul berbagai organisasi, ada parpol ada ormas semisal Muhammadiyah, Nahdhatul ‘Ulama, De Indische Partij, Indische Social Democratische Vereeniging, Partai Nasional Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond dan lain-lain. Mereka turut memberi pencerahan terhadap rakyat sesuai dengan faham dan kapasitasnya, dan kelak muncul 3 kelompok ideologi utama yang menjadi campuran dahsyat sekaligus goyah menghadapi imperialis yaitu, nasionalis, agamis dan komunis. Tiga kelompok tersebut akan saling bentrok hingga berdarah-darah bahkan ketika perjuangan kemerdekaan belum selesai. Kini yang tersisa adalah kelompok nasionalis dan agamis karena komunis ditumpas pada Revolusi 1965. Perioda ini mulailah muncul benih-benih rasa senasib dan sepenanggungan sehingga dalam peristiwa yang disebut Sumpah Pemuda beberapa tokoh pergerakan sepakat untuk membentuk bangsa baru yaitu Indonesia. Penulis menilai ini adalah suatu pencerahan yang cemerlang karena rakyat seantero Nusantara –dengan Muslim sebagai mayoritas– dipersatukan, suatu langkah awal atau cikal bakal menuju ukhuwwah Islamiyyah. Penulis teringat kutipan dalam kitab suci, “… ingat ketika kamu dahulu saling bermusuhan maka tuhan melunakkan hatimu dan dengan nikmat tuhan kamu menjadi bersaudara…,” dan juga, “… berpeganglah pada tali tuhan dan jangan kamu bercerai-berai…..” D. Revolusi 1945 (1945-1950) Pembaharuan yang dilaksanakan Jepang sejak Restorasi Meiji ternyata membawa Jepang ke arah pembangunan sekaligus peperangan. Jepang agaknya menilai bahwa memperkuat diri dengan modernisasi tanpa menambah wilayah tidaklah cukup. Jepang boleh dibilang terkepung oleh imperialis Barat: di Utara terdapat Kerajaan Rusia dan Amerika Serikat, di Timur terdapat jajahan Jerman dan Inggris, di Barat terdapat Cina yang keropos akibat rezim yang korup dan dikeroyok oleh Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, AS, Italia. Di Selatan terdapat jajahan Barat berlapis-lapis yaitu Spanyol (kemudian AS) di Filipina dan Inggris di Hongkong, Malaya dan Kalimantan Utara serta Birma (kini Myanmar), Belanda di Indonesia dan Perancis di Indocina. Untuk memastikan bahwa Barat tidak masuk Jepang maka perlu pula meniru mereka –selain di bidang sosio-teknologi– dalam hal imperialisme, dengan menaklukan wilayah seluas mungkin maka kekuatan Barat dapat dijauhkan dari wilayah Jepang. Penaklukan juga dibutuhkan untuk mendapat wilayah sumber alam dan pemasaran bagi produk-produknya. Penaklukan pertama oleh Jepang adalah belahan selatan pulau Sakhalin milik Rusia pada 1875, kemudian menyusul Kepulauan Ryukyu (1879), belahan selatan Manchuria (1905), Formosa (kini Taiwan) (1895), Korea (1910), dari Perjanjian Versailles 1919 mendapat jajahan Jerman yaitu Kepulauan Mariana, Kepulauan Marshall, Kepulauan Karolina dan Kepulauan Palau, wilayah Manchuria milik Cina direbut pada 1931 dan usaha Jepang untuk menaklukan seluruh Cina berakibat Perang Cina-Jepang II (tanggal 7 Juli 1937 hingga 2 September 1945). Sejak itu Jepang mulai panen kecaman internasional. Langkah Jepang di Asia Tenggara diawali dengan masuk ke Indocina Perancis tanpa perlawanan pada 1940. Tujuannya pokoknya adalah firdaus tropis Hindia Belanda. Setelah melalui ketegangan politik yang ditutupi oleh sopan santun diplomasi antara Jepang dengan AS-Inggris-Belanda maka berkobar Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya (tanggal 7 Desember 1941 hingga 2 September 1945) sebagai bagian dari Perang Dunia II yang dimulai pada 1 September 1939. Untuk kedua kalinya Jepang meruntuhkan mitos keunggulan ras Barat dengan mengalahkan mereka dan merebut wilayah sekitar 21.000.000 km2 termasuk jajahan Barat, hanya dalam waktu delapan bulan. Kekaguman, kecemasan dan akhirnya kebencian bermunculan –bahkan sempat bercampur– baik bagi Timur maupun Barat akibat pendudukan Jepang yang konon lebih menindas dibanding imperialis Barat. Pasukan Jepang hanya butuh waktu 3 bulan untuk merebut Hindia Belanda, yang dipertahankan oleh AS, Inggris, Australia dan Belanda. Kemenangan Jepang tersebut sungguh memukul martabat Belanda sebagai majikan Hindia Belanda. Rakyat seakan tersentak oleh kesadaran betapa palsu propaganda atau mitos keunggulan ras Barat. Namun layak disayangkan, Jepang tidak memanfaatkan kekaguman bangsa Timur dengan pendudukan yang ramah di wilayah taklukannya. Jepang ternyata juga meniru Barat dalam soal keunggulan ras, Jepang tidak mau begitu saja disamakan dengan ras Timur lain. Terbukti mereka menganggap diri sebagai saudara tua, makna saudara tua ternyata menganggap boleh berbuat apa saja. Jepang meniru Barat soal keunggulan ras bahkan lebih jauh, menganggap diri sebagai keturunan dewa yang berpuncak pada Tenno Heika. Perilaku kejam terhadap sesama Timur tak terhindarkan dan berakibat muncul kebencian dan perlawanan. Belum setahun pendudukan, rakyat mengalami kekurangan dan ketakutan. Romusha, juugun ianfu adalah sedikit contoh yang membangkitkan luka di hati rakyat. Namun di balik kesempitan ternyata masih terdapat kesempatan, beberapa jabatan yang diharamkan untuk pribumi selama zaman kolonial Belanda menjadi dihalalkan. Kesempatan lain adalah latihan militer, pribumi direkrut ke dalam organisasi semisal Pembela Tanah Air dan Heiho (cikal bakal tentara nasional). Menjelang usai perang, persiapan menuju kemerdekaan dilaksanakan antara lain dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ketika Jepang menyerah, dengan sigap para aktivis kemerdekaan memanfaatkannya antara lain dengan proklamasi kemerdekaan, mensahkan konstitusi, menyusun pemerintahan dan pembentukan tentara. Dengan jelas dalam konstitusi menjelaskan tujuan kemerdekaan yang intinya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan tersebut jelas merupakan niat perbaikan mutu bangsa ini yang kembali ke titik nadir akibat penjajahan yang demikian lama. Para aktivis kemerdekaan menghadapi tantangan berupa serbuan dari luar dan perpecahan di dalam. Tiga kelompok besar yang muncul ketika perioda Kebangkitan Nasional melanjutkan persaingan mendapat peran lebih dalam negara yang baru lahir tersebut, belum lagi dengan berbagai kelompok aktivis tingkat lokal yang bertindak liar, sulit patuh pada pemerintah. Melalui kehadiran pasukan Persemakmuran Inggris yang mendapat mandat melaksanakan tugas pendudukan berdasar Konferensi Potsdam, aparat sipil dan militer Belanda –lazim disebut Netherlands Indies Civil Administration bertindak sebagai penguasa di (bekas) jajahannya untuk memulihkan tatanan kolonial. Kaum Republik bereaksi keras dan beberapa pertempuran berkobar. Inggris mencoba mengurangi korban dengan mengajak Republik dan NICA menyesuaikan keinginan dalam perundingan. Dalam tubuh Republik, perbedaan tentang bentuk dan arah masa depan Indonesia sempat berkurang karena perjuangan melawan kolonial menuntut perhatian penuh, namun konflik berdarah tak terhindarkan. Kelompok komunis mencoba membentuk negara sendiri berdasar faham komunis menimbulkan Madiun Affair 1948, yang dapat ditumpas oleh gabungan nasionalis-agamis. Pada 1949 kelompok agamis yang lazim disebut Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo membentuk negara alternatif yang disebut Negara Islam Indonesia. Tentu dengan berasas Islam. Kelak Revolusi Darul Islam dinilai sebagai pemberontakan terbesar –dalam arti terlama dan terluas– pasca 1945. Revolusi 1945 agaknya gagal mengantar Indonesia mencapai tujuan kemrdekaan. Walau terjadi pemindahan kekuasaan sebagai hasil Konferensi Meja Bundar 1949, struktur dan kultur kolonial tetap utuh, walau sementara melemah. Hal ini terjadi karena Republik didominasi bukan oleh kelompok agamis, umumnya mereka berlatar belakang pendidikan Barat ketika perioda kolonial. Tak mengherankan jika mereka cenderung antipati jika nilai-nilai Islam berlaku. Akibatnya, yang muncul adalah kemerdekaan melaksanakan pengaruh Barat dan bukan memulihkan keunggulan nilai Islam yang sempat tenggelam akibat penjajahan. Proklamasi NII adalah reaksi terhadap kejahiliyahan tersebut. E. Revolusi Darul Islam (1949-1965) Pada hakikatnya gerakan ini tidak jauh berbeda dengan Paderi dan Diponegoro, membersihkan Nusantara dari imperialisme non Muslim, terutama Barat, sekaligus mewujudkan tatanan masyarakat yang Islami yang sekian lama tertunda akibat konflik dengan imperialis. Perbedaannya adalah, Imam Bonjol dan Diponegoro belum memiliki konsep yang nyata tentang tatanan masyarakat Islami. Memang Diponegoro jelas berniat mewujudkan negara Islam namun konsepnya belum terjabarkan, yang mungkin terbayang olehnya adalah masyarakat –tegasnya negara– Islami terwujud jika individunya memahami dan mengamalkannya. Belum terjabarkan susunan negara, rancangan konstitusi, konsep politik, ekonomi dan hukum berdasar syari’at. Kartosoewirjo-lah yang relatif lebih maju beberapa langkah dibanding kedua tokoh tersebut. Walaupun revolusinya ditumpas kelompok sekuler, dia sukses mewujudkan tatanan masyarakat Islami dalam bentuk negara berdasar syari’at dalam teori dan praktek. Pemikiran tentang masyarakat Islam telah ditulis dengan lugas selama perioda kolonial Belanda, bahkan pembinaan kader-kader Muslim sempat terwujud dalam lembaga pendidikan yang disebut “Institut Suffah” di Malangbong. Lembaga tersebut sempat ditutup pemerintah pendudukan Jepang namun dibuka kembali bahkan dengan menambah kurikulum ilmu militer. Ketika pasukan Republik harus mengosongkan Jawa Barat sebagai hasil Persetujuan Renville 1948 yang cenderung merugikan Republik, dia mempersiapkan pembentukan negara idamannya antara lain dengan menulis konstitusi, menyusun pemerintahan dengan segala kelengkapannya dengan konsep pelaksanaan teknis yang jelas. Negara tersebut sungguh terwujud pada 7 Agustus 1949 yang mencakup –minimal teoritis– seantero bekas wilayah Hindia Belanda, negara tersebut sungguh merupakan alternatif bagi Republik Indonesia yang bercorak sekuler. Berbasis di Jawa Barat, Kartosoewirjo sempat memperluas pengaruhnya ke sejumlah wilayah yaitu: 1. Jawa Tengah, dirintis oleh Amir Fatah Wijayakusumah dan Kiyahi Somalangu. 2. Aceh, dirintis oleh Teungku Muhammad Daud Beureuh (1900-1987). 3. Kalimantan Selatan, dirintis oleh Ibnu Hadjar. 4. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dirintis oleh Kahar Muzakkar. Berbagai usaha untuk mendamaikan kedua negara tersebut berulang dilaksanakan namun gagal, karena pengaruh kelompok sekuleris yang terdiri atas nasionalis dan komunis. Mereka agaknya terpengaruh oleh didikan Barat yang diterima, bahwa apa yang disebut negara Islam adalah “monster” atau “berbahaya”. Pemerintah Republik cenderung menonjolkan pendekatan militeristik dibanding politis atau agamis, yang berakibat NII tertumpas dan sekian lama difitnah sebagai “pemberontak”, “ekstremis” atau “separatis”. Dengan suasana yang relatif lebih demokratis pasca rezim orde baru, perlu penelitian ulang secara serius tentang NII dan segala yang terkait dengannya. BAB IX PENUTUP MEMBAHAS berbagai kekurangan dalam bangsa ini terutama kaum Muslim, dengan tujuan supaya kita bangsa Indonesia tidak terjebak dengan sikap “semut di seberang laut tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”. Jangan sampai kita lebih tahu kekurangan orang lain tetapi tidak tahu kekurangan diri sendiri. Bila kita mmapu mencari kekurangan orang lain, maka orang lain pun mampu mencari kekurangan kita. Pepatah bijak “hitung-hitunglah dirimu sebelum dihitung-hitung orang lain” sungguh kena buat kita renungkan. Perbaikan yang kita inginkan bukan perkara mudah. Apalagi, alam dan manusia Indonesia telah dirusak berlama-lama dan beramai-ramai, jelas pemulihannya juga harus berlama-lama dan beramai-ramai pula. Namun masih lebih baik jika pelan tapi pasti. Pencerahan tidak harus menyenangkan, kemungkinan hal itu ada resiko justru akan melenakan kita. Terkadang perlu juga terapi yang menyakitkan, bukan hanya terhadap penyakit jasmani namun juga penyakit ruhani. Kerusakan yang ada di Indonesia jelas didominasi oleh kerusakan atau penyakit ruhani. Saat ini keadaan bangsa Indonesia mirip dengan bangsa Arab menjelang lahir Muhammad: jahiliyah selama sekitar 500 tahun. Ketika itu bangsa Arab mengalami proses kemunduran hingga mencapai titik nadir karena pembusukan di dalam dan penjajahan di luar, walaupun tidak mencakup seantero Arabia. Demikianlah Indonesia kini, proses ke titik nadir terjadi sejak tahun 1500-an, yang bila direntangkan hingga kini (2000-an) akan didapat rentang waktu sekitar 500 tahun. Tak mengherankan jika bangsa ini kini tak jauh berbeda dengan kelompok masyarakat lain yang telah dimusnahkan total oleh Tuhan karena bobroknya sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur-an. Namun bangsa Indonesia mungkin relatif ‘beruntung’ karena sejak Muhammad, tidak ada lagi hukuman berupa pemusnahan total suatu ras. Hukuman diperingan dengan berbagai musibah bersifat sporadis atau insidentil, semacam sentilan atau jeweran Tuhan. Jelaslah bahwa jahiliyah di negeri ini ada yang berkait satu sama lain semisal korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya menguras uang negara namun juga merusak alam karena berasal dari sifat rakus. Jelaslah bahwa ritual ibadah harus termanifestasikan ke dalam amal sosial yang nyata. Misalnya, Syahadat adalah didikan dasar percaya kepada satu Tuhan dan menghindarkan syirik semacam keramat kubur dan santet. Shalat adalah didikan dasar bersih dan cermat, zakat dan puasa adalah didikan dasar tidak pelit dan tidak rakus. Ini sekadar contoh sederhana namun dampaknya tidak dapat diremehkan, perilaku kaum Muslim di Indonesia justru jelas menunjukkan bahwa ritual dan sosial seakan terputus atau terpisah. Sadar tak sadar, kaum Muslim beriman dalam pengakuan namun sekuler dalam perbuatan, inilah warisan imperialisme Barat. Faham yang lahir di dunia Barat akibat pergolakan antara pendeta dan sarjana pada perioda yang disebut abad pertengahan (476-1492) dan Renaissance sekitar abad ke-15 yang menghasilkan pemisahan urusan gereja dan negara, dibawa ke negeri jajahan dengan sebutan pemisahan antara negara dengan agama, suatu hal yang berbeda maksud di antara keduanya. Barat (mungkin) masih menerima agama sebagai sumber moral, yang mereka tolak adalah ikut campur gereja dalam urusan negara. Islam tidak mengenal pemisahan negara dengan masjid karena kedua lembaga tersebut asalnya tidak menyatu, berbeda dengan hubungan negara-gereja di dunia Barat sejak abad ke-4 yang memang (pernah) menyatu. Gereja ikut campur urusan negara semisal raja dilantik oleh pejabat gereja, di bidang hukum negara dan gereja saling tukar perkara. Adapun pengurus masjid tidak mengurus pelantikan kepala negara, tidak ada susunan organisasi semacam paus, kardinal dan uskup. Pengurus masjid bukanlah tempat para jama’ah mengaku dosa dan tidak berwenang memberi ampun. Pengurus masjid bukanlah pejabat yang berwenang mengucilkan atau memvonis murtad dan kafir umat yang menyimpang. Berbeda dengan gereja pada masa lampau, gereja memiliki pengadilan sendiri dan hukuman sendiri. Yang diajarkan dalam Islam, bahwa tuhan mengawasi ke mana-mana. Manusia dituntut untuk sadar bahwa tuhan tidak hanya ada di masjid namun hadir di mana-mana. Dengan demikian perilaku manusia selalu dalam lingkup ibadah semisal dalam mencari rezeki atau berpolitik. Wallahu’alam bishshawwab. DAFTAR PUSTAKA Bencana Kaum Muslim Indonesia 1980-2000, Al-Chaidar dan Tim Amnesti Internasional, Penerbit Wihdah Press, Jogjakarta. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Cornelis van Dijk, Penerbit Pustaka Grafiti Press, Jakarta. Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949, Pierre Heijboer, Penerbit Grasindo-KITLV, Jakarta. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator NII SM. Kartosoewirjo, Al-Chaidar, Penerbit Darul Falah, Jakarta. Reformasi Prematur: Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, Al- Chaidar, Penerbit Darul Falah, Jakarta. Perang Pasifik, PK. Ojong, Penerbit Kompas, Jakarta. Sejarah Indonesia Modern, MC. Ricklefs, Penerbit Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama Dan Jawara, Nina H. Lubis, Penerbit LP3ES, Jakarta. Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy Dan Lukisan Raden Saleh, Dr. Peter Carey, Penerbit LkiS Pelangi Aksara, Jogjakarta. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, Drs. H. Musthafa Kamal P., Drs. HA. Rosyad Sholeh, Drs. H. Chusnan Jusuf, Penerbit Citra Karsa Mandiri. Seri Perang Dunia II: Sesudah Perang - Asia, Penerbit Pustaka Time-Life Roma Masa Kekaisaran, Moses Hadas, Penerbit Pustaka Time-Life Kisah Kisah Zaman Revolusi, Rosihan Anwar, Penerbit Pustaka Jaya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Rusli Amran, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, HJ. De Graaf, Penerbit Pustaka Utama Grafiti & KITLV, Jakarta. Fiqh Islam, H. Sulaiman Rasjid, Penerbit Attahiriyah. Tauhid, Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, Penerbit Mitra Pustaka. Dari Perbendaharaan Lama, Hamka, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta. Rangkaian Cerita Dalam al-Qur-an, Bey Arifin. Dapatkan koleksi ebook-ebook lain yang tak kalah menariknya di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt